Rabu, 14 Mei 2014

KIPRAH CURENG DIAWAL KEMERDEKAAN


Beberapa pesawat Curen di PU Maguwo Yogyakarta
Nama cureng merupakan nama lokal Indonesia, dalam bahasa Jepang  pesawat buatan pabrik Nippon Hikoki KK tahun 1933 ini dikenal dengan sebutan Yokusuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan pihak Serikat menyebutnya dengan “Willow”. Dalam Perang Pasifik, pesawat ini dijuluki  dengan   “Red Dragonfly” (Si Capung Merah).  Sejak berlangsungnya perang Cina-Jepang sampai tahun berakhirnya perang Pasifik telah diproduksi sebanyak 5.591 buah pesawat. Beberapa buah diantaranya digunakan untuk pasukan penyerang “kamikaze” meskipun sebenarnya pesawat ini dibuat untuk pesawat latih lanjut.
Pesawat Cureng  tergolong pesawat kecil bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan  dua tempat duduk (depan belakang). Copit  tanpa kanopi penutup atas sehingga bagian kepala dan dada penerbang kelihatan jelas dari luar.   Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” dengan kekuatan 350 dayakuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/h dan  kecepatan mendarat 92,6 km/h.  Pencapai terbang sejauh 708 km dengan  batas ketinggian praktis 4000 m dengan lama terbang 4½ jam.
Cureng ini merupakan pesawat peninggalan Jepang yang paling banyak dibandingkan dengan pesawat lainnnya.   Di Indonesia pesawat cureng ini ditemukan hanya di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebanyak 50 buah.  Untuk memastikan kondisi pesawat tersebut atas perintah Suryadi Suryadarma, didatangkan teknisi dari Pangkalan Udara Andir Bandung.  Di Pangkalan Udara Maguwo waktu itu tidak ada teknisi pesawat.  Dua orang dari beberapa teknisi dari Bandung tersebut  adalah Basir Surya dan Tjarmadi.
Dari hasil pemeriksaan secara umum semua pesawat tersebut dinyatakan dalam keadaan rusak,  kecuali tiga yang masih dalam keadaan lengkap walaupun dalam keadaan rusak ringan.  Ketiga Pesawat Cureng ini me­rupakan pesawat yang siap terbang ketika terjadi perebut­an pangkalan oleh BKR dan lascar yang ada di Yogyakarta, namun batal karena kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Suharto (mantan Presiden RI).   Waktu itu Suharto sempat taxi (memarkir pesawat) ketiga pesawat tersebut setelah para penerbangnya yang orang Jepang ditawan dan PU Maguwo berhasil direbut. Hanya dalam waktu satu hari yakni tanggal 26 Oktober satu pesawat Cureng dapat diperbaiki dan dinyatakan siap test flight setelah diberi tanda berupa lingkaran berwarna merah putih sebagai simbol bendera RI yang sekaligus menyatakan bahwa pesawat tersebut sudah menjadi milik Republik Indonesia.

Satu pesawat Cureng sedang diperbaiki di PU Maguwo Yogyakarta
Test flight dilakukan tanggal 27 Oktober 1945 pukul 10.00 selama 30 menit oleh Agustinus Adisucipto yang didampingi oleh Rudjito.    Dipilihnya Agustinus Adisucipto untuk test flight ini karena ia mempunyai wing penerbang yaitu Groot Militaire  Brevet.   Namun wing penerbang yang dimiliki adalah kualifikasi penerbang dengan pesawat Eropa, bukan pesawat Jepang.  Penerbangan ini tercatat sebagai penerbangan pesawat  beridentitas merah putih yang pertama di alam Indonesia merdeka oleh pemuda Indonesia sendiri.
Setelah penerbangan pertama itu, para teknisi terus bekerja memperbaiki pesawat – pesawat  yang ada di Maguwo. Pada awal Januari 1946, berhasil diperbaiki dan disiapkan  25 pesawat lagi hingga siap terbang.  Pesawat cureng tersebut kemudian menjadi kekuatan Pangkalan  Udara Maguwo yang sekaligus menjadi kekuatan Sekolah Penerbangan yang dipimpin oleh Agustinus Adisucipto.  Sekolah Penerbangan itu dibuka pada tanggal 15 November 1945. Karena itu pesawat cureng umumnya hanya diterbangkan oleh para kadet Sekbang.    Para kadet angkatan pertama sekolah penerbang ini tercatat 31
Tanggal 14 Januari 1946 salah satu pesawat cureng mengudara dari Pangkalan Udara Maguwo.  Namun naas pesawat Cureng tersebut mengalami kecelakaan. Waktu itu pesawat  diterbangkan oleh Iswahjudi dan Wiriadinata sebagai penumpang.   Kedua orang yang berada dalam penerbangan itu selamat.  Peristiwa ini merupakan kecelakaan pesawat cureng pertama  yang sekaligus merupakan kecelakaan pesawat pertama di alam Indonesia merdeka.  Benar juga apa yang dikatakan oleh para penerbang Royal Air Force (RAF) yang pernah datang ke Yogyakarta.  Para penerbang itu mengatakan “You are flying Coffin” (Tuan menerbangkan sebuah peti mati).
Kecelakaan pesawat tersebut ternyata tidak membuat ciut  nyali para penerbang muda waktu itu dan tidak berkesimpulan bahwa pesawat jenis Cureng tersebut tidak layak terbang malah menjadi tantangan bagi pelopor pendiri dan pejuang AURI untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara yang baru berdiri.  Dua hari setelah kecelakaan tersebut (tanggal 16 Januari 1946), satu pesawat  Cureng diterbangkan oleh Suyono untuk melakukan  tugas pengintaian di Laut Selatan.  Misi pengintaian  menggunakan pesawat Cureng itu atas perintah Agustinus Adisucipto.  Pesawat Cureng take off dari Pangkalan Udara Maguwo menuju Parangtritis, sampai jauh ke Selatan di atas Lautan Hindia. Dalam penerbangan itu, pesawat sempat masuk awan hitam tebal sehingga penerbanganya sampai kehilangan orientasi (disorientasi). Peristiwa ini pun dicatat sebagai operasi penerbangan pertama dalam rangka misi pertahanan di Indonesia merdeka.
Sukses dengan fungsinya sebagai pesawat latih  melahirkan beberapa orang penerbang, pesawat  Cureng tercatat sebagai pesawat pertama yang digunakan dalam latihan terjun payung.  Latihan terjun payung pertama ini dilaksanakan tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo atas perintah Suryadi Suryadarma selaku kepala TKR jawatan Penerbangan.  Latihan terjun payung itu  menggunakan 3 pesawat Cureng yang masing-masing diterbangkan oleh A. Adisucipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo.  Adapun para penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut.    Satu pesawat untuk satu penerjun.  Penerjunan ini merupakan peristiwa penting bagi TNI Angkatan Udara bahkan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia bahwa  inilah awal dari munculnya pasukan para TNI.

Dua pesawat Curen mendarat setelah melaksanakan terbang Formasi
Pada tanggal 16 Maret 1946, sekali lagi H. Suyono  menerbangkan pesawat Cureng, kali ini bertolak dari Pangkalan Udara Bugis Malang menuju Utara untuk menyebarkan pamflet di atas kota Sidoarjo.  Dalam penerbangan itu ikut pula seorang montir pesawat, Sukarman.
Selain melaksana­kan latihan terbang solo, pesawat Cureng juga digunakan untuk latihan  terbang formasi  dan Cross Country (lintas daerah). Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng.  Penerbang­­­nya antara lain  Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso, dan Wim Prayitno.   Cross country ini merupakan terbang formasi dan lintas daerah yang pertama dilakukan oleh penerbang-penerbang Indonesia.
Tanggal 12 Mei 1946 kembali Pesawat Cureng diterbangkan ke arah Timur dan mendarat di Lapangan Sekip (Pamekasan).  Penerbangan yang dipiloti oleh  Opsir Udara II  Sujono dan Opsir Udara III Wim Prajitno dengan misi  memperbaiki lapangan udara   tersebut sebagai persiapan guna penerbangan berikutnya.  Ikut serta dalam penerbangan itu dua orang montir pesawat yakni Naim dan  Dulatif.  Dalam penerbangan kembali  kedua pesawat terpaksa mendarat di Pangkalan Udara Bugis  Malang karena mengalami kerusakan  di bagian kaki rodanya.
Pada tanggal 21 Mei 1946 empat pesawat cureng mengudara menuju beberapa daerah di Jawa barat dan Jawa Timur. Dua pesawat Cureng menuju ke Serang Jawa barat.  Cureng pertama diterbangkan oleh  Opsri Udara II Husein Sastranegara sebagai yang disertai H. Semaun dan pesawat kedua dipiloti oleh Opsir Udara III Santoso disertai seorang penumpang bernama Soeharto.  Sebuah pesawat Cureng menuju ke Malang dengan penerbang Opsir Udara III Sunarjo yang disertai seorang  penumpang Suparman. Sebuah pesawat terbang Cureng lainnya diterbangkan oleh Opsir Udara II H. Sujono dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma dalam penerbangan kearah Timur untuk mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah tempat pembuatan garam, karena belum adanya pangkalan udara yang siap untuk didarati. Setelah lima hari mengadakan perjalanan ,  pada tanggal 25 Mei 1946 keempat pesawat tersebut  kembali ke Maguwo dengan selamat.
Kemudian pada tanggal 10 Juni 1946, pada saat pembukaan Lanud Tjibereum Tasikmalaya diterbangkan 5 pesawat Cureng dari Maguwo dengan crew sebagai berikut :
-       Komodor A. Adisucipto dan Husein Sastranegara
-       Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh dan Tulus Martoatmodjo.
-       Opsir Udara Sujono dan Opsir Muda Udara Kaswan
-       Opsir Udara Wirjosaputro dan Opsir Udara Sunarjo.
-       Opsir Udara Iswahjudi dan Opsir Udara Suhodo.
Tanggal 8 Agustus 1946, sebuah pesawat Cureng diterbangkan dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta ke Pangkalan Udara Bugis Malang.  Adapun misi penerbangan yang dipiloti oleh Tugio adalah mengantarkan AS. Hananjuddin atas panggilan Divisi VIII Malang Imam Supeno.
Pada tanggal 2 September 946 salah satu pesawat Cureng kembali mengalami kecelakaan dan ini adalah kecelakaan kedua pesawat Cureng setelah kejadian pertama pada tanggal 14 Januari 1946.  Pesawat jatuh di Cipatujah (Tasikmalaya) sewaktu pesawat melakukan pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito.   Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi Merdeka.   Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono, pada tanggal 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara.

Tampak gambar samping: Pesawat cureng berperan penting dalam penyebaran pamflet dalam rangka penumpasan pemberontakan PKI Muso
Pada tanggal 29 Juli 1947, digunakan untuk menyerang kedudukan musuh (Belanda) di kota Ambarawa dan Salatiga.  Pesawat Cureng diterbang­kan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutardjo Sigit.   Pesawat Cureng juga digunakan  oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka Penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto.  Pada tahun 1948 saat meletusnya pemberontakan PKI Muso di Madiun pesawat ini digunakan untuk penyebaran pamflet, drooping obat-obatan dan logistik  bagi pasukan ABRI yang berada di daerah terpencil.
Dalam menumpas pemberontakan PKI Muso pada bulan September 1948, pesawat Cureng mendapat tugas menyebarkan pamflet kepada masyarakat agar tidak mengikuti pemberontakan PKI dan mendukung pemerintah untuk membasminya.  Untuk mengabadikan dan mengenang kiprah pesawat cureng ini, pada  tahun 1977 salah satu pesawat ini diabadikan di Museum TNI Satria Mandala.

TNI-AU. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar