Foto: Sam Chui
Namanya memang kalah kondang dibanding C-130 Hercules, tapi C-160
tergolong pesawat angkut taktis yang kenyang berbagai pengalaman operasi
militer. Debutnya sebagai pesawat angkut (kargo) sipil juga tak kalah
moncer, bahkan dua dekade lebih C-160 aktif mengundara di langit
Nusantara. Meski resminya tak menjadi pesawat militer di Indonesia,
C-160 adalah pesawat yang fenomenal, seperti wara wirinya pesawat ini
saat mendukung operasi INTERFET (International Force for East Timor) di
Timor Timur.
Transall C-160 AU Jerman dalam mendukung operasi INTERFET di Timor Leste
Punya dimensi ruang kargo yang mirip C-130 Hercules. Tampak di foto ranpur Wiesel di pintu rampa C-160.
Dari segi desain alias penampakan, C-160 terlihat mirip dengan C-130
Hercules buatan Lockheed Martin. Tampak depan (hidung), samping, dan
bagian ekor amat kental nuansa Hercules. Tak sedikit orang yang
menyangka C-160 adalah Hercules. Bahkan, desain ruang kargo dan pintu
rampa juga identik dengan C-130 Hercules, maka itu apa yang muat di
perut Hercules, biasanya juga dapat masuk ke kargo C-160.
Letak pembeda C-130 dan C-160 nampak pada mesin, bila C-130 Hercules
menggunakan empat mesin, maka C-160 hanya mengadopsi dua mesin. Sebagai
imbasnya, C-130 Hercules tentu lebih unggul dalam urusan payload,
kecepatan, dan jarak terbang. Di Indonesia, C-160 mulai menapaki
sejarahnya pada awal dekade 80-an. Pengguna pertamanya adalah Pelita Air
Service, kemudian berlanjut ke tangan Manunggal Air Service.
Karena punya kemampuan STOL (
Short Take Off Landing), medan
operasi pesawat ini lebih banyak di wilayah Indonesia Timur. C-160 dapat
mendarat hanya butuh landasan 400 meter, dan lepas landas hanya butuh
landasan 700 meter. Roda dan suspensensinya juga tak kalah kuat dari
Hercules, yakni mampu take off and landing di landasan rumput atau
tanah. Oleh manufakturnya, C-160 memang dipersiapkan untuk beroperasi di
landasan yang
semi prepared.Merujuk ke sejarahnya, C-160 lahir di era berkecamuknya Perang
Dingin, maka hadirnya pesawat angkut taktis menjadi kebutuhan penting
untuk mendukung mobiltas pasukan dan alat tempur. Produksi C-160 digarap
patungan antara Jerman (d/h Jerman Barat) dan Perancis. Perjanjian
kerjasama penggarapan pesawat diteken pada tahun 1957. Awalnya Italia
juga ikut dalam proyek ini, tapi kemudian mengundurkan diri karena sudah
punya pesawat andalan sendiri. Sebagai wujud persiapan produksi, pada
tahun 1959 dibentuk konsorsium berupa perusahaan Joint Venture
antara Nord Aviation (Perancis), Weser Flugzeugbau (Jerman)
dan Hamburger Flugzeugbau (Jerman), dengan label perusahaan Transall
(Transporter Allianz). Namun kelanjutan produksinya kemudian di-handle
Aérospatiale (Perancis) dan Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), manufaktur
dirgantara dari Jerman.
Guna mendukung operasi militer NATO, Transall mensyaratkan pesawat
harus mampu membawa muatan kargo seberat 16 ton dan terbang sejauh 1.720
Km. Atau membawa muatan kargo 8 ton tapi mampu terbang sejauh 4.540 Km.
Syarat bisa STOL di landasan yang kurang apik juga ikut jadi perhatian.
Akhirnya prototipe C-160 terbang perdana pada tahun 1963, dan
selanjutnya produksi perdana dimulai pada tahun 1965.
Penyerahan perdana C-160 dilakukan pada tahun 1967. Meski dirancang
untuk kebutuhan militer Perancis dan Jerman. Karena terkait bisnis,
akhirnya C-160 juga dipasarkan ke negara-negara lain. Pengguna untuk
kebutuhan militer diantaranya ada Turki dan Afrika Selatan. Sementara
konsumen sipil ada Indonesia, Swiss, Perancis, dan Gabon.
Landing gear dan perangkat APU (Auxiliary Power Unit)
Versi yang digunakan Indonesia adalah C-160NG (Next Generation),
masuk dalam kategori generasi kedua. C-160NG mulai diproduksi pada tahun
1981, dengan tambahan kata ‘NG,’ pesawat dapat dilengkapi tangki bahan
bakar cadangan pada bagian sayap. C-160NG dapat membawa 28.000 liter
bahan bakar. Bahkan dimungkinkan dipasangnya fasilitas probe untuk air
refueling. Berbeda dengan versi lainnya, C-160NG telah menghilangkan
pintu kargo di bagian depan sebelah kiri. Sistem teknologi avioniknya
juag telah diperbaharui. Todal 29 unit C-160NG telah diproduksi, sebagai
besar untuk kebutuhan AU Perancis, termasuk konfigurasi untuk pesawat
tanker, dan enam diantaranya diproduksi khusus untuk Indonesia.
Produksi C-160 resmi ditutup pada tahun 1985, dan total pesawat yang
diproduksi mencapai 214 unit. Pengguna utamanya adalah AU Jerman (110
unit) dan AU Perancis (50 unit) . Meski sudah lumayan berumur,
rencananya C-160 baru akan dipensiunkan Jerman dan Perancis pada tahun
2018. Perancis terbilang kreatif memoles pesawat ini, diantaranya
merilis C-160G (Gabriel). C-160G menyandang gelar sebagai pesawat intai
dengan adopsi antena khusus dan perangkat optronic (optical electronic).
Ada lagi C-160H Asterte, perannya sebagai
Airborne Relay Station For Special Transmissions untuk mendukung operasi kapal selam nuklir AL Perancis.
C-160G (Gabriel)
C-160 (PK-VTQ) milik Manunggal Air di Bandara Wamena
Sayangnya debut C-160 telah redup di Indonesia, kabar terakhir
tentang pesawat ini adalah saat jatuhnya C-160 (PK-VTQ) milik Manunggal
Air di Bandara Wamena, Papua pada 15 Juni 2001. Dikutip dari
Wikipedia.org, penyebab kecelakaan adalah kerusakan teknis pada mesin
pesawat yang berujung pesawat gagal landing. Dalam musibah ini
menewaskan seorang penumpang.
(Gilang Perdana)Spesifikasi Transall C-160NG
– Crew: 3 men
– Length: 32.4 m
– Wing span: 40 meter
– Height: 11,65 meter
– Weight (empty):29 ton
– Weight (maximum take off): 51 ton
– Engines: 2 x Rolls-Royce Tyne Rty.20 Mk.22 turboprop
– Engine power: 2 x 6 100 shp
– Maximum speed: 513 km/h
– Cruising speed: 495 km/h
– Service ceiling: 8.200 meter
– Range (with 8.5 t payload) 5 000 km
– Range (with 16 t payload) 1 850 km
– Ferry range: 8 850 km
– Maximum payload: 16 ton
– Troops: 93 men
– Cargo compartment: 17,2 x 3,15 x 2,98 meter