Jumat, 13 Februari 2015

Panglima TNI Bicara Soal Cabai Sampai Petani Ibarat Museum

Panglima TNI Moeldoko. (ist)
Diskusi ketahanan pangan dalam acara Jakarta Food Security Summit (JFCC) ke-3 mengangkat pembahasan berbagai persoalan seperti pengadaan lahan bagi produktivitas pertanian di Indonesia.
Panglima TNI Moeldoko tak ingin melewatkan kesempatan untuk berbagi cerita dihadapan para pengusaha mulai dari harga pangan hingga nasib petani di Tanah Air.
Kisah pertama, dipaparkan Moeldoko mengenai harga komoditas cabai yang sempat melonjak beberapa bulan lalu sampai Rp 125 ribu per kilogram (kg). Padahal, negara ini mampu memproduksi cabai berkualitas karena didukung lahan yang subur.
“Orang-orang di sini kesulitan beli lombok atau cabai yang harganya mencapai Rp 125 ribu per kg, tapi di daerah perbatasan warga setempat bisa menanam cabai berukuran besar. Itu artinya lahan kita subur sekali, tapi masalahnya mau dibawa kemana setelah ditanam,” paparnya di JFSS ke-3 JCC, Jumat (13/2/2015).
Lebih jauh  kata dia, seluruh orang teriak swasembada pangan seperti gula, beras, jagung, kedelai, daging dan lainnya. Sayangnya, target ini kurang mendapat dukungan bagi para petani, diantaranya ketersediaan lahan, pupuk dan air. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka pemerintah sulit mencapai swasembada dan hanya bertumpu pada impor pangan.
Dari sisi ketersediaan lahan, Moeldoko berkisah, betapa luasnya area lahan di Indonesia yang dapat diamati dari udara. Sebagai contoh di Sumatera, Kalimantan dan Papua.
“Tapi begitu sampai di darat, mau cari lahan 100 hektare saja susahnya minta ampun. Karena lahan-lahan itu sudah ada pemiliknya, ini lahan orang Depok, orang Jakarta, sampai nggak ada yang kosong,” tutur dia.
Moeldoko menyebut, petani bak museum karena kekurangan fasilitas yang memadai. “Petani sekarang seperti musem, cangkulnya sudah tua dan yang bekerja sudah tua. Kalau begini, masih adakah anak muda mau jadi petani?,” katanya.
Tak ingin regenerasi petani mati suri, dia mengaku, telah melakukan upaya semacam diskusi antara mahasiswa dengan praktisi yang berhasil meningkatkan produktivitas pertanian.
“Jadi ini semacam jembatan antara para petani dengan mahasiswa yang punya idealisme. Sehingga terjadi interaksi dan pemahaman sama mengenai pertanian, pangan dan swasembada,” pungkas Moeldoko. (Liputan6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar