Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu saat masih aktif (Sumber foto : pemilihan.info)
Hari Minggu (26/10/2014) sore rakyat
Indonesia menyimak pengumuman Presiden Jokowi yang menyampaikan
siapa-siapa menteri yang akan bekerja bersama dalam mengelola negara
dalam lima tahun mendatang. Salah satu menteri yang dipilihnya adalah
Jenderal (Pur) Ryamizard Ryacudu yang dipercaya sebagai Menteri
Pertahanan.
Penunjukan Ryamizard sebagai Menhan
merupakan sebuah langkah baru keluar dari kebiasaaan sejak reformasi
dimana Menhan dijabat oleh sipil. Setelah reformasi, sejak 26 Oktober
1999, jabatan Menhan dipegang oleh Profesor Juwono Sudarsono, kemudian
dilanjutkan oleh Mahfud MD, Matori Abdul Djalil, kembali Juwono
Sudarsono dan sebelum digantikan oleh Ryamizard dijabat oleh Purnomo
Yusgiantoro. Penulis pernah bertugas sebagai penasihat Menhan RI di era
Bapak Matori Abdul Djalil (alm).
Bisa difahami, sejak reformasi adanya
keinginan yang besar dan tekanan politis dari tokoh-tokoh LSM yang
menginginkan Menhan dijabat oleh sipil, karena mengkhawatirkan munculnya
kembali militeristik seperti masa lalu. Lantas, mengapa kini justru
dengan Presiden yang dikenal kerakyatan, jujur, demokratis justru
dipilih kembali Menhan yang purnawirawan militer? Penulis mencoba
mengulasnya dengan pendekatan intelijen.
Pada saat saat mengumumkan nama
menterinya di halaman belakang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu
(26/10/2014), Presiden Jokowi mengatakan, “Ryamyzard Ryacudu adalah
militer pemikir, demokratis dan loyal ke NKRI. Pernah jadi KSAD, dan
saya minta jaga kebijakan pertahanan kita," katanya. Komentar awal
presiden merupakan dasar kepercayaannya kepada sosok alumnus Akabri
Darat tahun 1974 itu. Penulis pernah menyampaikan sebuah artikel, dan
bahkan menyarankan Ryamizard dipilih oleh Jokowi sebagai salah satu
cawapresnya. Penulis mengenal Jenderal yang "mukanya serem", kaku tetapi
dikenal mampu menjaga pertemanan dengan baik.
Mengenal Ryamizard
Pada awal penulis mengenal Ryamizard
terjadi sekitar awal Tahun 1991, saat penulis bertugas di Lanud Halim
Perdanakusuma sebagai Kepala Seksi Intelijen Udara. dengan pangkat
Letkol. Pada pagi hari sekitar jam 02.00 WIB, penulis melakukan patroli
memeriksa Ring-1 Pangkalan dimana diparkir beberapa pesawat C-130
Hercules yang akan menerjunkan penyegaran Batalyon Linud 305/Tengkorak
Hitam. Saat itu dilaporkan oleh petugas pengamanan pangkalan Halimbahwa
Danyon 305 (Letkol Inf Ryamizard Ryacudu) sudah memasuki Ring-1.
Penulis langsung mendatangi dan bertemu dengannya.
Begitu bertemu, yang pertama dia
tanyakan, "Bang, dimana saya bisa menumpang sholat?." Penulis terkejut
dan menunjukkan tempatnya di skadron 31. Kemudian ia melaksanakan sholat
tahajud. Penulis menanyakan rajin sekali, datang lebih awal dan
langsung sholat, dijawabnya, sebagai komandan, salah satu tugas saya
selain memimpin adalah juga mendoakan seluruh anggota pasukan, agar
selamat pada acara penerjunan, mereka itu anak-anak saya yang juga harus
saya lindungi. Disitulah penulis mengamati ini perwira selain perwira
tempur juga agamanya kuat, perhatian dan mencintai anak buahnya.
Ryamizard lahir di Palembang, Sumatera
Selatan, pada 21 April 1950, dan dibesarkan dalam keluarga militer.
Ayahnya yang bernama Musanif Ryacudu (almarhum) pangkat terakhirnya
Brigadir Jenderal TNI, dan dikenal dekat dengan Presiden RI 1945-1966
Soekarno.
Dalam perjalanan karirnya, Ryamizard
yang lulus dari Akabri 1974, empat tahun dibawah penulis terus
berjalan dengan pesat. Karirnya yang menonjol adalah sebagai Panglima
Divif 2/Kostrad (15 Maret 1998), Kepala Staf Kostrad (15 Juni 1998),
Pangdam V/Brawijaya (14 Januari 1999–4 November 1999), Pangdam
Jaya/Jayakarta (4 November 1999–1 Agustus 2000), Pangkostrad (1 Agustus
2000–4 Juni 2002) dan Kepala Staf Angkatan Darat (4 Juni 2002–5 Februari
2005). Setelah itu Ryamizard pensiun dan aktif sebagai salah satu
sesepuh di PPAD.
Perwira yang berpenampilan dan selalu
bersikap tentara ini pernah bertugas juga sebagai Komandan Kontingen
Garuda XII-B ke Kamboja (1992). Saat di Kamboja itu, ada kejadian yang
mengejutkan, ada tembakan mortir yang pelurunya jatuh di dalam tendanya,
tetapi Alhamdulillah tidak meledak katanya, entah apa yang terjadi
kalau peluru mortir itu meledak. Ia menjadi semakin tekun beribadah
dengan terjadinya peristiwa tersebut.
Ryamizard terus menarik perhatian
penulis, karena sikapnya, kesetiaan, tidak goyah dengan buaian. Yang
menonjol, dia adalah perwira yang memegang prinsip, jujur, setia hormat
kepada atasan. Tidak pernah macam-macam, berbicara apa adanya dan selalu
memegang prinsip NKRI adalah harga mati.
Analisis
Di dalam penunjukan Menteri yang akan
membantunya dalam mengelola negara dalam lima tahun kedepan hingga 2019,
Kementerian Pertahanan sesuai dengan ketentuan UU merupakan "back bone"
di Indonesia. Menteri Pertahanan secara bersama-sama dengan Menteri
Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri bertindak sebagai pelaksana tugas
kepresidenan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan.
Nah, Presiden Jokowi jelas juga
memperhitungkan ketiga tokoh yang menduduki jabatan tersebut, dipilihnya
yang senior, berpengalaman dan akan mampu sementara mengelola negara
apabila terjadi kondisi emergency.
Khusus tentang posisi Menteri
Pertahanan, setelah 15 tahun pejabatnya dari kalangan sipil, kini Jokowi
berani menentang arus dengan mengangkat Ryamizard yang purnawirawan TNI
sebagai Menhan. Apa sebenarnya pertimbangannya?
Seperti yang disampaikan pada awal,
Presiden Jokowi memilihnya karena atas dasar Ryamizard sebagai militer
pemikir, demokratis, loyal ke NKRI dan dipercaya mampu menjaga kebijakan
pertahanan negara. Lantas, apakah ada hal-hal lain yang menjadi
pertimbangan presiden?
Penulis melihat dari dua sisi, pertama,
Ryamizard dikenal sebagaI sosok yang lurus-lurus, tidak akan berkompromi
apabila menyangkut dengan NKRI. Oleh karena itu salah satu titik berat
pertahanan Indonesia adalah bagaimana kemampuan olah pikir dan
pengambilan keputusan pemimpin di bidang pertahanan dalam menjaga
kedaulatan bangsa.
Dari kondisi geostrategi dan geopolitik
lingkungan strategic, nampak atau terindikasikan adanya sebuah
pergeseran wilayah konflik masa depan antara kelompok negara-negara
Barat dibawah pimpinan Amerika melawan China (Tiongkok) beserta
sekutunya.
Presiden Obama sejak awal ingin
mengalihkan perhatian dan sumber daya nasionalnya untuk wilayah Pasifik,
yang disebutnya “poros.” Dia melihat kesempatan terbesarnya, yaitu
pertumbuhan ekonomi , inovasi , potensi investasi lintas batas dan
perdagangan. Dipercayainya bahwa abad 21 akan menjadi abad Pasifik.
Dalam perjalanan kepemimpinannya, seperti yang digambarkan oleh sumber
intelijennya, tiba-tiba , wilayah keajaiban ekonomi telah terbukti
menjadi zona konfrontasi yang cukup mengkhawatirkan.
Kawasan Pasifik menjadi wilayah sengketa
antara China dengan sekutu AS. Konflik yang meningkat antara China dan
Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan , China dan Filipina , India.
Disamping konflik China dan Taiwan yang potensial menjadi titik bakar
kawasan, akan bisa menyeret Amerika Serikat masuk dan terlibat langsung
ke dalamnya. Kini China terlihat menunjukkan ambisinya yang akan
menguasai kawasan Laut China Selatan, kepulauan Spratley dan Paracel
merupakan prioritas incarannya. Difahami bahwa wilayah LCS masih
menyimpan cadangan energi yang cukup besar.
Nah perebutan wilayah berupa ruang hidup
itu akan menjadi pertaruhan mati hidup antara AS dengan China. Sebuah
kecelakaan persenjataan modern akan menjadikan LCS menjadi wilayah
konflik bersenjata yang menakutkan. Dalam konteks ini jelas Presiden
Jokowi menilai bahwa konflik di LCS akan bisa mengimbas Indonesia
sebagai negara yang bersinggungan garis batasnya. Konflik bisa saja
terjadi dalam satu-dua tahun mendatang. Terlihat, AS mulai menempatkan
pasukan Marinir di Australia, memperkuat Jepang dan Australia dengan
pesawat tempur F-35.
Oleh karena itu Presiden Jokowi
memosisikan Ryamizard sebagai Jenderal pemikir dalam mengantisipasi
kemungkinan terburuk berupa imbas yang akan muncul. Sebagai contoh,
konflik yang terjadi di Irak dan Suriah, kini mengimbas tidak hanya
negara-negara di Timur Tengah, seperti Turki, Iran, Arab Saudi, Lebanon,
tetapi juga akan mengimbas jauh hingga kegaris belakang negara-negara
Barat seperti AS, Inggris, Canada, Australia. Oleh karena itu Menhan di
era Jokowi haruslah seorang tokoh dengan latar belakang pengetahuan
militer strategis, memahami intelijen strategis agar mampu mengarahkan
kapal besar Republik Indonesia tidak menjadi sasaran tembak, rusak atau
ditenggelamkan mereka yang berkonflik. Disinilah Ryamizard akan berperan
banyak.
Bagaimana kaitan Ryamizard dengan
politik? Sebagaimana kita tahu bahwa sejak awal pemilu di Indonesia
terdapat dua kubu, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi
Merah Putih (KMP). Presiden Jokowi berada pada kubu KIH, dimana KMP
dibawah pimpinan Prabowo. Dari komposisi jumlah kursi, kini KMP
menguasai DPR dan juga MPR. Dalam DPR nampak dominasi KMP dengan
kekuatan kursi, pimpinan DPR yang berasal dari KMP. Banyak yang
memperkirakan bahwa eksekutif akan banyak mengalami hambatan dalam
mengelola roda pemerintahan.
Upaya isap pipa perdamaian telah
dilakukan antara Jokowi dengan Prabowo, dan Prabowo juga ikut hadir
dalam pelantikan presiden. Apakah dengan demikian semuanya selesai?
Nampaknya tidak juga. Dalam politik tidak ada sesuatu yang pasti, harus
diwaspadai pergeserannya dengan akutar. Dalam pemilihan ketua-ketua
komisi di DPR misalnya, KMP tetap merajai dan nampaknya kubu KIH berada
dalam bayang-bayang ditekan.
Nah, disinilah Ryamizard dengan posisi
kuatnya akan mendapat bagian kueh kerja, melakukan pembicaraan dan
komunikasi dengan Prabowo yang Letnan Jenderal Purnawirawan. Dikalangan
militer banyak yang tahu bahwa Mizar (Ryamizar) adalah seorang tokoh
perwira tinggi yang disegani oleh Bowo (Prabowo). Karena itu komunikasi
efektif (politik) akan mudah terjadi antara Mizar dengan Bowo.
Jadi dengan demikian dengan mengambil
resiko ditentang oleh LSM-LSM, Presiden Jokowi dengan tenang mempercayai
Ryamizard sebagai Menhan. Kalau terus ditentang, ya LSM harus siap-siap
berhadapan dengan rakyat yang demikian militan mendukung Jokowi.
Nah, itulah menurut pengamatan penulis
dari sisi intelijen strategis, mengapa Ryamizard menjadi Menhan.
Tantangan dan ancaman dimasa depan akan semakin berbahaya dan besar,
terlebih kini kelompok militan Islamic State sudah mampu mengabungkan
antara tindakan terorisme dengan Perang Gerilya serta Perang
Konvensional yang membuat negara-negara teluk serta Barat menjadi pusing
sakit kepala. Tidak mudah memahami perkembangan bidang pertahanan,
belum lagi apabila dikaitkan dengan persoalan lainnya seperti perebutan
ruang hidup. Ini hanya difahami oleh mereka-mereka yang memang cukup
lama bergelut dan terdidik di bidang pertahanan. Semoga bermanfaat.