Pesawat Pangeran Diponegoro I (PD I)
Pesawat Ki-48 atau Army tipe 99
merupakan jenis pesawat pembom ringan buatan Pabrik Nakajima tahun
1940. Pesawat ini merupakan peninggalan Jepang, yang berada di
Pangkalan Udara Bugis Malang (sekarang Lanud Abdulrachman Saleh),
Setelah berhasil diperbaiki, Indonesia menamainya Pesawat Diponegoro
I. Sekutu menamakan pesawat tersebut dengan sebutan Lily. Pesawat
Ki-48 digerakan dua motor radial pendingin angin masing-masing memiliki
kekuatan 1460 dayakuda dengan kecepatan maksimum 510 km/h.
Pada awal perang Pasifik pesawat
ini disangka pesawat pemburu Messerschmitt Me-109 Lisensi Jerman.
Ternyata hanya motornya saja yang berlisensi Jerman yaitu Daimler Benz
DB-601 A. Sedangkan Air frame-nya asli ciptaan Kawasaki, yang disain oleh Takeo Doi dan Shin Owada.
Test flight pertama pesawat Diponegoro I dilakukan pada tanggal 2 Februari 1946 oleh penerbang Atmo. Pada Test flight
ini masih terdapat kekurangan, yaitu pipa oli dan hidroliknya
bocor. Usaha perbaikan terus dilakukan oleh Matkarim, Naim dan
Mudjiman. Test flight berikutnya pesawat berhasil terbang dengan baik.
Beberapa penerbangan penting yang
dilaksanakan Pesawat Pangeran Diponegoro I, pada tanggal 27 Februari
1946 melaksanakan misi penerbangan membawa Panglima Besar Sudirman
beserta rombongan pejabat pemerintah Jawa Timur melakukan inspeksi ke
Jawa Timur dan ke Pangkalan Udara Bugis, Malang. Rombongan pejabat
pemerintah Jawa Timur antara lain Gubernur Suryo, Dul Arnowo (Ketua
KNI), Mr. Sunarko, Ketua BPRI Bung Tomo, Komandan Divisi Jenderal Mayor
Imam Sudjai, para wartawan dan lain-lainnya. Pejabat AURI yang
menyertai rombongan tersebut adalah Pak Karbol (Prof. Dr. Abdulrachman
Saleh) dan Halim Perdanakusuma. Pada kesempatan yang sama Panglima
Besar Sudirman sempat melaksanakan perjalanan dengan pesawat PD I ke
daerah Banyuwangi-Bali, pesawat diawaki penerbang Atmo dan juru teknik
Moch. Oesar.
Tanggal 5 Maret 1946 Pesawat PD I membawa Mayor Jenderal Soedibjo dalam rangka melaksanakan misi penyelesaian Allied Prisoners of War and Interneers
(APWI) yaitu penyelesaian masalah keselamatan tawanan perang dan
interniran dengan pihak Sekutu. Pada tanggal 4 Oktober 1946 pesawat PD I
itu diterbangkan oleh Pak Karbol (Prof. Dr. Abdulrachman Saleh) ke
Maguwo dengan membawa serta juru teknik Moch. Oesar, Matkarim, dan
Mustari. Abdulrachman Saleh yang dikenal dengan panggilan Pak Karbol
adalah salah seorang yang mampu menerbangkan pesawat itu tanpa latihan
dan tanpa pendamping.
Seperti pesawat lainnya, pesawat
Pangeran Diponegoro I dihancurkan oleh Belanda pada saat Agresi Belanda
ke II pada akhir tahun 1948.
Data-Data Pesawat Ki-48:
Jenis : Cahaya Bomber / Dive Bomber
Kru : Empat
Model : Nakajima HA-115 Radial
Tenaga kuda : 1150 H
Wing Span : 57 Ft 3 Inch (17,45 M)
Durasi : 41 Ft 10 inch (11,64M)
Tinggi : 12 Ft 5,5 Inch (3,80m)
Berat : £ 14.881 (6750 kg)
Max Speed : 314 mph (505 kph)
Layanan Ceiling : 33.135 ft (10.100m)
Range : 1.491 mil (2.400 km)
Jenis : Cahaya Bomber / Dive Bomber
Kru : Empat
Model : Nakajima HA-115 Radial
Tenaga kuda : 1150 H
Wing Span : 57 Ft 3 Inch (17,45 M)
Durasi : 41 Ft 10 inch (11,64M)
Tinggi : 12 Ft 5,5 Inch (3,80m)
Berat : £ 14.881 (6750 kg)
Max Speed : 314 mph (505 kph)
Layanan Ceiling : 33.135 ft (10.100m)
Range : 1.491 mil (2.400 km)
Pangeran Diponegoro II (Benteng Asia)
Pesawat Pangeran Diponegoro II merupakan jenis pesawat pembom berat Jepang Ki-49 Donryu
buatan tahun 1942, yang berhasil diperbaiki teknisi Indonesia dan
diubah menjadi pesawat angkut. Ki-49 memiliki mesin ganda buatan
Kawasaki mampu terbang jelajah 350 km/jam. Ki-49 mampu membawa bom
1.000 kg dengan jarak terbang 1.864 km. Pesawat ini dalam sejarah
Jepang tercatat sebagai pesawat pertama yang dilengkapi dengan senjata
penembak di bagian ekor. Mampu terbang cepat 400 km/jam pada ketinggian
4000 m dan terbang tinggi mencapai 11.200 m. Pesawat Ki-49 merupakan
pesawat buatan tahun 1942 yang digunakan Jepang selama perang Dunia II
dan digelar di Filipina, Malaysia, Burma, dan Hindia Belanda. Sekutu
menyebut pesawat Ki-49 ini dengan nama "Helen".
Saat ditinggalkan Jepang Pesawat
Ki-49 yang berada di Pangkalan Udara Bugis, Malang dalam keadaan rusak
tanpa mesin dan onderdil banyak yang hilang. Pada pertengahan Maret
1946, pesawat mulai diperbaiki, tanggal 17 April 1946 saat dilakukan
test flight pertama oleh penerbang Atmo, masih terdapat kekurangan pada sistem pompa hidroliknya, sehingga saat akan landing harus dibantu
dengan pompa tangan agar dapat berfungsi secara maksimal. Setelah
proses perbaikan pesawat selesai, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, Komandan Pangkalan Udara Bugis, Malang yang saat itu
dijabat oleh komodor Udara Abdulrachman Saleh mengadakan syukuran dan
pemberian nama baru bagi pesawat, yaitu Pangeran Diponegoro II (PD II)
atau Benteng Asia. Acara syukuran dihadiri Komandan Divisi VII
Jenderal Mayor Imam Sudjai, Ketua BPRI Bung Tomo, Residen Malang Syam,
dan para wartawan.
Agustinus Adisutjipto saat
berada di Malang dalam rangka perundingan serah terima Pangkalan Udara
Bugis Malang bersama semua fasilitasnya dari Panglima Divisi VII Malang
kepada Markas Tertinggi TRI AO di Yogyakarta, Berhasil menerbangkan
pesawat PD II dengan baik walaupun sebelumnya belum pernah menerbangkan
pesawat jenis PD II. Sementara itu perundingan antara Adisutjipto
dengan Panglima Divisi VII tidak menghasilkan kesepakatan. Hingga
akhirnya Adisutjipto berunding dengan Komandan Pangkalan Bugis untuk
menerbangkan pesawat Pangeran Diponegoro II secara diam-diam. Pada
tanggal 5 Agustus 1946 tanpa sepengetahuan Panglima Divisi VII Malang
pesawat Pangeran Diponegoro II yang dipiloti Agustinus Adisutjipto,
melakukan penerbangan menuju Yogyakarta dengan rute pangkalan udara
Bugis, Malang, Semarang dan Solo. Untuk menjaga kerahasiaan
penerbangan, semua montir yang ikut terbang, antara lain Moch. Oesar,
Mustakim, Matkarim, dan Matsari tidak diberitahu tujuan penerbangan,
sehingga mereka hanya mengenakan kaos dan celana pendek saja. Saat
berada di atas kota Semarang pesawat ditembaki musuh dari bawah, tetapi
tidak kena. ketika sampai di kota Solo mesin pesawat sebelah kiri
mulai mengalami kerusakan, tetapi masih bisa diusahakan terbang.
Pada pukul 11.00 WIB pesawat Pangeran
Diponegoro II berhasil mendarat dengan selamat di Pangkalan Udara
Maguwo, Yogyakarta. Setelah pesawat berhenti, Agustinus Adisutjipto
dan para montir yang ada dalam pesawat keluar yang segera mereka
disambut oleh teman-temannya yang berada di Yogyakarta. Semuanya
menunjukan rasa gembira, haru, dan bangga, termasuk pimpinan Markas
Tertinggi (MT) TRI Angkatan Oedara Pusat Yogyakarta Komodor Soerjadi
Soerjadarma.
Peristiwa tersebut menimbulkan
reaksi dari pihak Divis VII, mereka mengirimkan radiogram ke Yogyakarta
guna memanggil Kepala Bagian Teknik Pangkalan Udara Bugis, H.A.S.
Hanandjudin (yang tidak turut dalam penerbangan Pangeran Diponegoro II
ke Yogyakarta), untuk dimintai pertanggungjawaban. Agustinus
Adisutjipto segera menemui H.A.S. Hanandjudin untuk memberitahukan
tentang pangggilan tersebut. Dengan jiwa besar H.A.S. Hanandjudin
memenuhi panggilan tersebut, diantar ke Malang menggunakan pesawat Curen
yang dikemudikan oleh kadet Tugijo. Setelah sampai H.A.S. Hanandjudin
di Malang langsung ditangkap dan diserahkan ke Markas Polisi Tentara.
Setelah diperiksa dan ditahan selama tujuh hari, kemudian dibebaskan dan
kembali bekerja seperti biasa.
Pada saat melaksanakan test flight
di atas pangkalan Udara Maguwo Pesawat Pangeran Diponegoro II
mengalami kecelakaan sehingga tidak dapat diterbangkan kembali. Akan
tetapi untuk mengelabui tentara Belanda yang melakukan Agresi militer
pertama, rongsokan pesawat Pangeran Diponegoro II dipajang dilandasan,
hingga menjadi sasaran tembak pesawat tempur Belanda dan semuanya
hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar