Minggu, 16 November 2014

Dikritik, Seragam Loreng Brimob

Kapolri Jenderal Sutarman
Kepolisian Negara RI menggunakan kembali seragam loreng pelopor untuk Korps Brigade Mobil Polri. Keputusan itu sesuai keputusan Kapolri Nomor Kep/748/IX/2014 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Lapangan Loreng yang dikeluarkan pada 24 September.
Ajang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-69 Brimob, Jumat (14/11/2014), di Depok, Jawa Barat, menjadi peresmian penggunaan kembali seragam loreng itu. Pada perayaan itu, semua polisi dan anggota Brimob menggunakan seragam tersebut.
Loreng pelopor atau loreng ”darah mengering” berwarna dasar hijau dipadu loreng berwarna hitam, putih, dan kuning. Seragam itu pertama kali dipakai Brimob pada 1962 ketika ikut serta dalam Operasi Mandala. Memasuki era reformasi, seragam itu dilarang digunakan seiring kedudukan Polri yang berpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekaligus mengukuhkan Polri sebagai kekuatan sipil yang dipersenjatai.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan, penggunaan baju dinas lapangan bermotif loreng guna mempertahankan nilai-nilai historis perjuangan Brimob. Selain itu, dia menganggap seragam itu efektif dipakai di tempat-tempat tertentu berkadar gangguan keamanan dan ketertiban tinggi, seperti hutan dan pegunungan.
Keputusan itu hasil evaluasi Polri terhadap korban jiwa anggota Brimob dalam upaya memberantas terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, Februari lalu. ”Untuk menghindari korban tambahan dari anggota Brimob, saya memberlakukan kembali penggunaan seragam loreng itu dalam tugas-tugas operasional,” ujar Sutarman seusai menghadiri perayaan HUT Brimob.
Sutarman menyatakan, keputusan penggunaan seragam itu diatur oleh Kepala Korps Brimob Irjen Robby Kaligis. Seragam tersebut akan digunakan dalam upacara dan penugasan khusus. Adapun untuk penugasan di kota, dia mengimbau anggota Brimob tetap berseragam resmi Polri.
Robby mengungkapkan, penggunaan seragam loreng merupakan hal wajar bagi polisi yang melaksanakan operasi khusus. Hal itu juga berlaku di negara lain, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Penggunaan seragam loreng, lanjutnya, merupakan penunjang tugas Brimob. ”Jangan hanya dilihat seragam apa yang kami pakai, tetapi bagaimana dampaknya terhadap keberhasilan tugas kami. (Seragam) Ini hanyalah sarana agar tugas tercapai dan berjalan lebih baik,” kata Robby.
Membingungkan
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti berpendapat, penggunaan seragam loreng akan menyebabkan kebingungan di masyarakat mengenai tugas Brimob dan TNI di lapangan. Kemiripan seragam itu, tambah Ray, akan menyulitkan masyarakat memahami tugas Brimob dalam aspek keamanan dan tugas TNI sebagai penjaga pertahanan.
”Penggunaan seragam loreng itu sebaiknya tidak dilanjutkan. Sebab, apabila Brimob melakukan aksi tercela dalam penugasan, pamor TNI yang langsung tercoreng di masyarakat. Masyarakat sudah mengidentifikasi loreng adalah TNI,” tutur Ray.
Keputusan Kapolri mengeluarkan keputusan tersebut, menurut Ray, keliru. Dia menyayangkan keputusan itu tidak diawali koordinasi dengan TNI yang berwenang dengan simbol terkait seragam loreng. Penggunaan motif loreng pada seragam Brimob harus diwaspadai karena berpotensi mengembalikan Brimob menjadi militeristik.
Kriminolog Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, mengatakan, Brimob bagian dari Polri, institusi sipil. Oleh karena itu, simbol dan tindakannya tidak boleh militeristik. Alasan sejarah penggunaan loreng adalah romantisisme semata yang tak boleh ada di atas fungsi. ”Fungsi dan pendekatan Brimob bersifat yuridis, bukan seperti militer yang kalah-menang,” kata Bambang.
Ia menyayangkan simbol militeristik Brimob karena sudah tak sesuai doktrin Tri Brata. ”Bedanya polisi dengan tentara itu hukum normatif dan perang. Ya, ini jauh berbeda,” ucapnya.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, menilai penggunaan loreng ini ada di wilayah abu-abu. Ia mengatakan, jika dilihat dari satu sisi memang jadi seakan militeristik.
Namun, ia melihat sisi lain, yaitu terkait tugas Brimob. Selain huru-hara dan penjinakan bom, Brimob bertugas melawan teror. Berbeda dengan Densus 88 yang bertugas di kota-kota besar, Brimob juga bertugas di hutan dan desa. ”Loreng perlu untuk kamuflase,” katanya.
Oleh karena itu, Adrianus berpendapat agar penggunaan loreng itu bersifat terbatas, yaitu sesuai kebutuhan kamuflase. ”Kami akan evaluasi penggunaan dan dampaknya seperti apa. Misalnya untuk ke pasar atau operasi SAR, tidak boleh dengan loreng,” ujarnya

Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar