Setelah
Presiden Joko Widodo memilih dan menentukan para menteri Kabinet, ada pejabat
yang hingga kini belum dipilihnya yaitu Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung),
Kepala Badan Intelijen Negara (Ka BIN) serta Kepala Staf Kepresidenan. Yang
mulai ramai dibahas media adalah Kepala BIN dan Kajagung. Yang menarik, Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam ) Laksamana TNI (Pur)
Tedjo Edhi Purdijatno yang mantan Kasal menjelaskan kepada media informasi
mengapa presiden belum menetapkan Kepala BIN.
Menurut
Tedjo, Jokowi menilai BIN sering memberikan informasi tidak akurat. “Data BIN
itu sering meleset. Beliau (Jokowi) sangat berhati-hati soal BIN,” ujar Tedjo
di Istana Negara, Selasa, 4 November 2014 (Tempo, 4 November 2014). Sikap tak
gegabah ini membuat presiden membutuhkan waktu lebih untuk menunjuk pengganti
Marciano Norman sebagai kepala BIN. Presiden ingin calon yang terpilih nanti
punya kemampuan menganalisis data secara akurat sehingga data BIN tak berbeda
dengan data yang dimiliki intelijen lembaga negara lainnya yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, dan Badan Intelijen Strategis TNI.
Menko
Polhukkam menambahkan, "Ke depan (Kepala BIN), harus bisa
mengkoordinasikan semua intelijen yang ada di lembaga baik di kementerian,
Polri, TNI, Bais, Jaksa, untuk diolah datanya sehingga menjadi data A1
(akurat). Presiden tak mau ada lagi informasi yang simpang siur,” katanya. Saat
ditanya siapa calonnya, dijelaskan, ""Sjafrie (Mantan Wamenhan)
pernah muncul, TB Hasanuddin (purnawirawan TNI) muncul terus tenggelam lagi,
Assad Ali (mantan Waka BIN), masih ada tapi terus tenggelam," ujarnya.
Nah, pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan saran pemikiran dalam
memilih Kepala BIN untuk mendukung suksesnya pemerintahan dibawah kepemimpinan
nasional Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla hingga 2019. Saran yang
dibuat berdasarkan beberapa informasi dan analisa intelijen yang disusun, bukan
berarti penulis lebih ahli, tetapi penulis mencoba memberikan masukan dengan
beberapa pertimbangan berdasarkan pendidikan dan pengalaman bertugas serta
menjadi pengamat intelijen. Semoga bermanfaat bagi pimpinan nasional.
Sekilas Tentang Badan Intelijen
Negara
Badan
Intelijen Negara, disingkat BIN, adalah lembaga pemerintah non kementerian
Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang intelijen.
Secara resmi Kepala BIN sejak 19 Oktober 2011 dijabat oleh Letjen TNI (Pur)
Marciano Norman hingga tanggal 20 Oktober 2014, saat presiden Jokowi dilantik.
Susunan organisasi BIN telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor
34 Tahun 2010, menggantikan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005, organisasi
dengan visi dan misi BIN di sinkronkan, dimana Kabin yang dibantu Wakabin
membawahi tujuh deputi serta beberapa perangkat lainnya.
Visi BIN
adalah tersedianya Intelijen secara cepat, tepat dan akurat sebagai bahan
pertimbangan pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan nasional (Website
BIN). Sedangkan misi BIN adalah mengoordinasikan seluruh penyelenggara
Intelijen negara di tingkat pusat dan daerah, melaksanakan kegiatan dan/atau
ops intel luar negeri, ops intel dalam negeri, operasi kontra intelijen,
operasi intelijen ekonomi, operasi intelijen teknologi, melaksanakan kegiatan
pengolahan dan produksi Intelijen, pengkajian dan analisis intelijen strategis,
menyiapkan dan meningkatkan dukungan administrasi umum dan sumber daya manusia
yang kompeten dan profesional, melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas
pelaksanaan kegiatan dan/atau operasi intelijen. Indonesia telah menetapkan UU
No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara sebagai “payung hukum” bagi
Intelijen Negara dalam menjalankan perannya di era demokrasi. Tujuan Intelijen
Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan,
dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan
nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang
ada bagi kepentingan dan keamanan nasional. Sedang peran dari Intelijen Negara
adalah melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini
dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan
terhadap setiap hakikat Ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan
dan keamanan nasional.
Badan
Intelijen Negara melakukan kegiatan berupa intelijen positif, yang mencakup
pengumpulan, pengolahan dan analisis dan penyajian informasi yang digunakan
untukmemperkuat sistem peringatan dini dan sistem analisa informasi strategis
sebagai antisipasi menghadapi ancaman terhadapkeamanan nasional. Selain itu juga
dilaksanakan kegiatan intelijen agresif yang ditujukan untuk menghadapi
unsur-unsur asing yang mengancam keamanan nasional dengan menggunakan metode
operasi kontra-intelijen dan atau kontra-spionase untuk mengungkap ancaman
tersebut. Di era demokrasi, pengawasan terhadap kinerja intelijen menjadi
sangat ketat dan berlapis. Adanya kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa
intelijen akan digunakan oleh penguasa telah dieliminir melalui ketentuan
perundangan yang berlaku. Selain adanya pengawasan dari struktur birokrasi
organisasi, masyarakat juga berhak tahu apa yang dilakukan oleh intelijen
negara serta mengawasinya, pengawasan ini secara keseluruhan biasanya
difasilitasi oleh kelompok-kelompok civil society seperti LSM dan media massa.
Masalah di
dalam UU Intelijen yang dipertanyakan oleh DPR adalah soal penyadapan,
pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi secara mendalam. Disepakati
bahwa Badan Intelijen Negara tidak diberi wewenang untuk menahan dan menangkap
orang yangmerupakan ranah penegakan hukum. Kewenangan itu digantikan dengan
kewenangan penggalian informasi, yaitu kegiatan pengintaian, penjejakan,
pengawasan, penyusupan, pemeriksaan aliran dana, atau penyadapan. Selain itu
dalam hal penyadapan harus memperhatikan Undang-Undang HAM, Undang-Undang
Informatika dan Intelijen dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang
Telekomunikasi,dan putusan Mahkamah Konstitusi. Penyadapan dilakukan atas
perintah Kepala BIN untuk jangka waktu paling lama enam bulan dan dapat
diperpanjang sesuai kebutuhan. Ruang lingkup dan Penyelenggara Intelijen Negara
meliputi :
a. Intelijen dalam negeri dan luar
negeri (Badan Intelijen Negara). BIN adalah lembaga sipil non departemen yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI (strategis
nasional).
b. Intelijen pertahanan dan/atau
militer (Intelijen Tentara Nasional Indonesia). Badan Intelijen Tentara
Nasional Indonesia menyediakan intelijen sebagai bahan pertimbangan dalam
penentuan kebijakan dan strategi Panglima TNI (strategis, operasional dan taktis).
c. Intelijen kepolisian (Intelijen
Kepolisian Negara Republik Indonesia). Badan Intelijen Keamanan Dan Ketertiban
Masyarakat Polri (BIK-Polri) bertugas menyediakan intelijen sebagai bahan
pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan strategi keamanan dan ketertiban
masyarakat bagi Kepala Kepolisian RI (strategis, operasional dan taktis.
d. Intelijen penegakan hukum (Intelijen
Kejaksaan Republik Indonesia). Intelijen Kejaksaan RI bertugas menyediakan
intelijen sebagai bahan pertimbangan dan penentuan kebijakan dan strategi bagi
Jaksa Agung. Susunan organisasi dan tata kerjanya didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di lingkungan Kejaksaan Agung RI.
e. Intelijen kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian.Unsur intelijen lain pada departemen/LPND
menyelenggarakan fungsi intelijen dalam rangka mendukung tugas departemen atau
lembaga yang bersangkutan. Susunan organisasi dan tata kerjanya didasarkan pada
ketentuan perundang-undangan di lingkungannya (Seluruh kegiatan intelijen harus
terkendali dan bermuara pada Kepala Badan Intelijen Negara selaku
penanggungjawab lembaga.)
Saran Pemikiran
Dalam
mengulas tentang siapa yang akan dipilih sebagai Kepala BIN oleh Presiden
Jokowi, yang belum juga ditetapkan, penulis mengembalikan kepada ‘pakem’
informasi intelijen, yaitu Siabidibame, dimana bagian terberat dan tersulitnya
adalam kata ‘me’ atau mengapa. Ini yang harus dijawab. Sebelum era pemerintahan
Presiden Jokowi, para Kepala BIN pada dasarnya dipilih dari mereka yang dekat
dengan pimpinan nasional (presiden). Mengapa? Karena BIN merupakansebuah
organisasi intelijen yang besar, lengkap, diawaki personil intelijen yang
terdidik, secara organisasi sudah mapan. Dengan demikian maka presiden sangat
membutuhkan informasi dengan akurasi tinggi tanpa bias dari Kepala BIN. Jelas
ada kekhawatiran presiden pada masa lalu terhadap loyalitas intelijen yang
tidak sepenuhnya. Suatu hal yang wajar, mengingat nuansa politik sangat kental
mengelilingi serta juga berkepentingan dengan BIN.
BIN yang
bertugas melakukan operasi intelijen untuk mengumpulkan informasi dan
menganalisis menjadi sebuah intelijen jelas mampu membuat sebuah forecast atau
ramalan, serta perkiraan intelijen. Entah bagaimana kini muncul penilaian
presiden yang menurut Menkopolhukkam mengatakan data BIN sering meleset. Apakah
memang demikian? Apa sebenarnya hal terpenting dari seorang Kepala BIN?
Pengalaman penulis selama bertugas di bidang intelijen, yang tersulit dalam
kehidupan intelijen ini adalah bagaimana memutuskan. Keputusan Kepala BIN
sebagai penanggung jawab lembaga intelijen negara sangat penting serta besar
artinya bagi kepentingan nasional negara. Kepala BIN menurut UU Intelijen
sebagai kordinator, melakukan pengumpulan informasi dari beberapa badan
intelijen lainnya untuk disampaikan kepada presiden. Apakah ini yang tidak
berjalan?Informasi BIN adalah informasi rahasia, dan hanya diketahui oleh
presiden sebagai single client, yang dalam dunia intelijen dikenal sebagai
kesetiaan tunggal, karena presiden adalah end user. Terlepas dari adanya penilaian
presiden Jokowi terhadap akurasi data BIN, penulis mencoba memberikan saran
pemikiran.
Seorang
personil intelijen seharusnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan
intelijen, bisa di dalam maupun luar negeri. Yang penulis ketahui jenjang
pendidikannya adalah pendidikan dasar intelijen, pendidikan fungsi/spesialis
(penyelidikan, pengamanan, penggalangan, sandi dan pendidikan matra),
pendidikan sarana dari fungsi (misalnya sarana penggalangan seperti anti teror,
riot, insurgency, subversi, interogator dan lainnya), pendidikan intelijen
strategis. BIN mempunyai sekolah khusus yaitu Sekolah Tinggi Intelijen yang
diprakarsai oleh Bapak AM Hendropriyono. Yang paling ideal, setelah seorang
personil intelijen lulus dari pendidikan, dia ditugasi dalam jenjang karir di
satuan/organisasi intelijen demikian seterusnya. Paling ideal kariernya
diarahkan mulai agen lapangan, handler, analis, dan terakhir master spy. Inilah
profesionalisme intelijen. Pendidikan personil intelijen serta penugasan
menurut penulis adalah hal mutlak yang disebut sebagai rekam jejak. Karena dia
pernah merasakan bagaimana melakukan/terlibat dengan sebuah operasi intel
klandestin misalnya. Lantas apakah seseorang tidak bisa menduduki jabatan
disebuah organisasi intelijen tanpa pendidikan intelijen? Bisa saja, tetapi
hasilnya jelas akan tidak maksimal. Intelijen adalah sebuah keahlian yang harus
melalui pendidikan dan pengalaman bertugas. Kelemahannya apabila dua hal
prinsip diabaikan, maka di pemimpin tidak akan memiliki sense of intelijen.
Pengertiannya, si pemimpin tidak mempunyai rasa, instink intelijen dalam
melihat dan membaca arah sebuah informasi. Bahaya atau ancaman mematikan dan
merusak biasanya didesepsikan oleh lawan, sehingga segala sesuatu oleh orang
awam akan terlihat normal. Sedangkan dibelakangnya terdapat sesuatu yang hanya
bisa dicium dan dirasakan oleh orang intelijen yang mempunyai rasa (sense).
Bagaimana pemimpin bisa dihargai anak buahnya apabila dia tidak faham dengan
tehnik dan istilah sederhana misalnya personal meeting, safe house, deception,
clandestine? Bagaimana dia akan memutuskan sebuah informasi intelijen apabila
tidak faham dengan wawasan intelijen?
Nah, dengan
pertimbangan ini, sebaiknya presiden pada awal memilih Kepala BIN, melakukan
cek profesionalisme si calon. Bagaimana pandangan si calon terhadap
perkembangan situasi terkait sembilan komponen intelijen strategis (komponen
Ipoleksosbudhankam, komponen biografi, demografi dan sejarah). Tanpa pernah
mengikuti pendidikan intelijen, sebaiknya si calon di drop saja. Disini berarti
calon harusnya faham dengan perkembangan dunia internasional, perkembangan
regional serta pengaruhnya terhadap situasi nasional. Jadi pada intinya, pilih
calon yang pernah mengenyam pendidikan intelijen, pernah bertugas di badan intelijen,
jangan hanya sekedar pejabat yang berpangkat tinggi (jenderal) misalnya.
Personil intel penting mengikuti pendidikan intelijen, karena saat itu jiwa dan
hatinya akan diisi dengan prinsip dasar serta kesetiaan kepada bangsa dan
negara.
Kepala BIN
harus mumpuni, faham dalam membaca situasi dan kondisi dan mampu memberikan
saran kepada presiden tentang suatu persoalan atau masalah. Dia mampu
memberikan saran keputusan kepada presiden dari sudut pandang intelijen, yaitu
ancaman yang dihadapi. Beratnya penugasan sebagai Kepala BIN sementara dapat
dilihat dari beberapa informasi diatas, karena itu sekali lagi si pejabat harus
mempunyai “sense.” Dia juga harus mampu menjalin hubungan baik dalam intelijen
komuniti, hingga tidak seperti yang diragukan presiden datanya berbeda dengan
badan intel lainnya dan menjadi simpang siur. Jangan ujuk-ujuk hanya karena
dekat dengan pak presiden dia dipilih. Hal lain yang perlu dinilai adalah soal
loyalitas, intelijen prinsipnya harus loyal, seorang intel yang terdidik akan terpateri,
dia akan loyal kepada user-nya, selama dia menjadi atasannya. Bukan kesetiaan
pribadi, tetapi kesetiaan profesional. Berbicara mengenai calon, seperti yang
disebutkan oleh Menko Polhukam, nama-nama yang muncul adalah mantan Wamenhan
Letjen (Pur) Syafri Syamsudin, Anggota DPR dari PDIP Mayjen (Pur) TB
Hasanuddin, mantan Wakabin Assad Ali. Pernah juga muncul nama mantan Wapangab
Jenderal (Pur) Fachrul Razi, mantan Gubernur DKI Letjen (Pur) Setiyoso. Tetapi
seperti dikatakan Menko Polhukam, bisa saja mendadak muncul nama lain,
tokoh/senior intelijen yang belum disebut media, menurut penulis ada dua tokoh
yaitu mantan Kabais TNI Marsdya (Pur) Ian Santoso dan Wakabin Mayjen (Pur) Erfi
Triassunu. Mengenai nama-nama tersebut, semuanya terserah kepada presiden yang
mempunyai hak prerogatif serta yang akan menjadi user mereka, atau mungkin ada
calon lainnya. Mau dipilih yang dikenal dekat, atau yang profesional, terserah
presiden. Demikian saran pemikiran old soldier untuk Presiden, semoga
bermanfaat.
Oleh :
Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, pengamat intelijen
www.ramalanintelijen.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar