Rabu, 30 April 2014

Pembentukan Armada Ketiga di Sorong

TNI AL Bentuk Armada Wilayah Ketiga di Sorong
TNI AL Bentuk Armada Wilayah Ketiga di Sorong

Pemerintah Indonesia mulai serius melihat kekosongan pertahanan di wilayah ujung timur Nusantara. Untuk itu, TNI segera membentuk armada wilayah baru, armada wilayah ketiga di Sorong, Papua, pada Juli 2014.
Saat ini kekuatan tempur TNI Angkatan Laut masih bertumpu pada dua armada wilayah, yakni Barat atau Armabar, dan Timur atau Armatim. “Armabar di Jakarta, dan Armatim di Surabaya,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Untung Suropati di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, Jakarta, Senin, 28 April 2014.
Jika armada laut Sorong diresmikan, Armada Timur di Surabaya akan berubah menjadi Armada Tengah. Menurut Untung, alasan utama TNI AL membentuk armada wilayah baru di Sorong adalah untuk meningkatkan koordinasi pengawalan wilayah laut Indonesia bagian timur. Lokasi Sorong dipilih karena memiliki geopolitik yang tepat dan strategis. Tujuan lain, untuk mempertegas kedaulatan Indonesia di kawasan, terutama wilayah timur yang dirasa masih berlubang pengamanannya.
Untuk pembagian kekuatan kapal perang, TNI AL akan menggunakan sistem alih bina atau pembagian kekuatan tempur yang dimiliki. Dengan kata lain, sejumlah kapal perang calon penghuni armada Sorong didatangkan dari sebagian armada Surabaya dan Jakarta.
Saat ini jumlah kapal perang milik TNI AL ada 150-160 unit. Namun, jumlah kapal perang tersebut tidak akan dibagi rata untuk mengisi tiga armada wilayah. Ada pertimbangannya. Bukan cuma kuantitatif saja, tapi kualitatif dan pengamatan intelijen juga.
Penambahan armada di Sorong, Papua, juga diikuti dengan penambahan divisi pasukan marinir. Sebab idealnya pembangunan armada wilayah baru wajib diikuti dengan penempatan pasukan marinir. “Konsep TNI kan armada terpadu, jadi harus ada kapal perang, pesawat udara, pangkalan, dan marinir,” ujar Laksamana Pertama Untung Suropati.
Wacana penambahan armada di Sorong sudah dibahas sejak dua tahun lalu. Selama itu pula TNI AL menyiapkan sarana dan prasarana pendukung untuk armada wilayah baru di Sorong. Dalam struktur organisasi yang baru nanti, direncanakan ada seorang panglima bintang tiga yang akan membawahi ketiga komando armada wilayah.
 

Pengiriman tertunda dari Brasil, pesawat super tucano RI

 

The  jakarta  Post,  29  April 2014, Kementerian Pertahanan RI telah menyatakan dengan kekecewaan dengan Brazilian aerospace conglomerate Embraer SA  untuk tujuh bulan penundaan dalam empat pesawat turboprop EMB 314 Super Tucano.
Kepala Pusat Pengadaan Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kapusada Baranahan Kemenhan) Marsekal Pertama (Marsma) TNI Angkatan Udara (AU) Asep Sumaruddin, mengatakan pada hari Senin bahwa Embraer wajib untuk memberikan batch pertama dari delapan pesawat bulan Agustus tahun lalu dan yang kedua pada bulan Maret tahun 2015.
Dari batch pertama, kami hanya menerima empat pesawat,” pungkas Asep. “Kami sudah menghubungi Embraer untuk penjelasan tentang empat pesawat, tapi belum menerima respon yang memadai. Kami sedang masih berkoordinasi dengan pemerintah Brasil melalui Kementerian Pertahanan dan Kedutaan besar di Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini.”
Kemhan RI menandatangani kontrak US$ 284 juta dengan Embraer tahun 2010 untuk membangun skuadron Super Tucano untuk menggantikan Bronco OV-10 pesawat, yang telah dalam pelayanan sejak 1976.
Tucano dirancang untuk Serang ringan, kontra-pemberontakan, menutup dukungan udara, misi pengintaian udara (light attack, counter insurgency, close air support, aerial reconnaissance missions), serta memberikan pelatihan pilot.
Di bawah kontrak, Embraer telah diminta untuk membayar denda sebesar 0,1 persen setiap hari sejak keterlambatan, tetapi denda gabungan dibatasi maksimal 5 persen.
Embraer, menurut Asep, telah melunaskan denda maksimum sekitar $7 juta dan tidak dapat dikenakan denda lebih, terlepas dari lama penundaan.
Brasil Duta besar untuk Indonesia Paulo Alberto da Silveira Soares mengatakan pemerintahnya akan mencoba yang terbaik untuk melihat bahwa Indonesia segera sisa menerima Super Tucanos.   Soares menambahkan bahwa Kedutaan besar telah berkomunikasi langsung dengan Embraer untuk menyelesaikan masalah ini.
“Bulan depan, Indonesia Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin akan mengunjungi Brasil untuk membahas kerjasama pertahanan. Selama kunjungan tersebut, ia juga dijadwalkan untuk bertemu dengan Presiden Embraer. Kita berharap bahwa pertemuan akan menjelaskan semuanya,”Kata Soares kepada The Jakarta Post.
Dudi Sudibyo ahli penerbangan mengatakan keterlambatan seperti ini mengkhawatirkan dan akan membuat preseden lain yaitu keterlambatan dalam pengiriman batch pengiriman terakhir Super Tucanos tahun depan.
Dudi menyalahkan keterlambtan yang lama hanya mendapatkan hukuman ringan yang ditetapkan dalam kontrak pengadaan.
“Lima persen adalah jelas terlalu kecil untuk sanksi dan perusahaan dapat mengambil keuntungan dari itu, terutama ketika pemerintah telah membayar hampir seluruh biaya,” kata Dudi.
Indonesia telah membayar 97 persen dari kontrak batch pertama, bernilai $142 juta, menurut Kementerian Pertahanan.
Dudi menyarankan bahwa Kemhan meningkatkan kemampuan untuk negosiasi dalam pembelian berikutnya untuk mencegah keterlambatan masa depan.
Menurut Minimum penting Force (MEF), Indonesia akan  membeli 128 pesawat tempur 2024, menurut Kementerian Pertahanan.
“Di antara mereka adalah Super Tucano, yang merupakan teknologi yang terbaik di kelasnya,” kata Dudi.
Empat pesawat Tucano telah diterima tahun lalu sekarang digunakan oleh Angkatan Udara Indonesia 21 skuadron di Abdul Rahman Saleh Air Force Base di Malang, Jawa Timur.
 

Senin, 28 April 2014

Matt Pembajak Pesawat Virgin Blue itu diduga Parno

matt christopher
Matt Christopher Lockley ditangkap (sumber : dailymail.co.uk)

Jumat siang (25/4/2014), saat penulis sedang menyelesaikan pembuatan kata pengantar untuk buku yang akan diterbitkan, mendadak hand phone berdering, dari salah seorang sahabat yang mantan pejabat teras Bais TNI, mengabarkan bahwa telah terjadi pembajakan pesawat Australia Virgin Airline. Informasi awal menyebutkan pesawat itu dibajak dalam rute Brisbane-Bali (Ngurah Rai) dan sudah mendarat di Bali. Wah pasti ramai beritanya, pikir penulis.
Dari hasil kordinasi ke jaringan  di Bali, penulis mendapat informasi bahwa pesawat Boeing 737-800 (setipe dengan pesawat Presiden RI) dari maskapai Virgin Blue Australia flight number VOZ-41 telah dibajak. Detail lainnya, pilot pesawat mengirimkan distress call, mengaktifkan signal transponder "hijack" (terjadinya pembajakan). Signal yang diterima ATC Makassar dan Ngurah Rai kemudian dikonfirmasi ke pesawat, dijawab "hijack.".
Signal transponder pembajakan transmit pada pukul 14.05 Wita (13.05 Wib). Kemudian pesawat sesuai prosedur apabila terjadi pembajakan dituntun landing di Bandara Ngurah Rai pada pukul 14.45 Wita (13.45 Wib).
Sesuai prosedur, Bandara menyatakan "aerodrome close," dimana beberapa pesawat yang akan mendarat dialihkan ke Bandara Juanda. Komandan Lanud Ngurah Rai, Kolonel PNB Sugihartio Prapto segera menyiapkan team intelpam, Pom AU serta pasukan Lanud untuk mengantisipasi terhadap segala kemungkinan terburuk. Kordinasi ketat sesuai standard emergency dilakukan dengan Polda dan Kodam di Bali. Pesawat diparkir, diisolasi jauh dari terminal.
Setelah berhasil melakukan komunikasi dengan pilot pesawat, akhirnya pasukan pengamanan Lanud Ngurah Rai diijinkan naik ke pesawat dan kemudian melakukan pengamanan pelaku yang pada awalnya diberitakan membajak pesawat.
Fakta-fakta Terkait
Dalam pemeriksaan diketahui bahwa pelaku bernama Matt Christopher Lockley (28) adalah warga Queensland, bekerja sebagai kontraktor. Dia pernah berkunjung ke Bali dan saat itu akan berlibur seorang diri.  Yang bersangkutan duduk di seat 30A, kemudian berjalan kearah cockpit dan mengatakan kepada pramugari meminta obat, dia menggedor pintu cockpit. Saat itulah Captain menguncui pintu cockpit dan menghidupkan transponder hijack yang diterima Bandara Makassar dan Ngurah Rai.
Menurut Direktur Keselamatan dan Standarisasi Penerbangan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) Wisnu Darjono, pesawat dengan registrasi VH-YIF dan flight number VOZ41 itu mengirim sinyal pembajakan (kode hijack 7500) ke petugas menara lalu lintas udara (air traffic controller/ ATC) pada pukul 14.05 Wita. Saat itu pesawat berpenumpang 137 orang dan 6 kru ini berada di ketinggian 38 ribu kaki, en route Brisbane-Rai. Pesawat  kemudian dipandu mendarat ke Bandara Ngurah Rai dan diisolasi.
Setelah dilakukan sterilisasi, Matt si pembuat kekacauan itu ditangkap dan dibawa ke posko Lanud untuk diperiksa dan kemudian diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut.
Menurut keterangan dari awak pesawat, setelah menggedor pintu cockpit, Matt dapat ditangkap dan diarahkan duduk ke seat paling belakang. Dijelaskan nampaknya Matt mereka katakan paranoid (istilah umum di Indonesia 'parno'). Akan tetapi kondisi ketegangan masih terasa, karena captain pilot yang berkebangsaan Australia tetap khawatir, mengingat apabila ada yang mengamuk dapat saja membuat celaka pesawat dan seisinya. Misalnya ulah pelaku membuka emergency window misalnya.
Kondisi Matt saat pemeriksaan seperti bingung (linglung) dan oleh pihak kepolisian Polda Bali dilakukan pemeriksaan darah untuk memastikan apakah dia sedang 'on' (mabuk narkoba), mabuk minuman keras atau karena persoalan mental seperti paranoid. Matt kemudian oleh pihak Lanus diserahkan ke Polda Bali untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
Analisis
Kondisi pilot yang diketahui panik saat ada indikasi tindak kekerasan di dalam pesawatnya dapat dimaklumi, mengingat masyarakat Australia, terlebih para pilot nampaknya masih trauma dengan kasus MH370 yang diduga dibajak tetapi masih merupakan misteri karena masih hilang dan diduga bangkai pesawat berada diarea dekat dengan Australia.
Ketakutan pilot dikritik oleh Direktur Keselamatan dan Standar Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia Wisnu Darjono, Jumat, 25 April 2014.  Menurut Wisnu, seharusnya pilot mematikan sinyal pembajakan setelah mengetahui keadaan aman terkendali. Tindakan pilot membuat aparat keamanan menjadi semakin serius, menganggap pembajak masih menguasai pesawat, karena pilot yang ternyata juga 'parno' tidak melakukan komunikasi.
Distress call yang dikirimkan Virgin tersebut adalah squawking (7500) yang akan memberi sinyal Hijack  pada air traffic control. Beberapa kode lainnya  yang terdapat pada transponder pemancar sinyal tersebut antara lain adalah emergency (kode 7700) misalnya engine trouble, dan  failure communication (kode 7600).
Perwakilan Virgin Air di Bandara Ngurah Rai, Heru kemudian menyatakan bahwa peristiwa bukanlah pembajakan, hanya miss komunikasi. Demikian juga pernyataan dari Direktur Utama Angkasa Pura I Tommy Soetomo mengatakan pesawat Virgin Australia bukan dibajak oleh teroris. "Itu bukan pembajakan," katanya.
Berita pembajakan pesawat jelas menyebabkan kegaduhan pemberitaan, kesibukan terjadi, dimana Menkopolhukam, Marsekal (Pur) Djoko Suyanto terus memonitor dan memerintahkan tindakan emergency dilakukan aparat keamanan apabila diperlukan.  Mabes TNI menyiapkan persiapan, kesiagaan apabila diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan ancaman. Kapuspen TNI Mayjen TNI M Fuad Basya juga meyatakan TNI terus memonitor distress call tersebut dan menyatakan telah menyiapkan dua team pasukan anti teror TNI yaitu Tim Gultor (penanggulangan teror Kopassus TNI AD) serta tim Den Bravo 90 (pasukan teror anti bajak udara Paskhas dari TNI AU). Disamping itu Polri juga menyiapkan tim Densus 88 yang juga mempunyai spesialis anti teror.
Demikian informasi perkembangan pemberitaan pembajakan, dimana setelah dinyatakan bahwa kasus bukan peristiwa pembajakan dan hanya ulah pemabuk, penulis batal memberikan analisis sebagai narsum di Metro TV dan TV One yang awalnya mengundang.
Sebagai catatan, apabila persoalan tidak teratasi, kasus paranoid atau mabuk di pesawat memang dapat menjadi kasus yang lebih serius dan menjadi tindak pembajakan. Sebagai contoh misalnya, pada tanggal 19 April 2009 pesawat Jamaica  (CanJet Airlines, Boeing 737-800) dengan 182 penumpang dan crew dibajak oleh Stephen Fray dari Motenggo Basy. Fray yang bersenjata membajak dan menginginkan pesawat diterbangkan ke Cuba. Pesawat akhirnya dapat diambil alih oleh pasukan anti teror militer Jamaica. Ternyata Fray adalah orang yang mengalami gangguan mental
Kasus pembajakan lainnya, pada tanggal 9 September 2009, pesawat Aero Mexico flight 576 (boeing 737-832) dengan 104 penumpang telah dibajak oleh José Marc Flores Pereira asal Bolivia dan mengancam akan meledakkan pesawat. Flores ternyata pecandu obat bius, mantan napi dan penggemar masalah gaib. Dia percaya bahwa dengan angka 9/9/09 dipercayainya seperti angka setan 666. Flores berbohong ternyata kotak bahan peledak yang diakuinya ternyata hanya minuman (juice). Akhirnya pembajak dapat diamankan dan dia dipenjara 7 tahun dan 7 bulan. Flores akhirnya dinyatakan mengalami gangguan mental.
Nah dari dua contoh kasus, bukan tidak mungkin kasus Virgin Air juga merupakan kejadian serupa, dimana Matt mengalami gangguan mental bisa karena narkoba, atau stress yang dialaminya. Atau juga hanya karena dia mabuk. minuman keras.
Sebuah pembelajaran bagi awak pesawat penerbangan sipil di Indonesia, bahwa dalam penerbangan ancaman serupa akan dapat muncul sewaktu-waktu, hanya bagaimana para awak pesawat benar-benar terlatih dan bersikap profesional apabila menghadapi ancaman dalam penerbangan. Pintu menuju ke cockpit harus dalam kondisi tetap terkunci (pintu hanya dapat dibuka dengan kode tertentu yang diketahui oleh pilot dan purser). Umumnya pilot di tanah air kurang disiplin dalam soal mengunci pintu cockpit itu.
Kemampuan pramugari Virgin sangat baik karena dapat mengatasi masalah dan menenangkan pelaku. Nah, sikap dan langkah profesional awak kabin patut di acungi jempol. Kepanikan pilot adalah wajar merupakan kelemahan manusia, ketakutan membayangkan nyawanya diujung tanduk, takut apabila pesawat diledakan di angkasa mungkin atau dia membayangkan apabila jatuh dari ketinggian 38.000 kaki. Yah itulah manusia, kadang rasa takut mengalahkan nalar kita. Semoga bermanfaat.
Oleh : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Membongkar Arsip "Top Secret" Amerika & Australia --Perihal Campur Tangan Asing Terhadap Kedaulatan Indonesia

Saudara-saudara,Ada kejadian menarik saat Prabowo hadir di kantor pusat PEPABRI (22/4/2014) memenuhi undangan seniornya di TNI seperti pak Agum Gumelar dan pak Wismoyo Arismunandar dkk--terjadi kebocoran pembicaraaan disana. Ruangan yang tertutup itu ternyata entah lupa atau disengaja--speaker nya masih menyala dan statement Prabowo terdengar jelas oleh para wartawan yang menunggu di luar.

Prabowo sempat mengucapkan soal krisis moneter 1998 yang dianggapnya "bohong" belaka. Menurut data yang dirangkumnya--memang terbukti tahun 1997-2000 tersebut Indonesia mampu meraih neraca positif export import yang tinggi. Rata-rata $ 25 miliar (Rp. 250 trilyun).

Prabowo menyebut saat itu yang terjadi adalah "perang ekonomi" karena adanya campur tangan pihak asing yang menjatuhkan nilai kurs rupiah yang mencapai penurunan 5000%.

Sungguh saya terkejut dan mencoba mencari perbandingan neraca export import saat ini. Makin terbelalak, tahun 2012 Indonesia defisit -$1,6 miliar (Rp. 16 Trilyun) dan 2013 lebih parah menjadi -$3,3 miliar (Rp. 33 Trilyun). Ini artinya, Indonesia sekarang sudah murni menjadi negara pengimpor dan sedang dalam kondisi krisis moneter sebenarnya.

Namun kita tidak dibuat tidak sadar dengan kondisi ini. Seperti dinina-bobokan.

Nah, kali ini saya tidak ingin panjang lebar membahas hal tersebut diatas. Saya ingin menggaris bawahi soal kata 'PERANG EKONOMI" yang esensinya sangat jelas bahwa kita memang sekarang sedang masuk dalam perang kemerdekaan jilid 2. Perang kedaulatan ekonomi.

Ya, saya tahu jika masih ada yang menganggap keterlibatan dan campur tangan asing khususnya Amerika adalah sekedar pengetahuan umum tanpa bukti kongkrit. Bahkan muncul semacam ledekan jika kita memberikan pertanda agar masyarakat Indonesia waspada terhadap campur tangan Amerika lagi terhadap hajatan Pilpres 2014. Katanya, "Iya, si copras-capres ini emang antek amerika--tuh lihat hidungnya segitiga". Ckckck...!

Coba sekarang mereka kita paksa membaca bocoran dokumen TOP SECRET yang saya unggah di google drive ini dengan link: https://docs.google.com/file/d/0BzmAljPlsjuoVXU1bmxjU09zZ1E/edit

Mungkin kita baru sadar dan terkejut.

Betapa memang Amerika dan sekutunya punya kepentingan yang sangat besar terhadap negara yang sangat kita cintai ini--INDONESIA!

Bahkan sejak negara kita ini berdiri tahun 1945 di zaman Bung Karno, pak Harto dan kini SBY.

13985587251913354451
Sumber: Top Secret

Boleh cek documen pertama bernama "Pentagon Pappers: Eisenhower Administration" tahun 1953 yang diberi tanda stabilo kuning --sangat jelas dituliskan jika Presiden Eisenhower saat rapat dengan gubernur-gubernur Amerika mengatakan:

--"Anda benar-benar tidak paham, mengapa kita begitu peduli dengan sebuah sudut di tenggara Asia (Indonesia)."--

--"jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan 'empire" Indonesia yang kaya?"--

--Jadi ..., ketika Amerika Serikat memutuskan mengeluarkan $400 juta dolar (tahun 1953) untuk membantu perang itu, kita tidak memilih untuk program "giveaway". Kami memilih cara termurah yang kami bisa untuk mencegah terjadinya sesuatu yang paling mengerikan bagi Amerika Serikat--khususnya keamanan kita, kekuatan dan kemampuan untuk mendapatkan hal-hal tertentu kita butuhkan dari kekayaan di wilayah Indonesia, dan dari Asia tenggara."--

Bagaimana? Mengerikan bukan? Dokumen ini dengan sangat gamblang menjelaskan bahwa kekayaan alam kita memang diburu Amerika dan sekutunya untuk dihisap.

Gayung bersambut pun muncul dari tetangga kita paling selatan--Australia. Dokumen-dokumen tersebut juga menginformasikan tentang pengetahuan Pemerintah Australia akan pergerakan untuk membuat Maluku, Sulawesi Selatan, Aceh, Maluku Utara dan Sumatera Tengah untuk merdeka dari Pemerintah Indonesia.

Walau pun--alhamdulillah sampai kini masih lebih banyak rakyat Indonesia yang memilih bersatu dibawah panji Merah Putih dan Pancasila

Ditambah dokumen lain yang mengkonfirmasi tentang bantuan kemanusiaan Amerika dan Australia sebagai cara menekan pemerintah Indonesia agar tidak menasionalisasi perusahaan minyak Amerika yang beroperasi di Indonesia.

Bahkan kita juga bisa melihat bagaimana tahun 1961--Australia membuat pendataan peralatan perang yang dimiliki oleh Indonesia, lengkap dengan analisa jangkauan pesawat TNI AU, kapasitas kekuatan TNI AD, ketakutan Australia akan kendali Papua Barat oleh Indonesia yang menjadi ancaman nyata untuk Australia yang ingin membentuk "Australian New Guinea" dan Australia Timur.

Belum lagi keinginan Amerika dan Australia agar Indonesia menjadi "ramah" terhadap ekonomi Singapore. Halah, preeeeet!

Makin menjengkelkan tentu berita kabel Kedutaan Australia di jakarta tahun 1965 yang berisi tetantang partisipasi Australia dalam menjatuhkan Pemerintah Soekarno.

Nah, itu fakta dari dokument TOP SECRET yang tersimpan dengan baik dan baru dibuka 30 tahun kemudian karena adanya UU untuk membuka dokumen negara ini.

Dokumen yang jelas menunjukan tujuan utama mereka yang sangat sederhana: Memastikan rejim yang berkuasa, "berkuasa sesuai" dengan kehendak mereka.

Lalu sekarang di tahun 2014 ini - tahun pergantian presiden Indonesia, apakah publik Indonesia akan kembali tunduk pada skenario Amerika, ataukah kita bisa memilih pemimpin kita sendiri?

Apakah 30 tahun dari sekarang, tahun 2044 ketika dokumen-dokumen yang hari ini dicap TOP SECRET oleh pemerintah Amerika dibuka, kita atau mungkin anak dan cucu kita akan menangis karena kalah pada skenario Amerika--atau bangga karena berhasil mengalahkan mesin propaganda media mereka untuk mengangkat presiden 'boneka"?

Saya kembalikan lagi kepada saudara-saudara sekalian sebangsa setanah air, walau saya tetap akan memilih berjuang demi Indonesia yang berdaulat penuh secara ekonomi, dan berdaulat penuh secara politik.

Selamat pagi dan tetap MERDEKA...! 
 

TNI AL Tingkatkan Patroli di Indonesia Timur


Patroli TNI AL
Patroli TNI AL

Sebanyak 14 kapal perang RI (KRI) dan dua pesawat jenis Cassa disiagakan menjaga pengamanan teritorial perairan laut Timur Indonesia. “Hingga saat ini ada 14 KRI yang rutin melakukan patroli pengamanan di laut Indonesia Timur, ya belum ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan kapal asing,” ungkap Komandan Gugus Keamanan Laut (Guskamla) Armada Timur Indonesia Laksamana Pertama TNI Heru Kuswanto di sela-sela perncanangan Hari Gerakan Malaria di Biak, Jumat (25/4/2014).
Ia mengakui luasnya wilayah perairan laut Indonesia dengan menyimpan beragam potensi kekayaan alam laut sangat rentan terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal asing. “Untuk mengantisipasi kasus pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia, setiap waktu belasan kapal perang TNI AL berpatroli mengawasi wilayah teritorial laut Indonesia,” ujarnya.
Menyinggung wilayah perairan Papua yang rawan akan kasus pelanggaran hukum karena berbatasan dengan negara tetangga PNG, Komandan Guskamla mengatakan hingga sekarang masih sangat kondusif sehingga terus dilakukan pengamanan melalui kegiatan patroli KRI.
Ia menegaskan bahwa setiap kasus pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perairan teritorial Indonesia maka jajaran prajurit Guskamla akan meindak tegas sesuai aturan yang berlaku. “Jika terbukti ada kapal asing yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah teritorial laut Indonesia Timur akan ditindak tegas sesuai hukum di Indonesia, ya kondisinya sekarang masih aman-aman saja,” ujar perwira bintang satu TNI AL.
Hingga saat ini aktivitas pelayaran di sepanjang perairan laut Kabupaten Biak Numfor tampak berjalan normal seperti hari biasanya.

JKGR. 

Integrated Armed Forces

Penyerahan Jabatan Marsdya TNI Boy Syahril Qamar, S.E. selaku Kasum TNI (dalam rangka pensiun) kepada Panglima TNI di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, Jumat (25/4/2014) (Poskota)
Penyerahan Jabatan Marsdya TNI Boy Syahril Qamar, S.E. selaku Kasum TNI (dalam rangka pensiun) kepada Panglima TNI di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, Jumat (25/4/2014) (Poskota)

TNI sedang mempelajari joint civil-affairs, joint civil-military operation dan joint military operations yang diharapkan bisa diekspresikan pada pemerintahan baru nanti. Menurut Panglima TNI Jenderal Moeldoko, konsep kerjasama ini didefinisikan sebagai meta gabungan, yang bukan hanya gabungan antar angkatan saja.
“Integrated Armed Forces merupakan suatu hal yang menarik dan tepat, karena joint pattern merupakan suatu isu pelatihan dan pendidikan utama bagi negara maju, bahkan pasukan khususnyapun digabungkan dalam suatu tim operasi gabungan”, ujar Panglima TNI dalam sambutan acara penyerahan Jabatan Marsdya TNI Boy Syahril Qamar, S.E. selaku Kasum TNI (dalam rangka pensiun) kepada Panglima TNI di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, Jumat (25/4/2014).
Panglima berharap Integrated Armed Forces ini akan diwujudkan mulai dari tataran konsep hingga implementasi. Keberadaan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) harus menjadi basis pembagian kompartemen strategis yang cukup logis, sebagai kriteria untuk pembagian komando gabungan, dengan asumsi bahwa dua atau lebih komando gabungan akan menerima beban tugas yang besar terhadap axis ancaman terdekat, baik di tingkat nasional maupun regional.
Latihan Gabungan TNI 2013
Latihan Gabungan TNI 2013

Dalam kaitan itu TNI harus melakukan rasionalisasi gelar kekuatan secara jelas. Berhitung sederhana, bila ancaman simetrik sementara belum ada, atau masih berada pada tataran most likely no symmetric’s threat, maka fokus area strategi TNI harus diarahkan pada empat small scale conflict atau boleh saja disebut medium scale conflict, empat titik seperti Aceh, Maluku, Papua dan Poso. “Hal ini sangat masuk akal, mengingat ancaman asimetrik dan skala konflik dari terendah sampai menengah melekat dalam perusuh di keempat wilayah tersebut”, ujar Jenderal Moeldoko.
Turut hadir dalam acara tersebut, antara lain: Wakasad Letjen TNI M. Munir, Wakasal Laksdya TNI Hari Bowo, Wakasau Marsdya TNI Sunaryo, Irjen TNI Letjen TNI Geerhan Lantara, Dansesko TNI Marsdya TNI Ismono Wijayanto dan para Asisten Panglima TNI serta Kapuspen TNI Mayjen TNI M. Fuad Basya.

Militer dan Kepolisian Berbeda Doktrin Penanggulangan Teror

 
Di negara negara demokratis pada umumnya penangangan teroris yang terjadi di dalam negeri dilakukan oleh unsur unsur non militer seperti kepolisian yang dibantu departemen terkait. Karena memang rata-rata tindak terorisme lebih didekatkan ke unsur pidana. Sama halnya negari kita, terorisme berdasarkan UU no 16/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme, oleh karenanya lembaga yang dianggap berwenang menangani hal ini adalah Polri. Tetapi karena terorisme juga tidak melulu membawa dampak korban sipil yang tidak berdosa saja, amat mungkin keamanan nasional juga menjadi taruhannya, banyak negara juga menyertakan militernya untuk berperan aktif dalam penanggulangan terorisme. Oleh karena banyak negara yang mengantisipasi hal ini dengan membentuk satuan anti teror yang fleksibel yang berbasiskan kepolisian namun mempunyai kemampuan seperti dimiliki militer yang biasa disebut sebagai paramiliter.

GSG-9

Contohnya Perancis memiliki Groupe d’Internvention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) dan Jerman dengan Grenzschulzgruppe (GSG-9). GIGN meski dalam struktur organisasinya dibawah militer, tetapi dalam beroperasi menggunakan aturan pada umumnya kepolisian. Sedangkan GSG-9 jelas satuan ini berada di bawa kepolisian federal Jerman. Namun, negara seperti Inggris menggunakan militernya seperti SAS (Special Air Service) untuk menangani terorisme tetapi jelas tidak berdiri sendiri tapi “in conjunction with” pihak kepolisian. Jadi memang tampaknya institusi non-militer, atau tidak purely military yang digerakkan duluan untuk penanggulangan teror yang terjadi.

SAS Inggris

Lalu dimanakah militer negeri kita ditempatkan dalam upaya penanggulangan terorisme? Pemerintah kita tampak lebih cenderung menempatkan pasukan anti teror milik TNI berada di belakang Polri seperti yang tampak saat ini. Densus 88 menjadi leading sector dalam operasi penanggulangan tindak terorisme di negeri ini. Densus 88 sendiri lebih mirip seperti GIGN dan GSG-9 yang dicontohkan di atas. Berbasis kepolisian dan dilatih serta dilengkapi untuk mampu melakukan close quarters battle (CQB), atau pertempuran jarak dekat melawan teroris bersenjata. Ada catatan saya dalam hal ini. Dalam latihan gabungan TNI-Polri yang pernah saya ikuti, dua doktrin yang berbeda dijadikan satu menangani suatu kasus terorisme bersama sama dengan beban tanggungjawab yang dipikul sama mempunyai kelemahan. Lalu dimana letak kelemahannya? Militer dan kepolisian di manapun di dunia diciptakan berbeda doktrinnya. Militer adalah instrumen kekerasan milik negara yang diberi otoritas untuk menggunakan senjata dalam mempertahankan negara dari serangan militer negara lain. Itu adalah hakekat universal, tapi tentu saja dalam perkembangannya militer digunakan bukan melulu untuk mengatasi agresi militer negara lain. Mengatasi bencana dan penanggulangan terorisme adalah bagian dari tugas yang juga umum dilakukan militer dimanapun di dunia. Sedangkan kepolisian pada umumnya didefinisikan bebas sebagai institusi penegakan hukum, melindungi masyarakat di dalamnya serta menciptakan ketertiban. Namun, juga dipersenjatai, tapi jelas senjata ini adalah dalam rangka menegakkan hukum itu sendiri.

Densus 88 Polri

Dengan doktrin demikian maka penggerakan satuan penanggulangan teror TNI adalah apabila derajat ancamannya sudah sedemikian serius yang membahayakan keamanan nasional secara umum. Oleh karena amat mungkin kelompok teroris yang melawan dipastikan berakhir dengan kematian. Sebaliknya satuan anti teror milik Polri diharapkan lebih ditujukan untuk melumpuhkan daripada mematikan personil teroris. Satuan Gultor milik TNI dibekali senjata utama sub-machine gun seperti Hk MP-5 kaliber 9mm untuk keperluan close quarters battle (CQB). Sedangkan Densus 88 saat ini menggunakan senjata M4A1, assault rifle sebagai kelengkapan utama disamping pistol semi otomatik 9mm. Kaliber senapan serbu M4A1 ini 5,56 mm jelas tidak masuk katagori sub-machine gun. Dalam hal daya bunuh M4A1 lebih besar dari pada Hk MP5. Ini adalah terbalik, seharusnya satuan gultor Polri menggunakan sub-machine gun sedangkan TNI bisa menggunakan sub-machine gun dan assault rifle. Tergantung dengan jenis operasi yang dilakukan. Menggunakan sub-machin gun apabila satuan Gultor TNI dioperasikan untuk pembebasan sandera. Sub machine gun yang berkaliber 9 mm ini pada umumnya tidak akan menembus tubuh sasaran sehingga tidak membahayakan orang yang ada di baliknya. Dengan demikian kemungkinan kematian jiwa karena ketidak sengajaan dapat diminimalisir. Dalam operasi pembebasan sandera, keselamatan sandera adalah prioritas tertinggi yang harus dicapai oleh satuan penindaknya.

Sat 81 Gultor Kopassus

Perbedaan doktrin ini juga yang mendasari satuan penanggulangan teror yang berbasis kepolisian dilatih bukan untuk membunuh tetapi melumpuhkan. Contoh pasukan khusus anti teror milik Perancis, GIGN dilatih untuk menembak dengan senjata utama sub machine gun dengan sasaran di bahu untuk melumpuhkan sasaran teroris. Tujuannya memang diharapkan para begundal teroris ini masih hidup dan dapat diseret ke pengadilan. Kalau akhirnya dijatuhi hukuman mati pelakunya itu berdasarkan keputusan pengadilan. Sebaliknya satuan Gultor TNI dilatih untuk mematikan. Oleh karena mereka di latih untuk menggunakan senjatanya menembak di kepala, dengan cara double tap (menembak cepat dua kali) untuk memastikan sasaran yang ditembak mati.
Jadi dalam konteks penanggulangan teror di negeri kita memang tampak ada ironi dalam kasus ini, TNI menggunakan standar submachine gun untuk CQB sedangkan Polri malah menggunakan assault rifle. Jadi semua tersangka teroris sudah bisa dipastikan mati secara extra judicial. Di luar keputusan pengadilan. Ini jelas tidak sejalan dengan apa yang tertuang dalam UU yang menyebutkan terorisme sebagai tindak pidana, yang semestinya para teroris dilumpuhkan kerena kesaksiannya diperlukan di pengadilan.

Mekanisme Penggerakan Militer yang Diharapkan
Lalu bagaimana mekanisme hubungan antara militer dan Polri yang diharapkan dalam latihan gabungan anti teror yang baru saja berlalu? Pengalaman saya pada saat membawa Sat-81 Gultor Kopassus beberapa tahun lalu (mudah-mudahan tidak sama dengan mekanisme latihan yang baru lalu), semua unit anti teror (Sat-81 Kopassus, Den Bravo-90, Den Jaka dan Brimob/Gegana, Densus 88 belum ada) diberi sasaran yang berbeda dalam suatu kurun waktu yang sama yang Gedung DPR-RI Senayan disimulasikan sedang dikuasi kelompok teroris. Artinya semua satuan penanggulangan teror baik milik TNI maupun Polri mempunyai level yang sama dalam melakukan tugasnya. Tidak ada mekanisme penyerahan kewenangan penindakan dari kepolisian ke militer. Latihan di masa lalu tiap satuan anti teror TNI dan Polri di beri sasaran masing masing. Setelah tiap satuan selesai melaksanakan tugasnya yang ditandai dengan terbunuh dan tertangkapnya teroris maka hasilnya dilaporkan ke komando yang lebih tinggi dalam struktur manajemen krisis. Berbeda secara mekanisme, seperti contoh di Inggris, tanggunjawab penanggulangan teror dalam negeri pada umumnya tetap di pundak kepolisian. SAS digerakkan apabila memang kapasitas kepolisian dipandang tidak bisa mengatasi situasi yang terjadi. Artinya level SAS lebih tinggi dari kepolisian dalam konteks kemampuan penindakan terorisme, namun kepolisian berdasar UU lebih berwenang. Terjadi serah terima kewenangan dalam hal ini. Setelah melakukan penindakan SAS menyerahkan kewenangannya kembali di pihak kepolisian. Sampai bertemu lagi di pengadilan. Disinilah diharapkan latihan yang diadakan tampak mengatur mekanisme penyerahan kewenangan penindakan terorisme dari Polri kepada TNI, dan setelah selesai diserahkan kembali ke tangan Polri. Sehingga mekanisme ini sejalan dengan UU no 16/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme yang memberikan kewenangan Polri dalam upaya penanggulangan terorisme di tanah air. Mekanisme ini sekaligus menampakkan bahwa kemampuan penindakan terorisme TNI mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding satuan milik Polri.

FBI Special Force

Penanganan terorisme dalam negeri di USA juga bukan langsung di pundak militer, tetapi di era kini lebih ke Homeland Security dan dinas federal FBI yang memang mempunyai unit unit anti teror. Militernya digerakkan di luar negeri untuk menggebuk terrorist. Namun dalam kondisi tertentu militer juga dapat digerakkan untuk menangani terorisme di dalam negeri seperti terorisme yang terkait dengan Nubika (nuklir, biologi dan kimia), dimana militer mempunyai alat, skill dan personel yang lebih lengkap dibanding institusi lain. Dengan demikian militer ditempatkan sebagai institusi yang digerakkan sebagai upaya terakhir terakhir (last resort) atau karena pertimbangan derajat ancaman yang pada akhirnya harus ditangani oleh militer apabila terjadi di dalam negeri. Tetapi penggerakan militer tetap dengan mekanisme menyerahkan tugas dan kewenangan dari tangan institusi non militer seperti kepolisian ke militer. Mengapa demikian? Karena rata-rata negara demokratik menggolongkan tindakan terorisme di dalam negeri adalah sebagai tindak pidana. Oleh karena kepolisian lebih tepat menangani. Di negeri kita jelas menyatakan terorisme sebagai tindak pidana, dengan demikian satuan penanggulangan teror milik TNI ditempatkan berada di belakang Polri dalam posisi siap membantu kapan diperlukan. Latihan yang baru lalu mudah-mudahan sudah mengambarkan penyerahan kewenangan penindakan dari Polri ke TNI.

TNI sebagai the last resort dalam penanggulangan teror mengandung konsekwensi untuk dilengkapi dengan baik. Asumsinya adalah sebagai pamungkas manakala diperlukan harus berhasil. Oleh karena tidak semestinya dalam era kini ada yang masih berpikir kalau TNI tidak diberiperan dalam upaya penanggulangan teror. Karena hal ini hanya masalah waktu dan kesempatan. Anggapan ini seharusnya tidak ada apabila satuan anti teror TNI juga dilengkapi dengan alat, tingkat ketrampilan, dan personel yang lebih baik dari satuan sejenis milik Polri. Mudah-mudahan situasi saat ini demikian dan bukan sebaliknya justru alat milik TNI amat tertinggal dibanding milik rekan Polri. Pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk memperhatikan isu ini.

Penutup

Hal yang lebih penting lagi tidak perlu ada diskusi mana yang lebih tepat menangani militer atau kepolisian hingga seolah ada “rebutan” pelaksanaan tugas. Apabila kita mengetahui posisi masing masing tampaknya kita bisa saling menyiapkan dari menghadapi setiap kemungkinan ancaman yang terkait dengan terorisme. Satuan Gultor TNI akan digerakkan manakala derajat ancaman semakin meningkat dan berada di luar kemampuan satuan anti teror Polri untuk menangani. Mudah-mudahan pimpinan kita juga tidak mengambil “middle route,” antara tugas militer atau kepolisian dalam penindakan terorisme dengan digelarnya latihan bersama yang justru malah mengaburkan tingkat kewenangan dan kemampuan ke dua institusi yang berlatih bersama. Tapi sudah harus jelas memberikan batasan kemampuan antara TNI dan Polri. Latihan gabungan ini seyogjanya bertujuan untuk melatihkan mekanisme, dan prosedur penanggulangannya. Bukan seperti di masa lalu yang lebih cenderung menunjukkan kepada masyarakat bahwa TNI dan Polri kompak dalam pemberantasan terorisme. Saat ini yang dibutuhkan adalah mekanisme yang sesuai dengan aturan hukum dan perundangan yang sudah efektif. Militer membantu tugas Polri dalam penanggulangan terorisme manakala Polri mempunyai keterbatasan. Apabila belum terakomodasi dalam peraturan maka perlu dibuat aturannya tentang kapan waktu penyerahan kewenangan penindakan terorisme dari Polri ke TNI. Sehingga akan tampak batasan Polri dan kemampuan TNI dalam penanggulangan terorisme yang terjadi di negeri kita. Dengan demikian komentar orang seperti Neta S. Pane tidak perlu membuat dongkol kita semua, tetapi dijadikan sebagai bagian dari materi evaluasi latihan yang akan datang.

Oleh: Kol. Inf Joko Putranto MSc.