Senin, 02 Juni 2014

Panglima TNI: Siapa Pun Presidennya, MEF Tidak Boleh Berhenti

 
Untuk menjadi negara maju yang kuat dan mandiri, pembangunan ekonomi harus sejalan dengan pembangunan kekuatan pertahanan. Oleh karenanya, peningkatan anggaran militer, termasuk alutsista, menjadi penting untuk mengawal proses pembangunan ekonomi.
Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, mengatakan, saat ini Indonesia dalam keadaan sangat baik secara ekonomi. TNI dengan sekuat tenaga akan mempertahankan kondisi tersebut.
“Indonesia sekarang dalam posisi yang sangat baik dalam ekonomi. Saya dan prajurit akan mempertahankan kondisi itu sebaik-baiknya,” ujar Panglima di sela-sela Peresmian Gedung Media Center Puspen TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Kamis (29/5).
Berbicara peningkatan kapasitas alutsista TNI tidak terlepas dari program Minimum Essential Force (MEF) yang dicanangkan Kementerian Pertahanan RI. Program MEF dicanangkan melalui tiga tahapan renstra, yaitu renstra I (2011-2014), renstra II (2015-2019), renstra III (2020-2024).
Sesuai targetnya, pada 2024, MEF terpenuhi, dan setelahnya, postur militer Indonesia berbicara tataran ideal, bukan minimum lagi.
Di tengah keterbatasan anggaran pemerintah, program MEF menjadi penting untuk dikawal. Pemerintahan baru diharapkan mampu berkomitmen terus mengawal program MEF.
“Secara spesifik saya belum pernah mendengar, tapi saya yakin para Capres itu pasti memiliki komitmen yang kuat untuk membesarkan TNI,” tutur Moeldoko.
Panglima menceritakan, telah ada sebuah kesepakatan di DPR. Komitmen melanjutkan program MEF akan terus dikawal pemerintahan selanjutnya.
“Kemarin pada saat kita rapat di Komisi I telah membuat sebuah formula yang harapannya MEF itu siapa pun yang akan memimpin nanti akan mengawal terus,” ungkap Moeldoko.
Sebagai panglima TNI, Moeldoko berharap bahwa program MEF tidak boleh berhenti di pemerintahan selanjutnya.
“Saya mewakili prajurit TNI berharap, siapa pun pemimpinnya ke depan, MEF tidak boleh berhenti,” pungkasnya.
Seperti dikatakan oleh Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsudin, dalam sebuah Forum Temu Pemimpin Redaksi Media beberapa waktu lalu, saat ini rasio anggaran pertahanan Indonesia baru mencapai sekitar 0,8 persen dari GDP nasional Sementara idealnya, untuk negara maju adalah 1-2 persen dari GDP. Untuk MEF, pencapaiannya dalam renstra I 2014 sudah mencapai angka 38 persen. Dalam pencapaian 38 persen tersebut, menurut Sjafrie, telah menghabiskan anggaran sebesar US$ 15 miliar.
Minimum Essential Force (MEF) menjadi program pemerintah dalam meningkatkan kapasitas alutsista TNI untuk menjaga pertahanan dan keamanan NKRI. Meski demikian, penerapan MEF dipandang sudah tidak relevan lagi dengan situasi keamanan kawasan yang selalu berubah.
“Pengertian minimum atau maksimum itu fluktuatif. Ancaman 2011 tidak sama dengan ancaman 2014, ancaman 2014 tidak sama dengan 2020, dan seterusnya. Jadi tidak bisa MEF dihitungnya kapan, ditetapkannya kapan,” ujar Connie Rahakundini Bakrie, pengamat militer Indonesia kepada JMOL beberapa waktu lalu.
Connie mengkritik kebijakan MEF pemerintah yang menurutnya hanya ikut-ikutan pemerintah AS yang juga menerapkan MEF dalam kebijakan pertahanannya.
“Penyakit kita suka copy paste. Hari ini AS membuat MEF yang sebenarnya pengurangan jumlah tentara. Di mana-mana tentara bisa dikurangi jumlahnya jika teknologinya sudah meningkat. Di kita teknologi masih minim, tentara juga dikurangi, habislah kita,” tegas Connie.
Connie menuturkan, program MEF tertuang dalam Buku Putih Kementerian Pertahanan (Menhan). Hanya saja, dalam perhitungannya MEF masih banyak ketidakjelasan. Menurutnya, sampai hari ini cara perhitungan MEF masih tidak ada yang bisa menjawab.
“Semua bisa menghitung, tapi dasar perhitungannya apa, tidak jelas. Buku Putih Pertahanan kita seperti turun dari langit,” sebut Connie.
National Security Council
Seperti normalnya negara-negara lain, Connie memaparkan, terdapat lembaga yang disebut sebagai National Security Council (NSC). Lembaga ini mengeluarkan apa yang disebut sebagai National Security Strategic (NSS), dan akan diterapkan ke seluruh departemen dan instansi terkait.
Sebelum NSS ditetapkan, ketiga lembaga, antara lain Presiden, Menlu, dan Menhan terlebih dahulu merumuskan national interest (kepentingan nasional). Persoalannya, lanjut Connie, adalah yang disebut sebagai NSC di Indonesia sekarang tidak jelas.
“Hari ini kita tidak jelas. Ada yang bilang Wantanas (Dewan pertahanan nasional—red), ada yang bilang Lemhannas, dan masing-masing saling gontok-gontokan,” ungkapnya.
Menurut Connie, hal tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu. Harus ada kejelasan secara kelembagaan. Karena dari sini akan turun apa yang disebut sebagai National Defense Strategic, dan setelahnya akan turun National Military Strategic.
“Sekarang yang ada tiba-tiba Buku Putih keluar, entah dari mana perhitungannya. Dasarnya apa tidak jelas,” cetus Connie.
Connie berharap, problem-problem kelembagaan seperti ini harus dituntaskan terlebih dahulu sehingga pembangunan postur pertahanan dan alutsista militer Indonesia terarah dan jelas.
“Karena untuk menggiring doktrin outward looking military kita yang dicanangkan sejak 1998, tapi hanya sebatas teori di atas kertas, tidak mewujudkan kekuatan pertahanan kita yang seharusnya. Kalau kita ingin konsekuen mereformasi TNI maka harus mampu mewujudkan hal tersebut.Outward looking military kekuatannya ada di laut dan udara,” pungkas Connie, yang juga salah satu anggota Wantanas.
Penulis: Anwar Iqbal
Editor: Arif Giyanto

(sumber : jurnalmaritim.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar