Baru-baru ini ada pemberitaan seputar pelatihan awak personel KRI dalam mengoperasikan GPS (Global Positioning System) jammer yang berlangsung di Lantamal Surabaya, 28 – 30 Oktober 2015. GPS jammer, meski kedengaran canggih, tapi sejatinya telah diadopsi di kapal perang TNI AL sejak tahun 2010. Dan hingga kini ada sekitar 10 kapal perang Satkor (Satuan Kapal Eskorta) yang dilengkapi GPS jammer.
Sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan operasi, peran GPS jammer tak lagi sebatas media pengacau sinyal pada serangan rudal anti kapal, melainkan juga upaya menganggu sinyal satelit GPS yang digunakan untuk pointing terhadap target.
Tak bisa dipungkiri, hingga kini GPS mengambil peran stragetis dalam sisi kehidupan sipil dan militer. Di lingkup militer, keberadaan GPS tak melulu dikenal sebagai alat navigasi di kapal perang dan pesawat udara, lagi-lagi koordinat yang berasal dari GPS juga digunakan untuk pointing (penentuan) posisi target yang akan dihancurkan oleh rudal berkemampuan jelajah. Saking pentingnya penggunaan GPS, maka pihak lawan pun tak bisa dipungkiri melakukan hal yang sama terhadap kita.
KRI Hassanudin 366, salah satu korvet SIGMA TNI AL yang dilengkapi GPS jammer.
Nah, untuk mencegah lawan mengetahui posisi keberadaan kapal perang TNI AL, maka hadirlah ‘perisai elektronik’ yang disebut GPS jammer. Perangkat GPS jammer yang berfungsi untuk melaksanakan jammer terhadap frekuensi GPS dari satelit sehingga perangkat GPS tidak bisa menerima sinyal GPS dari satelit. Hal ini mengakibatkan perangkat GPS tidak dapat mentransmisikan data positioning, navigation and timing (PNT) yang dibutuhkan oleh perangkat navigasi lain seperti radar, ECDIS (Electronic Charts and Display Information System), AIS (Automatic Identification System), speedlog, dan gyro navigasi. Data PNT tersebut juga sangat dibutuhkan untuk integrasi dengan perangkat Sensor Weapon and Command (sewaco) yang ada di kapal perang serta sistem senjata yang ada.
Dalam simulasi pertempuran, keberadaan rudal anti kapal seperti Yakhont dan Exocet menjadi lumpuh bila tak mendapat asupan informasi tentang pointing koordinat kapal perang lawan, bila nyatanya kapal laman berhasil melaksanakan GPS jamming.
Penggunaan perangkat GPS jammer di TNI Angkatan Laut, khususnya di Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dimulai pada awal tahun 2010 dengan dikirimkannya beberapa personel TNI AL untuk mempelajari doktrin navigation warfare dan aplikasi untuk militer di beberapa negara Eropa. Pada tahun 2011
dimulai pemasangan peralatan tersebut pada dua korvet SIGMA Class KRI Diponegoro 365 dan KRI Sultan Hassanudin 366 serta dilaksanakan pengujian terhadap fungsi peralatan tersebut pada tahun yang sama.
Pada latgab yang dilaksanakan oleh tiga angkatan, peralatan GPS jammer resmi digunakan dalam satu latihan operasi militer dan mampu membuktikan bahwa peperangan navigasi merupakan salah satu bagian dari peperangan elektronika yang mampu memberikan efek hilangnya data posisi, navigasi dan referensi waktu bagi suatu pesawat militer yakni dengan berhasil dilaksanakan surface jamming terhadap KRI lain dalam radius 60 km. Dan hebatnya mampu melaksanakan air jamming terhadap dua pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30MK2 TNI AU pada jarak antara 80 km sampai dengan 120 km dengan ketinggian sampai dengan 12 km.
Jet tempur kebanggaan, Sukhoi Su-30MK2 juga telah menjadi korban GPS jamming.
Dalam sejarahnya, penggunaan dan aplikasi perangkat GPS jammer dalam peperangan navigasi mulai terungkap dengan adanya beberapa laporan perihal hilangnya sinyal GPS di perairan Norwegia pada awal tahun 2002 yangmengakibatkan terjadinya beberapa kesalahan navigasi pada kapal pengangkut barang sehingga beberapa kapal pengangkut barang tersebut karam/kandas. Kemudian berlanjut dengan adanya laporan di pelabuhan San Diego pada tahun 2007, seluruh data GPS pada daerah tersebut hilang selama dua jam. Hal ini mengakibatkan seluruh proses dipelabuhan terhenti dan seluruh jaringan komunikasi tidak berfungsi serta beberapa perindustrian mengalami kegagalan produksi.
Mengemban peran sebagai pointing terhadap sasaran, GPS reciever harus mengunci sinyal minimal tiga satelit untuk menghitung posisi 2D (latitude dan longitude) dan track pergerakan. Jika GPS receiver dapat menerima empat atau lebih satelit, maka dapat menghitung posisi 3D (latitude, longitude dan altitude). Jika sudah dapat menentukan posisi pengguna, selanjutnya GPS dapat menghitung informasi lain, seperti kecepatan, arah yang dituju, jalur, tujuan perjalanan, jarak tujuan, matahari terbit dan matahari terbenam serta masih banyak lagi. (Dikutip dari Jurnal Nasional Teknik Elektro – Maret 2015)