Kamis, 13 Maret 2014

DPR Apresiasi Kecanggihan Pesud CN 235-220 MPA

Replika Pesud CN 235-200 MPA (ist)
Replika Pesud CN 235-200 MPA (ist)

Bangsa Indonesia harus berbangga dengan hasil karya anak bangsa, pesawat Pesud CN 235-220, produk  produksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI).  Pesawat itu telah dilengkapi dengan alat surveillance kemaritiman yang canggih.
Pujian itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, di Jakarta (12/03), menanggapi penyerahan  Pesawat Pesud CN 235-220 MPA P 861 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penyerahan Pesud Pesud CN 235-220 MPA P 861 merupakan satu rangkaian gelar alat utama sistem senjata (alutsista) TNI AL, yang digelar di Dermaga Ujung Koarmatim Surabaya, Rabu (12/03). TNI AL memamerkan tank amphibi BMP3F, KRI 60, Ranpur Marinir 177, senjata strategis 6 unsur, material khusus 40 unsur.
Hadir dalam acara itu antara lain, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Kasal Laksamana Marsetio, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Wamenhan Sjafrie Sjamsudin, Menkominfo, Ketua Komisi I Mahfuddz Siddik dan anggota Komisi I Susaningtyas Kertopati.
Nuning, panggilan akrab Susaningtyas, menilai gelar Alutsista TNI AL menandakan bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen membangun sistem pertahananan laut bervisi kemaritiman yang mumpuni.
Tak hanya itu, Nuning juga berharap agar rencana strategis (renstra) pertahanan memiliki konsistensi untuk terus meningkatkan kemampuan SDM prajurit TNI dan kelengkapan amunisi alutsista serta sistem pemeliharaan yang baik.

Presiden Minta Industri Pertahanan Nasional Tidak Kalah Dengan Negara Lain


Seusai meninjau alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI Angkatan Laut, di dermaga Koarmatim, Ujung, Surabaya, Jawa Timur,Rabu (13 /3), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin rapat Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), di kawasan dermaga tersebut.
Dalam arahannya, Presiden menegaskan pentingnya pengembangan dan implementasikan kebijakan mengenai pertahanan. Selain itu, Presiden menegaskan pentingnya setiap negara memiliki kekuatan pertahanan yang baik, termasuk Indonesia.
Presiden mengaku ia kurang percaya dan setuju bila dunia tidak perlu pertahanan. “Dengan pertahanan yang baik, dunia akan lebih damai,” tutur Presiden SBY sembari mengingatkan, bagaimanapun sebagai negara berdaulat Indonesia memerlukan pertahanan yang tangguh.
Dalam kesempatan ini, Presiden SBY menyampaikan apresiasinya atas kemampuan TNI melakukan modernisasi pertahanan. “Hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan karena sudah agak lama Indonesia tidak melakukan modernisasi alutsista,” katanya.
Menurut Presiden SBY, krisis ekonomi yeng terjadi beberapa waktu lalu merupakan salah satu penyebab Indonesia belum dapat membangun alutsista. Namun, kini degan izin Tuhan YME, hari ini dapat terlihat bagaimana Indonesia melakukan modernisasi alutsista baik darat,laut dan udara.
“Kita tidak ingin berperang, namun jika harus bertempur dan pertahankan kedaulatan, kita sudah siap,” tegas Presiden SBY.
Ditegaskan Kepala Negara, bahwa perang adalah jalan terakhir. Namun, jika ingin damai, hal itu berarti juga untuk berperang. “Peperangan itu hrganya amat mahal. Itulah alasan mengapa Indonesia lebih memilih politik dan diplomasi,” ujar Kepala Negara.
Presiden menambahkan, bahwa modernisasi alutsista penting dan relevan dalam hal konteks strategis. Karena itu, karena tahun ini adalah masa bakti terakhirnya,  Presiden SBY berharap Presiden berikutnya dapat melanjutkan pengembangan modernisasi alutsista.
Menurut Presiden, saat ini telah dimulai industri strategis dan pertahanan milik swasta/BUMN yang mendukung modernisasi alutsista. Meskipun demikian, Presiden SBY mengingatkan, agar semua ini harus dari kebijakan yang benar, rencana yang benar, dan alokasi anggaran yang tepat.
Presiden SBY menegaskan, bahwa Indonesia tidak boleh kalah dengan industri pertahanan negara lain. Untuk itu, Presiden mengajak seluruh elemen terkait untuk menjadikan industri pertahanan yang kompetitif.
“Bangsa ini harus bersatu,” kata Presiden SBY seraya menyebutkan, ia tidak senang bila kebijakannya dicampuri urusan politik ataupun yang lain.
Rapat KKIP itu  dihadiri oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yosgiantoro selaku Ketua Harian KKIP, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Seskab Dipo Alam, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisyahbana, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Mendikbud M. Nuh, Panglima TNI Jendral Moeldoko, para Kepala Staf angkatan dan Kapolri Jendral Sutarman. (Humas Setkab/Oct/ES)

Indonesia Ingin Produksi Pesawat Tempur dan Pesawat Terbang Tanpa Awak


Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yosgiantoro selaku Ketua Harian Komisi Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) mengemukakan, KKIP telah melakukan pembinaan industri pertahanan secara bertahap dan berlanjut untuk  meningkatkan kemampuan industri pertahanan tersebut, di antaranya dilakukan melakukan joint research and development maupun joint production.
Saat memberikan pemaparan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua KKIP dan para pengurus dan anggota KKIP di di dermaga Koarmatim, Ujung, Surabaya, Jawa Timur,Rabu (13 /3), Menhan Purnomo Yosgiantoro mengemukakan, dalam kurun waktu 2010-2013 KKIP telah merumuskan berbagai kebutuhan nasional yang bersifat strategis di bidang industri pertahanan.
“KKIP juga telah menetapkan beberapa program nasional, menerbitkan cetak biru riset alpahankam, serta merumuskan roadmap produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam),” paparnya.
Terkait pembangunan produk alat utama sistem persenjataan (alutsista) masa depan, Menhan menyebutkan, KKIP telah mencanangkan program new future products, meliputi pesawat tempur, pesawat angkut, kapal selama, kapal perang atas air, roket, peluru kendali, pesawat terbang tanpa awak, radar, combat management system, alat komunikasi, amunisi kaliber besar, bom udara, torpedo, propelan, kendaraan tempur, serta kendaraan taktis.
Sementara di bidang regulasi, menurut Menhan, i KKIP akan menyelesaian penyusunan beberapa aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) tentang imbal dagang, PP tentang penyelenggaraan industri pertahanan, Peraturan Presiden (Perpres) tentang pengelolaan industri pertahanan, dan Perpres tentang syarat dan tata cara pengadaan alpalhankam.
Industri Pertahanan Andal
Dalam paparannya itu, Menhan Purnomo Yosgiantoro menyampaikan, KKIP yang dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 merupakan amanat UU No. 16 Tahun 2012 tentang industri pertahanan.
“Visi KKIP adalah terwujudnya industri pertahanan yang andal untuk kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam), sedangkan misinya adalah untuk menjamin komitmen dan konsistensi kebijakan untuk mewujudkan kemandirian, mewujudkan industri pertahanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi dan inovatif, meningkatkan kemampuan memproduksi dan memelihara alpalhankam menuju kemandirian pemenuhan alpalhankam, serta meningkatkan penggunaan produksi industri pertahanan (inhan) dalam pemenuhan alpalhankam,” terang Menhan.
Adapun tugas KKIP antara lain merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang industri pertahanan, menyusun dan membentuk rencana induk pertahanan yang berjangka menengah, mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan, menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan alpalhankam, mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan, menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan alpalhankam, mengkoordinasikan kerjasama luar negerii dalam rangka memajukan dan mengembangkan Inhan, melakukan sinkronisasi kebutuhan alpalhankam antara pengguna industri pertahanan, merumuskan pendanaan dan/atau pembiayaanIinhan, merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian alpalhankam hasil Inhan ke luar negeri, dan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Inhan secara berkala.
“Presiden adalah Ketua KKIP, sedangkan ketua hariannya adalah Menhan, dan Menteri BUMN sebagai Wakil Ketua. Anggotanya adalah Menperin, Menristek, Mendikbud, Menkominfo, Menkeu, Menlu, Menep PPN/Kepala Bappenas, Panglima TNI dan Kapolri,” jelas Menhan.
Ia menyebutkan, untuk pengembangan kekuatan pertahanan dan Inhan, pada 2010-2014  diarahkan untuk memenuhi postur alutsista kekuatan pokok, dilakukan revitalisasi inhan program jangka panjang, penyiapan program nasional. Pada 2015-2019 pembangunan alutsista diarahkan pada upaya mendukung postur kekuatan pokok, peningkatan kemampuan produksi, dan pengembangan alutsista.
Pada periode 2020-2024, lanjut Menhan, pengembangan akan dilakukan untuk mendukung postur ideal,pertumbuhan industri, serta peningkatan kerjasama internasional, dan nanti pada 2020-2025 diharapkan sudah mampu dalam kemandirian Inhan yang signifikan, kemampuan berkolaborasi secara internasional, serta perkembangan berkelanjutan.
Rapat KKIP itu  dihadiri oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yosgiantoro selaku Ketua Harian KKIP, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Seskab Dipo Alam, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisyahbana, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Mendikbud M. Nuh, Panglima TNI Jendral Moeldoko, para Kepala Staf angkatan dan Kapolri Jendral Sutarman. (Humas Setkab/EJW/OCT/ES)


M-30 Howitzer 122mm: Meriam Tarik Legendaris Korps Marinir TNI AL

576153_10200340336422737_586117179_n
Banyak hal yang membuat nama Korps Marinir TNI AL begitu lekat di hati masyarakat, selain sifat prajuritnya yang solid, Korps baret ungu ini juga identik dengan beragam alutsista eks era Uni Soviet. Sebut saja seperti tank PT-76, pansam BTR-50, dan Kapa K-61, usia ranpur tersebut sudah dipastikan jauh lebih tua dari anggota aktif Marinir yang paling senior sekalipun. Tapi hebatnya, ranpur-ranpur tadi dapat serviceable hingga saat ini dengan beragam program retrofit.
Tapi alutsista eks Uni Soviet di lingkungan Korps Marinir tak hanya berwujud ranpur, di Resimen Artileri Marinir ada roket BM-14/17, yang merupakan generasi self propelled MLRS (multiple launch rocket system) di Armed Korps Marinir. Lainnya masih ada, yaitu meriam M-30 (M1938) dari jenis howitzer kaliber 122 mm. Bila dibilang tua, ya jelas meriam ini sangat tua, karena diproduksi pada awal tahun 1939, dan masuk ke etalase Korps Marinir (d/h KKO AL) pada tahun 1961. Kedatangan meriam ini digadang sebagai perkuatan dalam masa operasi Trikora dan Dwikora.
Selepas dari haluan politik yang berubah pasca 1965, meriam M-30 masih tetap eksis dengan beragam retrofit. Wujudnya yang mudah dilihat adalah penggantian roda ban, model yang digunakan sekarang mirip dengan roda pada meriam LG-1 MK II kaliber 105 mm yang juga dimiliki Korps Marinir. Penggantian roda ini selain menjadikan meriam lebih garang, mobilitas meriam pun lebih mantap untuk menyambangi medan off road. Dalam operasionalnya, M-30 Korps Marinir TNI AL ditarik dengan truk Unimog 4×4.
Versi asli M-30
Versi asli M-30, perhatikan rodanya.
M-30 retrofit milik Korps Marinir TNI AL dengan adopsi roda baru.
M-30 retrofit milik Korps Marinir TNI AL dengan adopsi roda baru.
600px-BitvaZaMoskvu-M30
Bagaimana dengan kehandalan howitzer ini? Dengan kaliber 122 mm, proyektilnya mampu melesat sejauh 11,8 km pada sudut laras 49 derajat. Secara keseluruhan, sudut laras dapat diarahkan mulai dari -3 hingga 63,5 derajat. Secara umum, komponen meriam ini terdiri dari laras, recoil dengan penyangga hidrolik, gunshield (perisai/pelindung) awak, panoramic sight sebagai pembidik, pangkal laras dengan mekanisme piston, roda, dan spilt trails untuk ditarik oleh kendaraan. Untuk urusan ditarik ada batasannya, M-30 maksimum bisa ditarik hingga kecepatan 10 km per jam.
Bicara tentang amunisi, untuk melibas sasaran berupa infanteri, meriam ini tentu tak bisa melakukan perkenaan langsung ke target. Sebagaimana sifat howitzer, senjata ini mengandalkan lintasan melambung, bahkan lintasan proyetilnya ampuh untuk melintasi perbukitan. Jenis amunisi yang digunakan mulai dari HE (high explosive), dengan fragmentasi amunisi ini dapat menembus lapisan baja setebal 20 mm pada ranpur. Sementara untuk melibas sasaran berupa tank, ada pilihan berupa munisi HEAT (high explosive anti tank). Menurut catatan, HEAT sudah digunakan sejak era Perang Dunia Kedua, tepatnya dikembangkan pada 1943. Kabarnya beberapa tank Tiger NAZI Jerman ada yang rusak berat akibat terjangan HEAT M-30.
Gelar M-30 Howitzer dalam operasi Trikora
Gelar M-30 Howitzer dalam operasi Trikora
M-30 ditarik truk Unimog dalam defile HUT ABRI ke-50
M-30 ditarik truk Unimog dalam defile HUT ABRI ke-50
Pasmar06
M-30 terbilang laris dipasaran, setidaknya 40 negara telah menggunakan meriam ini. Dirunut dari sejarahnya, M-30 memang sudah ekstra sepuh. Pertama kali dirancang tahun 1938 oleh Design bureau of Motovilikha Plants, Rusia. Kemudian masuk masa produksi saat berlangsungnya Perang Soviet melawan Jerman pada tahun 1939. Karena dibuat untuk kebutuhan perang, produksi M-30 terbilang luar biasa, yakni 19.266 pucuk. Produksi meriam ini baru berakhir pada tahun 1955. Seperti sudah menjadi kebiasaan, sista Uni Soviet ini pun dicomot oleh Cina, dan kemudian diberi label Type 54.
Secara teori ,M-30 dengan bobot tempur 2,5 ton ini dioperasikan oleh 8 awak. Bila Korps Marinir biasa menarik meriam ini dengan truk Unimog, maka saat Perang Dunia Kedua, tentara Uni Soviet kerap menarik meriam ini dengan kuda. Dalam pola operasi amfibi, M-30 biasa dibawa dari LST (landing ship tank)/LPD (landing platform dock) ke daratan dengan kendaraan angkut amfibi seperti Kapa K-61 atau PTS-10. Bagi Anda sekalian yang penasaran ingin melihat dari dekat sosok merian ini, mudah saja mencarinya, M-30 bersama dengan tank PT-76 telah dijadikan monumen di gerbang masuk Ksatriaan Marinir Cilandak, Jakarta Selatan. (Haryo Adjie)



Spesifikasi
Tipe : Field Howtizer
Kaliber : 122 mm
Berat Tempur : 2.450 kg
Berat dalam mobilitas : 3.100 kg
Panjang laras : 2,8 meter
Panjang keseluruhan : 5,9 meter
Lebar : 1,98 meter
Tinggi : 1,82 meter
Rate of fire : 5 – 6 proyektil per menit
Jarak tembak max : 11,8 km

Pembangunan dermaga Pangkalan TNI AL Balikpapan mendesak



 Seorang anggota provos TNI AL melintas di dekat KRI Cakra-401 yang berlabuh di Pangkalan TNI AL Palu, Watusampu, Sulawesi Tengah, Minggu (12/5), dalam rangka mengisi bahan bakar dan perbekalan. Pangkalan ini diproyeksikan menjadi pangkalan khusus kapal-kapal selam TNI AL. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Tokoh masyarakat Kalimantan Timur, Ichlas Hasan, menyatakan, pembangunan pelabuhan dermaga TNI AL di Balikpapan, Kalimantan Timur, bersifat mendesak segera diwujudkan

"Perlu gerak cepat dalam menjaga kedaulatan dan keamanan NKRI di perbatasan," kata dia, dalam keterangan tertulis di Jakarta Kamis.

Balikpapan merupakan daerah perbatasan yang strategis terkait menjaga kedaulatan dan keamanan negara kesatuan Indonesia, sehingga diharus didukung berbagai hal, di antaranya dermaga khusus militer untuk mempercepat pergerakan kapal TNI AL.

Dermaga ini, kata dia, tidak bisa digabung dengan dermaga pelabuhan sipil. 

"Terlebih TNI AL memerlukan latihan dengan ruang lebih besar," ujar calon legislator DPRPartai Demokrat Daerah Pemilihan Kalimantan Timur itu.

Pangkalan TNI AL memiliki empat fungsi dasar, yaitu tempat mereparasi kapal dan peralatan pendukung, penggantian suku cadang, amunisi, dan personel, rekreasi, serta pengisian bekal ulang.

Kapal Selam Mana Lagi yang Akan Memperkuat Indonesia?

Kapal selam

Wilayah Indonesia mengangkangi salah satu wilayah titik kritis kapal selam yang paling penting di dunia. Sebagian besar perdagangan dunia harus melewati Selat Malaka dan perairan dangkal di pesisir sekitar kepulauan Indonesia. Hal ini menjadi alasan betapa pentingnya bagi Indonesia untuk menempatkan armada kapal selam di wilayah ini, tapi Indonesia hanya memiliki 2 kapal selam dari Kelas Cakra (U209) selain armada permukaan lainnya seperti frigat, korvet dan kapal serang cepat.

Galangan kapal Daewoo Korea Selatan, yang cukup memiliki pengalaman dalam membangun kapal selam Tipe U209, telah dikontrak untuk mengupgrade kapal selam Kelas Cakra dan pekerjaan sudah selesai. Meskipun sudah diupgrade, tekanan lambung Kelas Cakra tetap saja memiliki batas terkait keamanannya mengingat kapal selam ini sudah cukup berumur.

Sejak tahun 2007, Indonesia sudah serius untuk menambah armada kapal selam dari 3 sampai 6 unit. Galangan-galangan kapal yang berharap memperoleh kontrak pembangunan kapal selam dari Indonesia antara lain dari Perancis, Jerman, Rusia, Korea Selatan, dan bahkan Turki. Namun tampaknya prioritas anggaran kala itu masih untuk sektor lain, sehingga pembelian kapal masih tertunda. Seiring membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan sektor pertahanan menjadi prioritas utama anggaran, akhirnya pembelian pun jadi. Dan Korea Selatan lah yang beruntung memperoleh kontrak pembangunan 3 kapal selam dari Indonesia.

MEF dan Tawaran Kapal Selam

Kekuatan Pokok Minimum (MEF) Indonesia sampai tahun 2024 adalah minimal memiliki 10 kapal selam. Pada saat itu, 2 kapal selam Kelas Cakra (KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402) sudah memasuki masa-masa kritis, artinya untuk memenuhi MEF, tentu tidak cukup untuk penambahan 8 kapal selam saja. Pada 2011 lalu, Indonesia membeli 3 kapal selam dari Korea Selatan (kontrak yang disebutkan sebelumnya) dengan disertai transfer teknologi.

Secara umum, Indonesia bisa saja membeli kapal dalam selam diesel-listrik dalam jumlah yang diinginkan dari 5 galangan kapal yang dikait-kaitkan selama ini. Namun ada pertanyaan teknis, apakah Indonesia menginginkan sistem Air-Independent Propulsion (AIP) dilengkapkan pada kapal selam yang memungkinkan bagi kapal selam untuk beroperasi di bawah air tanpa muncul selama 3 minggu?. AIP juga menjadikan kapal selam diesel listrik lebih sulit dideteksi, tapi konsekuensinya adalah biaya yang lebih dan akan memprovokasi negara-negara tetangga. Berbeda dengan kapal selam konvensional yang sering menunjukkan benderanya di permukaan, tentu lebih terlihat bersahabat. Tapi kita tentu menginginkan kemampuan TNI AL yang optimal, tetangga tidak perlu risau dengan kekuatan apa yang kita miliki, toh kita bukan bangsa Bar Bar. Dan tampaknya kapal selam ketiga (kontrak dengan Korsel) yang akan dibangun oleh PT PAL ditargetkan akan dilengkapi dengan AIP.

Berbicara soal kapal selam U209 yang merupakan produk Korea lisensi dari Thyssen/Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW) Jerman, produk terbaru HDW adalah U214 yang sudah dilengkapi dengan sistem AIP. Kapal selam ini lebih canggih dari U209 dan tentunya juga lebih mahal. Beberapa varian dan desain khusus dari kapal selam tipe ini telah diorder oleh Italia (U212A), Yunani, Korea Selatan, Turki dan Jerman Sendiri.

Indonesia sudah mengoperasikan Tipe U209, dan salah satu pilihan awal Indonesia adalah untuk membeli lebih banyak U209 dengan sistem internal yang sepenuhnya modern. Dari segi biaya dan teknis, sebenarnya pilihan ini masih cukup tepat untuk Indonesia saat ini.

Kapal selam dari Thyssen/Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW) diproduksi oleh Jerman, Korea Selatan dan Turki. Turki tampaknya mencoba mendekati negara-negara Islam untuk mendapatkan pekerjaan bagi galangan kapalnya. Namun disisi lain Korea Selatan sudah memiliki hubungan yang baik dengan armada kapal selam Indonesia, ditambah lagi dengan klausul transfer teknologi, akhirnya Korea Selatan memenangkan kontrak awal pembangunan 3 kapal selam, namun Turki tentu tetap berminat dan siap menerima kontrak bila ada lagi pesanan dari Indonesia.

Ada pula galangan kapal DCNS Perancis yang menawarkan 3 hasil karyanya. Yang paling menonjol adalah kapal selam Kelas Scorpene yang telah dibeli oleh Malaysia dan India (India merakit sendiri namun pembangunannya molor). Scorpene bisa dibeli dengan atau tanpa sistem AIP, seperti pendahulunya Agosta 90B yang sedang dibangun untuk Pakistan dalam dua konfigurasi. Hingga saat ini, Scorpene yang diorder adalah varian CM-2000 standar (konvensional/non AIP).

Salah satu pilihan unik lainnya dari DCNS adalah kapal selam Kelas Andrasta. Kapal selam kecil dengan bobot benaman 855 ton lebih ditujukan untuk dioperasikan di pesisir atau lingkungan perairan dangkal seperti Indonesia. Kapal selam kecil ini banyak menggunakan teknologi Scorpene, namun daya jelajahnya lebih pendek dan 6 tabung torpedonya hanya bisa dimuat di dock. Kapal selam kecil ini dibuat sebagai ganti bagi yang menginginkan kapal selam silent namun dengan biaya yang rendah. Tapi tampaknya Indonesia tidak tertarik dengan tawaran DCNS.

Vietnam, wilayah lautnya mirip Indonesia dan memiliki anggaran pertahanan yang minim, lebih memilih untuk membeli kapal selam Kelas Kilo dari Rusia dan dari pemberitaan yang beredar tampaknya Indonesia juga semakin dekat akan memiliki kapal selam dari Rusia.

Secara "diam-diam," Rusia sudah menancapkan kakinya di Indonesia. Rusia sudah mulai menyuplai alutsista ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Utamanya adalah pembelian jet tempur Sukhoi dan kendaraan lapis baja, tidak hanya itu, TNI AL juga sudah diperkuat dengan rudal supersonik jarak jauh P-800/SS-N-26 (Yakhont) yang daya hancur dan keakuratannya mengkhawatirkan musuh.

Indonesia tentu mengapresiasi tawaran kapal selam dari Rusia, ditambah lagi "sikap" Rusia yang tidak mengintervensi peralatan-peralatan tempur buatan mereka akan digunakan untuk apa oleh operatornya. Kapas selam Kelas Kilo atau (mungkin Kelas Lada) buatan Rusia merupakan pilihan teknis yang baik untuk lingkungan Indonesia. Negara-negara terdekat yang telah mengoperasikan kapal selam ini (Kelas Kilo) adalah India, China dan Vietnam.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ekonomi Indonesia akan terus tumbuh, dan sektor pertahanan terus menjadi prioritas untuk menunjang pencapaian MEF ini? Kita semua berharap, semoga saja.
 

TNI AL Batal Beli 2 KS Kilo Hibah Rusia

TNI AL Tinjau Kapal Selam Rusia (photo: kenyot10)
TNI AL Tinjau Kapal Selam Rusia (photo: kenyot10)

TNI AL lebih mempercayakan pembuatan kapal selam kepada industri dalam negeri. “Jika dibandingkan memesan dari luar negeri, akan lebih cepat, efektif, dan efisien dari berbagai aspek apabila dibuat di dalam negeri,” kata Kepala Staf AL Laksamana TNI Marsetio kepada wartawan di Komando Armada RI Kawasan Timur, Ujung, Surabaya, Rabu, 12 Maret 2014.
Hal itu diputuskan TNI AL setelah melakukan fact finding ke pangkalan angkatan laut di Rusia bagian utara. Dua kapal selam jenis Kilo Class yang ditawarkan Rusia ternyata dalam kondisi tidak berfungsi. “Ternyata kapal itu sudah tidak digunakan sejak dua tahun lalu. Dari luar bagus, tapi mesin di dalam tidak fungsi,” kata Marsetio.
Apabila diperbaiki dipastikan akan memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan demikian hal itu menjadi pertimbangan TNI AL untuk tidak membelinya.
Kapal selam baru juga sempat ditawarkan, tapi ditolak TNI AL lantaran TNI AL mempertimbangkan rencana pemerintah yang ingin meningkatkan industri pertahanan dalam negeri.
Saat ini Indonesia membuat dua unit kapal selam di Korea Selatan dan satu unit kapal selam dibuat PT PAL. Marsetio mengatakan, apabila anggaran tersedia dan mencukupi, kebutuhan 12 kapal selam TNI AL akan diutamakan diproduksi di dalam negeri.
Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang diketuai Presiden juga akan melihat mana dari 12 kapal selam itu yang dianggap lebih menguntungkan untuk dibuat.
Dalam master plan pembangunan industri pertahanan tahun 2010-2029, pemerintah Indonesia ingin mewujudkan kemandirian pertahanan. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan ada dua target utama, yaitu alat utama sistem persenjataan dan industri pertahanan. “Target alutsista yang akan dicapai adalah alutsista yang memiliki mobilitas tinggi dan daya pukul,” kata Purnomo.
Sedangkan target industri pertahanan yang ingin dicapai adalah terwujudnya kemampuan memenuhi permintaan pasar dalam negeri, kemampuan bersaing di pasar internasional, serta kemampuan mendukung pertumbuhan ekonomi. (tempo.co /AGITA SUKMA LISTYANTI)