Dari beberapa pemberitaan disebut-sebut TNI AU dan Kementerian
Pertahanan (Kemenhan) RI telah memilih Sukhoi Su-35 Super Flanker
sebagai penempur pengganti jet F-5 E/F Tiger II Skadron
Udara 14. Namun, setelah kabar itu muncul bukan berarti peluang bagi
Eurofighter Typhoon dan JAS 39 Gripen lantas kandas. Sebelum
penandatanganan kontrak pembelian terjadi, masih ada peluang bagi
kompetitor Su-35 untuk memenangkan persaingan.
Jika dibandingkan dengan upaya promosi Eurofighter Typhoon dan Gripen, jet tempur lainnya terasa adem ayem saja dalam melakukan promo, dan tidak berupaya menciptakan product awareness
ke publik di Tanah Air. Namun justru ada yang mengejutkan pada hari
Senin, 23 Maret lalu. Sepasang jet tempur Dassault Aviation Rafale
mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma sekitar pukul 11.00 WIB. Seperti
dikutip dari Angkasa.co.id ( 23/3), kedua Rafale datang untuk
melaksanakan misi promosi. Komandan Lanud Halim Perdanakusuma Marsma TNI
Sri Pulung Dwatmatsu mengakatakan, Rafale akan melaksanakan pertunjukan
statik maupun dinamik di Halim mulai tanggal 24 Maret hingga tanggal 27
Maret.
Meluncurnya dua Rafale ke Indonesia terkait dengan rampungnya pameran
dirgantara LIMA (Langkawi International Maritime & Aerospace) 2015
Exhibition di Malaysia 17-21 Maret lalu. Menyertai kedatangan dua
Rafale, AU Perancis juga menghadirkan pesawat angkut berat Airbus A-400
yang membawa logistik dan kru teknisi. Karena punya kemampuan isi bahan bakar di udara (air refuelling),
rombongan kedatangan Rafale juga menyertakan satu unit pesawat tanker.
Metode isi bahan bakar di udara menganut probe dengan drogue, serupa
dengan modus yang digunakan pada Sukhoi Su-30 dan Hawk 209 TNI AU.
Kedua Rafale yang unjuk gigi di Lanud Halim terdiri dari varian B
(kursi ganda) dan C (kursi tunggal). Rafale, yang dalam bahasa Perancis
berarti tiupan angin badai, adalah wujud ambisi Perancis menunjukkan
kemandirian militer mereka. Saat negara-negara Eropa lain bergabung
untuk mengembangkan bersama pesawat Eurofighter Typhoon pada pertengahan
1980-an, Perancis memilih mundur. Mereka mengembangkan sendiri proyek
pesawat ACX, yang kemudian menghasilkan Rafale.
Rafale dibuat memenuhi tuntutan AU dan AL Perancis, yang menginginkan
sebuah pesawat yang bisa menjalankan fungsi tujuh pesawat berbeda.
Pesawat itu dituntut harus bisa menjalankan berbagai misi, mulai dari
keunggulan udara, pengintaian, dukungan udara bagi serangan darat,
serangan presisi udara ke permukaan (sasaran di tanah maupun di laut),
hingga mampu menjalankan serangan nuklir.
Dari segi generasi, Rafale merupakan pesawat tempur generasi 4,5.
Debut Raffale dimulai pada 4 juli 1986 dan mulai terdengar keampuhan
teknologinya baru-baru ini saat perang antara tentara koalisi dengan
Rezim Khadafi. Rafale disinyalir telah melumpuhkan beberapa obyek
pertahanan udara vital dan pesawat tempur. Namun sebuah pertanyaan
muncul apakah kesaktian Rafale yang disebut oleh produsen Dassault
Aviation sebagai Omnirole (Maha bisa) bukan Multirole seperti yang
banyak disebut. Ditilik dari momen keterlibatannya dalam pertempuran,
baik Rafale dan Eurofigter Typhoon sama-sama menggunakan medan perang di
Libya sebagai ajang ‘promo’ untuk mendapat gelar battle proven.
Dengan kemampuan Rafale yang half stealth dan bekal radar
AESA yaitu Radar Susunan Terpindai Elektronis Aktif yang dapat mengenali
dan menembak musuh lebih dari satu target, membuat Rafale pantas
menyandang sebutan Omnirole, namun perlu dilihat pula bahwa harga 1 unit
Rafale masih sangat mahal bagi negara dengan budget militer pas-pasan,
per unitnya untuk varian C dibanderol US$94 juta, sedangkan varian B
lebih mahal lagi, yakni US$101 juta, itu semua belum termasuk
persenjataan dan maintenance. Hingga kini, di luar Perancis, baru AU
Mesir yang menggunakan Rafale.
Meski berpeluang tipis masuk ke jajaran arsenal tempur TNI AU,
hadirnya Rafale harus dihargai sebagai laga persahabatan antara
Indonesia – Perancis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar