Selasa, 14 April 2015

Pesawat buatan Indonesia ini laris manis di pasaran

CN-235

Sejak berdiri pada 23 August 1976, PT Dirgantara Indonesia telah memproduksi enam tipe pesawat terbang, seluruhnya diproduksi di dalam negeri. Salah satu produksi yang paling sukses dan pernah dibuat perusahaan ini adalah CN-235, setelah diperkenalkan pada 1 Maret 1988, belasan negara telah membeli pesawat ini.
Selain pesawat, perusahaan ini juga menjadi salah satu kontraktor komponen pesawat dari sejumlah perusahaan penerbangan di dunia, yakni Boeing, Airbus dan Sukhoi. Sejumlah helikopter, torpedo hingga hovercraft juga dibuat PT DI untuk memenuhi pesanan dalam negeri.
Meski pernah dihantui krisis keuangan pada 1999 lalu, perusahaan ini tak pernah berhenti untuk terus menciptakan berbagai produk baru. Setelah CN-235, lahir pula sejumlah pesawat lainnya, yakni N-219, N-250, N-2130, NC-212 dan N-245.
Berbagai upaya terus dilakukan agar perusahaan ini memperoleh keuntungan. Sejumlah negara dari luar maupun operator penerbangan dalam negeri menjadi pelanggan pesawat-pesawat buatan PT DI.
1. CN-235
CN-235 merupakan sebuah pesawat penumpang sipil (airliner) tipe angkut kelas menengah bermesin dua. Pesawat ini dirancang bersama antara IPTN Indonesia dan CASA Spanyol. Pesawat ini diberi sandi Tetuka dan saat ini menjadi pesawat paling sukses pemasarannya di kelasnya.
Selain digunakan sipil, kalangan militer juga menggunakan pesawat untuk kepentingan pengamanan dan pengangkutan. Turki menjadi negara pembeli paling terbanyak, setidaknya ada 50 pesawat yang digunakan sampai saat ini.
Hingga kini, terdapat 11 varian pesawat CN-235 yang sudah diproduksi. Negara-negara yang mempergunakannya untuk kepentingan militer antara lain, Brunei, Burkina Faso, Kamerun, Chili, Kolombia, Ekuador, Prancis, Indonesia, Irlandia, Yordania, Malaysia, Meksiko, Maroko, Oman, Pakistan, Papua Nugini, Korea, Arab Saudi, Senegal hingga Uni Emirat Arab.
Tak ketinggalan, Pasukan Penjaga Pantau AS Coast Guard juga menggunakan CN-235. Namun, mereka mengganti kode pesawat menjadi HC-144A Ocean Sentry.
2. N-250
Pesawat ini merupakan program penyelamatan yang dilakukan mantan Presiden BJ Habibie setelah PT DI sempat kolaps akibat kekurangan dana. Rencana ini mendapat persetujuan dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Agar dilirik sejumlah negara, PT DI berupaya mengurangi biaya produksi. Kebijakan ini mengubah performa pesawat menjadi rendah akibat diturunkannya kapasitas mesin dan dicabutnya sistem fly-by-wire. Namanya pun diganti menjadi R-80.
Meski prosesnya memakan waktu cukup lama, akhirnya pembuatan pesawat ini dilirik oleh NAM Air, perusahaan anak usaha Sriwijaya Air. Maskapai ini memesan 50 unit R-50 dengan opsi menambah 50 pesawat lagi. Diperkirakan, maskapai ini akan menerima secara keseluruhan pada 2018 mendatang.
3. N-219
Saat ini PT Dirgantara Indonesia (PT DI) sedang memproduksi pesawat mini jenis N-219. Pesawat yang khusus untuk transportasi antarkota dengan jarak tempuh 200 kilometer tersebut akan diproduksi masal tahun depan.
“Saat ini progressnya dalam tahap penelitian. Harapan saya di Agustus ini pas Hari Teknologi Nasional, produk itu sudah menjadi roll out. Roll out ini, produk tersebut sudah menjadi pesawat. Tinggal uji coba terbang. Setelah uji coba terbang, di akhir 2015, harapan saya sudah menjadi mendapatkan sertifikat. Kalau sudah mendapatkan sertifikat, berarti tahun 2016, sudah bisa diproduksi,” paparnya kepada merdeka.com saat diwawancarai eksklusif di kantornya, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek), Jakarta, (09/04).
Dengan bangga dirinya mengakui jika pesawat buatan Indonesia ini, sudah melakukan studi pasar. Hasilnya, 200 unit pesawat akan diproduksi sesuai dengan pesanan. “Peminatnya ada dari, Sriwijaya Air, Trigana Air, Susi Air. Ini kan pesawat perintis jumlah penumpang 19 orang. Keunggulannya tidak butuh landasan panjang cukup 550 meter,” ujarnya.
Lebih jauh, dirinya menjelaskan bahwa pesawat yang sedang dibuat ini, memiliki kualitas yang tak jauh beda dengan pesawat luar negeri. Pasalnya, komponen-komponennya 60 persen dari luar negeri, sisanya 40 persen dari dalam negeri. “Ke depan komponen dalam negerinya akan kita tingkatkan jadi 60 persen,” sesumbar pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur.
Di sisi lain, dirinya mengakui ada kendala dalam pengerjaan proyek ini yakni anggaran. Tapi, menurutnya akan diusahakan meminta bantuan kepada Bapenas untuk menutup kekurangan anggaran. “Memang ada kendala anggaran, kekurangan Rp 67 miliar nanti saya minta tolong ke Bapenas untuk uji sertifikasi,” katanya. (merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar