Ibarat pepatah, “Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak,”
pada Minggu, 15 Maret 2015, untuk kesekian kali, TNI AU mengalami total
lost pada dua unit pesawat latih. Musibah ini terjadi saat latihan
akrobat tim aerobatik Jupiter dalam rangka persiapan acara LIMA
(Langkawi International Maritime & Aerospace) Exhibition. Kedua
pesawat kehilangan kendali setelah saling menyerempet saat latihan pada
pukul 14.00 waktu setempat.
Meski TNI AU mengalami kerugian material, tapi harus disyukuri
insiden maut tersebut tidak merenggut nyawa pilot di kedua pesawat. Dari
pantauan di beberapa media, empat pilot dari kedua pesawat dikatakan
hanya luka ringan, dan berhasil mendarat dengan parasut sebelum pesawat
menghujam ke Bumi. Pasca pilot kehilangan kendali atas pesawat, memang
hanya tersedia waktu hitungan detik untuk membuat keputusan penting,
mendaratkan pesawat secara darurat, atau keluar dengan kursi lontar (ejection seat). Salah perhitungan, maka nyawa bisa melayang.
Terkait keberadaan kursi lontar, tak serta merta menjawab persoalan
saat pesawat hilang kendali. Semisal pesawat tak tekendali hingga
berpilin di ketinggian rendah, bisa jadi kursi memang terlontar, tapi
posisi luncurnya tidak pas. Ini pernah terjadi pada kecelakaan yang
menimpa pesawat anti gerilya OV-10F Bronco TNI AU Skadron 21 Lanud
Abdulrachman Saleh, Malang – Jawa Timur. OV-10F Bronco
TT-1014 yang diawaki Mayor Pnb. Danang Setyabudi dan Letda Pnb. Eliseus
Quintarumiarsa, mengalami gagal take off, sebelum jatuh pesawat sempat
berputar dan berpilih, lalu menghujam ke area perkebunan tebu di ujung
landasan. Mayor Pnb. Danang Setyabudi selamat dalam kecelakaan tesebut,
namun Letda Pnb. Eliseus tidak tertolong, kursi yang diduduki Eliseus
rupanya tercabut saat pesawat berpilin dengan kokpit menghadap ke Bumi.
Begitu pun, dengan beberapa musibah yang menimpa penerbang latih dan
tempur TNI AU, ada saat dimana momen aksi kursi lontar sudah tepat
digunakan, tapi ada juga peristiwa pilot sudah kehilangan kesadaran
akibat spin di udara. Nah, kembali ke tema kursi lontar, nama besar
Martin Baker tak bisa dilepaskan di pasar ejection seat, terutama bagi
pesawat-pesawat latih/tempur yang berafiliasi ke standar NATO. Dalam
insiden di Langkawi, pesawat yang digunakan adalah KT-1B Wong Bee buatan
Korea Aerospace Industries (KAI). Pesawat ini masuk segmen Latih Dasar
yang dipersiapkan bagi pilot untuk terampil menerbangkan jet tempur
supersonik.
KT-1B Wong Bee yang dapat dilengkapi senjata ringan ini nyatanya
terkait dengan produk keluaran Martin Baker. Setelah ditelusuri, Wong
Bee mengadopsi kursi lontar Martin Baker MK.16. Kursi lontar ini dapat
melemparkan kursi pilot hingga ketinggian 70 meter. Di generasi kursi
lontar ini mengandalkan microprocessor controlled dengan tenaga
dari baterai thermal. Sebagai perbandingan, OV-10F Bronco yang
berteknologi tahun 70-an, untuk kursi lontarnya mengalkan tenaga roket
yang dikemas dalam cartridge pelontar.
Seperti halnya pesawat, penggunaan kursi lontar pun ada beberapa
syarat yang wajib diperhatikan, ambil contoh di jet Hawk 100/200 TNI AU
yang menggunakan Martin Baker MK.10. Batas tertinggi saat kursi lontar
digunakan adalah 15.200 meter, karena pilot juga dilengkapi oksigen
cadangan. Bobot pilot pun harus terpantau, Martin Baker MK.10
mensyaratkan bobot penerbang antara 70 kg sampai 112,2 kg. Untuk
mekanisme lontaran menggunakan ejection gun and multi-tube rocket pack.
Kehandalan Martin Baker MK.10 jelas sudah banyak teruji, pada 16 Oktober
2012, Hawk 200
TNI jatuh di Pekanbaru, sebagai pilot pesawat adalah Letda Reza Yori
Prasetyo yang berhasil menyelamatkan diri dengan menggunakan kursi
lontar.
Di lingkup TNI AU, ternyata tak hanya KT-1B Wong Bee dan Hawk 100/200
yang mengadopsi produk Martin Baker. Dari pantaua di situs
martin-baker.com, pesawat tempur F-5 E/F Tiger II dan Embraer EMB-314 Super Tucano juga menggunakan Martin Baker MK.10.
Dirunut dari sejarahnya, Kursi lontar pertama diterapkan pada pesawat
Heinkel He-119. Kursi lontar ini ditekan oleh udara. Pesawat ini memang
populer pada penerbangan uji coba, namun karena jumlahnya sedikit,
prestasi kursi lontarnya tidak diketahui. James Martin dari Inggris
merancang sistem pengaman yang lain. Dalam konsepnya, pilot dilontarkan
keluar kokpit oleh lengan panjang yang digerakkan oleh pegas yang
dipasangkan pada harnas parasutnya.
Peluncuran kursi lontar pertama, tercatat pada tanggal 24 Juli 1946,
oleh Bernard Linch, salah seorang karyawan Martin-Baker. Linch
dilontarkan secara sukarela dengan kursi lontarnya pada ketinggian 2600
meter dengan kecepatan 253 km/jam dari pesawat tempur Gloster Meteor.
Sejak itu, kursi lontar Martin-Baker menjadi populer di seluruh dunia.
Kursi lontar didesain untuk bisa digunakan melontarkan pilot pada
ketinggian dan kecepatan nol, artinya kursi lontar bisa diaktifkan saat
pesawat dalam keadaan diam di darat sampai kecepatan 600 knot dengan
ketinggian sampai 50.000 kaki. Kursi lontar pesawat tempur ini bisa di
operasikan dengan tiga tipe kecepatan dan ketinggian saat pesawat
mengudara.
Metode pertama untuk kecepatan dan ketinggian rendah. Pada metode ini
kursi lontar bisa melontarkan pilot pada kecepatan pesawat kurang dari
250 knot dan ketinggian kurang 15.000 kaki. Metode kedua untuk kecepatan
dan ketinggian sedang. Pada metode ini kecepatan pesawat lebih 250 knot
dan ketinggian kurang 15.000 kaki. Sedangkan metode ketiga untuk
kecepatan pesawat lebih 250 knot dan ketinggian lebih dari 15.000 kaki. (diolah dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar