Selasa, 23 Juni 2015

Perlunya National Guard Bagi Indonesia

USNG-4
5 Oktober, hari yang diperingati sebagai hari lahirnya tentara kita. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengubah Badan Keamanan Rakyat (BKR) menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Inilah embrio dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kelak kemudian hari. Dulu, sebelum pemisahan Polri dari TNI, tanggal 5 Oktober diperingati sebagai Hari Ulang Tahun ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Namun kini, hanya TNI dengan ketiga matranya –Darat, Laut, dan Udara tanpa Polri lagi- yang merayakannya.
Dalam tulisan kali ini, saya menyoroti perlunya pembentukan satuan semacam National Guard bagi Indonesia. Ini bukanlah ide membentuk “angkatan kelima” semacam “buruh dan tani yang dipersenjatai” seperti halnya dilansir PKI di dekade 1960-an. Melainkan membentuk unsur “tentara cadangan” bagi keperluan non-tempur. Meski terbatas, rujukan saya adalah pada peran National Guard di Amerika Serikat.
Kalau kita cermati, sebenarnya tiap warga negara A.S. pernah menjadi militer, meski hanya sesaat. Ini karena adanya kewajiban bagi mereka untuk masuk menjadi anggota militer bagi pemuda-pemudi berusia 18-22 tahun. Ini disebut wajib militer (wamil). Setelah itu, umumnya mereka kembali berkarir di bidang yang diinginkannya setelah usai menjalani wamil sekitar 1-2 tahun. Bagi yang berminat meneruskan karir di militer tentu dipersilahkan, namun harus menempuh pendidikan militer (dikmil) lanjutan.
Di Indonesia, unsur pertahanan di luar anggota TNI aktif sebenarnya dimungkinkan. Apalagi UUD 1945 pasal 30 menyatakan: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha-usaha pembelaan negara.” Maka, dalam khazanah kita dikenal berbagai kesatuan para-militer seperti Resimen Mahasiswa (Menwa), Pertahanan Sipil (Hansip), Rakyat Terlatih (Ratih), dan Keamanan Rakyat (Kamra). Akan tetapi kebanyakan sudah diminimalisir sifat para-militernya.
Upaya untuk merintis jalan ke arah pembentukan satuan semacam U.S. National Guard bukannya tidak ada. Pemerintah telah berupaya menyusun RUU Komponen Cadangan Nasional yang sebenarnya telah digodok sejak era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Akan tetapi hingga kini belum dimatangkan karena adanya kekuatiran pandangan negatif masyarakat dan dunia internasional. Sebabnya, ada ekses Komponen Cadangan Nasional akan diartikan sebagai upaya memiliterisasi rakyat. Padahal pasca reformasi tuntutan yang mengemuka kepada militer adalah justru “back to barrack” agar menjadi tentara profesional. Dan itu sudah dilakukan antara lain dengan meniadakan konsep “Dwifungsi ABRI” dan secara bertahap menarik representasi militer termasuk polisi di parlemen.
Sebenarnya peran National Guard di Indonesia akan sangat efektif justru di saat berperan dalam tugas non-tempur. Misalnya dalam membantu tugas SAR (Search And Rescue) atau penanggulangan bencana. Peran besar U.S. National Guard dalam tanggap-darurat bencana pasca Badai Katrina 2005 lalu merupakan salah satu misi suksesnya. Di Indonesia, tentu saja dengan banyaknya bencana alam yang terjadi baru-baru ini peranan National Guard akan sangat optimal. Meski di A.S. National Guard juga diturunkan di medan tempur, namun tetap saja perannya adalah sebagai komponen cadangan. U.S. National Guard di masa kini justru banyak memainkan peran non-tempur di masa damai.
National Guard atau Komponen Cadangan Nasional di Indonesia bisa dibentuk terdiri dari unsur-unsur masyarakat yang memiliki minat kepada dunia kemiliteran dan bela negara. Dengan demikian tidak ada unsur paksaan atau kewajiban seperti wamil. Faktor usia sebaiknya tidak perlu jadi pertimbangan, akan tetapi tentu saja faktor kebugaran fisik dan kesehatan mutlak diperlukan. Ketrampilan warga negara yang berminat menjadi National Guard tentu harus pula dihargai. Misalnya ia seorang dokter, tentu saja harus diberi kepangkatan dan struktur jabatan yang sesuai. Meski hak-hak anggota National Guard tidak sebesar tentara regular, namun dalam masa jabatannya ia memiliki hak, kewajiban, dan kehormatan yang sama. Misalnya saja ia berhak mengoperasikan alutsista serta mengenakan seragam yang sama, namun ia tidak bisa naik pangkat dan meniti karir militer hingga menjadi Panglima TNI misalnya.
Panglima atau Komandan National Guard tertinggi pun harus dari unsur tentara reguler, sehingga terjamin kesinambungan pelatihan dan koordinasi jajarannya. Satu hal yang jelas, ada rentang waktu yang dibatasi bila seseorang menjadi National Guard. Bila bagi anggota TNI reguler masa Ikatan Dinas Pendek (IDP) adalah 10 tahun, maka bagi anggota National Guard bisa saja dibuat Ikatan Dinas Sangat Pendek (IDSP) hanya 2-3 tahun saja. Gaji anggota National Guard juga tidak besar karena ia tidak harus masuk kerja tiap hari, melainkan bergilir piket. Sehingga di hari-hari lain ia bisa tetap bekerja seperti biasa dalam bidang profesi lainnya. Ini benar-benar murni pengabdian kepada negara. Dengan demikian, TNI akan mendapatkan bantuan tambahan personel terlatih dalam jumlah memadai tanpa mengeluarkan biaya besar. Bila saja lobby kita kepada dunia internasional berjalan baik, saya pikir akan sangat logis dan tidak ada kecurigaan berlebihan apabila Indonesia membentuk National Guard atau Komponen Cadangan Nasional. Karena dalam tugasnya ia tidak digunakan untuk memerangi rakyat sendiri atau memiliterasi rakyat sipil, melainkan justru lebih banyak untuk tugas-tugas kemanusiaan.

Keterangan Foto: Anggota US National Guard bahu-membahu menyalurkan bantuan untuk korban  Badai Katrina, 3 September 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar