Hadirnya seorang spotter (observer) dalam gelar aksi
penembak runduk (sniper) menjadi elemen yang menentukan. Tanpa spotter,
sniper hanya beraksi sebagai eksekutor rapuh yang sulit mempertahankan
diri saat misinya usai. Memang tak sedikit sniper yang mampu beroperasi
secara mandiri, tapi melihat kompleksitas misi dan sasaran, maka
dukungan spotter dalam konteks saat ini menjadi mutlak.
Meski seorang sniper punya kualifikasi tempur yang serba mumpuni,
tapi toh sebagai manusia biasa, sniper punya banyak keterbatasan. Untuk
mengamati keadaan, mencari sasaran, menghitung jarak, mengoreksi hasil
tembakan, dan melindungi keberadaan sang sniper, itulah semua tugas dari
spotter.
Dalam prakteknya, seorang spotter juga memiliki kualifikasi sebagai
sniper yang sama terlatihnya dengan sang eksekutor, dan dalam operasi
tempur, posisi spotter dan sniper bisa dilakukan saling bergantian
secara fleksibel, tergantung perencanaan dan kesepakatan di awal misi
atau siapa yang punya kesiapan mental dan kondisi fisik yang lebih baik
untuk menarik pelatuk senapan.
Dalam tim sniper standar, yakni dengan senjata kaliber 5,56 mm atau
7,62 mm, satu tim biasanya hanya terdiri dari dua orang, sehingga
spotter biasanya membawa senapan otomatis berkaliber lebih kecil untuk
melindungi penembaknya. Sementara dalam tim sniper kelas berat dengan
senapan anti material (heavy barrel), satu tim biasanya digelar dalam jumlah lebih besar (tiga orang), peran spotter akan diisi oleh penembak runduk kedua.
Saat sniper dan spotter beroperasi bersama, spotter harus menempatkan
dirinya sedemikian rupa sehingga berada di sisi kanan penembak pada
jarak yang berdekatan (dengan asumsi penembak tidak kidal), tujuannya
agar dapat melakukan percakapan dengan suara sepelan mungkin. Selain
bekal senapan otomatis, modal utama seorang spotter adalah teropong
medan. Berikut beberapa aksi sniper dan spotter TNI yang terangkum dalam
beberapa foto.
Bicara tentang teropong medan, ada dua jenis yang biasa digunakan,
yakni teropong observasi menggunakan lensa obyektif tunggal, dan
teropong binokular. Untuk teropong lensa obyektif tunggal biasanya
didirikan di atas tripod dan punya magnifikasi besar. Namun, bila sifat
misi mengharuskan tim bergerak secara dinamis, maka teropong lensa
tunggal ini terasa tidak fleksibel, karena memang butuh waktu untuk
membuka dan menggelar sistem. Kalau urusannya harus serba cepat dan
reaktif, maka jawabannya harus menggunakan teropong binokular.
Di pasaran tersedia puluhan model binokular lapangan yang canggih, dengan fitur-fitur tambahan seperti pengukur jarak (laser rangefinder), pengindara malam (night vision)
dan kompas digital. Untuk binokular militer, fitur yang wajib hadir
adalah retikula mil-scale pada tabung sebelah kiri. Retikula membantu
spotter mengalkulasi jarak antara sasaran dengan keberadaan tim.
Penggunaannya relatif mudah, sama seperti teleskop pada senapan sniper. (Beng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar