Aktivitas di ruang Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas),
Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (28/10/2014), berjalan
rutin. Layar di tembok utama memaparkan peta digital Indonesia, disertai
angka-angka bergerak. Setiap angka mewakili sebuah pesawat. Popunas tak
lain ruang utama di Komando Pertahanan Udara Nasional, yang bisa
diibaratkan war room.
Pagi itu, Panglima Komando Pertahanan
Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsekal Muda Hadiyan Sumintaatmadja dan
Komandan Diklat TNI Mayjen (Mar) I Wayan Mendra memantau hari pertama
latihan Tutuka Ke-38.
Tiba-tiba, pukul 08.22, ada laporan dari
Komando Sektor Hanudnas (Kosekhanudnas) I di Halim Perdanakusuma,
berdasarkan pantauan Satuan Radar 213 Tanjung Pinang dan radar sipil
Tanjung Pinang, terkait pesawat asing yang masuk wilayah udara RI.
Kosekhanudnas menyatakan, pesawat tipe Beechcraft King Air tanpa izin
melintas (flight clearance). ”Latihan berhenti. Kita ubah ke rencana
jingga,” kata Hadiyan.
Dua dari empat pesawat Sukhoi di Batam
segera lepas landas. Namun, mereka kehilangan pesawat dari Singapura
yang akan menuju Sibu, Malaysia, itu. Pukul 11.37, pesawat ini muncul
lagi. Segera dua pesawat Sukhoi mengudara dan mencegat serta memaksa
pesawat baling-baling ini mendarat.
Tepat pukul 13.30, Beercharft VH PK
Singapura itu mendarat. Puluhan prajurit TNI AU bersenjata lengkap
menghampiri pesawat. Dua siswa terbang, yaitu Xiang Bohong dan Zheng
Cheng, serta instruktur Tan Chin Kian keluar perlahan dari pesawat.
Ketiganya tidak terlihat gentar dan
sempat tersenyum saat digelandang ke ruang pemeriksaan. Saat petugas TNI
AU meminta Kian mengambil berkas, ia bahkan menentang. Ia berkukuh
terbang di area Malaysia dan sudah mendapat izin dari otoritas Malaysia.
Namun, akhirnya ia mengaku salah dan ingin membayar denda Rp 60 juta
dengan kartu kredit. Keesokan harinya, Kian dan kedua muridnya
dibebaskan setelah membayar denda dan mengurus surat-surat.
Lima insiden
Tahun ini, total sudah ada lima insiden pendaratan paksa,
dua lainnya di Medan dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus di Pangkalan
TNI AU Supadio, Pontianak, adalah satu dari tiga insiden pendaratan
paksa dalam sebulan terakhir. Kasus lain adalah pesawat baling-baling
Australia BE 95 dari Darwin (Australia) ke Cebu (Filipina) yang mendarat
paksa di Manado, 22 Oktober. Kasus satu lagi adalah pesawat pribadi
bermesin jet Gulfstream IV berbendera Arab Saudi rute Singapura-Darwin
yang mendarat paksa di Kupang, NTT, 3 November lalu, karena izin
masuknya menggunakan pesawat untuk perjalanan haji Boeing 747.
Namun, jika ditelaah satu per satu, ada beberapa hal yang perlu disorot. Yang
pertama soal pertahanan udara. Wilayah udara RI yang harus dijaga
sangat luas, yaitu seluruh udara di atas laut dan daratan Indonesia
sampai ke batas Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (370,4 kilometer) dari
pantai.
Pengamat intelijen Susaningtyas
Kertopati mengatakan, dari segi kedaulatan, udara adalah benteng pertama
negara. Semua kekuatan asing masuk lewat udara dulu. Dan, ruang udara
kerap dianggap rentan. Salah satu adalah tragedi 9/11 di Amerika
Serikat. Perkembangan teknologi juga membuat udara menjadi medium
penting dalam kehidupan warganya.
Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto
yang pernah menjadi Panglima Kohanudnas menyoroti pentingnya wilayah
udara terkait dengan lalu lintas komunikasi yang menggunakan gelombang
elektromagnetik. Seandainya gelombang elektromagnetik itu diganggu,
terbayangkan betapa banyak hubungan dan transaksi elektronik yang juga
bisa terganggu. Bahkan, senjata modern electromagnetic pulse (EMP)
dengan daya tinggi bisa merusak alat elektronik dengan radius ratusan
kilometer.
Faktor kedua terkait operasi intelijen.
Susaningtyas mengungkapkan, ada informasi strategis yang bisa diambil
dari udara, misalnya dengan jenis kamera bersensor tertentu yang
membutuhkan informasi spesifik tentang sumber daya alam. Sementara Eris
mengatakan, informasi intelijen itu bisa saja sebagai bentuk tabungan
data sehingga jika kapan-kapan diperlukan sudah tersedia. Soal kamera
ini rupanya dimiliki oleh kru BE 95 yang dipaksa mendarat di Manado. Dua
pilotnya, Maclean dan Jacklin, merupakan pilot profesional yang
seharusnya tahu syarat administrasi masuk wilayah Indonesia.
Ada juga satu insiden pada Desember 2013
yang luput dari perhatian publik. Pesawat bea dan cukai Australia
karena alasan cuaca mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma
tanpa izin. Karena tugasnya, pesawat ini dilengkapi alat pengamatan
lengkap dan tidak mengizinkan petugas Indonesia masuk dan memeriksa isi
pesawatnya.
Kemungkinan ketiga adalah mengetes
kesiapan Indonesia menjaga wilayah udaranya. Ini bukan hal sederhana
karena melibatkan beberapa instansi pemberi izin, seperti Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan TNI. Selain itu, dibutuhkan
radar yang merupakan kerja sama radar militer dan sipil yang kian
terkoordinasi.
Setelah itu, kemampuan Indonesia
mencegat pesawat tanpa izin. Di sini, masalah menjadi semakin rumit
karena jumlah pesawat buru sergap Indonesia harus diakui tidak cukup
untuk menjaga kedaulatan wilayah udaranya. (Edna C Pattisina/Emanuel Edi Saputra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar