Amerika Serikat dikenal punya beberapa pasukan khusus antiteror yang
cukup dikenal dunia. Diantaranya Navy Seals dan Delta Force. Namun
pasukan Kopassus TNI AD tak mau meniru gaya pasukan khusus AS.
Di akhir tahun 70an, pembajakan pesawat dan aksi terorisme marak di
berbagai belahan dunia. TNI merasa perlu ada satuan khusus yang memiliki
kemampuan antiteror dan pembebasan sandera. Satuan yang dipilih adalah
Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha). Alasannya, pasukan baret merah
ini sudah memiliki kemampuan khusus dan kenyang dengan pengalaman
operasi tempur.
Saat itu Letjen Benny Moerdani menjabat Asisten Intelijen Hankam
sekaligus Kepala Pusat Intelijen Strategis. Dia memerintahkan Letkol
Sintong Panjaitan mencari formula paling tepat untuk membangun pasukan
antiteror Indonesia.
Namun Benny berpesan satu hal, jangan berlatih di Amerika Serikat.
Alasannya, AS terlalu mengandalkan kecanggihan alat dan keunggulan
teknologi.
“Hal ini dapat menyebabkan personelnya menjadi manja,” kata Sintong.
Maka Sintong melakukan pengamatan ke sejumlah negara yang sudah
memiliki pasukan antiteror. Dia mengikuti pasukan Special Air Service
(SAS) di Inggris. Pasukan ini memang sudah jadi legenda pasukan elite.
Sintong mempelajari cara-cara penanggulangan pembajakan pesawat udara.
Selain itu dia juga belajar pada Korps Commando Troepen kerajaan Belanda. Lalu pasukan khusus angkatan laut Prancis.
Tak ketinggalan dia juga belajar pada GSG-9 atau Grenzchutzsgruppe 9.
Pasukan antiteror Jerman Barat itu namanya harum berkat keberhasilan
membebaskan sandera di Mogadishu, Somalia.
Sementara di Asia, Sintong memilih pasukan khusus Korea Selatan.
Kelebihannya, pasukan ini selalu melakukan latihan bela diri selama
empat jam setiap hari jika tak sedang melakukan operasi.
Namun Sintong mengaku tak begitu terkesan dengan apa yang ditampilkan
oleh pasukan elite setiap negara. Menurutnya, setiap misi pembebasan
sandera rata-rata berada di tempat yang sudah dikuasai penuh. Misi
berakhir setelah sandera diselamatkan.
Hal ini berbeda dengan latihan Sandi Yudha yang dilakukan Kopasandha.
Pasukan yang kelak bernama Kopassus ini dilatih untuk membebaskan
tawanan di tempat yang dikuasai musuh. Jadi setelah membebaskan tawanan,
mereka juga harus memikirkan bagaimana cara meloloskan diri.
Maka Sintong meramu bagaimana latihan pasukan antiteror yang cocok
untuk Indonesia. Belum rampung segala persiapan, tantangan sudah lebih
dulu datang. 28 Maret 1981 pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia
dibajak dan diterbangkan ke Bandara Don Muang, Bangkok.
Operasi pembebasan sandera digelar tiga hari kemudian. Semua sandera
berhasil diselamatkan hidup-hidup sementara lima pembajak ditembak mati.
Operasi Woyla jadi sorotan dan membuktikan pasukan antiteror Indonesia
yang baru seumur jagung sama hebatnya dengan para senior mereka di
dunia. (Merdeka.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar