Kamis, 10 April 2014

Pesawat Kepresidenan Akan Dirawat TNI AU dan Garuda

Pemeliharaan dan perawatan dilakukan dengan standar internasional.

Pesawat kepresidenan Republik Indonesia yang dibeli dai Boeing seri 737-800 BBJ II akhirnya mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (10/4/2014).
Pesawat kepresidenan Republik Indonesia yang dibeli dai Boeing seri 737-800 BBJ II akhirnya mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (10/4/2014). (VIVAnews/Ikhwan Yanuar)
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyerahkan perawatan pesawat kepresidenan kepada TNI Angkatan Udara dan pihak maskapai Garuda Indonesia. Mereka, kata Sudi, yang ditugaskan untuk merawat dan mengoperasikan pesawat kepresidenan ini.

"Saya minta TNI AU dan Garuda agar dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Pastikan pemeliharaan dan perawatan berkala yang terbaik dan berstandar internasional," kata Sudi di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis 10 April 2014.

Sudi juga meminta kepada TNI AU dan Garuda Indonesia untuk melakukan komunikasi intensif dengan Boeing yang merupakan pabrik pesawat ini.

"Pedomani standardisasi yang berlaku. Pastikan pula pesawat ini memberikan tingkat keamanan, kenyamanan dan keselamatan yang tinggi bagi presiden dalam menunaikan tugas konstitusional," kata dia.

Tak hanya itu, TNI AU dan Garuda Indonesia juga diminta untuk melakukan komunikasi intensif dengan Kementerian Sekretariat Negara dan pemangku kepentingan lainnya agar pengelolaan anggaran untuk pengoperasionalan dan perawatan pesawat ini berjalan dengan lancar.

"Cegah semua bentuk pemborosan anggaran, upayakan agar anggaran operasional dan perawatan benar-benar efesien dan efektif," kata dia.

Sementara, Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar, mengatakan memang penggunaan pesawat kepresidenan akan banyak efisiensi. Selain itu, tidak lagi mengganggu jadwal pesawat komersial lainnya jika tiba-tiba presiden memerlukan pesawat itu.

"Biasanya kalau tiba-tiba (presiden) harus berangkat kita harus reschedule flight kita. Sekarang sudah nggak ada lagi kan begitu," kata dia.
 

Mensesneg: Miliki Pesawat Kepresidenan Jauh Lebih Banyak Kemaslahatannya



Setelah melalui proses kurang lebih 2 (dua) tahun, pagi ini, pesawat Kepresidenan Republik Indonesia jenis Boeing Business Jet 2 atau BBJ-2 737-800  mendarat di Base Ops Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (10/4). Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi menyambut kedatangan pesawat yang terbang langsung dari markas Boeing di Chicago, Amerika Serikat itu. Hadir dalam kesempatan ini antara lain Menko Kesra Agung Laksono dan Menhan Purnomo Yusgiantoro.
Mensesneg Sudi Silalahi menjelaskan, pesawat kepresidenan seharga Rp 820 miliar ini khusus didesain untuk digunakan Presiden Republik Indonesia dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan.
Mensesneg menilai, hadirnya pesawat Kepresidenan pada hari ini, membuka lembaran sejarah baru bagi kita, bangsa Indonesia. “Inilah pertama kalinya, setelah hampir 69 tahun Indonesia merdeka, kita memiliki pesawat Kepresidenan,” ungkapnya.
Sebelum ini, menurut Mensesneg, Presiden Republik Indonesia dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan baik di dalam maupun di luar negeri, selalu menyewa pesawat komersial, yang tentu saja tidak seefektif dan seefisien, bila dibanding dengan memiliki sendiri pesawat kepresidenan.
Insya Allah, setelah melalui perhitungan yang cermat dan sangat teliti, disertai  pertimbangan yang matang dan masukan dari berbagai pihak, utamanya dari DPR RI, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kepemilikan dan penggunaan pesawat khusus kepresidenan, jauh lebih banyak kemaslahatannya,” ucap Sudi.

Jauh Lebih Hemat
Secara rinci Mensesneg Sudi Silalahi menyampaikan beberapa manfaat yang bisa diperoleh dengan kepemilikan pesawat kepresidenan RI itu.  Pertama, dari sisi anggaran negara, kata Mensesneg, penggunaan pesawat kepresidenan jauh lebih hemat dibandingkan dengan menggunakan pesawat komersial.
“Dari perhitungan yang kita lakukan dengan cermat, penghematan anggaran negara, selama masa pakai pesawat ini di beberapa tahun ke depan, bisa mencapai di kisaran Rp 114,2 miliar setiap tahunnya,” papar Mensesneg.
Kedua, dari sisi efisiensi dan efektifitas, lanjut Mensesneg, penggunaan pesawat khusus kepresidenan tentu tidak mengganggu jadwal dan kinerja maskapai penerbangan komersial. “Selama ini, perusahaan  penerbangan harus mengatur ulang jadwal penerbangannya apabila ada tugas-tugas kenegaraan yang mengharuskan penggunaan   pesawat bagi perjalanan dinas Presiden,” ujarnya.
Ketiga, sebagai negara besar, kata Mensesneg Sudi Sialahi. kita tentu lebih bangga apabila Presiden Republik Indonesia menggunakan pesawat khusus kepresidenan yang canggih, modern, aman, dan benar-benar difungsikan untuk melayani tugas konstitusional Presiden Republik Indonesia.
Mensesneg berharap pihak TNI Angkatan Udara dan Garuda yang diberi tugas untuk menyimpan, merawat dan mengoperasikan pesawat kepresidenan ini, agar dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Pastikan pemeliharaan dan perawatan berkala yang terbaik dan berstandar internasional,” pintanya.
Mensesneg juga meminta TNI AU dan Garuda menjalin komunikasi intensif dengan Boeing sebagai pabrikan pesawat ini.  “Pedoman standardisasi yang berlaku. Pastikan pula pesawat ini dapat memberikan tingkat kenyamanan, keamanan, dan keselamatan yang paling tinggi bagi Presiden dalam menunaikan tugas konstitusionalnya,” tuturnya.
Adapun terkait dengan  pengelolaan anggaran untuk pengoperasian dan perawatan pesawat ini, Mensesneg Sudi Silalahi meminta kedua instansi itu melakukan komunikasi efektif dengan Kementerian Sekretariat Negara dan pemangku kepentingan.
“Pastikan anggaran itu dapat dikelola secara transparan dan akuntabel. Cegah semua bentuk pemborosan anggaran. Upayakan anggaran operasional dan perawatan pesawat ini, benar-benar efisien dan efektif,” pinta Sudi.
Pesawat Kepresidenan jenis BBJ II 737-800 itu berukuran panjang 39,5 meter, rentang sayap 35,8 meter, tinggi ekor 12,5 meter, dan diameter 3,73 meter. Sementara itu, interiornya, panjang 29,97 meter, tinggi 2,16 meter, dan lebar 3,53 meter.
Selain itu, 737-800 BBJ II juga memiliki kemampuan jarak tempuh maksimal 10.334 kilo meter (km), kapasitas penumpang 50 orang, jarak tempuhnya terjauhnya turun jadi 8.630 km, kecepatan 871 kilometer per jam, dan kapasitas bahan bakar 39.539 liter.
 

HUT TNI AU di Balikpapan diperingati sederhana



Prajurit Korps Pasukan Khas TNI AU mengikuti gladi bersih upacara peringatan HUT ke-68 TNI AU, di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (7/4). Peringatan Hari Angkatan Udara yang jatuh pada 9 April 2014 mendatang, TNI AU meniadakan atraksi pesawat serta terjun payung karena bertepatan dengan Pemilu Legislatif. (ANTARA FOTO/. Agung Rajasa)

Balikpapan, Kalimantan Timur (ANTARA News) - Peringatan HUT ke-68 TNI AU di Pangkalan Udara TNI AU Balikpapan, Sepinggan, Kalimantan Timur, Rabu, dilaksanakan secara sederhana. 

"Sesuai instruksi Kepala Staf TNI AU, bahwa peringatannya cukup internal TNI AU dan sederhana," kata Komandan Pangkalan TNI AU Balikpapan, Kolonel Penerbang Tri Bowo.

Kesederhanaan itu terutama berkenaan dengan HUT TNI-AU tahun ini berbarengan dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014.

Setelah upacara di halaman depan pangkalan, digelar syukuran di pantai, yang tak lain dari halaman belakang markas. Selain para prajurit, hadir juga para purnawirawan bersama keluarganya.

Bowo pun duduk bersama para tetua yang sebagian turut membangun Pangkalan TNI AU Balikpapan sejak pertama kali.

"Saya sudah bertugas sejak 1959 sebagai operator radar," cerita Pembantu Letnan Satu (Purnawirawan) Sarpan, yang kini berusia 80 tahun.

Pada masa itu, stasiun radar milik TNI AU ada di Pasir Ridge atau Gunung Pasir, di bukit yang kini menjadi kantor perusahaan migas Chevron Indonesia Company.

Pada masa itu juga dimulai konfrontasi dengan Malaysia dalam kampanye Dwikora atau Dwi Komando Rakyat.

Personel di Pangkalan TNI AU Balikpapan pun lebih kurang hanya 50 orang. Sarpan menjadi salah satu personel angkatan pertama.

Sarpan kemudian didaulat bersama Danlanud untuk memotong nasi tumpeng tanda syukuran.

Menurut Kapten Deni, perwira penerangan, panitia peringatan menggelar beberapa pertandingan olahraga, mulai pertandingan bulutangkis, bolavoli, hingga tarik tambang.

Kesempatan ini juga dijadikan sejumlah perwira yang ditugaskan ke tempat lain untuk berpamitan, minta maaf, dan minta diri.

"Walaupun sederhana, peringatan hari ini semoga berkah dan tetap dalam maknanya," kata Bowo, yang dalam perjalanan dari rumah jabatannya di Klandasan ke markas di Sepinggan, lebih kurang 10 km, sempat menciptakan sebuah puisi tentang pengabdian prajurit TNI Angkatan Udara kepada kesatuannya.

"Saya persembahkan untuk kita semua, terutama untuk para senior purnawiran," ujarnya takzim.


Memilih Pengganti F5 Tiger TNI AU


F-5 Tiger TNI AU (photo: Eddy Februanto Putra)
F-5 Tiger TNI AU (photo: Eddy Februanto Putra)

Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Udara masih mengkaji calon pengganti pesawat tempur F-5 Tiger yang akan dikandangkan. Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, mengatakan empat pesawat generasi 4,5 atau mendekati kemampuan pesawat siluman atau antiradar yang dilirik adalah Sukhoi Su-35 buatan Rusia, SAAB JAS Gripen produksi Swedia, Dassault Rafale dari Prancis, serta Boeing F/A-18E/F Super Hornet bikinan Amerika.
“Masih kami pertimbangkan dari sisi anggaran. Kami mempelajari yang paling menguntungkan pemerintah,” kata Rachmad kepada Tempo di kantornya, Rabu pekan lalu. Rachmad belum bisa memastikan jumlah anggaran untuk membeli pesawat baru.
Sumber Tempo di Kementerian Pertahanan mengatakan sebenarnya ada usulan baru pengganti F-5 Tiger. Yaitu Eurofighter Thyphoon yang diproduksi bersama oleh Inggris, Spanyol, Jerman, dan Italia. Usul pembelian Thyphoon diajukan oleh PT Dirgantara Indonesia.
Menurut sumber ini, PT DI beralasan para produsen Thyphoon lebih mau berbagi ilmu atau transfer teknologi. Bahkan, sangat mungkin PT DI diberi lisensi memproduksi beberapa suku cadang. “Kalau pesawat buatan Amerika dan Rusia tak ada transfer teknologi,” kata si sumber. Berdasarkan Undang-Undang Industri Strategis, pembelian alat utama sistem persenjataan dari luar negeri harus disertai dengan alih teknologi.
Direktur Teknologi Penerbangan PT DI Andi Alisjahbana tak mau berkomentar tentang usulan perusahaannya. Dia hanya mengatakan pengadaan persenjataan sebaiknya tak hanya melihat kecanggihannya. “Tapi diperhatikan pula kesediaan negara pembuat untuk membagi teknologi dengan industri dalam negeri,” katanya.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto menanggapi positif usulan Typhoon sebagai pengganti F-5 Tiger. Musababnya, Typhoon punya kemampuan relatif sama dengan calon pengganti lainnya. Hadi juga menilai pembelian Typhoon bakal menambah varian pesawat tempur Angkatan Udara. “Tapi keputusan pembeliannya berada di Kementerian Pertahanan.” Sejumlah pilot tempur yang ditemui Tempo justru menilai pemerintah seharusnya membeli Sukhoi Su-35. Pesawat ini dianggap superior di udara dan menimbulkan efek gentar bagi negara tetangga. Tempo.co / INDRA WIJAYA

Pesawat Kepresidenan: Tiba Kamis, Tapi SBY Tak Bisa Langsung Pakai

Replika Boeing Business Jet/Reuters
Replika Boeing Business Jet

Pesawat Kepresidenan RI dijadwalkan tiba Kamis pekan ini. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menunggu minimal seminggu sebelum menggunakan pesawat tersebut.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan Pesawat Kepresidenan harus terlebih dulu disertifikasi oleh Kementerian Pertahanan sebelum bisa digunakan oleh Presiden.
Kementerian Pertahanan diperkirakan membutuhkan seminggu untuk menyelesaikan proses sertifikasi pesawat tersebut.
“Sertifikasi dulu dari Kemenhan setelah itu kita baru serahkan ke TNI-AU baru siap beroperasi. dalam waktu dekat, mungkin paling lama 1 minggu,” kata Sudi di Kantor Presiden, Selasa (8/4/2014).
Pembelian pesawat kepresidenan dianggarkan pemerintah di dalam APBN 2011. Pesawat itu dipesan dari produsen pesawat Amerika Serikat, Boeing dengan perkiraan nilai pembelian US$91 juta.
Pemerintah telah 2 kali menunda jadwal penerimaan pesawat yang berjenis Boeing Business Jet 2 tersebut dari Agustus 2013 menuju Desember 2013 sampai akhirnya terealisasi pada April 2014.
Sudi mengatakan Pesawat Kepresidenan RI terlambat datang karena pemasok pesawat tidak bisa menyelesaikan proses uji coba sesuai jadwal yang disepakati akibat gangguan cuaca.
Akibat keterlambatan tersebut, lanjutnya, pemerintah mengenakan denda kepada produsen pesawat. Namun, Sudi mengaku tidak ingat secara pasti berapa besar denda yang dikenakan pemerintah atas keterlambatan itu.
“Kemarin ada masalah cuaca dan sebagainya ketika uji coba di sana dan itu juga kita denda sebagai kewajiban mereka,” papar Mensesneg.( info.bisnis.com)

Selasa, 08 April 2014

Respon Cepat, Nilai Keunggulan Tentara

Kecepatan respon tentara Rusia menganeksasi semenanjung Crimea kepunyaan Ukraina membuat AS “terpaku terpana” dan tak mampu berbuat banyak kecuali mengadu kepada PBB dan menjatuhkan sanksi kepada Papa Bear. Dengan belajar dari kasus kecepatan respon tadi AS lalu memperingatkan Tiongkok untuk tidak bermain api terhadap keinginan mencaplok Taiwan atau teritori lain yang diklaimnya. Soalnya bisa saja Tiongkok tersulut “birahi” militernya melihat kesuksesan jiran utaranya menduduki Crimea, lalu ingin pula “memeluk” Taiwan.
Kecepatan respon Indonesia ditunjukkan ketika sebuah pesawat asing melintas dari Malaysia menuju PNG tanggal 29 Nopember 2011 yang lalu.  Pesawat yang ternyata berisi PM Papua Nugini dan rombongan itu tertangkap radar militer di Banjarmasin lalu diintersep oleh 2 jet tempur Sukhoi dari Makassar untuk melakukan identifikasi visual.  Meski diprotes oleh PNG namun penyergapan itu membuktikan adanya kecepatan respon militer Indonesia terhadap adanya gangguan dan ancaman teritori.
Kesiapsiagaan Pasukan Marinir TNI AL
Ketidakcepatan respon militer ditunjukkan negara jiran Malaysia ketika pesawat MH370 rute KL-Beijing berbalik arah dan terpantau di radar militer Kota Bahru dan Butterworth. Dalam kondisi apa pun di setiap negara ada sejumlah jet tempur yang disiagakan untuk melakukan penyergapan terhadap pesawat tak beridentitas atau yang berperilaku nyeleneh di teritori udaranya.  Malaysia sebenarnya menyiagakan 3 F-18 Hornet di pangkalan Butterworth namun ketidakcepatan respon militernya mengakibatkan pesawat sipil dengan 239 penumpang dan awak hilang di telan laut dalam.
Meski didukung oleh keunggulan teknologi militer, namun nilai keunggulan tentara sesungguhnya terletak pada kecepatan respon personelnya. Teknologi militer adalah alat bantu untuk mempermudah dan memperindah tugas atau amanah. Teknologi militer adalah instrumen untuk mengabarkan dan memberitahu, kecepatan memutuskan adalah nilai keunggulan personelnya.  Dalam kasus MH370 ternyata ada pembohongan informasi yang menyebabkan Vietnam sempat marah dan menarik kapal perangnya dari lokasi yang diduga jatuhnya pesawat Malaysia itu. Selama 3 hari pertama negara-negara tetangga disibukkan pencarian di Laut Cina Selatan, baru kemudian diumumkan ternyata pesawat itu berbalik arah berdasarkan pantauan radar militer Malaysia.  Begitu lambatnya respon mereka dalam manajemen krisis.
Indonesia sudah lama memiliki satuan tempur berkualifikasi pemukul reaksi cepat untuk merespon setiap gangguan dan ancaman terhadap pertahanan dan keamanan teritori NKRI. Satuan ini dikenal dengan istilah PPRC yang selalu siaga sepanjang penugasan.  Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) adalah gabungan satuan tempur light infantry dari Kostrad, Marinir dan Paskhas bersama sejumlah alutsista yang disiagakan untuk merespon cepat.  Meskipun begitu tetap saja pemusatan kekuatan ada di pulau Jawa.
Skuadron Hercules TNI AU, bagian dari respon cepat
Implementasi pembentukan Kogabwilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan) tahun ini adalah bagian dari respon cepat situasi kawasan yang dinamis untuk merubah formula “masuk dulu baru digebuk” menjadi “berani masuk digebuk”. Kogabwilhan juga ingin menghapus paradigma pemusatan kekuatan militer di pulau Jawa.  Lihat saja penempatan skuadron baru F16 blok 52 di Pekanbaru, perluasan skuadron intai di Medan, penempatan skuadron heli tempur di Berau Kaltim, Papua dan Sumsel.  Kemudian pembangunan 1 divisi Marinir di Papua dan 1 batalyon di Batam.  Rencana penempatan skuadron jet tempur di Biak dan Natuna.  Juga pembentukan batalyon-batalyon baru di Kalimantan, NTT dan Papua adalah bagian dari upaya untuk respon cepat karakter militer.
Tentu saja gelar kekuatan militer dan alutsista ini kita dukung sebagai bagian dari hakekat bernegara dan gengsi bernegara.  Sebagaimana disampaikan oleh Panglima TNI Jendral Moeldoko dalam acara Dialog Kebangsaan di Metro TV Minggu malam 06 April 2014, bahwa Kopassus TNI AD adalah pasukan elite yang berada di urutan ketiga pasukan elite dunia. Tentu ini membangkitkan semangat dan gengsi bernegara. 
AS juga mengakui bahwa soal performansi, daya tahan dan daya juang, prajurit TNI sangat tegar. Sebagaimana dibuktikan ketika latihan bersama pasukan Marinir kedua negara di hutan Banyuwangi beberapa tahun lalu, Marinir AS harus mengakui keunggulan Marinir Indonesia dalam latihan daya tahan survival di hutan.  Demikian juga dalam setiap lomba ketangkasan prajurit di kawasan regional tradisi juara umum selalu dipegang oleh TNI. Performasi, ketegasan, daya tahan dan daya juang sangat menentukan kualitas respon atau reaksi cepat.
Keunggulan yang dimiliki prajurit TNI akan semakin bernilai bangga manakala dilengkapi dengan sejumlah alutsista berteknologi tinggi.  Itu sebabnya ruang modernisasi persenjataan TNI yang saat ini sedang diperhebat diniscayakan akan memberikan efek multiflier yang bergema ke segala arah.  Salah satu efek multiflier itu adalah respon reaksi cepat dengan dukungan alutsista pemukul dan pembanting.  Pembagian ruang Kogabwilhan dengan dukungan  alutsista gahar merupakan payung respon cepat dan tegas penjunjung kedaulatan. Kogabwilhan mengintegrasikan kekuatan darat, laut dan udara dengan dukungan alutsista segala matra di wilayah pertahanan masing-masing.
Jangan diabaikan, bahwa kesejahteraan prajurit merupakan bagian integral dari semua komponen pencipta respon reaksi cepat dan profesional. Oleh sebab itu penghebatan kekuatan alutsista dan performansi prajurit akan semakin sempurna jika diselaraskan dengan peningkatan kesejahteraan prajurit.  Kita meyakini bahwa pengucuran anggaran militer membawa pesan dan nilai untuk peningkatan kesejahteraan prajurit.  Maka bisa dibayangkan di depan mata kehebatan performansi prajurit TNI digabung dengan dukungan alutsista berteknologi dan kesejahteraan yang setara, betapa sempurnanya keunggulan tentara kita.
 

Kronologi Tewasnya 2 Anggota TNI AL Oleh Nelayan Thailand

Dua anggota TNI AL dibunuh dan jasadnya dibuang ke laut.

Seorang prajurit TNI AL berjaga di depan 32 nelayan Thailand yang tertangkap karena melakukan ilegal fishing.
Seorang prajurit TNI AL berjaga di depan 32 nelayan Thailand yang tertangkap karena melakukan ilegal fishing. (Antara/Feri) (Antara/Feri)
Dua anggota TNI Angkatan Laut dibunuh oleh nelayan Thailand pada 8 Maret 2014. Mereka dibunuh saat berada di dalam kapal pukat harimau bernama Sor Nattaya 7 yang tengah berlayar ke Pulau Talampa, sebelah selatan Selat Malaka.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut, Laksamana Pertama Untung Suropati menjelaskan ikhwal keberadaan anggotanya bertemu nelayan Thailand.

Kata Untung, saat itu anggotanya memergoki para nelayan Thailand tengah melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Natuna. Empat anggota TNI AL melihat dua kapal milik nelayan Thailand.

Untung menjelaskan, satu kapal yang digunakan oleh dua nelayan Thailand itu berbendera Indonesia dan bernama KM Laut Jaya 05.

"Sementara satu kapal lagi tidak diketahui namanya, karena ketika dicek kapalnya, nama kapal samar dan tidak terlihat jelas. Lalu, ketika anggota kami ingin meminta dokumen, mereka tidak memilikinya. Oleh sebab itu, kami anggap mereka melakukan tindakan ilegal," ujar Untung saat dihubungi VIVAnews Senin malam, 7 April 2014.

Empat anggota TNI AL yang saat itu memergoki kedua kapal Thailand, kata Untung, yakni Serda Mes Syamsul Alam, Bujang, Sersan Mayor Afriansyah dan Edi. Keempatnya lalu ingin membawa kedua kapal itu ke Landasan AL di Tarempa, Kabupaten Anambas di Kepulauan Riau.

"Mereka dibagi menjadi dua tim. Serda Mes Syamsul Alam dan Bujang naik dan mengawal kapal KM Laut Jaya 05. Sementara Sersan Mayor Afriansyah dan Edi, naik kapal yang tidak bernama itu," papar Untung.

Ternyata di tengah jalan saat menuju ke Tarempa, kapal yang tidak bernama itu, lanjut Untung mematikan lampu, sehingga KM Laut Jaya 05 yang berada di depannya kesulitan mencari. Suasana di sekeliling gelap.

"Kami saat itu terus berupaya mencari, namun hingga kini belum ketemu," kata Untung.

Kapal yang di dalamnya terdapat dua anggota TNI itu dinyatakan hilang pada Sabtu, 8 Maret 2014. Sementara KM Laut Jaya 05 tiba di Tarempa Minggu, 9 Maret 2014.

Untung menjelaskan pihak TNI AL sudah meminta bantuan kepada Pemerintah Thailand untuk mencari keberadaan kapal tak bernama itu. Namun, hingga saat ini, dia mengatakan belum ada laporan apa pun yang dikirimkan oleh Polisi Kerajaan Thailand.

Dia pun mengetahui soal adanya laporan dari media di Bangkok dan dalam negeri, bahwa dua anggota TNI AL telah dibunuh oleh nelayan Thailand itu. Tetapi, kata Untung, TNI AL belum berani menyimpulkan demikian, karena belum ada laporan dari polisi Kerajaan Thailand bahwa anggota TNI AL telah dibunuh dan jasadnya dibuang ke laut.

"Hingga saat ini belum ada konfirmasi dari Polisi Kerajaan Thailand. Kami masih terus berkoordinasi untuk mencari keberadaan kapal tersebut," kata Untung.

TNI AL, lanjut Untung, masih memiliki harapan yang besar anggotanya masih hidup, karena jasad keduanya apabila benar dibunuh, belum ditemukan sampai saat ini. Dia mengaku telah mendesak Polisi Kerajaan Thailand agar memberi informasi terkait perkembangan kasus ini, namun belum ada masukan resmi dari mereka.

Menurut laporan harian Bangkok Post, yang mengutip seorang sumber, kedua anggota TNI AL itu telah dibunuh dengan cara kepalanya dipukul menggunakan palu, lalu tubuh keduanya ditusuk hingga tewas.

Jasad keduanya lalu dibuang begitu saja ke laut lepas. Polisi Kerajaan Thailand hingga saat ini telah menahan sembilan tersangka terkait peristiwa pembunuhan itu.

Sementara kapal yang disebut TNI AL tidak bernama, menurut Bangkok Post diketahui bernama  Sor Nattaya 7. Kapal tersebut berhasil ditemukan polisi tanggal 13 Maret 2014. Pelaku diduga sengaja mengecat ulang kapal yang mereka gunakan untuk mencari ikan.

Vivanews.