Rabu, 29 April 2015

Provokasi Malaysia di Nunukan

Malaysia tak pernah jera. Setelah kasus tiang pancang mercusuar Malaysia merambah batas wilayah Indonesia di Tanjung Datu mencuat, kini negeri jiran itu bikin ulah lagi. Menguji nyali Jokowi dari janjinya “kita akan bikin ramai”.
perbatasan_nunukan-malaysia
Kisruh pembangunan tiang pancang mercusuar Malaysia di Tanjung Datu, Sambas, Kalimantan Barat yang meledak pada medio 2014 itu memang telah dihentikan karena terbukti telah memasuki wilayah RI. Tapi pihak Malaysia kini mengulangnya lagi dalam membangun pos pengawasan laut di antara Pulau Tinabasan dan Sebatik.
Pembangunan pos itu diduga kuat melewati garis perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara. Posisinya berada sekitar 2 mil laut sebelah utara Pelabuhan Lintas Batas Laut (PLBL) Liem Hie Jung Kab Nunukan pada titik koordinat 04° 09’ 288” LU – 117° 37’ 130” BT dimana tiang pancangnya di titik 0 (zero) batas negara.
Padahal persyaratan dari titik zero dengan radius 5 km tidak boleh ada bangunan apapun. Dengan demikian, dari 16 tiang pancang yang digunakan Malaysia untuk pembangunan pos tersebut, setidaknya ada empat tiang pancang yang dipasang di wilayah perairan Kalimantan.
Tak tanggung-tanggung, pos itu dibangun secara permanen. Pihak Malaysia juga membangunnya dalam posisi berhadapan dengan pos pengawasan laut Indonesia. Entah apa maksudnya kalau bukan provokasi.
Berdasarkan pantauan Indonesian Review, awal Desember 2014, pembangunannya sudah memasuki tahap pembuatan lantai dasar. Bandingkan dengan kondisi Pos Sei Pancang Sebatik Utara yang dioperasikan oleh TNI AL yang agak reyot.
Bila pembangunannya sudah menerabas batas teritori RI, tentu saja Malaysia telah melecehkan kedaulatan RI untuk kesekian kalinya. Segenap komponen bangsa, terutama TNI AL, tidak bisa menganggap persoalan tersebut sebagai kewajaran dalam konteks hak pembangunan Malaysia. Terlebih lagi dampak proses pembangunan tersebut telah menganggu jalur transportasi lintas laut dan sungai dari Kab. Nunukan menuju Kecamatan Sebuku dan Sebatik karena terkadang diberlakukan sistem buka-tutup.
Area yang digunakan nelayan daerah Sebatik dan Nunukan dalam mencari ikan juga praktis menyempit. Padahal potensi perikanan di kawasan tersebut terbilang besar. Saat masih dalam pangkuan Kalimantan Timur, Kab Nunukan dan Tarakan menyumbang 40 persen potensi perikanan dari 3000 ton lebih jumlah total produksi perikanan di Bumi Mulawarman itu per tahunnya. Terutama potensi tuna dan rumput laut yang menjadi andalan.
Nunukan memang berperan penting di bumi Etam. Sebelum masuk wilayah administratif provinsi Kalimantan Utara yang terbentuk pada 2012, geostrategis Nunukan menjadi faktor utama Kalimantan Timur dalam menyandang status kawasan zona ekonomi ekslusif karena letaknya di Laut Sulawesi sebelah timur laut Nunukan.
Potensi perikanan dan kelautan Nunukan makin terusik ketika pos pengawasan itu secara otomatis memperluas jangkauan patroli Malaysia, yang memang lebih sering bersinggungan dengan nelayan Indonesia. Apalagi sampai sekarang Police Marine Malaysia masih sering mengusir nelayan Indonesia, meskipun para nelayan masih berada di wilayah perairan Indonesia.
Dampak yang lebih serius adalah potensi kegiatan intelijen pihak Malaysia di wilayah tersebut. Maklum saja, hampir semua infrastruktur sebuah pos pengawasan biasanya dilengkapi dengan peralatan telekomunikasi, radar, dan peralatan militer lainnya.
Karena itulah peristiwa penangkapan Police Marine Malaysia terhadap 11 orang nelayan asal Kab Nunukan pada 15 Februari 2015 lalu patut diduga sebagai hasil intelijen Malaysia yang diolah secara provokatif.
Para Nelayan Nunukan itu ditangkap pada saat sedang memasang tali rumput laut di sekitar perairan perbatasan burs-point tanjung Nunukan. Police Marine negeri jiran itu mengklaim kegiatan tersebut sudah keluar dari zona batas laut. Sehingga para nelayan tersebut dituduh memasuki wilayah perairan Malaysia tanpa dokumen resmi.
Sampai dengan pekan ketiga Februari, para nelayan Nunukan itu masih ditahan pihak Malaysia. Konsulat RI di Tawau kalang-kabut dibuatnya. Satgas Konsulat sejauh ini masih berupaya membebaskan mereka tanpa melalui proses peradilan melalui permohonan kepada Jaksa Penuntut Umum Malaysia.
Pihak Malaysia nampaknya sukses memancing para nelayan itu memasuki perairannya dengan menetapkan target operasi terhadap kelompok nelayan Indonesia yang lemah. Bukan tak mungkin para nelayan itu terpancing. Mengapa?
Aktivitas pembangunan pos pengawasan perairan Malaysia itu bukan saja telah menjadi penglihatan sehari-hari. Para nelayan juga akan cenderung menganggap pekerjaan mereka yang telah melewati garis batas perairan itu lantaran sistem kehidupan sehari-hari masyarakat Kab Nunukan terutama di Pulau Sebatik dengan Malaysia begitu eratnya. Kehidupan sosial-kebudayaan keduanya sudah mendarah daging sejak lama. Keduanya satu darah, satu keturunan; menjadi sulit sekali dipisahkan oleh tapal batas teritori negara.
Ibarat kue, Sebatik adalah pulau yang dibelah dua dengan Malaysia. Posisi pulau yang terbagi menjadi lima kecamatan sejak 2011 ini berhadapan langsung dengan Kota Tawau dan Sabah, Malaysia. Jarak Sebatik ke Tawau lebih dekat dibanding ke Nunukan. Waktu yang ditempuh dari Sebatik ke Nunukan menelan sekitar 1,5 jam menggunakan berperahu. Kalau ke Tawau cuma membutuhkan 15 menit jalan kaki.
Dari aspek geografis itu saja pasti terbayang bagaimana kentalnya hubungan emosional social-kebudayaan, termasuk mata pencaharian Sebatik-Tawau ini. Saking kentalnya hubungan tersebut, bisa diibaratkan, kalau rumah-rumah penduduk yang berada di garis perbatasan itu dibelah dua, maka ruang tamunya masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapurnya masuk wilayah Malaysia.
Tak mengherankan kalau sejumlah penduduk Nunukan punya status kewarga-negaraan ganda. Hari ini warga Indonesia; besoknya jadi warga Malaysia. Perpindahan kewarga-negaraan ini mengingatkan kita pada peristiwa eksodus dan Identity Card sejumlah warga Kec. Lumbis Ogong, Nunukan menjadi warga Malaysia yang mencuat pada 2014.
Meski demikian, bagaimanapun kedekatan emosional tersebut tetap tidak bisa ditolelir jika persoalannya telah mengusik martabat bangsa. Potensi terganggunya aktivitas masyarakat, apalagi kalau sudah melewati garis batas kedaulatan negeri, menjadi suatu hal yang mesti dipisahkan dari ikatan emosional. Karena Indonesia berdiri dan berdaulat bukan cuma tersambung dengan Nunukan, tapi juga dengan 17 ribu pulau lainnya.
Maka, mengacu pada Perjanjian Landas Kontinen Indonesia-Malaysia tahun 1969 dan Konvensi Hukum Laut 1982, sudah seharusnya pemerintah Indonesia bersikap tegas atas permasalahan yang terjadi di Nunukan ini.
Terlebih lagi Indonesia-Malaysia sama-sama telah meratifikasi konvensi 1982 tersebut, yang dalam pasal 80 secara tegas disebutkan bahwa negara yang mempunyai hak berdaulat di landas kontinen mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan memiliki kewenangan dan pengaturan atas instalasi yang dibangun di atasnya. Jadi, kalau Malaysia hendak mendirikan pos pengawasan laut yang memasuki wilayah Indonesia, seharusnya Malaysia meminta ijin.
Karena sudah berkali-kali Malaysia membandel, pemerintah RI melalui Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kementerian Luar Negeri dan TNI, perlu melakukan berbagai langkah strategis dan antisipatif untuk menuntaskan persoalan garis batas tersebut secara kongkrit, sekaligus mengambil langkah tegas agar peristiwa tersebut tidak lagi terulang.
Yang dibutuhkan antara lain: pemerintah RI melayangkan nota diplomatik atas permasalahan yang sering ditimbulkan oleh Malaysia di sekitar perbatasan sebagai bentuk ketegasan RI. Hal yang sama juga ditempuh pihak TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa atas “invasi kedaulatan” yang sering direcoki oleh pihak Malaysia.
Sikap tegas Panglima TNI Jenderal Moeldoko dalam kasus Tanjung Datu perlu diulang. Kala itu ia memerintah prajurit TNI untuk membongkar secara paksa apabila pihak Malaysia tidak menghentikan pembangunan mercusuar itu yang telah memasuki teritori RI. Nyatanya: pembangunan tersebut akhirnya berhenti.
Dalam kasus pembangunan pos pengawasan Malaysia ini, jika negeri jiran itu masih saja melanjutkan pembangunannya yang telah memasuki batas teritori RI, tentu kita janji Presiden Jokowi harus kita tagih. Dalam kampanye Pilpres 2014 di bidang pertahanan, secara meyakinkan dia menyatakan, “kita akan bikin ramai”!. (IndonesianReview.com).

Editor:
Alfi Rahmadi
Sumber Foto:
Warga Indonesia melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan (sumber: metrotvnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar