Jumat, 07 November 2014

Pemilihan Kepala Badan Intelijen Negara

14151757761033682366
Setelah Presiden Joko Widodo memilih dan menentukan para menteri Kabinet, ada pejabat yang hingga kini belum dipilihnya yaitu Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung), Kepala Badan Intelijen Negara (Ka BIN) serta Kepala Staf Kepresidenan. Yang mulai ramai dibahas media adalah Kepala BIN dan Kajagung. Yang menarik, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam ) Laksamana TNI (Pur) Tedjo Edhi Purdijatno yang mantan Kasal menjelaskan kepada media informasi mengapa presiden belum menetapkan Kepala BIN.

Menurut Tedjo, Jokowi menilai BIN sering memberikan informasi tidak akurat. “Data BIN itu sering meleset. Beliau (Jokowi) sangat berhati-hati soal BIN,” ujar Tedjo di Istana Negara, Selasa, 4 November 2014 (Tempo, 4 November 2014). Sikap tak gegabah ini membuat presiden membutuhkan waktu lebih untuk menunjuk pengganti Marciano Norman sebagai kepala BIN. Presiden ingin calon yang terpilih nanti punya kemampuan menganalisis data secara akurat sehingga data BIN tak berbeda dengan data yang dimiliki intelijen lembaga negara lainnya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Strategis TNI.

Menko Polhukkam menambahkan, "Ke depan (Kepala BIN), harus bisa mengkoordinasikan semua intelijen yang ada di lembaga baik di kementerian, Polri, TNI, Bais, Jaksa‎, untuk diolah datanya sehingga menjadi data A1 (akurat). Presiden tak mau ada lagi informasi yang simpang siur,” katanya. Saat ditanya siapa calonnya, dijelaskan, ""Sjafrie (Mantan Wamenhan) pernah muncul, TB Hasanuddin (purnawirawan TNI) muncul terus tenggelam lagi, Assad Ali (mantan Waka BIN), masih ada tapi terus tenggelam," ujarnya. Nah, pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan saran pemikiran dalam memilih Kepala BIN untuk mendukung suksesnya pemerintahan dibawah kepemimpinan nasional Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla hingga 2019. Saran yang dibuat berdasarkan beberapa informasi dan analisa intelijen yang disusun, bukan berarti penulis lebih ahli, tetapi penulis mencoba memberikan masukan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan pendidikan dan pengalaman bertugas serta menjadi pengamat intelijen. Semoga bermanfaat bagi pimpinan nasional.

Sekilas Tentang Badan Intelijen Negara
Badan Intelijen Negara, disingkat BIN, adalah lembaga pemerintah non kementerian Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang intelijen. Secara resmi Kepala BIN sejak 19 Oktober 2011 dijabat oleh Letjen TNI (Pur) Marciano Norman hingga tanggal 20 Oktober 2014, saat presiden Jokowi dilantik. Susunan organisasi BIN telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2010, menggantikan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005, organisasi dengan visi dan misi BIN di sinkronkan, dimana Kabin yang dibantu Wakabin membawahi tujuh deputi serta beberapa perangkat lainnya.

Visi BIN adalah tersedianya Intelijen secara cepat, tepat dan akurat sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan nasional (Website BIN). Sedangkan misi BIN adalah mengoordinasikan seluruh penyelenggara Intelijen negara di tingkat pusat dan daerah, melaksanakan kegiatan dan/atau ops intel luar negeri, ops intel dalam negeri, operasi kontra intelijen, operasi intelijen ekonomi, operasi intelijen teknologi, melaksanakan kegiatan pengolahan dan produksi Intelijen, pengkajian dan analisis intelijen strategis, menyiapkan dan meningkatkan dukungan administrasi umum dan sumber daya manusia yang kompeten dan profesional, melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan dan/atau operasi intelijen. Indonesia telah menetapkan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara sebagai “payung hukum” bagi Intelijen Negara dalam menjalankan perannya di era demokrasi. Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional. Sedang peran dari Intelijen Negara adalah melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat Ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Badan Intelijen Negara melakukan kegiatan berupa intelijen positif, yang mencakup pengumpulan, pengolahan dan analisis dan penyajian informasi yang digunakan untukmemperkuat sistem peringatan dini dan sistem analisa informasi strategis sebagai antisipasi menghadapi ancaman terhadapkeamanan nasional. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan intelijen agresif yang ditujukan untuk menghadapi unsur-unsur asing yang mengancam keamanan nasional dengan menggunakan metode operasi kontra-intelijen dan atau kontra-spionase untuk mengungkap ancaman tersebut. Di era demokrasi, pengawasan terhadap kinerja intelijen menjadi sangat ketat dan berlapis. Adanya kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa intelijen akan digunakan oleh penguasa telah dieliminir melalui ketentuan perundangan yang berlaku. Selain adanya pengawasan dari struktur birokrasi organisasi, masyarakat juga berhak tahu apa yang dilakukan oleh intelijen negara serta mengawasinya, pengawasan ini secara keseluruhan biasanya difasilitasi oleh kelompok-kelompok civil society seperti LSM dan media massa.

Masalah di dalam UU Intelijen yang dipertanyakan oleh DPR adalah soal penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi secara mendalam. Disepakati bahwa Badan Intelijen Negara tidak diberi wewenang untuk menahan dan menangkap orang yangmerupakan ranah penegakan hukum. Kewenangan itu digantikan dengan kewenangan penggalian informasi, yaitu kegiatan pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyusupan, pemeriksaan aliran dana, atau penyadapan. Selain itu dalam hal penyadapan harus memperhatikan Undang-Undang HAM, Undang-Undang Informatika dan Intelijen dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Telekomunikasi,dan putusan Mahkamah Konstitusi. Penyadapan dilakukan atas perintah Kepala BIN untuk jangka waktu paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Ruang lingkup dan Penyelenggara Intelijen Negara meliputi :
a.       Intelijen dalam negeri dan luar negeri (Badan Intelijen Negara). BIN adalah lembaga sipil non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI (strategis nasional).
b.      Intelijen pertahanan dan/atau militer (Intelijen Tentara Nasional Indonesia). Badan Intelijen Tentara Nasional Indonesia menyediakan intelijen sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan strategi Panglima TNI (strategis, operasional dan taktis).
c.       Intelijen kepolisian (Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia). Badan Intelijen Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Polri (BIK-Polri) bertugas menyediakan intelijen sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan strategi keamanan dan ketertiban masyarakat bagi Kepala Kepolisian RI (strategis, operasional dan taktis.
d.      Intelijen penegakan hukum (Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia). Intelijen Kejaksaan RI bertugas menyediakan intelijen sebagai bahan pertimbangan dan penentuan kebijakan dan strategi bagi Jaksa Agung. Susunan organisasi dan tata kerjanya didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan Kejaksaan Agung RI.
e.       Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.Unsur intelijen lain pada departemen/LPND menyelenggarakan fungsi intelijen dalam rangka mendukung tugas departemen atau lembaga yang bersangkutan. Susunan organisasi dan tata kerjanya didasarkan pada ketentuan perundang-undangan di lingkungannya (Seluruh kegiatan intelijen harus terkendali dan bermuara pada Kepala Badan Intelijen Negara selaku penanggungjawab lembaga.)

Saran Pemikiran
Dalam mengulas tentang siapa yang akan dipilih sebagai Kepala BIN oleh Presiden Jokowi, yang belum juga ditetapkan, penulis mengembalikan kepada ‘pakem’ informasi intelijen, yaitu Siabidibame, dimana bagian terberat dan tersulitnya adalam kata ‘me’ atau mengapa. Ini yang harus dijawab. Sebelum era pemerintahan Presiden Jokowi, para Kepala BIN pada dasarnya dipilih dari mereka yang dekat dengan pimpinan nasional (presiden). Mengapa? Karena BIN merupakansebuah organisasi intelijen yang besar, lengkap, diawaki personil intelijen yang terdidik, secara organisasi sudah mapan. Dengan demikian maka presiden sangat membutuhkan informasi dengan akurasi tinggi tanpa bias dari Kepala BIN. Jelas ada kekhawatiran presiden pada masa lalu terhadap loyalitas intelijen yang tidak sepenuhnya. Suatu hal yang wajar, mengingat nuansa politik sangat kental mengelilingi serta juga berkepentingan dengan BIN.

BIN yang bertugas melakukan operasi intelijen untuk mengumpulkan informasi dan menganalisis menjadi sebuah intelijen jelas mampu membuat sebuah forecast atau ramalan, serta perkiraan intelijen. Entah bagaimana kini muncul penilaian presiden yang menurut Menkopolhukkam mengatakan data BIN sering meleset. Apakah memang demikian? Apa sebenarnya hal terpenting dari seorang Kepala BIN? Pengalaman penulis selama bertugas di bidang intelijen, yang tersulit dalam kehidupan intelijen ini adalah bagaimana memutuskan. Keputusan Kepala BIN sebagai penanggung jawab lembaga intelijen negara sangat penting serta besar artinya bagi kepentingan nasional negara. Kepala BIN menurut UU Intelijen sebagai kordinator, melakukan pengumpulan informasi dari beberapa badan intelijen lainnya untuk disampaikan kepada presiden. Apakah ini yang tidak berjalan?Informasi BIN adalah informasi rahasia, dan hanya diketahui oleh presiden sebagai single client, yang dalam dunia intelijen dikenal sebagai kesetiaan tunggal, karena presiden adalah end user. Terlepas dari adanya penilaian presiden Jokowi terhadap akurasi data BIN, penulis mencoba memberikan saran pemikiran.

Seorang personil intelijen seharusnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan intelijen, bisa di dalam maupun luar negeri. Yang penulis ketahui jenjang pendidikannya adalah pendidikan dasar intelijen, pendidikan fungsi/spesialis (penyelidikan, pengamanan, penggalangan, sandi dan pendidikan matra), pendidikan sarana dari fungsi (misalnya sarana penggalangan seperti anti teror, riot, insurgency, subversi, interogator dan lainnya), pendidikan intelijen strategis. BIN mempunyai sekolah khusus yaitu Sekolah Tinggi Intelijen yang diprakarsai oleh Bapak AM Hendropriyono. Yang paling ideal, setelah seorang personil intelijen lulus dari pendidikan, dia ditugasi dalam jenjang karir di satuan/organisasi intelijen demikian seterusnya. Paling ideal kariernya diarahkan mulai agen lapangan, handler, analis, dan terakhir master spy. Inilah profesionalisme intelijen. Pendidikan personil intelijen serta penugasan menurut penulis adalah hal mutlak yang disebut sebagai rekam jejak. Karena dia pernah merasakan bagaimana melakukan/terlibat dengan sebuah operasi intel klandestin misalnya. Lantas apakah seseorang tidak bisa menduduki jabatan disebuah organisasi intelijen tanpa pendidikan intelijen? Bisa saja, tetapi hasilnya jelas akan tidak maksimal. Intelijen adalah sebuah keahlian yang harus melalui pendidikan dan pengalaman bertugas. Kelemahannya apabila dua hal prinsip diabaikan, maka di pemimpin tidak akan memiliki sense of intelijen. Pengertiannya, si pemimpin tidak mempunyai rasa, instink intelijen dalam melihat dan membaca arah sebuah informasi. Bahaya atau ancaman mematikan dan merusak biasanya didesepsikan oleh lawan, sehingga segala sesuatu oleh orang awam akan terlihat normal. Sedangkan dibelakangnya terdapat sesuatu yang hanya bisa dicium dan dirasakan oleh orang intelijen yang mempunyai rasa (sense). Bagaimana pemimpin bisa dihargai anak buahnya apabila dia tidak faham dengan tehnik dan istilah sederhana misalnya personal meeting, safe house, deception, clandestine? Bagaimana dia akan memutuskan sebuah informasi intelijen apabila tidak faham dengan wawasan intelijen?

Nah, dengan pertimbangan ini, sebaiknya presiden pada awal memilih Kepala BIN, melakukan cek profesionalisme si calon. Bagaimana pandangan si calon terhadap perkembangan situasi terkait sembilan komponen intelijen strategis (komponen Ipoleksosbudhankam, komponen biografi, demografi dan sejarah). Tanpa pernah mengikuti pendidikan intelijen, sebaiknya si calon di drop saja. Disini berarti calon harusnya faham dengan perkembangan dunia internasional, perkembangan regional serta pengaruhnya terhadap situasi nasional. Jadi pada intinya, pilih calon yang pernah mengenyam pendidikan intelijen, pernah bertugas di badan intelijen, jangan hanya sekedar pejabat yang berpangkat tinggi (jenderal) misalnya. Personil intel penting mengikuti pendidikan intelijen, karena saat itu jiwa dan hatinya akan diisi dengan prinsip dasar serta kesetiaan kepada bangsa dan negara.

Kepala BIN harus mumpuni, faham dalam membaca situasi dan kondisi dan mampu memberikan saran kepada presiden tentang suatu persoalan atau masalah. Dia mampu memberikan saran keputusan kepada presiden dari sudut pandang intelijen, yaitu ancaman yang dihadapi. Beratnya penugasan sebagai Kepala BIN sementara dapat dilihat dari beberapa informasi diatas, karena itu sekali lagi si pejabat harus mempunyai “sense.” Dia juga harus mampu menjalin hubungan baik dalam intelijen komuniti, hingga tidak seperti yang diragukan presiden datanya berbeda dengan badan intel lainnya dan menjadi simpang siur. Jangan ujuk-ujuk hanya karena dekat dengan pak presiden dia dipilih. Hal lain yang perlu dinilai adalah soal loyalitas, intelijen prinsipnya harus loyal, seorang intel yang terdidik akan terpateri, dia akan loyal kepada user-nya, selama dia menjadi atasannya. Bukan kesetiaan pribadi, tetapi kesetiaan profesional. Berbicara mengenai calon, seperti yang disebutkan oleh Menko Polhukam, nama-nama yang muncul adalah mantan Wamenhan Letjen (Pur) Syafri Syamsudin, Anggota DPR dari PDIP Mayjen (Pur) TB Hasanuddin, mantan Wakabin Assad Ali. Pernah juga muncul nama mantan Wapangab Jenderal (Pur) Fachrul Razi, mantan Gubernur DKI Letjen (Pur) Setiyoso. Tetapi seperti dikatakan Menko Polhukam, bisa saja mendadak muncul nama lain, tokoh/senior intelijen yang belum disebut media, menurut penulis ada dua tokoh yaitu mantan Kabais TNI Marsdya (Pur) Ian Santoso dan Wakabin Mayjen (Pur) Erfi Triassunu. Mengenai nama-nama tersebut, semuanya terserah kepada presiden yang mempunyai hak prerogatif serta yang akan menjadi user mereka, atau mungkin ada calon lainnya. Mau dipilih yang dikenal dekat, atau yang profesional, terserah presiden. Demikian saran pemikiran old soldier untuk Presiden, semoga bermanfaat.

Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, pengamat intelijen
www.ramalanintelijen.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar