Sniper Marinir AL dari kesatuan Intai Ampibi
SUUD RUSLI, mantan anggota Marinir yang kabur dari
sel Lantamal II Jakarta merupakan salah seorang penyandang baret Taifib.
Karena itu, untuk meringkus pembunuh bos PT Asaba tersebut, jajaran
pimpinan TNI Angkatan Laut mengerahkan hampir satu peleton tim gabungan.
TNI-AL sadar bahwa Suud adalah salah
seorang prajurit Marinir yang mempunyai kemampuan luar biasa. Jago
tembak. Sebagai anggota Taifib, dia mempunyai pengalaman dalam berbagai
operasi khusus. Untuk melukiskan kemampuan Taifib itu, ada yang
menganggap kemampuan satu pasukan Taifib setara dengan sepuluh pasukan
biasa.
Para pemburu Suud tak mau gegabah, meski
sasarannya sudah diketahui pasti. Dikhawatirkan Suud yang dikenal
sebagai penembak jitu tersebut bereaksi. Tapi, untungnya, ketelatenan
tim pemburu yang sebagian juga anggota Taifib tersebut berhasil
meringkus Suud di Jalan Sumbersari, Desa Sumbersari, Kota Malang.
”Menghadapi Suud bukanlah hal yang mudah karena dia mantan pasukan
khsusus yang mempunyai kemampuan lebih daripada prajurit Marinir biasa,”
jelas salah seorang perwira TNI-AL.
Itulah gambaran bahwa lulusan pendidikan Taifib disegani sekaligus
ditakuti. Mereka adalah pasukan inti di Kesatuan Marinir yang mempunyai
kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan tersebut diraih setelah ditempa
melalui pendidikan yang sangat ketat serta melewati ujian yang sangat
berat selama sepuluh bulan.
Tidak heran, di antara ratusan prajurit
yang mengikuti seleksi pendidikan Taifib, hanya 54 orang yang diterima
pada tahun ini. Mereka itulah yang sedang digodok di kawah candradimuka
di Situbondo itu. Tahun-tahun sebelumnya, sering hanya belasan prajurit
yang memenuhi syarat. Mereka yang tak lulus dikembalikan ke kesatuannya
semula di Marinir.
Tidak semua yang mengikuti pendidikan
tersebut lolos. ”Saya mendapat laporan, dua di antara mereka (di antara
54 yang sedang pendidikan, Red) dimungkinkan dikembalikan ke kesatuannya
karena tidak mampu mengikuti pendidikan,” jelas Letkol Laut (KH) Tony
Saiful, perwira penerangan Kodikal, kepada koran ini tadi malam.
Selain fisik prima, calon Taifib juga
dituntut memiliki IQ tinggi. Sebab, pasukan elite yang sering digunakan
untuk penyusupan di daerah operasi itu harus mampu menghadapi berbagai
masalah, baik secara individu mapun kelompok.
Selama pendidikan, teori di kelas hanya
20 persen. Selebihnya di lapangan, seperti hutan, laut, bahkan udara.
Mereka harus mempunyai kemampuan terbaik di darat, laut, dan udara.
Mereka dituntut mampu melaksanakan tugas rahasia secara sempurna di
ketiga medan tersebut.
Untuk mencapai semua itu, diperlukan
pendidikan yang sangat keras dan ketat. Mereka harus mampu menyusup
dengan terjun payung, bergerak lincah di laut dengan daya tahan tinggi,
serta survive di darat.
Itulah gambaran bahwa lulusan pendidikan Taifib disegani sekaligus
ditakuti. Mereka adalah pasukan inti di Kesatuan Marinir yang mempunyai
kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan tersebut diraih setelah ditempa
melalui pendidikan yang sangat ketat serta melewati ujian yang sangat
berat selama sepuluh bulan.
Tidak heran, di antara ratusan prajurit
yang mengikuti seleksi pendidikan Taifib, hanya 54 orang yang diterima
pada tahun ini. Mereka itulah yang sedang digodok di kawah candradimuka
di Situbondo itu. Tahun-tahun sebelumnya, sering hanya belasan prajurit
yang memenuhi syarat. Mereka yang tak lulus dikembalikan ke kesatuannya
semula di Marinir.
Tidak semua yang mengikuti pendidikan
tersebut lolos. ”Saya mendapat laporan, dua di antara mereka (di antara
54 yang sedang pendidikan, Red) dimungkinkan dikembalikan ke kesatuannya
karena tidak mampu mengikuti pendidikan,” jelas Letkol Laut (KH) Tony
Saiful, perwira penerangan Kodikal, kepada koran ini tadi malam.
Selain fisik prima, calon Taifib juga
dituntut memiliki IQ tinggi. Sebab, pasukan elite yang sering digunakan
untuk penyusupan di daerah operasi itu harus mampu menghadapi berbagai
masalah, baik secara individu mapun kelompok.
Selama pendidikan, teori di kelas hanya
20 persen. Selebihnya di lapangan, seperti hutan, laut, bahkan udara.
Mereka harus mempunyai kemampuan terbaik di darat, laut, dan udara.
Mereka dituntut mampu melaksanakan tugas rahasia secara sempurna di
ketiga medan tersebut.
Untuk mencapai semua itu, diperlukan
pendidikan yang sangat keras dan ketat. Mereka harus mampu menyusup
dengan terjun payung, bergerak lincah di laut dengan daya tahan tinggi,
serta survive di darat.
Mereka ditempa di tengah ombak
ganas di Laut Banyuwangi, yang biasanya menghanyutkan perahu nelayan.
Dengan tangan dan kaki diikat, para prajurit tersebut dibuang ke laut
ganas itu. Mereka harus mampu bertahan sekaligus menyelamatkan diri.
“Latihan mereka cukup berat. Kaki dan tangan diikat pun bisa hidup. Coba
kalau saya, yah tenggelam,” jelas Tony Saiful sembari tertawa.
Kenapa sampai demikian? Bila
sewaktu-waktu prajurit trimedia (menguasai medan darat, laut, dan udara)
itu dibuang ke laut dalam keadaan tangan dan kaki terikat oleh musuh,
mereka akan mampu menyelamatkan diri.
Setelah melawan ombak besar di laut,
mereka juga dituntut bertahan hidup di hutan tanpa perbekalan sedikit
pun. Untuk menguji daya tahannya itu, para prajurit terpilih tersebut
dilepas di tengah hutan dengan hanya bermodalkan garam. Air minum pun
tidak diperkenankan dibawa. Selebihnya, cari sendiri di hutan. Latihan
itu dilakukan di Alas Purwo. Di sana, mereka dilepas untuk melatih
ketahanan fisik dan kemampuan perorangan.
Di tengah hutan, mereka harus bertahan
berhari-hari. Mereka tak jarang hanya makan binatang buas, seperti ular.
Bila mampu menangkap monyet, hewan itu pulalah yang disantap. Selama
tiga hari tiga malam, mereka tidur di tengah hutan rimba tersebut.
Kadang-kadang, juga lebih,
“Saya pernah minum air untuk tambal ban
di pinggir jalan Alas Purwo,” cerita mantan Direktur Sekolah Khusus
(Dirsus) Marinir Kol (Mar) Buyung Lalana. “Meski air itu siang harinya
digunakan untuk mengetes ban mobil dan sepeda motor yang pecah, rasanya
nikmat sekali karena begitu haus,” kenang Buyung lagi.
Itu semua belum cukup. Soal pukul-memukul
oleh instruktur untuk melatih mental bukanlah hal aneh di kalangan
mereka. Wartawan koran ini pernah menyaksikan betapa kerasnya pelonco
dari kakak angkatan untuk prajurit yang mengawali pendidikan. Mereka
benar-benar harus siap mental dan fisik. Begitu kerasnya, tidaklah heran
kalau di awal pendidikan itu, ada yang mengundurkan diri.
Untuk latihan udara, mereka bukan lagi
dilatih terjun tempur seperti prajurit biasa. Kalau terjun tempur,
begitu keluar dari pintu pesawat, payung sudah terbuka. Tapi, Taifib
dilatih terjun bebas.
Yang menarik, terjun bebas itu tidak saja
dilakukan siang, tapi juga tengah malam. Dengan begitu, bila
sewaktu-waktu masuk ke sasaran musuh, mereka tidak harus lewat darat
atau laut yang mudah dideteksi lawan. Para Taifib juga bisa diturunkan
dari pesawat dengan ketinggian yang sulit terdeteksi musuh.
Wartawan koran ini pernah menyaksikan
latihan terjun malam di pengeboran gas Pulau Pagerungan, sebuah pulau
kecil masuk wilayah Sumenep dekat Selat Lombok. Mereka diterjunkan di
keheningan malam. Prajurit tersebut bisa mendarat dengan tepat di
celah-celah pohon mangga dan kelapa pinggir pantai.
Untuk menghindari pendeteksian musuh,
mereka harus piawai menyelam. Dengan menggunakan kompas, sambil
menghitung derajat daerah sasaran, para Taifib harus bisa muncul di
titik yang tepat.
Itu baru tahap latihan. Bila pelantikan
atau dikenal dengan pembaretan, mereka harus jalan kaki siang malam. Itu
sering dilakukan Banyuwangi-Surabaya. Mereka dilepas di Banyuwangi dan
diperintahkan kumpul di Surabaya dalam waktu yang ditentukan. Bila naik
kendaraan dan ketahuan instruktur, hukuman berat bakal dirasakan.
Baretnya pun bakal tak hinggap di kepala.