Rabu, 02 Juli 2014

PIONIR INDUSTRI PESAWAT TERBANG INDONESIA


Komodor Udara Nurtanio Priggoadisuryo
Berawal dari sebuah cita-cita yang sederhana, namun hingga akhir hayatnya cita-cita itu belum terwujudkan yaitu keliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya sendiri Indonesia tercinta. Nurtanio berasal keluarga terpelajar mengawali pendidikannya dari memasuki ELS (EuropeeschLagere School) SD Belanda, MULO (Meer Urgebreid Lagere Onderwijs) SMP,  AMS (Algemene Middelbare School), SMTT-IVEVO Sekolah Menengah Tinggi Teknik di Jakarta, dan Kogyo Senmon Gakko di Sawahan, Surabaya, JawaTimur. Dengan kecintaannya di kedirgantaraan Nurtanio juga telah mendirikan sebuah klub pecinta pesawat, namanya Junior Aero Club (JAC), padahal pada masa pendudukan penjajah Jepang bahasa Inggris dilarang digunakan.   Karena kecintaannya perhatian Nurtanio tidak terbatas kepada pesawat model, ia juga mulai mempelajari teknik penerbangan yang kebanyakan berbahasa Jerman dan gemar menggambar glider tipe Zogling obsesi awal Nurtanio.
Setelah menyelesaikan sekolah di SMTT tahun 1945, kemudian bergabung pada Biro Rencana dan Konstruksi Kementerian Pertahanan di Yogyakarta dan kemudian dilantik menjadi anggota TKR bagian Penerbangan dengan Pangkat OMU (Opsir Muda Udara) II.   Tahun 1946 ditempatkan di Pangkalan Udara Maospati (sekarang Lanud Iswahjudi).  Di sanalah dicurahkan semua pikiran dan tenaganya yang ada secara kongkrit untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan suatu industri penerbangan Nasional.  Karya Nurtanio dalam pembuatan pesawat diawali dengan membuat glider, pesawat tanpa mesin.  Pesawat glider pertama buatan Nurtanio dimasa perjuangan ini dinamakan NWG-1 “Nurtanio Wiweko Glider”.
Bersama rekan-rekannya dengan penuh semangat, sebelum akhir tahun 1946 berhasil membuat enam buah pesawat glider “Zogling” NWG-1.   Pesawat glider ini yang digunakan untuk menyeleksi dua puluh kadet penerbang yang akan dikirim ke Sekolah Penerbang di India.  Selain itu juga digunakan untuk propaganda di kalangan kaum muda dan remaja pada umumnya.

Pesawat RI-X

Keberhasilan sang maestro peran­cang pesawat diawali pada periode kemerdekaan antara tahun 1946-1948, berkat kerjasama dan kerja kerasnya para ahli pesawat Indonesia diantaranya Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Yum Sumarsono.  Pada tahun 1948, mereka berhasil membuat Experimental Light Plane (WEL X/RIX-1) pesawat sejenis “Paper Cub” hingga bisa terbang dengan menggunakan mesin bekas motor “Harley Davidson”

Pesawat Sikumbang

Atas prestasinya, Nurtanio kemudian dikirim ke FEATI (Far Eastern Aero Technical Institute), Manila, Filipina.  Dari FEATI mendapatkan gelar Bachelor in Aeronautical Sciences, di kampus Nurtania terkenal sebagai bintang universitas karena kemampuannya yang sangat menonjol, disamping belajar tentang ilmu pesawat terbang ia juga menerima pelajaran terbang dasar.

Pesawat Sikunang

Sebagai perintis industri penerbangan Indonesia pada awal tahun 1950 Nurtanio berhasil membuat pesawat dengan mengunakan all metal COIN (Counter-insurgency anti gerilya) dan fighter Indonesia yang dinamai Sikumbang-1. Sebuah Pesawat “single seat’, dilengkapi senjata otomatis untuk menembak dari udara ke darat. Uji coba terbang pertama pesawat sikumbang dilakukan oleh seorang “test pilot” berkebangsaan Amerika Kapten Powers pada tanggal 1 Agustus 1954. Pada awal tahun 1957 Nurtanio berhasil meluncurkan pesawat Sikumbang-2 dengan mengunakan mesin Continental 225 dk.             Pesawat buatan Nurtanio berikutnya adalah “Belalang”, yaitu pesawat latih dengan menggunakan mesin Continental 85 HP/90 HP untuk penganti pesawat Paper Cub yang sudah mulai tua.  Pesawat latih ini kemudian digunakan oleh Sekolah Penerbang AURI di Yogyakarta, Sekolah Penerbang Angkatan Darat di Semarang dan Sekolah Penerbang LPPU Curug di Jakarta.  Karya lain adalah pesawat olah raga Si-Kunang bermesin VW-25 HP/1190 CC yang semua materialnya berasal dari dalam negeri, Pesawat “Kinjeng” Pesawat penyemprot hama menggunakan mesin berkekuatan 150 HP. Helikopter “Kepik” dengan mengunakan mesin Continental 90 HP.
Pada tanggal 16 Desember 1961 diresmi­kan berdirinya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) dan Nurtanio ditugas­kan sebagai direktur yang pertama.  Sementara itu telah dibuat kontrak perjanjian antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Polandia untuk bekerjasama dalam mem­bangun suatu pabrik pesawat terbang di Bandung. Selain itu juga kontrak yang meliputi suatu usaha bersama memproduksi pesawat serbaguna PZL-104 Wilga “Gelatik”, dimaksudkan sebagai “training ground” untuk membina kemampuan dan mengumpulkan pengalaman-pengalaman tenaga teknisi Indonesia. Disisi lain bahwa pembukaan lembaga pendidikan tersebut untuk memperbanyak kader-kader yang handal. Seluruh kegiatan-kegiatan ini merupakan hasil pemikiran Nurtanio yang kemudian menjiwai adanya kontrak perjanjian tersebut. Maksudnya agar pada suatu ketika dapat kiranya dicapai suatu tahap sebagai pangkalan dimana bangsa Indonesia telah siap dengan fasilitas-fasilitas pabrik, tenaga manusia yang mempunyai keterampilan khusus dan pengalaman serta pengetahuan untuk dapat memproduksi pesawat-pesawat terbang, yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman.
Pengembangan pesawat terus berlanjut, di bawah Nurtanio, Indonesia mampu memproduksi berbagai pesawat.    Pengembangan pesawat tersebut berada di bawah periode Presiden Soekarno.  Keinginan Nurtanio yang belum terwujud adalah berkeliling dunia dengan menggunakan pesawat buatan sendiri.   Ketika nurtanio akan menyiapkan sebuah pesawat Arev (Api Revolusi), pesawat dimaksud adalah pesawat angkut ringan Super Aero 45 bermesin ganda buatan Cekoslowakia yang tergeletak di kawasan Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta. Kemudian pesawat di bawa ke  Lanud Husen Sastranegara Bandung untuk diperbaki.  Nurtanio dan para teknisi LAPIP berdiskusi dan bekerja keras memperbaiki pesawat itu, dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian hingga diperoleh suatu keyakinan bahwa pesawat dalam keadaan baik dan dapat diterbangkan dengan aman. 
Dengan idealisnya pribadi dan dedikasinya yang tinggi, sehingga Ia tidak mempercayakan kepada orang lain dan harus mencoba pesawat yang telah dimodifikasi sendiri, namun apadaya seorang manusia kalau Tuhan berkehendak lain maka berhentilah rencana yang selalu disiapkan oleh manusia.   Nurtanio Pringgoadisuryo meninggal saat test flight dalam uji coba menerbangkan pesawat Arev.     Kecelakaan pesawat terbang itu terjadi pada tanggal 21 Maret 1966, ketika menerbangkan Pesawat Aero 45 atau Arev buatan Cekoslowakia, yang telah dimodifikasi dengan memberi tangki bahan bakar ekstra.   Pesawat ini sebenarnya direncanakan akan digunakan untuk penerbangan keliling dunia, akan tetapi pada saat penerbangan diatas Kota Bandung pesawat mengalami kerusakan pada mesin, dengan kemampuan yang dimiliki Nurtanio berusaha untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega Bandung namun pendaratan itu gagal, karena pesawatnya menabrak sebuah toko.
Sebagai personel TNI AU yang professional dibidang penerbangan meninggal tanggal 21 Maret 1966, dengan usia yang relatif muda yaitu 43 tahun. Saat melak­sana­kan uji terbang tersebut Nurtanio didampingi kawan seangkatan Sekolah Penerbang Lanjutan di Andir Bandung, Kolonel Udara Supadio dalam peristiwa itu pula turut meninggal Kolonel Soepadio yang oleh TNI AU namanya diabadikan sebagai nama Bandara di Pontianak.
Oleh karena itu nama Nurtanio terpatri dalam perkembangan dunia Dirgantara di Indonesia, nama Nurtanio melekat pada industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya yang dimiliki Indonesia di wilayah Asia Tenggara.    Perusahaan tersebut berdiri pada 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dalam perkembangannya selalu berubah nama hingga sekarang bernama PT. Dirgantara Indonesia.  **pd

TNI AU. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar