Kamis, 22 Januari 2015

Trunojoyo Kini Justru Rawan

badrodin, sutarman dan suhardi alius bertiga

Komjen Badrodin, Jenderal Sutarman dan Komjen Suhardi Alius (foto: tempo.co)

Kemelut masalah penggantian Kapolri dinilai agak mereda setelah pada Jumat (16/1/2015) malam Presiden Jokowi mengumumkan di istana Negara, menunda pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) yang telah disetujui DPR RI dalam rapat paripurna pada hari Kamis (15/1/2015) sebagai calon tunggal Kapolri. Presiden menegaskan pengangkatan BG ditunda tetapi tidak dibatalkan. 
Sebelumnya Presiden Jokowi menyatakan menandatangani dua Keppres (Keputusan Presiden), dan juga mengumumkan memberhentikan dengan hormat Jenderal Pol Sutarman sebagai Kapolri dan mengangkat Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Plt (Pelaksana Tugas) Kapolri. 
Presiden membacakan keputusannya dengan didampingi Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Jenderal Pol Sutarman, dan Wakapolri Komjen POL Badrodin Haiti. Pada kesempatan itu Sutarman menyatakan menyerahkan tongkat komando kepada Badrodin dan menegaskan bahwa sejak itu maka tugas dan tanggung jawab sebagai Kapolri sudah berpindah ketangan Badrodin. 

Kerawanan di Trunojoyo 
Khalayak ramai sangat faham kalau kita menggunakan nama Trunojoyo, yaitu jalan dimana Kantor Mabes Polri terletak, dan bahkan sandi Kapolri dikenal sebagai Trunojoyo-satu
Mengapa penulis menggunakan kata rawan? Dalam terminologi intelijen, kerawanan adalah salah satu fakta yang dicari oleh lawan dalam peperangan. Lawan atau bakal lawan akan mencari selain kerawanan, juga kekuatan, kemampuan dan niat. Kerawanan ini adalah sebuah kelemahan yang apabila mampu diekploitir oleh pihak lawan maka akan menyebabkan timbulnya kelumpuhan, apabila rawannya dalam dan besar, bukan tidak mungkin akan menyebabkan kelumpuhan permanen.
Mengapa penulis menyebutnya rawan? Tadi petang penulis melihat di salah satu stasiun TV, dimana narasumber yang diwawancarai adalah Komjen Polisi (Purn) Oegroseno, Mantan Wakapolri (2 Agustus 2013 - 4 Maret 2014). Oegro yang alumnus Akpol 1978 ini kemudian yang digantikan oleh Badrodin Haiti. Karena itu penulis menyimak apa yang dikatakannya sebagai narsum terpercaya. Oegro relatif belum terlalu lama meninggalkan Trunojoyo, dia adalah wakil dari Sutarman.
Kemelut atau yang disebut juga sebagai kontroversi menyangkut pencalonan BG beberapa waktu lalu membuat getaran yang agak kuat, menyangkut beberapa institusi, diantaranya istana, DPR, Polri, Polhukkam, Kompolnas dan KPK. Kemudian muncul sikap pro dan kontra bermacam-macam pendapat. Semuanya wajar dalam iklim demokrasi yang kita anut, siapa saja boleh bicara.
Nah, presiden mengambil keputusan, memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri, mengangkat Wakapolri sebagai Plt Kapolri, dan menunda pengangkatan dan pelantikan BG sebagai Kapolri. Apakah dengan demikian suasana menjadi dingin? Nampaknya tidak juga. Bermacam diskusi kembali muncul dimana-mana, ini komoditas media yang mengasikkan, walau sementara agak tertutup dengan berita eksekusi mati enam orang yang terlibat kasus narkoba.
Belum lagi sebelumnya terjadi mutasi terhadap Komjen Suhardi Alius, Kabareskrim ke Lemhannas. Media menjadi lebih menyukai berita-berita yang mengejutkan itu. Penulis dalam hal ini tidak akan masuk ke substansi masalah pergantian dan mutasi lebih dalam, untuk menjaga netralitas artikel sebagai blogger senior (usia 67, alumnus Akabri Udara 1970).
Yang menarik, Oegroseno mengingatkan bahwa supaya Badrodin segera membuat pernyataan yang mendinginkan suasana. Yang terpenting dia mengingatkan bahwa Polri adalah sebuah organisasi yang besar, penegak hukum dan bersenjata. Oegroseno menyarankan agar Komjen Budi Gunawan berbesar hati menyampaikan pengunduran diri. Menurutnya siapa yang dijadikan tersangka oleh KPK, umumnya akan ditahan dan diproses ke pengadilan.
Nah, mencermati masalah tersebut, penulis justru menjadi ikut khawatir, karena kini seberapa besar Badrodin sebagai Plt Kapolri berhasil memegang Kodal (Komando dan Pengendalian) ? Oegro yang sangat faham dengan kondisi internal Polri mengkhawatirkan bahwa apabila tidak cepat dilantik Kapolri baru maka Polri akan dipimpin bintang tiga dalam waktu yang tidak jelas. Lantas bagaimana para pejabat teras bintang tiga juga dipimpin bintang tiga. Apakah ada yang dikhawatirkan? Mungkin saja, di Polri (yang masih memakai pangkat bintang), pengaruh, citra dan keseganan selain jabatan juga kepada berapa bintang di pundak seseorang itu.

Polri secara singkat ditetapkan oleh UU dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri, dan dalam UU tentang TNI bertanggung jawab terhadap pertahanan Negara. Pada Tahun 2013, Presiden SBY mengeluarkan Inpres Nomor. 2/2013 tentang peningkatan efektifitas penanganan gangguan Keamanan Dalam Negeri yang Kodalnya berada di tangan Polri. Dalam tertib sipil, penanganan konflik dengan melibatkan aparat TNI, maka komando dan kendali tetap di Polri, (meski ada perbantuan pasukan dari TNI).
Tidak terbayangkan apabila Polri hanya dipimpin oleh Plt dengan bintang tiga, maka dalam melaksanakan kodal (misalnya) sesuai Inpres diatas, apakah semua akan berjalan lancar? Bintang tiga memegang kodal ke satuan yang dipimpin bintang empat. Pengaruh psikologis antar TNI dan Polri saja sulit terbayangkan. Keduanya instansi yang berbeda, Polri bukan militer. Ini efek lain yang sebaiknya diperhatikan pimpinan nasional. Jelas akan ada konsekwensi-konsekwensi yang merugikan di masa mendatang.
Nah, dengan contoh diatas, nampaknya memang Trunojoyo justru kini rawan. Dalam waktu dekat mungkin kepemimpinan di Polri masih kuat, tetapi apabila pelantikan atau penetapan Kapolri pengganti Sutarman tetap tergantung dalam waktu yang cukup lama, dapat diperkirakan akan ada yang menabuh gendang dan Trunojoyo akan diajak menari sesuai irama gendang.
Sebagai penutup, penulis mengingatkan bahwa sebagai penegak hukum, penanggung jawab Kamdagri, beban Polri sungguh berat. Intelijen kini membaca bahwa ancaman terhadap bangsa dan negara semakin luas dan beragam, sulit dapat diprediksikan.
Ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional tidak lagi bersifat tradisional, tetapi lebih banyak diwarnai ancaman nontradisional. Hakekat ancaman telah mengalami pergeseran makna, bukan hanya meliputi ancaman internal dan/atau ancaman dari luar yang simetris (konvensional) melainkan juga asimetris (nonkonvensional) yang bersifat global dan sulit dikenali serta dikategorikan sebagai ancaman dari luar atau dari dalam.
Penulis sejalan dengan Komjen Pur Oegroseno yang menyarankan, agar Komjen Pol Budi Gunawan sebaiknya mengundurkan diri sebagai calon Kapolri dan menghadapi serta menyelesaikan urusannya dengan KPK. Ketua KPK sangat yakin bahwa mereka sudah memiliki dua bukti awal dan bahkan lebih. Apabila pemberkasan sudah lebih dari 50 persen, maka BG akan ditahan. Kita tidak tahu berapa lama proses berjalan, karena kabarnya minggu depan KPK akan memulai memeriksa saksi-saksi.
Kebesaran hati BG paling tidak akan menyelamatkan institusi dimana dia telah dibesarkan, dan yang jauh lebih penting Polri akan kembali tegar dalam menangani ATHG terhadap bangsa dan Negara ini. Mungkin dilain sisi,keputusannya akan meringankan beban serta tekanan psikologis yang dialami presiden yang kini mungkin sedang ewuh pekewuh.
Pengabdian sebagai abdi Negara akan dicatat, bukan hanya dari kedudukan, tetapi kebesaran hati dan apa yang kita perbuat kepada bangsa dan negara, itu intinya. Masyarakat akan jauh lebih menghargai anda dari kebesaran hati, tidak usah khawatir. Salam Pray. 

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net


Tidak ada komentar:

Posting Komentar