Senin, 30 September 2013

Kisah Perwira Kesayangan Soeharto

Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. "Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih," kata Untung kepada Soebandrio.

Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.

Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu "misteri" tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.

Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan "Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya," kata sejarawan Asvi Warman Adam.

***

Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.

"Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi," ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya.

Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. "Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya," kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. "Saya yang mengantarkanUntung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari."

Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. "Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. "Untung kemudian masuk Korem Surakarta," katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. "Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ," kata Suhardi.

Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.

Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.

Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi
Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya.

Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.

"Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto," kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.

Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu. Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. "Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa," kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948.

"Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun." Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia, sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, "Gus, kamu ada di sini...." Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. "Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?" Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. "Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir," kata Maulwi.

Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. "Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung," tulis Soebandrio.
Hal itu diiyakan oleh Suhardi. "Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung," katanya. Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.

"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio. Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.

Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. "Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal," kata Maulwi.

Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.

Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. "Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam," kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. "Itu ada petunjuk teknisnya," ujarnya.
 Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional. Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.

Dalam perjalanan pulang, Soeharto seperti diyakini Subandrio dalam bukunya, sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.

Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya. Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. "Saya tegur dia."

Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. "Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara." Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi.

"Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders," kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada. Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut.

Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. "Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI," katanya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. "Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka," jawab Untung.

Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman-lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.

"Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S)," kata Heru saat ditemui Tempo. Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. “Itu tak
masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.

Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.

Tjakrabirawa, Dul Arief, dan 'Madura Connection'

Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal adalah "komunitas Madura", yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.

Lelaki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai. Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur. Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Dalam sebuah wawancara dengan Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00. "Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang akan 'mengkup' Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat, menurut saya."

Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul lagi. "Lalu, pasukan Tjakra dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T. Harjono," ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T.

Harjono. "Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief." Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor Bungkus, yang dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.

Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan adalah orang-orang Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.

Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul Arief. Dul Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.

Perihal apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba mengecek kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: "Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo," kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.

Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi kemudian dihadangnya.

Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes mengawali karier semasa revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo.

Setelah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat keturunan Madura.
  Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di sejumlah daerah, seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya, melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.

Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan. Kemudian Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya berdarah Madura. "Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro," kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi: "Komandannya waktu itu Kolonel Latief," kata Heru.

Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yakni baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang mengagetkan lagi: komandan baret hijau di Srondol saat itu, menurut Boengkoes, adalah Untung!

Ketika bertugas di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu dengan Untung ketika sudah di Jakarta. "Saya belum kenal dia waktu di Srondol," tuturnya.

Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes menderita wasir dan disentri. "Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi besoknya, saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang." Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. "Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi," ujar Boengkoes. Tugas mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.

Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati. Keduanya kerap berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan namanya tertulis "Dawet Pasuruan". Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang cendol itu.

"Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka kemudian tersenyum senyum. Saya mulai curiga," ujar Boengkoes. Ternyata kemudian, pemilik warung tersebut mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.

Dan kedua gadis tersebut mengerti bahasa Madura. "Wah, mati aku," ujar Boengkoes. Yang aneh, menurut Ben Anderson, setelah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. Menurut Heru, beberapa hari setelah G-30-S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka. Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke-60 orang tersebut mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon karena tidak membawa bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama tersebut berinisiatif melapor kepadanya. "Saya perintahkan mereka untuk ditahan dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput," kata Maulwi.

Tapi kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal tersebut.

"Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub)," kata Heru. Apakah keduanya "diamankan" Ali Moertopo? Entahlah.

Tawuran Anggota KKO vs RPKAD



Bentrok ini diawali kemiripan warna baret RPKAD dan Tjakrabirawa. Menurut AKBP Mangil (DanDen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa) awal nya mereka meminjam baret RPKAD dan utk membedakan warna Tjakrabirawa menambah zat pewarna sehingga menjadi merah bata. Kemiripan ini sering menyulut perselisihan antara kedua kesatuan militer tsb. Para Anggota RPKAD berpendapat Tjakrabirawa tidak pantas memakai baret warna merah , semtaran Tjakrabirawa selalu merasa paling berjasa sebagai pengawal Presiden (panglima tertinggi).
Pertengahan tahun 64, jakarta sdg dibakar panas matahari Mayor Benny Moerdani (Komadan Batalyon 1 RPKAD) baru selesai main tenis dengan jip pulang ke cijantung. Persis pada jalan masuk menuju kompleks asrama berpapasan dengan truk ops RPKAD yang dimuat penuh anggota RPKAD berpakaian sipil. Benny mengamati tapi setelah melihat mereka bukan dari Yon 1 dia tidak merasa tertarik. “Pak, anak2 keluar semua…”, teriak petugas piket jaga. Benny langsung menginjak rem. “lho, emangnya ada apa ?”. “ tdk tau pak, anak-anak Yon 2 semua keluar asrama tanpa ijin.”

Pikiran Benny langsung bergerak cepat, keluar asrama tanpa ijin sudah melanggar prosedur militer. Tanpa pikir panjang dia langsung mutar arah dan mengikuti konvoi liar dari kejauhan. Pedoman yang dipakainya satu, truk paling belakang. Selepas jatinegara, Benny semakin mencium sesuatu yang tidak beres, sepanjang jalan warga masyarakat terlihat dilanda kepanikan. Beberapa bergerombol sambil menunjuk2 kearah pasar senen. Iring-iringan kendaraan berhenti diwilayah kramat raya. Nampak para anggota RPKAD (berpakaian sipil) berloncatan dan langsung berlarian ke arah simpang lima senen. “Wah kacau Pak, RPKAD gontok-gontok an dengan KKO”, jawab seorang yang sedang ikut berkerumun.
Sebuah keputusan segera melintas dikepala benny. Insiden ini harus segera dihentikan. Ia kemudian dengan berjalan kaki menembus orang lalu lalang yang sdg melarikan diri. Ketikan nampak seorang digotong masuk ke RSPAD dia langsung masuk dan bertemu dokter bekas anak buahnya di Pasukan naga. Dr. bem Mboi melaporkan anggota RPKAD berkelahi dengan pasukan Tjakrabirawa dari unsur KKO TNI AL. di ruangan perawatan tergeletak 3 orang RPKAD dan 10 KKO.
Keributan merupakan kelanjutan insiden di lapangan banteng, tanpa alasan yang jelas kedua belah pihak saling mengejek dan menjadi perkelahian massal. Para anggota RPKAD merasa tidak seimbang Karno jumlah KKO lebih banyak (Asrama KKO di Kwini bersebrangan jalan) kemudia menghubungi rekannya di cijantung.
Tanpa ragu benny segera meninggalkan RSPAD dan berjalan kaki ke asrama KKO Kwini , pada pos jaga kwini puluhan anggota KKO memakai seragam tjakrabirawa bersenjata lengkap sibuk bersiap2 mempertahankan asramanya. Benny masih dengan pakaian olahraga langsung melangkah masuk. Sebuah keanehan terjadi, petugas jaga depan markas segera memberi hormat.
Ternyata, sebagian dari anggota KKO yang sdh direkrut sebagai pasukan Tjakrabirawa ini dulu bekas anak buahnya di irian barat. Tentu saja mereka masih ingat mantan Komandan pasukan gerilya se Irian, meski siang itu Benny hanya memakai baju kaos.
“Siap Pak, bisa saya bantu?” kata petugas jaga.”Mana Komandan,” jawab benny singkat. “Baik Pak,silahkan tunggu….”. Para anggota KKO lainnya saling berbisik dari kejauhan.Mereka heran menyaksikan seorang sipil berani masuk asrama militer yang tengah bersiaga tempur. Tidak menunggu lama seorang perwira KKO keluar. Kebetulan kembali terulang lagi, yang muncul adalah Mayor Saminu, sama2 berasal dari solo. “Piye iki, koq malah dadi ngene kabeh Ben…?”
“Sudahlah, jaga pasukanmu agar jangan keluar asrama. Saya akan tertibkan anak-anak. Kalau kamu diserang, ya …sudah silahkan, mau ditembak atau apa,terserah saja. Tapi saya minta jangan ada anggotamu keluar asrama.”. “Yo, wis beres,” jawab Saminu cepat menyetujui usul benny.
Melihat benny masuk asrama kwini, isu segera menyebar di kalangan anak buahnya. “Pak Benny ditangkap, Pak Benny ditangkap KKO…” Mereka segera berebutan menduduki asrama perawat putri RSPAD, persis disamping Kwini. Dari lantai atas asrama perawat tsb, sepucuk Bazooka siap ditembakkan tepat mengarah ke dalam asrama KKO.
Sambil menunggu datangnya perintah tembak, para anggota RPKAD tidak melihat seorangpun anggota KKO muncul. Tetapi dari kejauhan, malahan nampak Benny melenggang keluar dari Kwini “Sudah, sudahlah pulang kalian semua…” teriak benny sambil melambaikan tangannya. Ia kemudian memerintahkan semua anggota RPKAD disekitar tempat itu , yg berpakaian sipil namun membawa beraneka macam senjata mundur dari wilayah sekeliling Kwini. Beberapa lagi masih kelihatan tetap ragu-ragu segera didorong oleh benny, diperintahkan naik keatas kendaraannya masing-masing. Mereka diminta kembali ke cijantung.
Warga masyarakat dipinggir jalan terheran-heran melihat tontonan ini. Pertempuran kedua pasukan elit yang semula dikuatirkan meletus mendadak saja berakhir. Setelah seorang berpakaian olahraga memerintahkan pasukan RPKAD naik kembali keatas truk.
Insiden berdarah antara pasukan RPKAD melawan Kesatuan Tjakrabirawa dari unsur KKO ini segera dibicarakan ditingkat atas. Keesokan hari benny menerima perintah untuk datang melapor ke Markas garnizun jakarta. Benny dipertemukan kembali dengan Mayor KKO saminu yang didampingi Kolonel CPM Sabur Komandan Resimen Tjakrabirawa.
Insiden di senen sepanjang hari itu ternyata tidak mungkin bisa disembunyikan dari perhatian presiden. Ketika keributan meletus di Istana negara sedang berlangsung pertemuan antara dokter militer. Ditengah pertemuan mendadak diinterupsi dan diminta seluruh tenaga dokter secepatnya harus datang ke RSPAD Karno dokter yang di RSPAD kewalahan menerima kiriman korban .
Usai dari garnizun Benny malahan menerima panggilan dari Istana. Presiden SoeKarno ingin mengetahui duduk perkara sebenarnya langsung dari tangan pertama. Tapi dengan datangnya panggilan ke istana justru yang muncul dalam pikiran benny adalah bagaimana harus menjelaskan peristiwa itu kepada bung karno. Dengan perasaan galau semacam itulah Benny melangkah kakinya memasuki istana kepresiden.
Bung Karno menerima kedatangan benny diberanda belakang istana merdeka. Selama pembicaraan dia lebih banyak diam terpaku, sementara Bung Karno dalam nada cerah bercerita panjang lebar. Inti pembicaraannya mengkisahkan dalam setiap negara selalu harus ada pasukan-pasukan elite. Tugas pasukan elite kecuali untuk bisa melindungi negara dari ancaman musuh juga tidak kalah pentingnya harus selalu siap sedia melindungi kepala Negara.
Tiba-tiba Bung Karno berkata,”Ben, saya menginginkan kamu menjadi anggota Tjakrabirawa.” Langsung kepala benny tersentak dan sesaat terdiam.
Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sama sekali tidak pernah ada bayangan terlintas bahwa dia bakal menerima perintah semacam itu. Setelah membisu beberapa saat dan suasana menjadi agak tenang kembali, dengan perlahan keluar jawabannya,” Bapak Presiden, saya pengin jadi tentara betulan…”
Suasana senyap dalam beranda istana mendadak berubah. “Lho, apa kau pikir Tjakrabirawa bukan tentara…” teriak Bung karno dalam nada marah.
Benny sebenarnya bermaksud menjelaskan, dalam pandangannya pribadi sebagai seorang anggota militer, pasukan semacam Tjakrabirawa tidak ada nilainya. Sepanjang karir kemiliterannya dia sudah dilatih untuk menjadi anggota pasukan komando. Bagaimana mungkin ini semua dialihkan untuk sebuah penugasan yang sama sekali berbeda sifatnya.
Dalamm bayangannya, seorang anggota pasukan Tjakrabirawa setiap hari hanya bertugas berdiri bersiaga untuk menjaga keamanan pribadi seseorang. Meski yang sdg mereka jaga adalah seorang kepala negara, ttp utk benny itu semua bukan tugas seorang anggota militer profesional.,
Benny tentu saja menyadari, penilaian semacam itu tidak mungkin bisa dia kemukakan secara langsung kepada seorang Panglima Tertinggi ABRI. Dengan pertimbangan ini, yang kemudian dipilihnya adalah mengucapkan kalimat “….tidak begitu Pak. Saya ingin menjadi Komandan Brigade lebih dulu…”
“Oh, kamu pahlawan ya, pemegang Bintang Sakti. ….tapi komandan brigade..?”. benny menyadari, dengan mengemukakan alasan teknis seperti itu Bung Karno pasti tidak akan bisa lagi menawar. Karna masih sangat panjang jarak yang harus ditempuh oleh seorang mayor untuk bisa menjadi Komandan brigade.
Permintaan untuk menjadi anggota resimen tjakrabirawa ternyata sudah tidak muncul lagi dalam pembicaraan di beranda istana. Bung karno segera mengalihkannya kepada topik lain. Kini dengan suara perlahan-setengah berbisik dia berkata, “ Saya sebetulnya ingin anakku kimpoi dengan seorang pahlawan. Ya seperti engkau ini…”. Bung karno kembali mulai memakai kalimat-kalimat berbunga, melukiskan keinginan hatinya untuk bisa menjodohkan salah satu putrinya dengan anggota militer.
Dalam pembicaraan antar hati ke hati tsb, benny dengan cerdik segera bisa meloloskan diri. Maksud bung karno untuk menjadikan benny seorang menanti presiden – yang mungkin dilandasi dengan maksud baik- tentu tidak mungkin bisa dipenuhi nya. Benny sudah memiliki pilihan sendiri. Namun menghadapi seorang kepala negara dan orang tua yg merindukan datangnya menantu memang dia merasa perlu memilih kata-kata penolakan yang tidak menyinggung perasaan. Hari itu dua buah tawaran penting dari bung karno sudah berhasil dielaknnya. Benny bukan saja berhasil menolak secara halus keinginan bung karno untuk dia menjadi anggota resimen tjakrabirawa, ia juga tanpa harus menyakitkan lawan bicaranya bisa menghindar tawaran untuk menjadi seorang menantu Presiden.
Dengan perasaan lega benny kemudian bisa meninggalkan halaman istana kepresidenan tanpa menanggung beban. Jebakan bung karno dengan sangat cerdik berhasil dihindarkannya. Sebuah ketrampilan ber diplomasi yang mungkin tidak setiap orang kuasa untuk melakukannya. (Dikemudian hari pernikahan benny dengan pilihan hatinya malah dipestakan oleh bung karno di Istana Bogor).

Omar Dhani Pernah Menerangkan Siapa Designer G30S/PKI

Omar Dhani adalah kunci yang masih hidup sewaktu dia dibebaskan dari penjara.  Oleh wartawan dia pernah ditanya tentang G30S/ PKI.  Kalo saja ada pembaca yang masih ingat apa jawaban Omar Dhani, tentu bisa mengikuti tulisan2 saya seputar G30S/ PKI ini.  Bahkan designer dari G30S/ PKI itu sendiri sampai sekarang masih hidup, dan tidak merasa keberatan kalo Omar Dhani mau membukanya kepada masyarakat, bahkan memang sesungguhnya Omar Dhani itu dilepaskan dengan tujuan agar mau cerita, silahkan buka mulut.  Namun entah mengapa, Omar Dhani tidak mau membeberkannya, dia memilih bungkam, mungkin Omar Dhani berpikir kalo dia membeberkannya hanyalah merendahkan dirinya saja atau juga merendahkan harga diri Bung Karno.Namun ada satu hal yang paling penting yang harus anda ketahui dan juga anda ingat.  Omar Dhani yang mati2an bungkem ini sempat dipancing oleh seorang wartawan, dan dengan sangat mengejutkan Omar Dhani sudah menguak sedikit rahasia dibelakang G30S/ PKI ini, namun kemudian Omar Dhani menyadari bahwa dia keceplosan bicara, kemudian dia pergi tidak mau meladeni bicara dengan sang wartawan lagi. Sang wartawan memancing Omar Dhani, pertama sang wartawan bertanya, bagaimana perasaan dia dilepaskan dari penjara, pak Omar Dhani menjawab, tentu saya senang bisa bebas.  Lalu sang wartawan bertanya lagi, “apakah bapak dendam kepada pak Harto yang telah memenjarakan Bapak?”.  Omar Dhani tertawa ngakak, katanya “apanya yang harus saya berdendam kepada pak Harto?”.  Sang wartawan kembali memberi umpan, “Bukankah bapak itu dipenjarakan atas perintah pak Harto?”.  Kembali
bekas Laksamana Omar Dhani menjawab, “Siapa yang bilang begitu?”. Sang wartawan menjawab, “Wah… itu khan sudah menjadi berita luas yang menganggapnya begitu…”. Omar Dhani hanya tertawa, “hehehehehe..  kamu tanya lah kepada pak Harto, begitu enggak?”.  Sang wartawan menjadi keheranan, kemudian karena tidak sabar, maka dia terjang langsung dengan pertanyaan inti…., “sekarang pak Harto sudah tidak lagi berkuasa, dan banyak yang menuduh bahwa pak Harto terlibat G30S/ PKI, bagaimana komentar bapak dengan tuduhan itu?”  MENDADAK WAJAH BEKAS LAKSAMANA OMAR DHANI MENGENCANG, SANGAT SERIUS, LALU DIA BILANG “…. TIDAK ADA ORANG INDONESIA YANG MAMPU MENDESIGN G30S/PKI”, setelah berkata begitu, bekas Laksaman Omar Dhani berkata, “…maaf, saya tak bisa lebih jauh lagi ngobrol disini”, cepat2 dia pergi Jadi kalo saja anda men-cari2 lagi wawancara ini, tentu akan bisa jelas siapa wartawan yang pandai mengumpan pertanyaan yang begitu tajamnya sehingga Omar Dhani kebobolan juga akhirnya.
Satu hal yang perlu anda ingat tentang pernyataan Omar Dhani ini, bahwa dia tak perlu, bahkan tidak merasa dendam kepada Suharto, dia juga tidak menganggap Suharto genius karena sama sekali bukan designer G30S PKI, Omar Dhani sangat memandang rendah kemampuan Suharto, dan yang paling puncak pentingnya dari ucapan Omar Dhani adalah cuma satu, “bahwa tidak ada satupun orang Indonesia yang mampu mendesign G30S PKI”.  Dan berdasarkan anggapan Omar Dhani, Suharto hanyalah dipaksa untuk mengambil alih kekuasaan Bung Karno sehingga jenderal Suharto se-olah2 melakukan kudeta terhadap Sukarno.Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata SP 11 Maret ternyata tidak pernah ada.  Andaikata memang Suharto merupakan pelaku G30S PKI, apa sih susahnya membuat SP 11 Maret yang palsu yang se-olah2 ditanda tangani oleh Sukarno.  Memang bukanlah tidak mungkin bahwa Surat palsunya pernah dibuat, namun kemudian dimusnahkannya sendiri, karena Suharto pada hakekatnya juga punya nurani dan tidak mau menentang perasaannya sendiri.
Jadi karena kejadiannya sudah lama berlalu, dan memang designernya juga tidak melarang untuk mengungkapkan masalah ini, maka cukup disini saya katakan kepada pembaca, bahwa designernya itu adalah Marshal Green yang baru saja kira12 6 bulan diangkat sebagai Dubes untuk Indonesia menggantikan P.Jones.  Karir Marshal Green sangat menyolok, karena sebelum menjadi Dubes di Indonesia, dia adalah Dubes di Saigon VietNam, dan disana dia juga mendesign hal yang sama yang bahkan lebih rumit dari G30S pki, namun kalo anda pernah baca kejadian di VietNam, maka polanya sangat mirip, bahkan seperti foto copy-nya saja, itulah sebabnya, plot G30S PKI tak perlu banyak buang waktu, kurang dari 3 bulan semua plotnya sudah lengkap dan sukses dilaksanakan dengan resiko 0% tapi keberhasilannya 100%.
Omar Dhani bungkem kemungkinan besar karena dia tidak mau membuat Marshal Green se-olah2 menjadi hebat dan terkenal namanya.  Sementara itu Suharto bungkem karena tidak mau menyinggung perasaan orang2 yang disakitinya yang kesemuanya bekas atasannya yang pangkatnya lebih tinggi.  Suharto tahu, bahwa mereka yang dia penjarakan justru orang2 yang lebih tahu tentang urusan ini, dan dia sadar juga bahwa bekas atasannya tentu sulit untuk menyalahkan dirinya.  Karena, sebelum kejadian, sebenarnya Omar Dhani yang ditawarkan untuk berperan jadi Suhartonya, bahkan ada beberapa jenderal lain yang ditawarkan, namun mereka semua menolak, akhirnya Suharto-lah yang terpilih tanpa Suharto sendiri tahu kalo dia diPlot seperti itu.
(Ny. Muslim binti Muskitawati.)

MIG-21 FISHBED AURI; BENTENG INDONESIA YANG AMPUH

Deretan Mig-21 AURI
“Walau tidak sempat mempertunjukkan kebolehannya, harus diakui, daya gertak pesawat Rusia satu ini, memang hebat. Amerika, konon, sampai menghimbau Belanda untuk membatalkan niatnya perang terbuka dengan Indonesia.”
 
Jahman bergaya di depan MiG-21 Begini ceritanya. Ketika Presiden Soekarno menyatakan perang terbuka dengan Belanda awal tahun 1960, semua unsur kekuatan disiagakan. AURI sampai detik itu sudah memiliki 49 MiG-17 Fresco. Setengah dari kekuatan sudah bercokol di Morotai, Amahai, dan Letfuan. Ada juga P-51 Mustang, Il-28 Beagle, B-25 Mitchell, B-26 Invader, C-47 Dakota serta C-130 Hercules. Belanda masih garang sampai detik ini. Boleh jadi, karena kapal induk Karel Doorman sudah membuang jangkar di Biak sejak tanggal 6 Agustus 1960. Hingga suatu hari, sebuah pesawat intai AU AS Lockheed U-2 Dragon Lady melayang di atas Madiun. Selama konfrontasi, sering pesawat ini sengaja diterbangkan dari Darwin ke Filipina untuk misi-misi intelijen. Dari ketinggian 70.000 kaki, teridentifikasi oleh pilot beserta kru deretan jet tempur dan pembom. Ditiliknya dengan cermat. Tak salah lagi, sang pilot yakin bahwa pesawat yang dilihatnya adalah pembom Tu-16 Badger dan MiG-21F Fishbed C (sebutan yang diberikan NATO), jet tempur penghadang (intercept) paling ditakuti barat kala itu. Sebelumnya, intelijen AS sudah mengendus kedatangan MiG-21 di Indonesia.

Hasil pengintaian ini bergegas disampaikan Amerika kepada Belanda. “Percuma melawan Indonesia, mereka punya ini.” Begitu kira-kira laporan intel AS kepada pihak Belanda sambil menyodorkan foto hasil jepretan pesawat U-2. Amerika pun sebenarnya masih gamang, mengingat F-4E Phantom yang baru dimodifikasi, masih meragukan untuk diadu berlaga melawan MiG-21. Seriusnya ancaman MiG-21 terhadap pesawat tempur AS, sampai membuat AL AS mendirikan sekolah elit tempur Top Gun.

Begitu cerita Marsda (Pur) Jahman, penerbang MiG-21 AURI. Menurut Jahman (65), Indonesia membeli MiG-21 sebagai tindakan bela diri andaikata Belanda mendatangkan pesawat-pesawat yang lebih modern. Ketika kampanye Trikora dicanangkan, AU Belanda memiliki satu skadron pesawat Hawker Hunter F.6 buatan Inggris tahun 1954. Disejajarkan dengan MiG-21, pesawat ini jelas bukan tandingan. Kecepatan maksimumnya hanya 1.117 km/jam, daya capai ketinggian 14.325 meter dengan jangkauan 690 kilometer. Kalau terbang rendah, pemakaian bahan bakarnya akan bertambah boros. Sementara MiG-21, dengan kecepatan Mach-2,1 mampu mencegat pembom pada ketinggian 20 kilometer pada jarak 1.800 kilometer.

“MiG-21 begitu luar biasa”, ujar Rusman Sebagai persiapan menyambut kedatangan si “pencegat”, AURI telah menyiapkan dua jalur pembentukan penerbang MiG-21. Yang pertama, dengan cara mengirimkan langsung empat penerbangnya ke Uni Soviet. Yaitu Kapten Udara Sukardi, Letnan Udara I Jahman, Letnan Udara II Igon Suganda, dan Letnan Udara II Mundung dua penerbang terakhir di-grounded setibanya di Rusia. Mundung didera sakit, sedangkan Suganda terlalu kecil. Pressure suit nomor kecilpun, masih terlalu besar untuknya. Karena itu kemudian diganti dengan Letnan Udara I Sobirin Misbach dan Letnan Udara I Saputro.

Langkah kedua, sebaliknya, di dalam negeri. Mayor Udara Rusman ditunjuk Komodor Udara Leo Wattimena untuk mendapatkan pelatihan langsung dari instruktur yang sengaja didatangkan dari Rusia. “Jadi kita dilatih hampir bersamaan. Hanya beda tempat,” tutur Marsda (Pur) Rusman.
Tim kecil yang dikirim ke Uni Soviet, persisnya di Lugowaya, sebuah kota kecil yang berbatasan langsung dengan India di mana sebuah pangkalan AU Uni Soviet bercokol, pun tidak berlama-lama di negeri tirai besi itu. Hanya empat bulan, “Sekadar just to know how to fly,” jelas Jahman. “Bukan berarti tidak terbang, tetap terbang, kita solo,” tambahnya.

Ketika mendapat perintah berangkat ke Rusia, Jahman baru beberapa bulan standby di Letfuan, setelah sebelumnya siaga di Morotai dalam mendukung kampanye Trikora. Menurut Jahman, kepindahannya ke Letfuan menyusul gugurnya Kapten Udara Gunadi setelah pesawat MiG-17 yang diterbangkannya gagal take off karena afterburner-nya tidak maksimal. Tragedi itu terjadi tanggal 29 Juni 1962. Komandan skadron MiG-17 saat itu dijabat Mayor Rusman.

Bagi yang berangkat ke Rusia mungkin tidak terlalu kesulitan, karena langsung ke asalnya. Lain halnya Rusman. “Saya harus melabeli dulu dengan bahasa Inggris semua panel-panel di kokpit, yang sebelumnya berbahasa Rusia,” aku Rusman. Setibanya di Indonesia, pesawat MiG-21 langsung dirakit. Para teknisi Rusia segera membimbing teknisi Indonesia. Rusman pun mulai mempersiapkan diri. Perang yang tidak ketahuan kapan akan berkecamuk di Papua Barat, terpaksa ditinggalkannya. Rencananya, tentu Rusman akan dikembalikan ke medan perang seandainya Belanda benar-benar serius untuk perang.

Disamping perwira senior di skadron fighter, Rusman juga menjabat perwira operasi Skadron Udara 11 DH-115 Vampire, jet latih pertama Indonesia. Tak salah, melihat keseniorannya, Leo mempercayainya sebagai orang pertama yang menerbangkan MiG-21 di dalam negeri. Kebetulan, Leo juga harus ke luar negeri. Rusman tidak terlalu kesulitan untuk mengakrabkan diri dengan MiG-21, mengingat ratusan jam terbang sudah dikantonginya dari MiG-15 dan MiG-17. “Pada dasarnya tidak jauh beda dengan MiG-17,” kata Rusman perihal pesawat bersayap delta ini.
Program kilat dimulai. Buku manual MiG-21 dilahapnya, para instruktur Rusia dengan tekun menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Pesawat rampung dirakit teknisi dan dinyatakan ready to fly. Tibalah Rusman pada saat yang menentukan, yaitu menerbangkan pesawat yang disebut sebagai roket terbang di hadapan beberapa pejabat penting yang, katanya, mau hadir. “Secara teoritis saya sudah paham,” aku Rusman.

Pagi itu, Juli 1962, segala persiapan dilakukan di Bandara Kemayoran. Sebagian dari MiG-17 dan MiG-15 yang berpangkalan di Kemayoran, terlihat berjejer di pelataran parkir. Benar saja, KSAU Laksamana Suryadarma dan beberapa pejabat teras AURI sudah terlihat hadir. Di hanggar, sebuah mesin turbojet Tumansky R-11-F2-300 mulai memekakkan telinga. Pesawat siap bergerak ke landasan pacu. Tidak ada perasaan janggal bagi Rusman, sama seperti menerbangkan pesawat Rusia terdahulu. Di ujung landasan, gemuruh mesin jet berdaya dorong 5.950 kilogram meninggi. Itulah tenaga penuh karya spektakuler biro disain Mikoyan-Gurevich (OKB).

Rusman mencelat meninggalkan tanah, menanjak, meninggalkan hadirin dengan tepuk tangannya yang riuh rendah. Menurut rute yang di-plot, pesawat akan belok ke kiri. Rusman menyentakkan tangkai kemudi (handle) ke kiri. Astaga, dia kaget, pesawat melintir kencang. Tak dikiranya akan begitu sensitif. Tapi kesadarannya cepat muncul. “Ya sudah, saya putar saja sekalian sampai empat kali,” katanya tertawa. Setelah mendarat, didapatinya ucapan selamat dan decak kagum. Hadirin takjub melihat Rusman yang sanggup membuat roll sampai beberapa kali. “Mereka nggak tahu kagetnya saya.”

Beberapa hari kemudian, jelas Rusman, Skadron 14 berkekuatan 20 MiG-21 yang bermarkas di Lanud Iswahyudi, Madiun, diresmikan KSAU di Bandara Kemayoran. Rusman langsung ditunjuk sebagai komandan. Sebelumnya sudah diresmikan Skadron 11 MiG-15/17. Sedangkan Skadron 12 MiG-19, justru dibentuk belakangan. Kemudian dibentuk pula Wing 300, induk skadron-skadron tempur yang bermarkas di Kemayoran. Rusman ditunjuk sebagai komandan Wing 300 dari tahun 1963 sampai 1966.

Penerbangan pertama diikuti beberapa penerbang berikutnya. Menyusul transisi penerbang. Nun, ribuan kilometer di utara, Jahman beserta ketiga rekannya juga mulai menerbangkan pesawat yang sama. Nantinya, setelah kembali dari Lugowaya (1963), keempat penerbang ini bersama Rusman menjadi instruktur pesawat yang mulai dipakai Uni Soviet tahun 1959 dan dipertahankan di garis terdepan pertahanan selama 30 tahun. Target utama AURI yaitu, mempercepat alih teknologi dari penerbang Rusia ke Indonesia.

Seruduk hutan jati
Seorang komandan harus lebih dulu tahu segalanya dari anak buah. Filosofi ini dipegang Rusman sebagai komandan skadron. Penguasaan menerbangkan MiG-21 terus dilakukannya baik melalui petunjuk buku manual maupun dari instruktur. Satu hari, sebulan setelah terbang perdana, Rusman terbang seorang diri dalam sebuah misi untuk menguji kemampuan high speed pesawat. Pagi itu, 29 Agustus 1962, pemilik 1.500 jam terbang MiG-21 ini bertolak dari Madiun dengan rute seputaran Jawa Timur (baca: Rusman Tembus Mach-2).

“Yang mengejutkan saya saat harus terbang high speed adalah, bahwa pesawat ini ternyata lebih cepat dari pikiran saya,” kata si “Hell Cat”, panggilan Rusman di udara. Persis seperti yang dirasakan Rusman, kehebatan inilah yang diunggulkan Soviet untuk menahan laju pembom B-52 Stratofortress AU AS yang kecepatan mendekati Mach-1. Bagi Indonesia hampir serupa. Menahan ancaman pembom negara-negara musuh menjadi tugas utama MiG-21. “Kita harus sanggup mengintersep pada titik dimana mereka bisa merilis bom,” jelas Jahman, mantan Danlanud Iswahyudi itu.

Untuk mendukung akselerasinya secepat mungkin mencegat pembom, MiG-21 dilengkapi afterburner. Malasalahnya, kadangkala afterburnernya tidak berfungsi dengan baik saat pesawat tengah menggandul sebuah bom konvensional “jatuh bebas” seberat 500 kilogram. Kesalahan teknis ini sempat merenggut nyawa beberapa penerbang MiG-21. Seperti pada satu ketika, tepatnya hari Kamis, saat dilangsungkan latihan terbang tinggi di Madiun.

Seorang penerbang, ingat Rusman, gagal lepas landas, karena tenaga tambahannya tidak bekerja sempurna. Pesawatnya terus merambat cepat di permukaan landasan, baru hidung yang terangkat. Anak muda ini terus berusaha, dihidupkannya lagi. Dia sadar, ujung landasan sekian detik lagi habis. Tanpa pikir panjang, ditariknya kursi pelontar (ejection seat) bermaksud bail out. Pesawat tercebur masuk sungai di ujung landasan.

Sulit berpikir jernih kala terjepit. Mungkin itu yang dialami anak muda ini. Dalam kepanikkannya, ditariknya kursi pelontar yang jelas tidak menerapkan teknologi zero ejection seat baru aktif pada ketinggian 1.000 kaki. Pemuda berkemauan besar itu menghembuskan napas terakhir. “Padahal dia sudah minta izin pada saya, usai terbang akan ke Yogya untuk melangsungkan pertunanganan pada hari Sabtu,” kenang Rusman. Sebelumnya, di hari Selasa, kecelakaan juga menimpa seorang penerbang. Sebuah pesawat jatuh di hutan jati, daerah Cepu, dalam sebuah latihan terbang malam. Pesawat menyambar pohon jati sepanjang satu kilometer.

Seorang penerbang lainnya juga membuat kekeliruan saat akan mendarat. Padahal, aku Rusman, dia sudah memberitahu kalau mengurangi kecepatan dari high speed, intake-nya akan membuka. Proses ini akan menimbulkan getaran. Celakanya, karena kaget, dia langsung eject. Penerbangnya sih, selamat, tapi pesawatnya hancur.
Rusman sendiri juga nyaris celaka gara-gara afterburner, ketika berangkat dari Kemayoran ke Madiun. Ketenangan serta segudang pengalaman, menjadi sangat mahal dalam kondisi ini. Rusman sangat sadar, kecepatan pesawat saat itu hanya pas untuk melayang. Salah handling sedikit saja, fatal. Sayapnya yang teramat tipis, hampir tidak bisa diharapkan memberikan daya angkat besar. Pesawat melayang persis di atas atap rumah penduduk.

Kegagahannya berakhir mengharukan Walau sangat cepat, pesawat pencegat MiG-21 tidak bisa diharapkan mengerjakan tugas-tugas strategis. Kemampuannya hanya untuk mengangkasa dengan cepat, terbang cepat, kombat, dan pulang! Endurance-nya kecil.
Menyadari keterbatasan pesawat, sementara wilayah Indonesia teramat luas untuk dipertahankan dan dijangkau MiG-21. Namun rasa bela negara, terlalu besar untuk dikalahkan oleh keterbatasan pesawat. Sebagai uji coba, Rusman terbang keliling Jawa Timur. Ternyata pesawatnya hanya mampu terbang 1 jam 40 menit. “Itupun sudah dengan drop tank dan teknik terbang yang irit,” katanya.
Satu jam 40 menit. Apa yang bisa dijangkau dari Jakarta? Mulailah mereka menghitung. Medan bisa! “Tapi tidak bisa pulang,” jawab Rusman. Bagaimana kalau cuaca buruk, tiba-tiba engine trouble, atau ada gangguan di landasan? Padahal terbangnya harus lurus, tidak ada toleransi “belok kiri-kanan”. Waktu tempuh Kemayoran-Medan sekitar 1 jam 30 menit. Artinya, hanya tersisa 10 menit untuk keadaan darurat. Berbagai pertanyaan bergalau dibenak Rusman. Namun dia sudah memutuskan, pulau-pulau besar di luar Jawa harus didarati.

Medan akhirnya dikunjungi. Kurang puas, Rusman, Sukardi, dan Ibnu Subroto, melakukan terbang cross country melintas Sumatera pada tahun 1963. Dengan mengambil rute Kemayoran-Palembang-Medan-Padang-Kemayoran, ketiga pencegat menyambar-nyambar di setiap daerah yang disinggahi. Mereka juga menginap di ketiga kota yang didarati. Sambutan masyarakat begitu antusias.
Sukses rupanya. Karena itu, perjalanan dilanjutkan ke Indonesia bagian timur setahun kemudian. Kali ini lebih banyak, melibatkan enam pesawat. Rute yang diambil : Madiun-Makasar-Morotai-Biak. Dalam jumlah besar, MiG-21 pernah melakukan formasi sembilan pesawat. Cross country ini dilakukan bukan untuk unjuk kekuatan AURI, “Tapi untuk meningkatkan skill, dan orientasi daerah bagi penerbang,” jelas Rusman lagi.
Ketika konfrontasi dengan Malaysia yang dikenal dengan kampanye Dwikora, Indonesia menyiagakan pembom Tu-16 dan MiG-21. Karena jangkauannya yang kecil, pesawat harus ditempatkan di Palembang dan Medan. Selama pengabdiannya di AURI, memang tidak ada pengalaman perang udara hebat yang ditinggalkan MiG-21 bagi generasi berikutnya. Selama Dwikorapun, hanya beberapa kali berpapasan dengan pesawat Hawker Hunter atau HS Buccaneer Inggris saat mengawal Tu-16.
Leo Wattimena sendiri memang tidak menghendaki adanya duel udara di antara kedua belah pihak. “Kecuali ditembak,” perintah Leo. Namun begitu, dua rudal K-13A atau NATO menyebutnya AA-2 Atoll dan kanon 30 mm, tetap disiagakan. Biarpun dilarang bertindak provokasi, ada saja beberapa penerbang yang berbuat iseng. Maksudnya hanya ingin melihat kesiapan radar lawan.
Dengan airborne dari Medan, pesawat terbang low level menyusuri selat Malaka. Begitu menjelang perbatasan, tower akan berteriak memberitahu ada pesawat naik dari Butterworth. “Kita langsung pull up, kabur,” jelas Jahman yang menjabat komandan Skadron 14 setelah Rusman. Saat pesawat Inggris tiba di perbatasan, MiG-21 AURI sudah terbang jauh. “Kita (MiG-21) memang tidak pernah perang. Sebagai pencegat, kita hanya menunggu lawan yang tidak pernah jelas. Itulah tugas kita, menunggu dan menunggu,” tutur Jahman yang menerbangkan MiG-21 nomor 2164.

Bagi Rusman maupun Jahman, agak kelam nasib MiG-21 pasca “pemberontakan yang gagal” oleh komunis Indonesia. Kedua penerbang MiG generasi pertama ini, kurang begitu tahu apakah betul MiG-21 di jual. Lain halnya dengan MiG-19. “Saya sendiri yang mengantarkan ke Pakistan, sekalian melatih penerbangnya,” aku Rusman. Soal pembelian MiG-19, ditambahkan Jahman, terpaksa dibeli Indonesia ulah politik dagang Rusia. Soalnya, sepengetahuan Jahman, Rusia hanya bersedia melepas MiG-21 asalkan MiG-19-nya juga dibeli.
Menurut polemik yang beredar saat itu, Indonesia memberikan MiG-19 kepada Pakistan karena merasa dikerjain. Gosip yang beredar seperti diceritakan Jahman, satu ketika Pakistan memberi pesawat angkut yang ternyata bobrok. Ketahuannya, sejak mendarat pesawat sumbangan ini tidak pernah diterbangkan lagi. Dari karakteristik pesawat yang diceritakan Jahman, sepertinya pesawat dimaksud adalah Lockheed Constellation. Itulah sebabnya, MiG-19 diberikan kepada Pakistan. Kondisi MiG-19 sebenarnya tidak terlalu baik. Pesawatnya selalu tidak siap untuk diterbangkan. “Padahal teknisi sudah menyatakan bagus. Begitu kita hidupkan, selalu ada saja yang tidak benar,” aku Jahman.
Namun yang jelas, bagi Pakistan yang tengah terlibat perang dengan India, jelas berharga. Selain Indonesia, Cina juga menyumbangkan pesawat yang sama. Niat hatinya, Pakistan sebenarnya ingin meminjam pembom Tu-16 AURI yang dipersenjatai rudal AS 1 Kennel, tapi ditolak Men/Pangau Omar Dhani.
“Saya tidak tahu apakah betul dijual dan kemana. Kalau benar, palingan itu urusan orang-orang gede,” kilah Rusman yang selalu menerbangkan pesawat MiG-21 bernomor 2160 dan 2170 tersenyum kecut. “Pesawat itu hebat sekali,” tutur Rusman berkali-kali, seperti tidak puas memuji kehebatan sang pencegat. MiG-21 AURI mengakhiri zaman keemasannya setelah farewell flight sebulan penuh, pada tahun 1967.

Sejarah Intelijen Indonesia (Edisi 2)


Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi suatu demonstrasi besar di Jakarta dan lebih dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952[1]. Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden. Permasalahan ini kemudian diupayakan diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat. Setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, peran IKP dan BISAP dilakukan oleh SUAD-I.

Tanggal 10 November 1959, Presiden Soekarno membubarkan SUAD-I dan membentuk Badan Pusat Intelijen (BPI), yang langsung bertanggung jawab kepada Soekarno, dan mengangkat Soebandrio[2], Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Dibawah kepemimpinan Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan), Komando-Komando Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan politik Presiden Soekarno.

Langkah yang terbilang sangat berani dilakukan oleh Subandrio dan BPI atas restu Soekarno, untuk membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bagaikan simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat. Maka untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah seperti yang lazim berlaku di negara yang bercorak otoriter.

Dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada tahun 1965, BPI dibubarkan. Sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi belum berusia setahun, KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Beliau membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali mayor Jendral Ali Murtopo dengan sandi nama Operasi Khusus (Opsus), di luar sepengetahuan BAKIN maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan maupun Markas Besar ABRI, serta Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang ada pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya, Ali Murtopo bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto.

Ali Moertopo merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun 1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi[3] di Bangkok dalam rangka menjajaki kemungkinan mengakhiri “Konfrontasi” dengan Malaysia. Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.

Permainan yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari[4] (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Untuk mensinergikan operasi-operasi intelijen sesudah peristiwa Malari, Presiden Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di bawah Jenderal Yoga Sugama. Bahkan Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS (Center for Strategic and International Studies) dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu CSIS[5] atau Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, hanya berfungsi sebagai lembaga pusat kajian dengan tugas pokok terbatas hanya pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata.

Jenderal Benny Moerdani[6] tidak puas dengan fungsi kelembagaan CSIS atau Pusintelstrat tersebut dan mereorganisasikan “tenaga pusat” itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency-  yakni BAIS (Badan Intelijen Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah kepemimpinan Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik luar negeri, tetapi terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor Portugis[7] pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di Timor Portugis dengan nama sandi Operasi Komodo[8].

Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah Badan Koordinasi, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada koordinasi. Lalu pada era Reformasi, BAKIN berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga tersebut masih aktif sampai sekarang.

Saat ini, kegiatan-kegiatan lembaga intelijen di negara Indonesia, di tataran strategi, operasional dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen nasional terdiri dari lima tipe organisasi:
  1. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara (BIN).
  2. Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen kepolisian (Badan Intelijen Keamanan Polri), intelijen bea cukai (Direktorat Penindakan Dan Penyidikan), intelijen imigrasi (Direktorat Intelijen Keimigrasian), serta intelijen kejaksaan (Jaksa Agung Muda Intelijen).
  3. Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu: Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI) yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
  4.  Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI dan angkatan;
  5. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara (LSN), Badan SAR Nasional (BARSANAS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pengintaian dan pengindraan (Surveillance and reconnaissance), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), serta Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")


[1] Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat Nasution) dan 7 (tujuh) Pangdam (Panglima Daerah Militer) meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan, sebagai sebab utamanya adalah terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Bahkan Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana dengan dalih untuk melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
[2] Kepiawaian dalam diplomasi Dr Subandrio sudah lama menjadi perhatian para diplomat AS di Jakarta dan mengantisipasi kemungkinan Subandrio menjadi tokoh penting di Kementrian Luar Negeri RI. Lihat Paul F.Gardener, Shared Hopes, Separate Fears (Colorado: Westview Press, 1997), h.155.
[3] Des Alwi Abubakar lahir 17 November 1927 di Desa Nusantara, Naira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Beliau pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan KBRI di luar negeri yaitu KBRI Bern, KBRI Austria dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia tahun 1965-1975, ia sebagai Dinas Diplomatik terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya mendekati almarhum mantan PM Tun Abdul Rahman dan almarhum mantan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.
[4] Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta pada tanggal 14 sampai tanggal 17 Januari 1974. Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap.
[5] Center for Strategic and International Studies, yang biasa disingkat CSIS adalah sebuah tangki pemikir (institut penelitian) kebijakan yang bermarkas di Jakarta. CSIS didirikan pada 1971. Lembaga ini adalah sebuah institusi independen dan bipartisan yang melakukan penelitian kebijakan dan analisa strategis dalam politik, ekonomi, dan keamanan.
[6] Leonardus Benyamin "Benny" Moerdani (lahir 2 Oktober 1932 – wafat 29 Agustus 2004 pada umur 71 tahun) adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang terkenal pada masanya. Merupakan perwira TNI yang banyak berkecimpung didunia inteljen, sehingga terkesan misterius apalagi ditunjang dengan pembawaannya yang hemat bicara serta jarang tersenyum, kesan misterius makin kuat. Merupakan satu-satunya perwira penyandang pangkat bintang yang ikut terjun langsung di operasi militer yaitu penangan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Don Muang Bangkok, Thailand. Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI, beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib.
[7] Timor Portugis adalah bekas nama (1596-1975) Timor Leste ketika masih di bawah pemerintahan Portugis. Pada masa itu, Portugal membagi pulau Timor dengan Hindia-Belanda. Nama Timor Portugis kemudian tidak dipakai lagi sejak 1975, setelah invasi Indonesia tak lama setelah pernyataan kemerdekaan unilateral Timor Timur. Timor Portugis pun menjadi Timor Timur, salah satu provinsi termuda di Indonesia. Secara teknis Timor Portugis baru dinyatakan sebagai sudah tidak menjadi bagian dari NKRI pada 20 Mei 2002, ketika Timor Leste dideklarasikan sebagai negara merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
[8] Bakin membentuk satuan operasi yang disebut densan nama "Operasi Komodo". Operasi ini dipimpin langsung oleh Kepala BAKIN Yoga Sugama, sedang wakilnya adalah Waka BAKIN Ali Murtopo. Operasi Komodo yang lebih merupakan intelligence field preparation operation, berusaha menjalin kontak dengan beberapa pihak yang ingin berintegrasi dengan Indonesia. Sebagai buah hasil dari Operasi Komodo ini, maka tanggal 7 September 1975 UDT, Kota dan Trabalhista mengirim Petisi berisi 31 pasal pada presiden RI untuk menjelaskan sikap mereka mengenai masa depan Timor  Portugis.

Sejarah Intelijen Indonesia (Edisi 1)



Negara manapun di dunia, tidak peduli sistem pemerintahannya otoriter atau demokrasi liberal, dinas intelijen selalu menjadi kebutuhan pokok atau wajib bagi suatu negara. Yang menjadi perbedaan utama biasanya pemanfaatannya dan juga pengendalian dari lembaga atau badan intelijen itu sendiri. Di Indonesia, sosok dan wibawa intelijen memang pernah sangat disegani khususnya di tahun awal 1967 sampai tahun 1969 yang terkenal waktu itu dengan istilah “Opsus” di bawah Ali Moertopo (alm.)[1], dan penilaian itu sampai sekarang juga masih kental walaupun sebenarnya sudah terjadi banyak perubahan dalam tubuh lembaga intelijen di Indonesia.[2]

Lembaga intelijen yang pertama terbentuk di Indonesia terjadi pada bulan September 1945, dimana berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat Zulkifli Lubis[3] sewaktu di PETA dan Kempetai (Dinas Polisi Rahasia Jepang), maka beliau berinisiatif untuk membentuk Badan Istimewa (BI) dibawah garis komando BKR[4] (Badan Keselamatan Rakyat), dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 6 Oktober 1945 di Cileungsi, Bogor.

Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 (empat puluh) orang opsir PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) mantan lulusan Seinenden Dojo[5] (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian pernah diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai  (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti pengumpulaninformasimiliter, sabotase dan perang urat saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.

Dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keutuhan kedaulatan Republik Indonesia, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kelihatan ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin terlihat ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah.

Akibat adanya tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara, menyebabkan sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TKR. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Presiden Soekarno tidak memiliki kendali atas BI.


Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta[6], maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.

BRANI dibentuk, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan strategis.

Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin[7], yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan Lembaga Pertahanan B sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI.

Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri dan dengan restu politik dari Soekarno, maka pada bulan April 1947, BRANI dibubarkan dan diganti dengan KP V (Kementrian Pertahanan Bagian V), di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat dalam Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948[8].

Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi KP V sebagai lembaga intelijen adalah dengan adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen KP V Seksi-A, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu. Alhasil, keberadaan KP V ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.

Setelah perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP). Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga merangkap sebagai kepala IKP. Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen (BKI), namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer seperti BISAP dan IKP.
 
(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")
Baca sambungan: Edisi 2


[1] Ali Moertopo atau yang bernama lengkap Letnan Jenderal (purn.) Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang berperan penting terutama pada masa Orde Baru di Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983) serta Deputi Kepala (1969-1974) dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Beliau lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tanggal 23 September 1924 dan meninggal dunia pada tanggal 15 Mei 1984.
[2] Riyanto,”Intelijen vs Teroris di Indonesia.” (Jakarta: Penerbit PT Toko Gunung Agung Tbk), hal 11.
[3] Zoelkifli Loebis sebelumnya mendapatkan pendidikan intelijens militer Nakano, Jepang sebagai bagian dari pendidikan PETA yang diikutinya. Lihat Stephen C.Marcado, The Shadow Warriors of Nakano (Washington DC: Brassey’s, Inc.,2002), h.239.
[4] Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuklah suatu wadah rakyat pejuang dengan sebutan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Lembaga ini bukan merupakan suatu Tentara Kebangsaan melainkan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah meresmikan BKR sebagai badan keamanan dari Republik Indonesia dan berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
[5] Tepat pada ulang tahun Kaisar Jepang, 29 April 1943, didirikan organisasi pemuda bernama Seinendan yang dipimpin di bawah Gunseikan. Tujuannya melatih dan mendidik pemuda agar mampu menjaga dan mempertahankan tanah air. Persyaratan menjadi Seinendan adalah pemuda yang berusia 14 tahun - 23 tahun. Anggota Seinendan diberikan pelatihan militer baik untuk mempertahankan diri maupun menyerang. Sebagai Pembina bertindak Naimubu Bunkyoku (Departemen Urusan Dalam Negeri bagian Pengajaran, Olahraga dan Seinendan). Pimpinan eksekutif di daerah Syu adalah Syucokan sendiri, sementara daerah yang tingkatnya di bawah Syu, kepala daerahnya menjadi pimpinan langsung Seinendan. Seinendan tidak hanya dibentuk di desa, sekolah tapi juga di pabrik-pabrik atau perumahan. Pada Oktober 1944 dibentuk Josyi Seinendan (Seinendan putri). Untuk mensukseskan Seinendan, Jepang memperluas Seinen Kunresyo (lembaga latihan pemuda) menjadi Cuo Seinen Kunrensyo (Lembaga Pusat Latihan Pemuda).
[6] Pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan KLB (Kereta Luar Biasa), pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sjahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
[7] Amir Sjarifoeddin Harahap yang lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 27 April 1907  adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Amir Sjarifoeddin merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada tanggal 19 Desember 1948, di dekat desa Ngalihan, Solo, Jawa Tengah, seorang Letnan Polisi Militer (sebuah satuan khusus dalam TKR) menembak kepala Amir Sjarifuddin dengan pistol karena Amir Sjarifuddin diduga terlibat dalam peristiwa Madiun.
[8] Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948 atau Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin. Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.

Forum Intel.