DIA jauh dari sosok agen
rahasia dalam film spy Amerika yang kerap kita tonton. Robert Marshall
Read tidaklah gagah. Usianya 56 tahun. Badannya ringkih, dan rambutnya
putih perak. Hidungnya khas: tinggi berlengkung tajam.
Sudah
sepekan lelaki itu meringkuk di sel pojok kanan lantai satu gedung Badan
Reserse Kriminal Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Tapi dia
memang agak istimewa. Selama ditahan, selnya kerap dikunjungi warga
asing.
Siapa Marshall? Dua informasi berbeda mencuat tentang
lelaki ini. Ada yang bilang dia agen Central Intelligence Agency (CIA)
yang bermarkas di Washington DC, Amerika. Sebaliknya, dia disebut-sebut
buronan lembaga mata-mata kelas wahid itu.
Tapi mari berpegang
pada keterangan resmi Mabes Polri, bahwa Marshall adalah bekas CIA, dan
sekaligus buronan lembaga mata-mata itu. Dia dituduh terlibat
perdagangan senjata api gelap, dan sejumlah kejahatan lain di Amerika,
Inggris, dan Rusia.
Kata polisi, Marshall agen yang licin. CIA
memburunya sejak 1974. Mengantongi 50 paspor berbagai negara, dia bisa
melanggang ke pelbagai penjuru dunia.
Pada Agustus 2007, dari
Johor, Malaysia, dia menyeberang ke Batam. Di Indonesia, petualangannya
lebih seru. Dia jatuh cinta dengan Lisna Herawati saat berada di
Jakarta. Dia pun menikah dengan gadis 32 tahun itu. Mereka menetap di
Cianjur. Lengkap dengan KTP dan paspor setempat.
Enam bulan
kemudian, Marshall hendak meninggalkan Indonesia. Bersama Lisna, dia
mengurus paspor di Kota Bogor, pada Januari 2008. Tapi, entah salah pada
bagian apa, petugas Imigrasi di Bogor curiga. Kepala Imigrasi Bogor
meneruskan informasi ini ke Kedutaan Besar Amerika. Lalu kedutaan itu
mengutus tiga petugasnya. Di sinilah pertama kali muncul cerita Marshall
adalah buronan CIA itu.
Setelah penangkapan itu, tak jelas di
mana Marshall berada. Cerita soal dia simpang-siur. Informasi dari
petugas Imigrasi saat itu, Marshall segera dideportasi ke Amerika.
***
Senin
14 Januari 2010. Seorang calo paspor, R. Simbolon, datang ke kantor
Imigrasi Bogor di Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor. Simbolon
membawa dokumen atas nama Robert Marshall Reid. Tujuannya mengurus
paspor. “Dia menempuh prosedur normal,” kata Kepala Imigrasi Bogor,
Ahmad Hasaf.
Petugas pun meminta Simbolon membawa Marshall pada
Selasa 15 Januari 2010. Lelaki itu tiba pukul 10.30 WIB, bersama
istrinya Lisna Herawati. Petugas mewawancarainya kembali. Aneh memang.
Petugas imigrasi seperti tak punya data pemeriksaan Marshall dua tahun
silam.
Tapi toh tetap ada yang mencurigakan. Marshal mengaku
warga Indonesia keturunan Inggris. Namun gagap bicara Indonesia.
“Padahal seluruh dokumennya menunjukkan dia Indonesia asli,” kata Ahmad.
Marshall
punya kartu tanda penduduk bernomor 09.5005020352.0248 yang diteken
Lurah Cempaka Putih Timur, Rugan M. Faisal. Di dalam KTP itu tertulis
Robert beragama Islam, lahir di Jakarta, dan beralamat di Jalan Cempaka
Putih Tengah XV/6 RT 01/08, Jakarta Pusat.
Selain KTP, ada juga
buku nikah bernomor 134/52/III/2006, diteken H. Damar yang disebut
petugas Kantor Urusan Agama Mampangprapatan, Jakarta Selatan. Di kolom
isteri tertera nama Lisna dengan wali nikah Badang, seorang purnawirawan
TNI.
Dokumen itu diduga palsu. Untuk kedua kalinya Marshall
digiring ke ruang Pengawas dan Penindak Keimigrasian. Sayangnya, si calo
Simbolon yang hendak diperiksa sudah kabur duluan. Lisna juga tak bisa
menjawab soal status kewarganegaraan Marshall. ”Selanjutnya, saya
melaporkannya ke Kedutaan Amerika,” kata Ahmad.
Hari itu juga
tiga petugas Kedutaan Amerika datang ke Bogor. Setelah berbicara dengan
Marshall dan meneliti data-datanya, tiga petugas itu mengakui Marshall
warga negara mereka. “Disebutkan, Marshall pelaku tindak kriminal dan
buronan tiga negara yakni AS, Inggris dan Rusia,” katanya.
Menurut
informasi dari Kedutaan Amerika yang masuk ke Ahmad, Marshall terlibat
kasus cek kosong, pemalsuan dokumen, dan senjata illegal. Cerita ini
persis seperti disampaikan petugas Kedutaan Amerika dua tahun lalu.
Sehari
kemudian, Marshall dititipkan ke tahanan Mabes Polri. Di sinilah muncul
informasi Marshall adalah agen CIA. “Kami mencari tahu apa motifnya
berada di Indonesia,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri,
Komisaris Jenderal Ito Sumardi.
***
Jejak CIA di
Indonesia, sepertinya juga bukan hal baru. Setidaknya, cerita itu sudah
muncul sejak lembaga intel berdiri 1947. Pada masa itu, Harry S. Truman
memimpin Amerika (1945-1953), dan dia membuat doktrin mengisolasi Uni
Sovyet secara politik dan ideologi. Amerika lalu rajin menghadang
komunisme di seluruh dunia.
Pada masa Sukarno, yang anti
imperialisme, dan condong ke Partai Komunis Indonesia, Indonesia menjadi
intaian CIA. Tercatat sejumlah pemberontakan dalam negeri,
disebut-sebut berkait dengan intelijen Amerika. Sepak terjang lembaga
intel Abang Sam ini pernah diulas tajam dalam Legacy of Ashes, the
History of CIA, karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, pemenang
Pulitzer.
Setelah Sukarno tumbang, cerita soal intel Amerika
beraksi di Indonesia muncul samar-samar. Layaknya organisasi intel, tak
tercium geraknya. Paling banter, tudingan diarahkan ke jaringan Amerika
di lingkaran elit teknokrat. Pada awal orde baru, sempat mencuat sebutan
Mafia Berkeley, semacam koneksi elit pendukung orde baru, yang dididik
di Universitas Berkeley, California, Amerika.
Nama CIA juga
timbul tenggelam. Terakhir, misalnya, ada tudingan Laboratorium Namru-2
di Departemen Kesehatan bekerja untuk kepentingan intelijen Amerika.
Namru adalah kerjasama Departemen Kesehatan RI dan Angkatan Laut Amerika
sejak 1975.
Dua lembaga swadaya
masyarakat, An Nashr Institute dan Medical Emergency Rescue Committee
menuding lab itu bekerja untuk intelijen Amerika. Para peneliti Namru,
kata mereka, boleh membawa penelitian ke luar Indonesia tanpa diperiksa.
Terakhir,
nama CIA mencuat tatkala penangkapan Umar al Faruq di Bogor pada 2002.
Dicokoknya al-Faruq adalah bagian “perang melawan teror” yang
digelorakan George W Bush setelah serangan al-Qaidah pimpinan Usamah bin
Ladin, ke dua menara WTC di New York, 11 September 2001.
Amerika
menuding Al-Faruq kaki tangan jaringan bin Ladin di Asia Tenggara.
Persembunyian Umar terbongkar setelah polisi mendapat bisikan informasi
dari CIA. Al-Faruq lalu dijebloskan ke penjara Amerika Serikat di
Bagram, Afghanistan. Memang, ada cerita dia berhasil kabur, dan kembali
ke Irak, negara kelahirannya. Lalu, Al-Faruq diberitakan tewas dalam
pertempuran di Basra, Irak Selatan, pada Oktober 2006.
Sejak itu,
nama intel Amerika kerap muncul dalam aksi anti teroris di nusantara.
Tentu saja, semua dalam format kerjasama Amerika-Indonesia.
***
Lalu
apa tugas si ‘agen’ Marshall yang tertangkap di Bogor ini? Pemeriksaan
pun dilakukan intensif oleh berbagai lembaga. Selain polisi, Marshall
juga ditelisik oleh aparat Kementerian Politik Hukum dan Keamanan,
Kementerian Luar Negeri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Tapi
jawabannya toh sama. Kepada penyidik, Marshal menampik bahwa dirinya
adalah CIA. Sayangnya, tak banyak informasi keluar dari mulutnya. Dari
Kedutaan Besar Amerika juga tak ada komentar soal ini.
Sampai
lelaki berhidung tinggi dengan lengkung tajam itu dipaksa pulang ke
negerinya, Marshall hanya dinyatakan bersalah karena satu hal: melanggar
aturan imigrasi. “Soal intelijen saya belum tahu,” kata Ito Sumardi.
Bahaya Bermain Agen Ganda
– Badan intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk kesekian kalinya mendapat
tamparan yang memalukan. Kali ini sumbernya datang dari insiden yang
menyebabkan tujuh agen lapangan CIA dan seorang intel Yordania tewas.
Peristiwa naas itu bahkan terjadi di kantor perwakilan CIA di
Afganistan, akhir Desember 2009 lalu.
Kendati dibantah oleh CIA dan pihak berwenang Amerika, banyak
pengamat meyakini bahwa insiden itu terjadi akibat gegabahnya CIA dalam
merekrut agen ganda.
Alkisah, seorang simpatisan al-Qaidah bernama Humam Khalil Abu-Mulal
al-Balawi berhasil mengelabui para agen CIA di Afganistan. Caranya, dia
berpura-pura sudah beralih kiblat ke Amerika dan berhasil meyakinkan
mereka bahwa dia memiliki informasi tentang keberadaan pimpinan
al-Qaidah.
Melalui perantara seorang intel dari Yordania, CIA lalu mengundang
al-Balawi datang ke markas mereka. Yang fatal, al-Balawi dipersilakan
masuk tanpa melalui pemeriksaan keamanan.
Para agen lapangan CIA sudah hakulyakin bahwa al-Balawi termasuk
orang yang bisa dipercaya berkat rekomendasi agen dari Yordania itu,
yang telah menangkap dan mengindoktrinasi al-Balawi sejak tahun lalu.
Alhasil, bukan informasi penting yang didapat, nyawa mereka yang
melayang. Buat al-Balawi, undangan dari CIA ini adalah peluang emas yang
tak dia sia-siakan untuk menunaikan misi penting dari pimpinan
al-Qaidah: menjadi pengebom bunuh diri.
Para pejabat tinggi Amerika, termasuk Presiden Barack Obama, diam
seribu bahasa tentang insiden itu. Apalagi, tak lama kemudian Amerika
kembali diteror upaya pengeboman pesawat Northwest Airlines yang gagal
dilakukan seorang penumpang asal Nigeria, pada 25 Desember lalu. Sama
seperti al-Balawi dia juga merupakan simpatisan al-Qaidah di Yaman.
***
Menurut sejumlah pengamat, mengoperasikan agen ganda merupakan salah
satu taktik andalan CIA dalam beroperasi di wilayah-wilayah yang sulit
ditembus. Dengan mengandalkan tenaga lokal, CIA berharap bisa
mendapatkan informasi intelijen yang lebih akurat dan lengkap. Itulah
pula harapan CIA kepada al-Balawi, yang dikenal memiliki jaringan yang
cukup luas di Afganistan.
Namun, seperti diakui CIA, bermain agen ganda memiliki resiko
tersendiri. Menurut buku panduan CIA yang ditulis pada 1960an, itu
merupakan operasi kontra intelijen yang rumit dan membutuhkan perhatian
khusus.
Amerika dan Inggris pernah dengan cemerlang memanfaatkan agen ganda
saat berperang dengan Nazi di Perang Dunia Kedua. Mereka mengetahui
bahwa Nazi menempatkan seorang intel asal Spanyol di Inggris bernama
Juan Pujol Garcia, yang memiliki kode sandi “Garbo.”
Garcia berhasil diciduk, namun penangkapannya tidak diketahui dinas
intelijen Jerman, Abwehr. Berkat imbalan dan ampunan dari pimpinan
intelijen Amerika dan Inggris, Garcia sepakat bekerja sama dan sengaja
dibiarkan bekerja untuk Abwehr.
Sembari mengumpulkan data-data intelijen dari Jerman, Garcia lalu
ditugasi menyuplai informasi sesat kepada Nazi mengenai kekuatan dan
pergerakan pasukan sekutu di Inggris.
Operasi pengecohan Garcia yang terkenal terjadi saat Sekutu
mempersiapkan penyerbuan ke Prancis. Garcia berhasil meyakinkan para
penghubungnya dari Jerman bahwa Sekutu akan melancarkan serangan menuju
Norwegia. Mendengar, informasi itu,
Nazi menumpuk kekuatan di Norwegia sekaligus mengurangi kekuatannya
di Prancis. Hitler dan pimpinan militer Jerman termakan informasi sesat
yang dikirim Garbo. Sekutu tidak pernah menyerang Norwegia, melainkan
menggempur Prancis di Pantai Normandy, pada 6 Juni 1944, yang menjadi
titik balik kemenangan pasukan Sekutu.
Berkat informasi yang didapat Garcia dari Jerman, Sekutu berhasil
mengantisipasi serangan roket Nazi. Garbo pun terus menyuplai informasi
sesat kepada Jerman hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Atas jasanya itu, Garcia mendapat penghargaan Iron First Class dari
pemerintah Inggris. Padahal, penghargaan prestisius itu selama ini hanya
diberikan kepada mereka yang bertempur di medan perang. Menyusul
kesuksesan Garbo, pada Perang Dingin Amerika gencar mengerahkan
agen-agen ganda mereka.
***
Kolonel John Hughes-Wilson, mantan pejabat intelijen Inggris,
mewanti-wanti agen ganda harus terus dikendalikan dan selalu diawasi
dengan ketat. Lengah sedikit, kata Hughes-Wilson bayarannya adalah
insiden fatal seperti di Afganistan itu.
“Di sinilah kesalahan Yordania. Mereka merekrut seseorang yang pada
dasarnya adalah jihadis dan berpikir bisa dengan gampang mengubah
pendiriannya selama di penjara.”
VIVAnews