Kamis, 03 Juli 2014

Sejauh Mana Pengembangan Teknologi Drone RI?

PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia
PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia  (VIVAnews/Tommy Adi Wibowo)

Lima tahun ke depan, BPPT menargetkan membuat pesawat nirawak MALE.

VIVAnews – Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.
Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.
“Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan,” kata dia.
Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.
“Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station,” katanya.
Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.
Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.
Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.
Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.
“Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika  di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data,” katanya.
Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.
Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.
Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.
“Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan,” katanya.
Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.(teknologi.news.viva.co.id)
=========================================================================================

Hanya dalam Enam Bulan, Kalahkan Drone Wulung

BUAH KERJA KERAS: Thombi Layukallo (kiri) bersama tim pembuat Super Drone
saat akan uji coba  di kawasan Batujajar, Bandung Barat.
PENELITI yang sehari-hari menjabat sebagai direktur Advanced Marine Vehicles Research Center di Universitas Surya tersebut memang sudah lama terobsesi pada dunia penerbangan. Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama lebih dari 20 tahun di bidang penerbangan, doktor lulusan Universitas Nagoya, Jepang, tersebut membuka harapan baru bagi dunia kedirgantaraan dan militer Indonesia dengan menciptakan pesawat tanpa awak yang diberi nama Super Drone.
Berawal dari penunjukan dirinya sebagai penanggung jawab penelitian dan pembuatan drone oleh Universitas Surya yang bekerja sama dengan TNI-AD, Thombi lalu mengumpulkan sejumlah peneliti sebagai tim pembuat Super Drone. Jumlahnya tujuh orang dan semuanya merupakan pakar di bidang aeromodeling.
Tim itu juga diperkuat tim ahli dari TNI-AD. ”Jadi, total tim beranggota 14 pakar,” kata Thombi kepada Jawa Pos saat ditemui Rabu lalu (25/6).
Mantan peneliti BPPT (Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi) itu mengatakan, proyek tersebut nyaris membuat para anggota tim kencing berdiri. Sebab, proyek itu sejak awal ditargetkan selesai dalam enam bulan. Hal tersebut terkait dengan dana yang terbatas, yakni sekitar Rp 1 miliar. Waktu enam bulan itu relatif singkat untuk sebuah proyek pembuatan pesawat tanpa awak. Juga, mulai Oktober 2013 proyek itu dieksekusi.
Meski begitu, Thombi cs tidak lantas mundur. Target waktu yang singkat dan biaya yang terbatas bagi sebuah proyek berteknologi tinggi tersebut mereka jadikan tantangan. Thombi juga perlu memompa semangat timnya agar bekerja keras menyelesaikan proyek itu sesuai dengan target waktu yang dicanangkan.
”Harus siap berpanas-panas. Kalau tidak mau, jangan bergabung di tim ini,” tegasnya.
Dengan berbekal pengetahuan, ketelitian, dan kerja keras, akhirnya Thombi cs berhasil menyelesaikan pembuatan Super Drone dalam waktu enam bulan pada Maret 2014. ”Sepanjang sejarah di Indonesia, yang saya tahu, (pembuatan drone) ini rekor tercepat. BPPT saja itu butuh waktu 15 tahun,” ujar pria kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1966, tersebut.
Tidak hanya selesai membuat bodi, Thombi dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone bisa terbang nyaris sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji coba di lokasi latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat.
Memang menerbangkan Super Drone yang baru jadi tersebut tidak bisa sembarangan. Perlu memperhatikan kondisi cuaca dan arah angin. Sebab, apabila salah memperhitungkan cuaca, drone bisa gagal lepas landas atau jatuh.
”Makanya, harus sabar. Kalau tidak bisa hari ini, ditunggu sampai besok hingga cuacanya bagus dan memungkinkan untuk menerbangkan,” terang Thombi.
”Momen yang paling luar biasa adalah ketika melihat drone berhasil lepas landas. Rasanya, terbayar kerja keras kami selama ini,” tambah doktor yang pernah bergabung di Japan Society for Aeronautical and Space Sciences tersebut.
Super Drone karya Thombi dan timnya punya bobot total 120 kilogram dengan rentang sayap 6 meter dan panjang 4 meter. Drone itu mampu membawa bahan bakar bensin hingga 20 liter di udara. Bensin dibawa dengan menggunakan dua tabung yang diletakkan di tiap-tiap sayap. Dengan stok bahan bakar sebanyak itu, Super Drone mampu terbang 6–9 jam dengan daya jelajah sejauh sekitar 100 kilometer. Pesawat itu juga bisa membawa beban seberat 45 kg saat terbang.
Meski bukan drone pertama yang dibuat di Indonesia, terang Thombi, Super Drone akan menjadi bagian dari alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI-AD untuk kepentingan pertahanan negara. Ke depan, Super Drone disempurnakan sehingga dapat digunakan untuk menyerang musuh, seperti Predator Drone milik Amerika Serikat atau Eitan kepunyaan Israel.
”Tidak hanya untuk pertahanan, untuk aksi kombat juga bisa. Misalnya, tabung bensin diganti dengan bom. Minimal dapat digunakan untuk latihan menjatuhkan bom,” terang Thombi.
Menurut rencana, Super Drone dilengkapi dengan kamera pengintai di bagian bawah kepala pesawat. ”Saat ini belum dipasangi karena masih butuh penyempurnaan. Kamera itu mahal harganya. Kalau dipakai sekarang, terus jatuh, saya bisa nangis,” ucapnya.
Kendati demikian, Thombi mengakui bahwa Super Drone masih jauh dari sempurna. Banyak bagian drone di sana-sini yang masih butuh penyesuaian dan penyempurnaan agar dapat digunakan di lapangan.
Menurut Thombi, yang paling sulit dalam penyempurnaan Super Drone adalah menentukan titik keseimbangan pesawat. Thombi, yang menamatkan program S-1 di Jurusan Teknik Penerbangan Texas A&M University, AS, mengatakan bahwa titik keseimbangan dalam pembuatan pesawat merupakan salah satu yang paling vital. Sebab, beda berat 1 gram saja akan memengaruhi posisi pesawat saat berada di udara.
”Kalau mobil atau truk beda berat di samping atau depan-belakangnya, ia masih bisa jalan di darat. Kalau pesawat, akan jatuh. Makanya, bidang penerbangan menuntut untuk disiplin dan teliti menghitung semuanya,” ujar dia.
Sebab, lanjut dia, waktu enam bulan yang diberikan buat penelitian dan penyelesaian drone tidak mencukupi untuk menciptakan drone yang punya kemampuan baik. ”Waktu enam bulan ya hasilnya adalah enam bulan itu. Jangan ini dibandingkan dengan drone milik Israel. Penelitian mereka bertahun-tahun dengan dana yang unlimited. Jadi, harus dibandingkan apple-to-apple,” tuturnya.
Selain bidang penerbangan, Thombi ternyata juga menekuni bidang maritim. Dia pernah terlibat dalam pembuatan kapal laut dan kapal selam kecil untuk keperluan penelitian di salah satu perusahaan pembuat kapal.
Bagi Thombi, sistem kerja pesawat terbang dan kapal selam tidak jauh berbeda karena sama-sama melayang. Bedanya, pesawat melayang di udara, sedangkan kapal selam ”melayang” di air laut. ”Bedanya ada di fluidanya. Yang satu udara dan satunya air,” ucapnya seraya tertawa.
Pengetahuan mengenai udara dan air tersebut dia wujudkan melalui hasil riset berupa perahu hovercraftyang dirancang dapat terbang di atas air. Perahu itu dapat melayang karena dilengkapi dengan sebuah kipas yang mengarah ke bawah dan sayap. Dengan mengatur pada kecepatan tertentu, perahu akan terbang statis setinggi sekitar 1 meter dari permukaan air.
Hovercraft terbang tersebut akan digunakan untuk program iFly yang dia gagas. Proyek itu merupakan program sosial untuk memperkenalkan pengetahuan berbasis teknologi tingkat tinggi kepada anak-anak putus sekolah. Dalam program tersebut, Thombi bakal memperkenalkan perahu terbang karyanya itu dan mengajak anak-anak untuk ikut mempelajari kinerjanya.
”Dengan memperkenalkan teknologi tingkat tinggi, anak-anak jalanan itu akan termotivasi bahwa mereka juga bisa menciptakan teknologi. Mereka punya potensi yang tidak mereka sadari, yaitu otak yang luar biasa,” tegas dia.(jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar