TNI AU berencana membeli
pesawat pemburu untuk mengganti F-5 Tiger yang sudah dipensiunkan.
Sejumlah pabrikan dunia sudah gencar melobi Indonesia untuk memilih
pesawat mereka. Beberapa yang menawarkan pesawat tempur adalah Rusia
dengan Sukhoi SU-35.
Kemarin giliran Dasault Rafale, jet tempur asal Prancis yang sengaja
pamer kehebatan di depan para petinggi TNI AU. Pesawat bersayap delta
itu bahkan mengizinkan para pilot TNI AU untuk menjajal langsung
kehebatan pesawat mereka di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu
(26/3).
Menjatuhkan pilihan untuk membeli Alutsista secanggih pesawat tempur
bukan perkara mudah. Harus juga ditimbang aspek politisnya. Jangan
sampai nanti tiba-tiba negara penjual memutuskan hubungan atau
menjatuhkan embargo.
Jika sudah seperti itu tentu Indonesia sendiri yang rugi. TNI AU
pernah merasakan bagaimana kekuatan jet tempur mereka sangat terganggu
karena embargo. Bahkan ada pesawat yang sudah dibeli tapi ditahan oleh
Amerika Serikat.
Saat itu Indonesia baru saja membeli 32 unit pesawat tempur Hawk
109/209 dari British Aerospace. Pesawat itu secara bertahap diterbangkan
dari London ke Indonesia.
Pada periode 1990an, Indonesia masih diembargo oleh Amerika Serikat
terkait kasus di Timor Timur. Nah, sebagian komponen pesawat Hawk ini
masih dipasok oleh perusahaan AS. Sesuai aturan di Amerika, sekecil apa
pun komponen alutsista buatan AS harus sepengetahuan Pentagon jika
berpindah tangan. Maka walau pesawat Hawk diproduksi Inggris, AS merasa
masih punya hak untuk ikut mengembargo.
AS pun menggunakan pengaruhnya untuk menekan Inggris. Tiga pesawat
Hawk dari London yang terbang menuju Indonesia harus berbalik arah
menuju Bangkok, Thailand. Sebenarnya pesawat itu sudah mencapai
Singapura dan sebentar lagi masuk wilayah udara Indonesia.
Hal ini dikisahkan dalam buku Mengawali Integrasi Mengusung
Reformasi, Pengabdian Alumni Akabri Pertama 1970 yang diterbitkan Kata
Hasta Pustaka tahun 2012.
Di Bangkok, tiga pesawat ini ditahan dan tidak boleh dikirimkan ke
Indonesia. Situasi ini sangat buruk untuk Indonesia. Sudah beli
mahal-mahal, malah kena embargo dan ditahan.
Maka pendekatan diplomasi dan intelijen dilakukan untuk melobi
pejabat Thailand. Dua perwira tinggi TNI dikirim untuk membebaskan tiga
pesawat tempur itu. Dir B Bais ABRI Brigjen Harianto Imam Santosa dan
Aspam Kasau Marsda Tjutju Djuanda dikirim ke negeri Gajah Putih
tersebut.
Pihak Thailand tak mudah melepaskan tiga pesawat itu karena ditekan
Amerika Serikat. Apalagi pemerintah AS sudah mengirim permintaan resmi
melalui nota diplomatik. Thailand adalah sekutu AS di Asia Tenggara
selain Filipina.
Namun di sisi lain, pejabat militer Thailand juga punya hubungan
pribadi yang sangat baik dengan para petinggi TNI. Akhirnya terciptalah
kesepakatan unik yang cerdik yang menguntungkan Indonesia dan Thailand.
Suatu hari, ketiga pesawat jet tempur tersebut diberi ‘izin khusus’
untuk pemanasan di udara. Hal ini wajar karena pesawat sudah lama
ditahan di pangkalan udara Thailand. Izin yang diberikan khusus untuk
terbang di sekitar Laut China Selatan.
Pesawat pun disiapkan. Begitu izin diberikan, wuuuuzzzzz!! Pesawat langsung mengangkasa.
Namun ketiga pesawat itu tak menuju Laut China Selatan. Mereka malah
menuju Pangkalan Udara Supadio di Pontianak. Ketiganya mendarat dengan
selamat di wilayah Indonesia.
Pihak Thailand ‘pura-pura’ mengajukan protes atas pelanggaran
tersebut. Namun pemerintah Indonesia juga ‘pura-pura’ tak terkait dengan
pelarian pesawat Hawk itu.
Lucunya lagi militer AS juga ‘pura-pura tidak tahu’ atas kejadian
itu. Rupanya sebenarnya mereka bersimpati pada Indonesia. Namun pihak AS
terpaksa menjalankan tekanan politik dari pihak Kementerian Luar Negeri
dan Kongres.
Kisah penyelamatan berakhir lucu dan unik ini berakhir. Hawk-Hawk
dari Inggris ini masih memperkuat TNI AU sampai sekarang. Tentu kita tak
berharap ada kasus serupa di masa depan. (Merdeka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar