Selasa, 22 Oktober 2013

Intel Dilarang Mengurus Hal yang Bukan Urusannya

BANYAK urusan yang bisa dikerjakan intel. Karena itu, sebaiknya aparat intelijen kita tak mengurusi masalah di tugas pokok dan fungsinya.

 Tubagus Hasanuddin



Semarak menjelang Pemilu 2014 telah dimulai. Tak hanya kampanye, namun penguasa mulai menunjukkan tajinya dengan memanfaatkan aparat negara untuk mendukung kelanggengan kekuasaan. Benarkah?


Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin mengungkapkan sinyalemen itu. Menurut dia, akhir-akhir ini pemerintah cenderung mudah sekali memanfaatkan aparat intelijen untuk tugas-tugas yang tidak menjadi tanggungjawab mereka. Misalnya dalam kasus Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang akan ikut campur dalam urusan pemilu dengan masuk ke lembaga KPU.

"Pemerintah membiarkan lembaga sandi/intel ini terlalu masuk dalam ranah publik yang bukan menjadi tanggungjawab lembaga itu," ujar Hasanuddin, Senin (21/10) .

Kata Hasanuddin, Lemsaneg yang di Singapura bernama Internal Security Departement,  di Amerika bernama National Security Agency, dan di Australia bernama Australia Security Internal Organisation, tidak pernah ikut campur urusan-urusan pemilu .

"Sehingga apa pandangan publik internasional nanti kalau pemilu di Indonesia melibatkan aparat intel (Lemsaneg) tersebut?" ujarnya .

Sementara  dalam hal rumor penculikan Prof. Subur Budisantoso oleh BIN, kata Hasanuudin, seharusnya BIN melakukan kroscek lebih dulu terhadap panitia PPI soal apa sesungguhnya yang terjadi. Terlebih persoalan ini bukan masalah negara, melainkan internal partai penguasa, Partai Demokrat, dengan PPI.

Ia menyesalkan jika lembaga negara seperti Kepala BIN, Menko Polkam bahkan Juru Bicara Presiden diorganisir oleh Istana untuk melawan panitia sebuah diskusi. Lembaga-lembaga itu mestinya fokus pada peran masing-masing sesuai tupoksinya.

"Seyogianya Menkopolkam dan BIN sekarang ini menangani masalah-masalah penting seperti sengketa tanah di daerah yang semakin menghawatirkan. Atau masalah kriminalitas bersenjata yang semakin marak daripada mengurusi konflik intern partai," tegasnya.

Pembentukan Skadron F-16 di Sumatera

F16C Block 25 s/n 84-1281 saat masih berada di Skuadron 62nd FS [Frank Ertl collection]
 
Jajaran TNI AU segera menambah 24 pesawat tempur jenis F-16 yang menjadi bagian dari upaya melengkapi alusista (alat utama sistem persenjataan) di skadron Sumatera, serta dalam kiat meningkatkan kekuatan pengamanan negara di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
“Penambahan 24 pesawat itu, bukan pada tahun ini, tapi tahun 2014″, ujar Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, usai meresmikan Gedong Pusaka Padepokan Sangga Langit di Wonogiri, Jawa Tengah, 21/10/2013.
Penambahan 24 pesawat F-I6 itu, akan melengkapi alusista pertahanan udara Indonesia, disamping penambahan pesawat tempur Sukhoi, Hawk dan pesawat angkut pasukan jenis Hercules. Penambahan pesawat bukan untuk tujuan ekspansi, tapi untuk meningkatkan pertahanan kedaulatan negara Indonesia, ujar Menteri Pertahanan.
Penambahan pesawat tempur tersebut merupakan bagian dari program penambahan dan modernisasi alusista Indonesia, yang dalam program lima tahun terakhir dianggarkan dana Rp 150 triliun. Anggaran itu digunakan untuk penambahan alusista di jajaran TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU. Saat ini, kekuatan militer Indonesia berada di rangking 15 sampai 19 besar di tingkat dunia. ”Di kawasan Asia Pasific, Indonesia menempati di level menengah, sebab di sana ada kekuatan tinggi yakni Amerika dan Rusia,” ujar Purnomo Yusgiantoro.
F-16C block 32 yang akan dihibahkan ke Indonesia saat masih bergabung dengan Skuadron 113th TFS parkir di pangkalannya Terre Haute IAP, Oktober 1991 [Photo by Gary Chambers]
 
Menyinggung soal wajib militer, Menhan, menandaskan, tidak ada wajib militer di Indonesia. Yang ada, adalah tentara cadangan. Rencananya, Indonesia akan merekrut sekitar 1.000 sampai 2.000 calon tentara cadangan. Mereka akan dilatih kemiliteran, dan menandatangani kontrak. Penyiapan tentara cadangan ini, diperlukan untuk tugas-tugas saat negara membutuhkan tenaga mereka dalam penanganan bencana alam bukan perang. Inti kekuatan perang, tandas Menhan, yakni untuk mempertahankan kedaulatan negara, tetap berada di pundak TNI.
Upacara peresmian Gedong Pusaka Padepokan Songgo Langit, ditandai penandatanganan prasasti oleh Menteri Pertahan, dan diteruskan dengan pengguntingan untaian bunga melati yang dipadu dengan daun rontal, oleh Raja Surakarta, Ingkang Sinuhun Susuhunan Paku Buwono (PB) Ke 13 Hangabei.(suaramerdeka.com).


Sikumbang Pesawat Pengintai Ringan Bersenjata Buatan Nurtanio

Jauh sebelum hingar-bingar rencana pembuatan jet tempur KFX/IFX, tepatnya 1 Agustus 1954, sebuah pesawat ringan berkategori tempur sejatinya telah mengudara di tanah air. Itulah pesawat yang kemudian diberi nama NU-200 Sikumbang. Saat ini, monumen pesawat rancangan Mayor Udara Nurtanio ini dapat dilihat di kawasan pabrik PT. Dirgantara Indonesia di Bandung Jawa barat. Mungkin banyak pembaca telah mengetahui tentang pesawat ini. Tapi tahukah anda, filosofi dan hasil uji terbang Sikumbang sesungguhnya? Ternyata Mayor Udara Nurtanio sebagai perancang dan pembuat pesawat ini pernah menulisnya dalam Majalah Angkasa edisi TH.VI Oktober 1955. Berikut ini adalah intisarinya.

Ada salah kaprah dalam penggolongan jenis pesawat Sikumbang. Dalam literatur masa kini, disebutkan Sikumbang adalah jenis pesawat anti gerilya (Counter Insurgency). Namun pada kenyataannya, Nurtanio merancang Sikumbang sebagai pesawat pengintai ringan bersenjata. Dalam benak Nurtanio, pesawat-pesawat yang dioperasikan AURI medio 1950an belum ada yang tepat untuk melakukan misi pengintaian bersenjata. AURI memang sudah mengoperasikan pesawat intai Auster atau L-4J. Namun pesawat itu dinilai terlalu lamban, serta tidak dilengkapi senjata. Alhasil sasaran-sasaran yang telah ditemukan akan dibiarkan terlebih dahulu. Namun, dengan pesawat semacam Sikumbang, maka sasaran bisa langsung ditindak. Sementara, jika pengintaian menggunakan pesawat Mustang atau Jet, maka hasilnya tidak optimal lantaran dinilai terlalu cepat. Lebih daripada itu, Nurtanio juga membayangkan, Sikumbang ini nanti bisa menembak jatuh pesawat intai yang terbang sangat pelan, dimana pesawat sejenis itu justru sukar ditembak pesawat pemburu berkecepatan tinggi.
Selanjutnya, dalam hal perancangan, Nurtanio juga memikirkan banyak hal terkait proses produksi nantinya serta operasional. Nurtanio sangat menggaris bawahi, bahwa pesawat ini harus dapat dibuat sendiri oleh AURI, meski mesin tetap beli dari luar negeri. Lalu ongkos operasional yang lebih murah dari pesawat Harvard atau Mustang. Desain pesawat Sikumbang akan dibuat dengan sederhana, sehingga penerbang-penerbang AURI dapat mudah mengemudikan, tanpa perlu latihan transisi yang panjang dari pesawat lain. Kesederhanaan pesawat juga diperlukan agar pesawar bisa operasional di garis depan tanpa dukungan memadai.  Untuk misi pengintaian, kanopi akan dibuat lebar dan leluasa, sehingga pilot mempunyai bidang pandang yang baik untuk misi pengintaian dan penyerangan. Selain itu, Sikumbang juga bisa digunakan untuk Gerilya Udara maupun Lawan Gerilya. Filosofi demikian ini tentu mengingatkan kita pada pesawat OV-1 Mohawk  atau OV-10 Bronco yang muncul beberapa dekade setelahnya. Sungguh luar biasa pemikiran para pendahulu kita itu.
Untuk memenuhi hal tersebut maka Sikumbang harus memenuhi beberapa syarat.  Diantaranya, konstruksi pesawat musti amat sederhana namun kuat, sehingga bisa mendarat di lapangan kecil dan kasar seukuran 30x350 meter, serta gampang diperbaiki meski di garis depan. Untuk misi pengintaian, pesawat diharapkan dapat terbang cukup pelan dan stabil dengan kecepatan sekitar 80 mil/jam.  Namun demikian, untuk pertahanan diri, serta memburu pesawat intai (capung) musuh, Sikumbang mampu melaju hingga 160 mil/jam. Sikumbang juga dipersyaratkan mudah dikemudikan dan manuverability-nya bagus. Untuk eksekusi sasaran darat dan udara, nantinya Sikumbang akan dilengkapi dengan 2 buah senapan mesin kaliber 7,7mm dan tambahan 4 buah roket atau 2 buah bom napalm. Komunikasi dengan pasukan di darat pun sudah dipikirkan dengan menempatkan radio secukupnya.
Namun demikian, pada saat proses pembuatannya ternyata tidak lah mudah. Hambatan utama datang dari material dan bahan pembuatan pesawat. Untuk membuat prototipe pertama ini, Nurtanio dan kawan-kawan menggunakan bahan-bahan yang sudah tak terpakai oleh AURI, alias rongsokan. Hal ini bisa diduga lantaran situasi negara yang belum benar-benar stabil, sehingga dukungan keuangan untuk mencari bahan ke luar pun sangat terbatas.
Kesulitan utama yang dihadapi tim perancang adalah dari mesin. Menurut literaturnya mesin De Havilland Gipsy Six mampu menyemburkan tenaga sebanyak 200HP. Namun kenyataannya, mungkin lantaran sudah tua dan bekas, saat dipasangkan mesin hanya mampu menggenjot hingga 175HP saja. Ditambah bobot mesin yang cukup berat, yaitu sekitar 450 lbs, maka kemampuan Sikumbang pun melorot jauh dari persyaratan yang diminta. Namun Nurtanio sendiri sudah mencatat kelemahan itu. Ia berharap, pada seri produksi akan digunakan mesin Continental  470-A yang memiliki daya 225HP namun beratnya hanya 350lbs.
Selain mesin, bahan baku body pesawat juga menjadi masalah. Lantaran terbatasnya material, bagian sayap dan bidang ekor harus dibuat menggunakan kayu. Hal ini justru menambah bobot pesawat serta menjadikannya tidak tahan iklim. Selain itu, konstruksi alat pendarat juga lebih berat, lantaran hanya itu yang ada di gudang AURI. Akibatnya, pesawat prototipe mengalami pembengkakan bobot mencapai 200 lbs.
Hasil Uji Terbang
Meski mengalami banyak kekurangan, kesaksian para pilot yang menguji terbang ternyata cukup memuaskan bagi Nurtanio. Karakteristik STOL bisa dilaksanakan dengan baik. Dilaporkan Sikumbang pernah mendarat hanya dalam jarak kurang dari 150 meter dengan muatan secukupnya. Namun untuk take off dengan jarak 350 meter dengan muatan penuh dan tanpa angin masih dirasa berat. Bila mesin Gypsi diganti dengan yang lebih kuat, Nurtanio yakin masalah itu bisa diatasi.
Demikian pula dengan kecepatan terbang. Untuk terbang pelan yaitu sekitar 80 mil/jam, tidak ada masalah berarti. Apalagi stall speed  Sikumbang hanya 55 mil/jam, sehingga dengan kecepatan 80 mil/jam pesawat dapat dikemudikan dengan baik dan stabil. Namun untuk kecepatan maksimum mendatar yaitu 160 mil/jam masih berat dicapai lantaran kurangnya daya mesin. Demikian pula dengan Rate of Climb pesawat. Awalnya Nurtanio menginginkan pesawat memiliki daya tanjak hingga 1200ft/min, namun pada uji terbang, maksimal yang bisa dicapai hanya 650 ft/min.
Sementara untuk persenjataan, belum semuanya bisa dipasang dan diuji coba. Hanya 2 senapan mesin 7,7 mm yang telah dipasang dan diuji dengan hasil cukup memuaskan. Namun demikian, alat pembidik masih harus disempurnakan. Sementara untuk penempatan roket dan bom, baru akan diuji coba pada seri produksi.
Selanjutnya Nurtanio dan kawan-kawan memang mengembangkan Sikumbang menjadi Nu-225. Pada seri ini, terlihat kanopi makin lebar. Namun tidak diketahui mengenai performa pesawat ini. Penulis sendiri belum menemukan catatan mengenai pembuatan dan uji terbang Nu-225. Sayangnya, hingga kini juga belum diketahui apa penyebab dibatalkannya seri produksi Sikumbang. Situasi negara yang masih rawan, kesibukan AURI dimasa itu dimana terjadi banyak pemberontakan, hingga masalah keuangan negara ditengarai menjadi penyebabnya.
Di masa kini, pesawat seperti Sikumbang boleh dibilang jauh ketinggalan jaman. Namun fillosofi dan pemikiran dibalik pembuatannya oleh Mayor Udara Nurtanio dan kawan-kawan, sungguh mengagumkan. Dimasa itu, ia bukan hanya memikirkan sebuah pesawat yang cocok untuk misi-misi AURI namun juga jauh ke depan.
Spesifikasi NU-200 Sikumbang
Data dari  Jane's All The World's Aircraft 1955–56
General characteristics
·    Crew: 1
·    Length: 8.16 m (26 ft 9 in)
·    Wingspan: 10.61 m (34 ft 10 in)
·    Height: 3.35 m (11 ft 0 in)
·    Wing area: 16.9 m2 (182 sq ft)
·    Aspect ratio: 6.6:1
·    Airfoil: NACA 23015 at root, NACA 23009 at tip
·    Empty weight: 795 kg (1,753 lb)
·    Gross weight: 1,090 kg (2,403 lb)
·    Fuel capacity: 205 L (54 US gal; 45 imp gal)
·    Powerplant: 1 × de Havilland Gipsy Six air-cooled inverted six-cyliner inline engine, 150 kW (200 hp)
·    Propellers: 2-bladed fixed pitch
Performance
·    Maximum speed: 256 km/h (159 mph; 138 kn)
·    Cruising speed: 224 km/h (139 mph; 121 kn)
·    Range: 960 km (597 mi; 518 nmi)
·    Service ceiling: 5,030 m (16,503 ft)
·    Rate of climb: 5.1 m/s (1,000 ft/min)

TNI Jamin Keamanan Presiden Saat Kunker ke Kalimantan Selatan

DALAM rangka mendukung rencana kunjungan kerja (Kunker) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), tanggal 22 sampai 24 Oktober 2013, Komandan Lanud Sjamsudin Noor, Letnan Kolonel Pnb. Esron S.B. Sinaga, telah melaksanakan berbagai persiapan guna menjamin keamanan dan keselamatan Presiden.


Persiapan dimulai pada hari Minggu, 20 Oktober 2013 dengan kedatangan pesawat Hercules TNI AU C-130. Pesawat ini membawa Kendaraan Khusus RI 1 beserta peralatan pendukungnya serta Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU BKO dari Batalyon 466 Makassar.

“Pasukan Khas TNI AU akan bertugas melaksanakan pengamanan dan penyelamatan Presiden selama melakukan kunker di wilayah Kalimantan Selatan bersama dengan Kompi Pasukan Lanud Sjamsudin Noor,” kata Komandan Pangkalan TNI AU Sjamsudin Noor, Letkol Pnb. Esron S.B. Sinaga seperti dilansir dalam siaran pers Dinas Penerangan TNI AU yang diterima Jurnas.com, Senin (21/10).


Esron menjelaskan untuk mendukung kegiatan kunjungan kerja Presiden di wilayah Kalsel, telah tiba Helly Super Puma H-3206 milik TNI AU di Lanud Sjamsudin Noor. Selain itu, juga telah melaksanakan patroli Cek Spot di wilayah Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, di Banjarbaru dan di wilayah Kota Banjarmasin.

Danlanud Sjamsudin Noor selaku Komandan Satgas Pengamanan Bandara Syamsudin Noor, meminta personel Lanud Sjamsudin Noor untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap daerah atau tempat yang menjadi tanggung jawabnya, seperti pengamanan wilayah Bandara Syamsudin Noor sebagai salah satu obyek vital.

“Jangan lengah sedikitpun. Tingkatkan kepedulian terhadap orang atau benda yang mencurigakan. Masing-masing anggota pengamanan harus tahu tanggung jawabnya sehingga tidak ada lagi anggota yang bertanya-tanya tentang tugas pokoknya. Ini untuk menghindari keragu-raguan pada waktu bertugas,” tegas Esron.

Menurut Esron, penerbangan di Bandara Syamsudin Noor akan tetap berjalan dengan normal, namun pada saat mendekati kedatangan dan keberangkatan RI 1 (VVIP) akan ada prioritas. Untuk penerbangan yang lain menunggu, dan setelah itu penerbangan akan kembali normal.

Esron berharap TNI/Polri, unsur Pemda beserta masyarakat Kalimantan Selatan dapat bersama-sama mendukung kunjungan kerja RI 1 ke wilayah Kalsel dengan aman, lancar dan sukses.
Jurnas 

Minggu, 20 Oktober 2013

Kisah Intel CIA di Bogor


DIA jauh dari sosok agen rahasia dalam film spy Amerika yang kerap kita tonton. Robert Marshall Read tidaklah gagah. Usianya 56 tahun. Badannya ringkih, dan rambutnya putih perak. Hidungnya khas: tinggi berlengkung tajam.

Sudah sepekan lelaki itu meringkuk di sel pojok kanan lantai satu gedung Badan Reserse Kriminal Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Tapi dia memang agak istimewa. Selama ditahan, selnya kerap dikunjungi warga asing.

Siapa Marshall? Dua informasi berbeda mencuat tentang lelaki ini. Ada yang bilang dia agen Central Intelligence Agency (CIA) yang bermarkas di Washington DC, Amerika. Sebaliknya, dia disebut-sebut buronan lembaga mata-mata kelas wahid itu.

Tapi mari berpegang pada keterangan resmi Mabes Polri, bahwa Marshall adalah bekas CIA, dan sekaligus buronan lembaga mata-mata itu. Dia dituduh terlibat perdagangan senjata api gelap, dan sejumlah kejahatan lain di Amerika, Inggris, dan Rusia.

Kata polisi, Marshall agen yang licin. CIA memburunya sejak 1974. Mengantongi 50 paspor berbagai negara, dia bisa melanggang ke pelbagai penjuru dunia.

Pada Agustus 2007, dari Johor, Malaysia, dia menyeberang ke Batam.  Di Indonesia, petualangannya lebih seru. Dia jatuh cinta dengan Lisna Herawati saat berada di Jakarta. Dia pun menikah dengan gadis 32 tahun itu. Mereka menetap di Cianjur. Lengkap dengan KTP dan paspor setempat.

Enam bulan kemudian, Marshall hendak meninggalkan Indonesia. Bersama Lisna, dia mengurus paspor di Kota Bogor, pada Januari 2008. Tapi, entah salah pada bagian apa, petugas Imigrasi di Bogor curiga. Kepala Imigrasi Bogor meneruskan informasi ini ke Kedutaan Besar Amerika. Lalu kedutaan itu mengutus tiga petugasnya. Di sinilah pertama kali muncul cerita Marshall adalah buronan CIA itu.

Setelah penangkapan itu, tak jelas di mana Marshall berada. Cerita soal dia simpang-siur. Informasi dari petugas Imigrasi saat itu, Marshall segera dideportasi ke Amerika.

***

Senin 14 Januari 2010. Seorang calo paspor, R. Simbolon, datang ke kantor Imigrasi Bogor di Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor. Simbolon membawa dokumen atas nama Robert Marshall Reid. Tujuannya mengurus paspor. “Dia menempuh prosedur normal,” kata Kepala Imigrasi Bogor, Ahmad Hasaf.

Petugas pun meminta Simbolon membawa Marshall pada Selasa 15 Januari 2010. Lelaki itu tiba pukul 10.30 WIB, bersama istrinya Lisna Herawati. Petugas mewawancarainya kembali. Aneh memang. Petugas imigrasi seperti tak punya data pemeriksaan Marshall dua tahun silam.

Tapi toh tetap ada yang mencurigakan. Marshal mengaku warga Indonesia keturunan Inggris. Namun gagap bicara Indonesia. “Padahal seluruh dokumennya menunjukkan dia Indonesia asli,” kata Ahmad.

Marshall punya kartu tanda penduduk bernomor 09.5005020352.0248 yang diteken Lurah Cempaka Putih Timur, Rugan M. Faisal. Di dalam KTP itu tertulis Robert beragama Islam, lahir di Jakarta, dan beralamat di Jalan Cempaka Putih Tengah XV/6 RT 01/08, Jakarta Pusat.

Selain KTP, ada juga buku nikah bernomor 134/52/III/2006, diteken H. Damar yang disebut petugas Kantor Urusan Agama Mampangprapatan, Jakarta Selatan. Di kolom isteri tertera nama Lisna dengan wali nikah Badang, seorang purnawirawan TNI.

Dokumen itu diduga palsu. Untuk kedua kalinya Marshall digiring ke ruang Pengawas dan Penindak Keimigrasian. Sayangnya, si calo Simbolon yang hendak diperiksa sudah kabur duluan. Lisna juga tak bisa menjawab soal status kewarganegaraan Marshall. ”Selanjutnya, saya melaporkannya ke Kedutaan Amerika,” kata Ahmad.

Hari itu juga tiga petugas Kedutaan Amerika datang ke Bogor. Setelah berbicara dengan Marshall dan meneliti data-datanya, tiga petugas itu mengakui Marshall warga negara mereka. “Disebutkan, Marshall pelaku tindak kriminal dan buronan tiga negara yakni AS, Inggris dan Rusia,” katanya.

Menurut informasi dari Kedutaan Amerika yang masuk ke Ahmad, Marshall terlibat kasus cek kosong, pemalsuan dokumen, dan senjata illegal. Cerita ini persis seperti disampaikan petugas Kedutaan Amerika dua tahun lalu.

Sehari kemudian, Marshall dititipkan ke tahanan Mabes Polri. Di sinilah muncul informasi Marshall adalah agen CIA. “Kami mencari tahu apa motifnya berada di Indonesia,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Ito Sumardi.

***

Jejak CIA di Indonesia, sepertinya juga bukan hal baru. Setidaknya, cerita itu sudah muncul sejak lembaga intel berdiri 1947. Pada masa itu, Harry S. Truman memimpin Amerika (1945-1953), dan dia membuat doktrin mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi. Amerika lalu rajin menghadang komunisme di seluruh dunia.

Pada masa Sukarno, yang anti imperialisme, dan condong ke Partai Komunis Indonesia, Indonesia menjadi intaian CIA. Tercatat sejumlah pemberontakan dalam negeri, disebut-sebut berkait dengan intelijen Amerika. Sepak terjang lembaga intel Abang Sam ini pernah diulas tajam dalam Legacy of Ashes, the History of CIA, karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, pemenang Pulitzer.

Setelah Sukarno tumbang, cerita soal intel Amerika beraksi di Indonesia muncul samar-samar. Layaknya organisasi intel, tak tercium geraknya. Paling banter, tudingan diarahkan ke jaringan Amerika di lingkaran elit teknokrat. Pada awal orde baru, sempat mencuat sebutan Mafia Berkeley, semacam koneksi elit pendukung orde baru, yang dididik di Universitas Berkeley, California, Amerika.

Nama CIA juga timbul tenggelam. Terakhir, misalnya, ada tudingan Laboratorium Namru-2 di Departemen Kesehatan bekerja untuk kepentingan intelijen Amerika. Namru adalah kerjasama Departemen Kesehatan RI dan Angkatan Laut Amerika sejak 1975. Dua lembaga swadaya masyarakat, An Nashr Institute dan Medical Emergency Rescue Committee menuding lab itu bekerja untuk intelijen Amerika. Para peneliti Namru, kata mereka, boleh membawa penelitian ke luar Indonesia tanpa diperiksa.

Terakhir, nama CIA mencuat tatkala penangkapan Umar al Faruq di Bogor pada 2002. Dicokoknya al-Faruq adalah bagian “perang melawan teror” yang digelorakan George W Bush setelah serangan al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin, ke dua menara WTC di New York, 11 September 2001.

Amerika menuding Al-Faruq kaki tangan jaringan bin Ladin di Asia Tenggara.  Persembunyian Umar terbongkar setelah polisi mendapat bisikan informasi dari  CIA. Al-Faruq lalu dijebloskan ke penjara Amerika Serikat di Bagram, Afghanistan. Memang, ada cerita dia berhasil kabur, dan kembali ke Irak, negara kelahirannya. Lalu, Al-Faruq diberitakan tewas dalam pertempuran di Basra, Irak Selatan, pada Oktober 2006.

Sejak itu, nama intel Amerika kerap muncul dalam aksi anti teroris di nusantara. Tentu saja, semua dalam format kerjasama Amerika-Indonesia.

***

Lalu apa tugas si ‘agen’ Marshall yang tertangkap di Bogor ini? Pemeriksaan pun dilakukan intensif oleh berbagai lembaga. Selain polisi, Marshall juga ditelisik oleh aparat Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Tapi jawabannya toh sama. Kepada penyidik, Marshal menampik bahwa dirinya adalah CIA. Sayangnya, tak banyak informasi keluar dari mulutnya.  Dari Kedutaan Besar Amerika juga tak ada komentar soal ini.

Sampai lelaki berhidung tinggi dengan lengkung tajam itu dipaksa pulang ke negerinya, Marshall hanya dinyatakan bersalah karena satu hal: melanggar aturan imigrasi. “Soal intelijen saya belum tahu,” kata Ito Sumardi.

Bahaya Bermain Agen Ganda

– Badan intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk kesekian kalinya mendapat tamparan yang memalukan. Kali ini sumbernya datang dari insiden yang menyebabkan tujuh agen lapangan CIA dan seorang intel Yordania tewas. Peristiwa naas itu bahkan terjadi di kantor perwakilan CIA di Afganistan, akhir Desember 2009 lalu.
Kendati dibantah oleh CIA dan pihak berwenang Amerika, banyak pengamat meyakini bahwa insiden itu terjadi akibat gegabahnya CIA dalam merekrut agen ganda.
Alkisah, seorang simpatisan al-Qaidah bernama Humam Khalil Abu-Mulal al-Balawi berhasil mengelabui para agen CIA di Afganistan. Caranya, dia berpura-pura sudah beralih kiblat ke Amerika dan berhasil meyakinkan mereka bahwa dia memiliki informasi tentang keberadaan pimpinan al-Qaidah.
Melalui perantara seorang intel dari Yordania, CIA lalu mengundang al-Balawi datang ke markas mereka. Yang fatal, al-Balawi dipersilakan masuk tanpa melalui pemeriksaan keamanan.
Para agen lapangan CIA sudah hakulyakin bahwa al-Balawi termasuk orang yang bisa dipercaya berkat rekomendasi agen dari Yordania itu, yang telah menangkap dan mengindoktrinasi al-Balawi sejak tahun lalu.
Alhasil, bukan informasi penting yang didapat, nyawa mereka yang melayang. Buat al-Balawi, undangan dari CIA ini adalah peluang emas yang tak dia sia-siakan untuk menunaikan misi penting dari pimpinan al-Qaidah: menjadi pengebom bunuh diri.
Para pejabat tinggi Amerika, termasuk Presiden Barack Obama, diam seribu bahasa tentang insiden itu. Apalagi, tak lama kemudian Amerika kembali diteror upaya pengeboman pesawat Northwest Airlines yang gagal dilakukan seorang penumpang asal Nigeria, pada 25 Desember lalu. Sama seperti al-Balawi dia juga merupakan simpatisan al-Qaidah di Yaman.
***
Menurut sejumlah pengamat, mengoperasikan agen ganda merupakan salah satu taktik andalan CIA dalam beroperasi di wilayah-wilayah yang sulit ditembus. Dengan mengandalkan tenaga lokal, CIA berharap bisa mendapatkan informasi intelijen yang lebih akurat dan lengkap. Itulah pula harapan CIA kepada al-Balawi, yang dikenal memiliki jaringan yang cukup luas di Afganistan.
Namun, seperti diakui CIA, bermain agen ganda memiliki resiko tersendiri. Menurut buku panduan CIA yang ditulis pada 1960an, itu merupakan operasi kontra intelijen yang rumit dan membutuhkan perhatian khusus.
Amerika dan Inggris pernah dengan cemerlang memanfaatkan agen ganda saat berperang dengan Nazi di Perang Dunia Kedua. Mereka mengetahui bahwa Nazi menempatkan seorang intel asal Spanyol di Inggris bernama Juan Pujol Garcia, yang memiliki kode sandi “Garbo.”
Garcia berhasil diciduk, namun penangkapannya tidak diketahui dinas intelijen Jerman, Abwehr. Berkat imbalan dan ampunan dari pimpinan intelijen Amerika dan Inggris, Garcia sepakat bekerja sama dan sengaja dibiarkan bekerja untuk Abwehr.
Sembari mengumpulkan data-data intelijen dari Jerman, Garcia lalu ditugasi menyuplai informasi sesat kepada Nazi mengenai kekuatan dan pergerakan pasukan sekutu di Inggris.
Operasi pengecohan Garcia yang terkenal terjadi saat Sekutu mempersiapkan penyerbuan ke Prancis. Garcia berhasil meyakinkan para penghubungnya dari Jerman bahwa Sekutu akan melancarkan serangan menuju Norwegia. Mendengar, informasi itu,
Nazi menumpuk kekuatan di Norwegia sekaligus mengurangi kekuatannya di Prancis. Hitler dan pimpinan militer Jerman termakan informasi sesat yang dikirim Garbo. Sekutu tidak pernah menyerang Norwegia, melainkan menggempur Prancis di Pantai Normandy, pada 6 Juni 1944, yang menjadi titik balik kemenangan pasukan Sekutu.
Berkat informasi yang didapat Garcia dari Jerman, Sekutu berhasil mengantisipasi serangan roket Nazi. Garbo pun terus menyuplai informasi sesat kepada Jerman hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Atas jasanya itu, Garcia mendapat penghargaan Iron First Class dari pemerintah Inggris. Padahal, penghargaan prestisius itu selama ini hanya diberikan kepada mereka yang bertempur di medan perang. Menyusul kesuksesan Garbo, pada Perang Dingin Amerika gencar mengerahkan agen-agen ganda mereka.
***
Kolonel John Hughes-Wilson, mantan pejabat intelijen Inggris, mewanti-wanti agen ganda harus terus dikendalikan dan selalu diawasi dengan ketat. Lengah sedikit, kata Hughes-Wilson bayarannya adalah insiden fatal seperti di Afganistan itu.
“Di sinilah kesalahan Yordania. Mereka merekrut seseorang yang pada dasarnya adalah jihadis dan berpikir bisa dengan gampang mengubah pendiriannya selama di penjara.”
 VIVAnews

Zulkifli Lubis Komandan Intelijen Pertama …

Dilahirkan pada tahun 1923, Kolonel Zulkifli Lubis adalah peletak batu dan komandan pertama badan intelijen Indonesia. Dia bergerilya di Sumatera dalam perang kemerdekaan. Pemimpin Gerakan Anti 17 Oktober 1952 Deputi Kepala Staf dan Penjabat Kepala Staf Angkatan Darat selama beberapa tahun dengan pangkat kolonel hingga meletakkan jabatan pada tahun 1956 salah satu gembong dalam pemberontakan PRRI – Permesta (1958). Kini tinggal di Bogor sebagai pengusaha. Atas permintaan TEMPO, tokoh yang pernah didongengkan bisa menghilang ini menceritakan panjang lebar sebagian dari perjalanan hidupnya pada wartawan kami, Muchsin Lubis.
(Dimuat dalam Majalah Tempo Edisi 29 Juli 1989)
SAYA dari kakak beradik bersaudara ada sepuluh orang. Tujuh wanita, tiga laki-laki. Kakak saya laki-laki nomor dua tertua sudah meninggal dan adik saya laki-laki yang terkecil, juga sudah meninggal. Jadi, kami dari tiga laki-laki itu, tinggal saya saja yang hidup.

Jadi, kalau jatuh pada acara warisan, tinggal saya yang mengaturnya. Dari saudara wanita, yang paling bungsu meninggal waktu lahir di Tapaktuan. Saya lahir di Banda Aceh yang dulu disebut Kutaraja pada tanggal 26 Desember 1923. Sehari lebih muda dari Natalan. Kalau yang hidup sekarang ini, ada adik di Banda Aceh, kemudian kakak saya di Medan, kemudian kakak saya di Magelang. Saya anak nomor lima.
Saya merasa, saya termasuk putera yang disayangi oleh kakek-nenek saya dan ayah-ibu saya. Mungkin karena laki-laki sedikit sekali di keluarga saya. Kemudian, rupa saya memang agak lain. Rupa saya waktu kecil, seperti orang Barat. Muka putih, rambut pirang dan mata biru, waktu kecil. Maka itu, ketika masih di sekolah rendah, di HIS, saya oleh guru Belanda – saya sampai sekarang tidak tahu sebabnya – saya satu-satunya murid yang didudukkan bersama-sama perempuan, sampai kelas tiga.
Orangtua saya bernama Aden Lubis gelar Sutan Sanalam. Ibu saya, Siti Rewan bermarga Nasution, tapi lahir dan besar di Aceh. Maka itu, kami itu lebih merasa sebagai orang Aceh daripada orang Tapanuli. Saya tahu bahasa Tapanuli, bahasa Mandailing, tapi tidak bisa membicarakan. Hanya mengerti. Kalau boleh dibilang, lahir di Aceh, saya lebih merasa sebagai orang Aceh dan besarnya bersama masyarakat, di Yogya. Tapi bahasa Jawa pun saya tidak pandai, cuma mengerti.
Selama saya sekolah itu, memang saya merasa disayangi orangtua saya maupun kakek-nenek, namun saya lebih dekat dengan ibu. Orangtua saya kedua-duanya guru di sekolah guru, normal school. Tapi ibu saya itu kawin muda, lalu berhenti jadi guru. Ayah saya sesudah 25 tahun kemudian berhenti lalu jadi pamong raja.
Waktu itu ayah saya jadi klerk di Banda Aceh, di kantor gubernur, kemudian pindah ke Tapaktuan. Di Tapaktuan itulah lahir adik saya yang laki-laki paling kecil dan adik saya perempuan paling kecil yang meninggal waktu lahir. Ibu saya pun meninggal dunia di Tapaktuan.
Kalau saya ingat kembali, saya banyak belajar bermacam-macam segi dari orangtua saya. Kalau dari ibu saya, saya belajar tentang kebersihan. Ibu saya itu sangat suka bersih. Kami bersaudara itu, kaki kami semua hanya boleh kena tanah pada hari Minggu saja. Selebihnya itu harus pakai sandal. Selain itu, ibu saya suka membaca dan menyukai sajak. Hingga saya juga ada bawaan suka sajak. Puisi. Dengan sajak Chairil Anwar, saya sangat tertarik, lalu Amir Hamzah, walaupun tidak sampai mendalami.
Kalau dari ayah saya, disiplin. Disiplin waktu dan kemauan kerja. Bapak saya, walaupun masih klerk di zaman Belanda, dia naik sepeda dari Kutaraja ke Lho’ Nga sekitar 14 kilometer, sebagai kontroleur. Pulang balik, mulanya. Karena saya disayanginya, dan belum sekolah, saya diboncengnya. Sampai di Lho’ Nga saya dititipkan ke pesanggrahan, lalu dia pergi ke kantor. Nanti sore hari, pulang naik sepeda lagi. Sampai begitu rupa – mungkin lelah karena usia lanjut – baru kira-kira seminggu sekali pulang ke Kutaraja. Itu tahun 1920-an. Saya memang selalu dibawa Ayah ke mana-mana. Dari dia saya dapat kesungguhan kerja dan pegang waktu.
Kalau dari kakek saya, Angku saya, dia hakim agama di Pengadilan Agama Kutaraja, saya belajar agama, sembahyang. Nama beliau Raja Imbang Nasution. Beliau kakek dari pihak Ibu. Saya adalah cucu yang paling disayangi. Sedang nenek dari pihak Ibu, istri angku saya. orangnya besar tinggi dan gemuk. Waktu kecil, saya sering tidur dengan dia. Kalau dia menumbuk sirih, saya sering ngelon ke dadanya. Karena dia gemuk, jadi hangat.
Saya sekolah dari HIS sampai ke MULO, di Aceh semuanya, sampai tahun 1940-an, sebelum perang. Karena orangtua saya menganggap saya cukup cerdas, pada umur empat tahun lebih sedikit, saya sudah sekolah. Di sekolah saya maju, hingga semua guru sayang pada saya. Baik guru Belanda atau guru Indonesia. Sava sekolah di HIS ke-II di Kutaraja. Pandai berhitung. Cepat. Semua pelajaran, saya senang, cuma pelajaran bahasa yang kurang. Kalau berhitung dan sejarah, saya mendapat nilai sepuluh. Apalagi berhitung luar kepala, saya tetap nomor satu. Ketika sekolah itu saya dipanggil Kifli, bukan Lubis. Nama panggilan ini sampai saya di AMS-B di Yogya. Baru zaman Jepang saya dipanggil Lubis, karena Lubis lebih mudah disebut dalam bahasa Jepang. Saya tamat MULO sekitar tahun 1941.
Saya orang suka membaca. Sewaktu di MULO itu, saya sudah mendengar dan mempunyai kesempatan membaca. Saya setiap hari membaca surat kabar Deli Blaad berbahasa Belanda, terbitan Medan. Kebetulan, anak tetangga saya di Kampung Atuk, dekat Makam Pahlawan, penjual surat kabar, termasuk’ Deli Blaad. Teman itu sering memberikan koran itu pada saya satu lembar. Dari situ saya tahu pidato-pidato Bung Karno, Hatta, Thamrin, dan Volksraad. Sungguhpun surat kabar itu dari modal perkebunan di Sumatera Timur, jadi sebenarnya kapitalistis, itu menaikkan semangat nasional kami sebagai pelajar MULO.
Dari situ saya mengetahui adanya pergerakan-pergerakan, walaupun tak bisa ikut aktif. Kami tak punya kesempatan. Cuma, di antara teman-teman kami punya perkumpulan di MULO. Namanya Patriot. Kumpulan Patriot ini merupakan kumpulan yang tidak mengikuti kehendak kolonial, kehendak Belanda. Kami, termasuk sebagian guru, terbilang masuk golongan oposisi, walaupun secara diam-diam. Ketuanya, waktu itu? Yahya Bahram Rangkuti. Misalnya, kalau ada upacara, kami tidak mau melagukan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Kami diam saja, kaki kami geser-geserkan ke teman lain, untuk mengajak agar diam saja.
Tamat MULO saya ke Yogya masuk AMS-B. Karena wajah saya seperti orang Belanda, di rumah saya dipanggil Yan. Itu panggilan kecil orang Belanda. Ketika saya mau ke Jawa, ibu saya bertanya, “Yan mau ke Jawa. Yan tahu apa yang paling utama?” Saya tidak tahu. “Yang paling utama adalah mencari nasihat. Bukan memberi nasihat,” kata ibu saya.
Kebetulan, ada peminta-minta yang cacat datang. Kemudian saya ditanya emak saya itu. Saya memang memanggilnya emak. “Kalau tadi Yan sudah menanggapi Emak bilang yang penting mencari nasihat, bukan memberi nasihat. Nah, sekarang Emak mau tanya. Nasihat apa Yan bisa dapat dari orang minta-minta itu?” Saya tidak bisa menjawab. Emak saya lalu menjawab, “Leven geduldig. Kesabaran hidup. Fitrah manusia bukan untuk mintaminta. Toh dia minta-minta. Satu segi baiknya, dia betah hidup. Dia sabar.”
Waktu sekolah di Yogya, ucapan emak itu terus terpikir. Kalau teringat kembali, mencari nasihat berarti kita itu harus demokratis. Kalau tidak, tidak bisa. Kita harus merendah diri. Sama dengan cara intelijen. Harus ramah, baru bisa mencari nasihat. Kalau kita sombong, tidak bisa mencari nasihat. Satu segi dari nilai demokrasi itu adalah mampu mengendalikan diri menjadi mencari nasihat.
“Yan harus datangi, kenalkan diri, satu, pada orang yang tertua umurnya di tempat itu. Artinya, pengalamannya. Kedua orang yang alim ulama. Ketiga, guru. Keempat, orang yang dermawan yang kaya. Bukan orang kaya yang kikir. Minta nasihat pada orang-orang ini,” kata ibu saya. Semua nasihat ini, dalam intelijen juga banyak dipakai, terutama dalam intelijen teritorial.
Kalau nasihat ayah saya lain lagi, karena seorang pamong praja. “Met de hoet in de hand, komt ye in de gang in de wereld,” artinya. “Dengan topi di tangan, kau bisa datang ke seluruh dunia.” Maksudnya, dengan hormat, sopan, tidak sombong, kau bisa kunjungi seluruh dunia. Itulah semua ajaran ibu dan ayah saya. Sama dengan ajaran intelijen. Dan itu yang saya praktekkan. Karena itu, waktu punya jabatan dulu, saya tidak membatasi tamu-tamu. Semua bisa menemui saya. Karena dari tamu-tamu itu saya – mungkin tamu itu cuma minta duit atau minta apa – saya dapat informasi gratis. Paling tidak dari lingkungannya. Maka itu, sampai sekarang, saya tidak mau membatasi orang yang mau bertemu saya. Saya tidak seperti pejabat sekarang. Susah sekali ditemui orang. Orangtua saya menasihatkan, “Kalau kau mencari nasihat, kau tidak akan bisa sombong. Kau harus mendengar bicara orang lain. Hargai pendapat orang lain.” Kalau dari segi politik, itu adalah benih demokrasi.
Pertama kali di Yogya saya tinggal di rumah seorang famili guru HIS di Tapaktuan. Dia punya famili di Yogya. Dengan surat guru itu, saya tinggal beberapa hari di situ, untuk orientasi. Setelah itu, kami dapat rumah di Gowongan Lor, Yogyakarta, di tempat Ibu Sastro. Ibu itu punya warung. Dia sangat baik. Sekitar 15 orang yang indekos di situ. Ada yang dan Bugis, ada yang dari Tapanuli, ada yang dari Medan dan lain-lain. Tapi saya tidak lama di situ. Bersama delapan teman dari AMS-B dan AMS-A, kami mengontrak rumah sendiri di Jetis.
Di AMS itu, Belanda memang teliti. Kita tidak dididik seperti robot. Tapi ilmu kita kita kembangkan. Kalau di MULO, masih dituntun dalam belajar, di AMS, kita baca sendiri. Seluruh cabang mata pelajaran ilmu pasti diajarkan di situ, ditambah sedikit dengan sejarah dan biologi serta bahasa yang tidak begitu mendalam.
Di AMS-B saya pelajar sedang saja. Masih orang Cina yang jadi nomor satu. Memang, di AMS-B Yogya itu, kebanyakan orang Cina. Tapi dalam pelajaran Aljabar, saya nomor satu. Di sana ada sistem, sewaktu-waktu kami disuruh ke depan kelas untuk mencoba mengajar. Misalnya untuk pelajaran llmu Tata Negara dan Sejarah. Pelajar diajar agar punya inisiatif, tidak hanya sebagai alat mati. Memang berbeda dengan zaman sekarang. Guru-guru kami tua-tua semua dan sarjana semua. Rata-rata doktor dan insinyur. Jarang yang satu titel. Kebanyakan dua atau tiga titel. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun.
Di AMS-B itu, perasaan kebangsaan tetap ada, walaupun tidak ada perkumpulan tertentu. Kami sering diskusidiskusi antarteman, termasuk teman dari Parindra. Kami sering mencemoohkan Belanda. Di AMS itu kami punya semangat tidak mau kalah dengan Belanda. Kita tak mau kalah angka dengan pelajar Belanda, sungguhpun dalam bahasa Belanda. Jadi, boleh dikatakan, belum terorganisasi secara nasional. Tapi pada umumnya perasaan nasional berkembang. Jadi, betul kata Bung Karno dalam Manipol itu, bahwa kemerdekaan itu adalah conscious men. Fitrah manusia.
Dalam pelajaran sejarah di AMS itu, walaupun gurunya Belanda, mereka tidak menjelek-jelekkan pergerakan nasional Indonesia. Disebutkan adanya Parindra, Taman Siswa, tapi mereka tak menjelekkan. Termasuk tidak menjelekkan Bung Karno. Saya di AMS hanya sampai kelas 2, karena Jepang masuk.
Ada teman saya di AMS-B, lain kelas, Pawoko namanya, yang tinggal di Gowongan Kidul, bilang, “Kif, ini Jepang ada buka latihan untuk pemuda. Bagaimana Kif, daripada kita ini anak muda tidak kerja dan sekolah tidak buka, kita ikut saja.” Saya lupa waktunya. Ya, sekitar tahun 1942. Jepang baru 1-2 bulan di situ. Umur saya sekitar 18-19 tahun. Saya lalu ikut. Namanya Seinen Kurenso. Tempat Latihan Pemuda. Pesertanya banyak dari AMS dan MULO. Di situ kami diberi pelajaran pokok-pokok kemiliteran.

Jejak Militan Jenderal Soedirman

Ingat, bahwa prajurit Indonesia bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang menjual tenaganya karena hendak merebut sesuap nasi dan bukan pula prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu kebendaan, tetapi prajurit Indonesia adalah dia yang masuk ke dalam tentara karena keinsafan jiwanya, atas panggilan ibu pertiwi. Dengan setia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan negara.” —Jenderal Soedirman (1916-1950)
Saat usianya masih 31 tahun Soedirman sudah menjadi seorang jenderal, beliau bukan jenderal akademik tetapi jenderal karena prestasi. Melalui Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Nama Panglima Besar yang disandang oleh  Soedirman bukanlah berasal dari pemerintah, melainkan datang dari para pimpinan pasukan yang berkumpul di Yogyakarta, 12 November 1945, untuk memilih satu dari mereka yang menjadi pemimpin tentara. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945,  pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden.
Pengabdian Panglima Besar Soedirman hanya bagi kemerdekaan bangsanya “ Tentara kita jangan sekali–kali mengenal sifat menyerah kepada siapa pun juga, yang akan menjajah dan menindas kita kembali”. Inilah sikap patriotik sang Panglima Besar. Komitmen pada janji membela bangsa dan negara tanpa kenal menyerah. Prinsip–prinsip ini dapat dilihat pada salah satu kata–kata mutiara Jenderal Besar Soedirman berikut : “ Jangan sekali–kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat bahwa tiap–tiap perjuangan tentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji sekali kita tepati” (Asren Nasution, 2003)
Panglima Besar Jenderal Sudirman mengingatkan, “ Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan Negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara memegang teguh kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh” (Jogjakarya 27 Mei 1945).
Apa yang diperankan oleh Jenderal Besar Soedirman selama karir militernya memberikan data konkret mengenai militansi yang tinggi dan patriotisme yang begitu kental. Ia rela meninggalkan sang isteri tercinta dan keluarganya, bahkan rela menahan sakit dengan melawan nasihat dokter, walau ia tahu bahwa hal ini dapat mengancam jiwanya. Dengan bahasa yang mantap Jenderal Besar Soedirman mengatakan : “ Kalau dizaman damai, saya akan menuruti nasihat dokter, tetapi kalau seperti sekarang ini, zaman perang, diharap maaf saja” (Asren Nasution, 2003: 155). Hal tersebut terungkap dalam dialog Jenderal Besar Soedirman dengan dokter pribadi beliau, yaitu Dr. Suwondo, ketika sang Jenderal ingin bergerilya.
Hasil perundingan Roem-Royen  mendapat reaksi keras dari berbagai pihak di Indonesia, terutama dari pihak TNI.  Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman pada tanggal 1 Mei 1949 mengeluarkan amanat yang ditujukan kepada komandan-komandan kesatuan memperingatkan agar mereka tidak turut memikirkan perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan.  Ada 10 butir amanah Jendaral Soedirman  antara lain :
  1. Tunaikan sumpah dan tugas kewajiban sebagai prajurit negara Republik Indonesia, yang sanggup menjamin keamanan dan keselamatan nusa dan bangsanya.
  2. Jagalah persatuan dalam tentara, sehingga dalam tentara kita dapat menjadi utuh satu dan merupakan satu bentuk yang kokoh kuat dalam menghadapi apapun.
  3. Peliharalah dengan tulus ikhlas taat disiplin dalam tentara kita.
  4. Dan saat musuh merajalela di daerah kita, jangan sekali–kali para komandan turut memikirkan akan datangnya perundingan, karena akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan belaka.
  5. Ingat dan insyaflah, bahwa penderitaan pahit semenjak 19 Desember 1948 itu disebabkan karena sebagian besar para pemimpin kita, baik sipil maupun militer, sama–sama terpikat oleh perundingan, sehingga mereka lupa bahwa Belanda telah bersiap–siap lengkap di depan pintu kita.
  6. Soal perundingan, serahkan sepenuhnya kepada pucuk pimpinan yang bertanggungjawab atas keselamatan angkatan perang seluruhnya.
  7. Saya telah bersiap lengkap dengan syarat dan usal-usul yang saya ajukan pada pemerintah kita, syarat dan usul–usul mana saya sesuaikan dengan semangat dan jiwa perjuangan tentara kita dan rakyat pada dewasa ini pula mengingat serta memperhatikan suara–suara dari pada komandan–komandan terutama yang langsung memimpin pertempuran.
  8. Jangan bimbang dalam menghadapi macam-macam penderitaan, karena semakin dekat cita–cita kita tercapai, makin berat penderitaan yang harus kita alami.
  9. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan sesuai negara yang didirikan diatas timbunan/runtuhan korban jiwa/harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia sipa pun.
  10. Berjuang terus, saya tetap memimpin kamu sekalian. Tuhan insya Allah melindungi perjuangan suci kita (Asren Nasution, 2003: 153-154).
Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem-Van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan (KMB). Usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Soedirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini. Lima tahun mengabdi sebagai Panglima Besar sampai akhir hayatnya  meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Soedirman adalah salah seorang  tokoh pejuang 45 yang telah mendarma-baktikan jiwa raga dan kemampuan yang dimilikinya untuk keluhuran cita-cita bangsa. Perjalanan hidupnya telah menimbulkan kesan yang mendalam dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. Maka kiranya sepakatlah kita jika amal baktinya itu diabadikan dan dikomunikasikan. Jangan sampai terhapus oleh lampaunya waktu.
“Kemewahan adalah permulaan keruntuhan. Kesenangan melupakan tujuan. Iri hati merusak Persatuan. Keangkaramurkaan menghilangkan kejujuran”
(Amanat Jenderal Soedirman).
Referensi
  1. Nasution, Asren. 2003. Religiositas TNI: Refleksi Pemikiran dan Kepribadian Jenderal Besar Soedirman. Jakarta: Kencana.
  2. Jenderal Soedirman (1916-1950) Panglima dan Jenderal Pertama RI
  3. Pesan Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman
  4. Nasution, Asren. MENJAGA NETRALITAS TNI DALAM PILPRES 2009