Selasa, 12 Mei 2020

OV-10F Bronco, ‘Kuda Liar’ AS yang Kenyang Misi Tempur di Indonesia





Pesawat tempur taktis OV-10F Bronco milik TNI AU. Sumber gambar: Majalah Angkasa.


               Siapa tak kenal OV-10 ‘Bronco‘, pesawat anti-gerilya (Counter-Insurgency/ COIN) yang selalu bikin kelompok pemberontak kocar-kacir meski baru mendengar deru mesinnya dari kejauhan. ‘Kuda Liar’ ini merupakan peranakan dari North American Rockwell, pabrik pesawat asal Amerika Serikat (AS).
Sejumlah negara di dunia tercatat sebagai operator pesawat ini. Di antaranya adalah AS, Jerman, Maroko, Kolombia, Republik Dominika, Thailand, Filipina dan Venezuela. Selain negara-negara tersebut, perusahaan militer swasta (PMC) asal AS, Blackwater (sekarang Academi) juga tercatat sebagai penggunanya.
Tak ketinggalan, TNI Angkatan Udara (AU) pun pernah diperkuat Kuda Liar yang dibekali dua mesin Garrett T76-G turboprop ini. Versi yang diakuisisi adalah OV-10F, sebanyak 16 unit. Sepanjang masa dinasnya di Indonesia, unit yang tersisa hanya tujuh saja, sebelum akhirnya secara resmi dipensiunkan pada akhir September 2009.
Pesawat serang ringan bersayap tinggi ini resmi masuk dalam jajaran pasukan penggebuk TNI AU pada tahun 1976. Pesawat itu lalu bergabung di Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi di Maospati, Magetan, Jawa Timur selama periode 1976-1989.
Kemudian selama periode 1989-2004 Bronco dipindahkan ke Skadron Udara 1 di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur yang sebelumnya mati suri. OV-10F diungsikan karena kandangnya diisi jet tempur F-16 Fighting Falcon. Tahun 1999, skadron beserta penghuninya dipindahkan ke Lanud Supadio di Pontianak Kalimantan Barat.
Hingga akhir hayatnya (2004-2009), pesawat tempur taktis buatan AS ini bermukim di Skadron Udara 21 di Lanud Abdul Rachman Saleh. Skadron ini juga kembali dihidupkan setelah lama dibubarkan. OV-10F pindah ke skadron ini lantaran rumahnya di Skadron Udara 1 ditinggali penghuni baru, Hawk 100/200.

Walaupun berjenis pesawat sayap tetap, kemampuan OV-10F mirip dengan kemampuan helikopter serbu berat yang cepat, mampu terbang jarak jauh, murah dan sangat dapat diandalkan.
OV-10F menjadi tulang punggung TNI AU dalam melakukan operasi serangan udara setelah P-51D ‘Mustang‘ dipensiunkan. Selama 33 tahun pengabdian, OV-10F paling banyak melaksanakan operasi keamanan dalam negeri. Di antaranya adalah Operasi Seroja di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Operasi Tumpas di Irian Jaya (sekarang Papua), Operasi Halilintar di Tanjung Pinang, Operasi Guruh di Maluku, Operasi Halau di Kepulauan Natuna, Operasi Rencong Terbang di D.I. Aceh, dan Operasi Oscar di perairan Sulawesi.
Pesawat tail boom ganda ini mampu terbang pada kecepatan sekitar 560 km/jam, memuat bahan peledak eksternal seberat 3 ton, dan mampu terbang tanpa henti selama 3 jam atau lebih. Dalam banyak kejadian, pesawat ini mampu terbang baik hanya dengan menggunakan satu mesin.
Sederet keunggulan pesawat ini antara lain; mampu mengemban misi memuat berbagai macam senjata dan kargo, area pandang pilot yang luas, kemampuan terbang dan mendarat di landasan yang pendek, biaya operasi yang murah dan kemudahan dalam perawatan.
Dari segi persenjataan, pesawat ini dibekali satu M197 cannon 20 mm atau empat senapan mesin M60C 7.62x51mm, roket FFAR atau WAFAR, rudal AIM-9 Sidewinder serta bom hingga seberat 227 kg.
Setelah mengalami sejumlah kecelakaan yang merenggut nyawa penunggangnya, TNI-AU memutuskan untuk mengganti OV-10F Bronco dengan pesawat berkemampuan serupa, namun dengan generasi yang baru.
Dua kecelakaan fatal terakhir menyebabkan gugurnya tiga penerbang TNI AU. Mayor (Pnb) Robby Ibnu Robert dan Letnan Dua (Pnb) Harchus Aditya Wing Wibawa gugur dalam kecelakaan pesawat dengan nomor ekor TT-1011 di Gunung Limas, Desa Gadingkembar, Malang, pada 21 Juli 2005.
Kemudian pada 23 Juli 2007, OV-10 Bronco TT-1014 jatuh dari ketinggian 500 kaki atau sekitar 167 mdpl di Dusun Bunut, Desa Bunut Wetan, Kecamatan Pakis, sekitar 1,5 km arah selatan ujung landasan 35 Lanud Abdulrahman Saleh. Instrukturnya, Mayor (Pnb) Danang Prasetyo selamat karena sempat mengoperasikan kursi lontar.
Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya diputuskan Embraer EMB 314 Super Tucano asal Brazil sebagai penggantinya.
Selama pengabdiannya di TNI AU, dari kokpit Bronco telah lahir puluhan marsekal, mulai dari bintang satu hingga bintang empat. Setidaknya, ada empat Kepala Staf Angkatan Udara yang merupakan penerbang Bronco, yakni adalah Rilo Pambudi, Hanafie Asnan, Herman Prayitno, dan Imam Sufaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar