Kamis, 03 Juli 2014

Sejauh Mana Pengembangan Teknologi Drone RI?

PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia
PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia  (VIVAnews/Tommy Adi Wibowo)

Lima tahun ke depan, BPPT menargetkan membuat pesawat nirawak MALE.

VIVAnews – Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.
Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.
“Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan,” kata dia.
Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.
“Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station,” katanya.
Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.
Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.
Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.
Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.
“Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika  di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data,” katanya.
Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.
Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.
Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.
“Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan,” katanya.
Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.(teknologi.news.viva.co.id)
=========================================================================================

Hanya dalam Enam Bulan, Kalahkan Drone Wulung

BUAH KERJA KERAS: Thombi Layukallo (kiri) bersama tim pembuat Super Drone
saat akan uji coba  di kawasan Batujajar, Bandung Barat.
PENELITI yang sehari-hari menjabat sebagai direktur Advanced Marine Vehicles Research Center di Universitas Surya tersebut memang sudah lama terobsesi pada dunia penerbangan. Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama lebih dari 20 tahun di bidang penerbangan, doktor lulusan Universitas Nagoya, Jepang, tersebut membuka harapan baru bagi dunia kedirgantaraan dan militer Indonesia dengan menciptakan pesawat tanpa awak yang diberi nama Super Drone.
Berawal dari penunjukan dirinya sebagai penanggung jawab penelitian dan pembuatan drone oleh Universitas Surya yang bekerja sama dengan TNI-AD, Thombi lalu mengumpulkan sejumlah peneliti sebagai tim pembuat Super Drone. Jumlahnya tujuh orang dan semuanya merupakan pakar di bidang aeromodeling.
Tim itu juga diperkuat tim ahli dari TNI-AD. ”Jadi, total tim beranggota 14 pakar,” kata Thombi kepada Jawa Pos saat ditemui Rabu lalu (25/6).
Mantan peneliti BPPT (Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi) itu mengatakan, proyek tersebut nyaris membuat para anggota tim kencing berdiri. Sebab, proyek itu sejak awal ditargetkan selesai dalam enam bulan. Hal tersebut terkait dengan dana yang terbatas, yakni sekitar Rp 1 miliar. Waktu enam bulan itu relatif singkat untuk sebuah proyek pembuatan pesawat tanpa awak. Juga, mulai Oktober 2013 proyek itu dieksekusi.
Meski begitu, Thombi cs tidak lantas mundur. Target waktu yang singkat dan biaya yang terbatas bagi sebuah proyek berteknologi tinggi tersebut mereka jadikan tantangan. Thombi juga perlu memompa semangat timnya agar bekerja keras menyelesaikan proyek itu sesuai dengan target waktu yang dicanangkan.
”Harus siap berpanas-panas. Kalau tidak mau, jangan bergabung di tim ini,” tegasnya.
Dengan berbekal pengetahuan, ketelitian, dan kerja keras, akhirnya Thombi cs berhasil menyelesaikan pembuatan Super Drone dalam waktu enam bulan pada Maret 2014. ”Sepanjang sejarah di Indonesia, yang saya tahu, (pembuatan drone) ini rekor tercepat. BPPT saja itu butuh waktu 15 tahun,” ujar pria kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1966, tersebut.
Tidak hanya selesai membuat bodi, Thombi dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone bisa terbang nyaris sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji coba di lokasi latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat.
Memang menerbangkan Super Drone yang baru jadi tersebut tidak bisa sembarangan. Perlu memperhatikan kondisi cuaca dan arah angin. Sebab, apabila salah memperhitungkan cuaca, drone bisa gagal lepas landas atau jatuh.
”Makanya, harus sabar. Kalau tidak bisa hari ini, ditunggu sampai besok hingga cuacanya bagus dan memungkinkan untuk menerbangkan,” terang Thombi.
”Momen yang paling luar biasa adalah ketika melihat drone berhasil lepas landas. Rasanya, terbayar kerja keras kami selama ini,” tambah doktor yang pernah bergabung di Japan Society for Aeronautical and Space Sciences tersebut.
Super Drone karya Thombi dan timnya punya bobot total 120 kilogram dengan rentang sayap 6 meter dan panjang 4 meter. Drone itu mampu membawa bahan bakar bensin hingga 20 liter di udara. Bensin dibawa dengan menggunakan dua tabung yang diletakkan di tiap-tiap sayap. Dengan stok bahan bakar sebanyak itu, Super Drone mampu terbang 6–9 jam dengan daya jelajah sejauh sekitar 100 kilometer. Pesawat itu juga bisa membawa beban seberat 45 kg saat terbang.
Meski bukan drone pertama yang dibuat di Indonesia, terang Thombi, Super Drone akan menjadi bagian dari alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI-AD untuk kepentingan pertahanan negara. Ke depan, Super Drone disempurnakan sehingga dapat digunakan untuk menyerang musuh, seperti Predator Drone milik Amerika Serikat atau Eitan kepunyaan Israel.
”Tidak hanya untuk pertahanan, untuk aksi kombat juga bisa. Misalnya, tabung bensin diganti dengan bom. Minimal dapat digunakan untuk latihan menjatuhkan bom,” terang Thombi.
Menurut rencana, Super Drone dilengkapi dengan kamera pengintai di bagian bawah kepala pesawat. ”Saat ini belum dipasangi karena masih butuh penyempurnaan. Kamera itu mahal harganya. Kalau dipakai sekarang, terus jatuh, saya bisa nangis,” ucapnya.
Kendati demikian, Thombi mengakui bahwa Super Drone masih jauh dari sempurna. Banyak bagian drone di sana-sini yang masih butuh penyesuaian dan penyempurnaan agar dapat digunakan di lapangan.
Menurut Thombi, yang paling sulit dalam penyempurnaan Super Drone adalah menentukan titik keseimbangan pesawat. Thombi, yang menamatkan program S-1 di Jurusan Teknik Penerbangan Texas A&M University, AS, mengatakan bahwa titik keseimbangan dalam pembuatan pesawat merupakan salah satu yang paling vital. Sebab, beda berat 1 gram saja akan memengaruhi posisi pesawat saat berada di udara.
”Kalau mobil atau truk beda berat di samping atau depan-belakangnya, ia masih bisa jalan di darat. Kalau pesawat, akan jatuh. Makanya, bidang penerbangan menuntut untuk disiplin dan teliti menghitung semuanya,” ujar dia.
Sebab, lanjut dia, waktu enam bulan yang diberikan buat penelitian dan penyelesaian drone tidak mencukupi untuk menciptakan drone yang punya kemampuan baik. ”Waktu enam bulan ya hasilnya adalah enam bulan itu. Jangan ini dibandingkan dengan drone milik Israel. Penelitian mereka bertahun-tahun dengan dana yang unlimited. Jadi, harus dibandingkan apple-to-apple,” tuturnya.
Selain bidang penerbangan, Thombi ternyata juga menekuni bidang maritim. Dia pernah terlibat dalam pembuatan kapal laut dan kapal selam kecil untuk keperluan penelitian di salah satu perusahaan pembuat kapal.
Bagi Thombi, sistem kerja pesawat terbang dan kapal selam tidak jauh berbeda karena sama-sama melayang. Bedanya, pesawat melayang di udara, sedangkan kapal selam ”melayang” di air laut. ”Bedanya ada di fluidanya. Yang satu udara dan satunya air,” ucapnya seraya tertawa.
Pengetahuan mengenai udara dan air tersebut dia wujudkan melalui hasil riset berupa perahu hovercraftyang dirancang dapat terbang di atas air. Perahu itu dapat melayang karena dilengkapi dengan sebuah kipas yang mengarah ke bawah dan sayap. Dengan mengatur pada kecepatan tertentu, perahu akan terbang statis setinggi sekitar 1 meter dari permukaan air.
Hovercraft terbang tersebut akan digunakan untuk program iFly yang dia gagas. Proyek itu merupakan program sosial untuk memperkenalkan pengetahuan berbasis teknologi tingkat tinggi kepada anak-anak putus sekolah. Dalam program tersebut, Thombi bakal memperkenalkan perahu terbang karyanya itu dan mengajak anak-anak untuk ikut mempelajari kinerjanya.
”Dengan memperkenalkan teknologi tingkat tinggi, anak-anak jalanan itu akan termotivasi bahwa mereka juga bisa menciptakan teknologi. Mereka punya potensi yang tidak mereka sadari, yaitu otak yang luar biasa,” tegas dia.(jawapos.com)

Rabu, 02 Juli 2014

PIONIR INDUSTRI PESAWAT TERBANG INDONESIA


Komodor Udara Nurtanio Priggoadisuryo
Berawal dari sebuah cita-cita yang sederhana, namun hingga akhir hayatnya cita-cita itu belum terwujudkan yaitu keliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya sendiri Indonesia tercinta. Nurtanio berasal keluarga terpelajar mengawali pendidikannya dari memasuki ELS (EuropeeschLagere School) SD Belanda, MULO (Meer Urgebreid Lagere Onderwijs) SMP,  AMS (Algemene Middelbare School), SMTT-IVEVO Sekolah Menengah Tinggi Teknik di Jakarta, dan Kogyo Senmon Gakko di Sawahan, Surabaya, JawaTimur. Dengan kecintaannya di kedirgantaraan Nurtanio juga telah mendirikan sebuah klub pecinta pesawat, namanya Junior Aero Club (JAC), padahal pada masa pendudukan penjajah Jepang bahasa Inggris dilarang digunakan.   Karena kecintaannya perhatian Nurtanio tidak terbatas kepada pesawat model, ia juga mulai mempelajari teknik penerbangan yang kebanyakan berbahasa Jerman dan gemar menggambar glider tipe Zogling obsesi awal Nurtanio.
Setelah menyelesaikan sekolah di SMTT tahun 1945, kemudian bergabung pada Biro Rencana dan Konstruksi Kementerian Pertahanan di Yogyakarta dan kemudian dilantik menjadi anggota TKR bagian Penerbangan dengan Pangkat OMU (Opsir Muda Udara) II.   Tahun 1946 ditempatkan di Pangkalan Udara Maospati (sekarang Lanud Iswahjudi).  Di sanalah dicurahkan semua pikiran dan tenaganya yang ada secara kongkrit untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan suatu industri penerbangan Nasional.  Karya Nurtanio dalam pembuatan pesawat diawali dengan membuat glider, pesawat tanpa mesin.  Pesawat glider pertama buatan Nurtanio dimasa perjuangan ini dinamakan NWG-1 “Nurtanio Wiweko Glider”.
Bersama rekan-rekannya dengan penuh semangat, sebelum akhir tahun 1946 berhasil membuat enam buah pesawat glider “Zogling” NWG-1.   Pesawat glider ini yang digunakan untuk menyeleksi dua puluh kadet penerbang yang akan dikirim ke Sekolah Penerbang di India.  Selain itu juga digunakan untuk propaganda di kalangan kaum muda dan remaja pada umumnya.

Pesawat RI-X

Keberhasilan sang maestro peran­cang pesawat diawali pada periode kemerdekaan antara tahun 1946-1948, berkat kerjasama dan kerja kerasnya para ahli pesawat Indonesia diantaranya Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Yum Sumarsono.  Pada tahun 1948, mereka berhasil membuat Experimental Light Plane (WEL X/RIX-1) pesawat sejenis “Paper Cub” hingga bisa terbang dengan menggunakan mesin bekas motor “Harley Davidson”

Pesawat Sikumbang

Atas prestasinya, Nurtanio kemudian dikirim ke FEATI (Far Eastern Aero Technical Institute), Manila, Filipina.  Dari FEATI mendapatkan gelar Bachelor in Aeronautical Sciences, di kampus Nurtania terkenal sebagai bintang universitas karena kemampuannya yang sangat menonjol, disamping belajar tentang ilmu pesawat terbang ia juga menerima pelajaran terbang dasar.

Pesawat Sikunang

Sebagai perintis industri penerbangan Indonesia pada awal tahun 1950 Nurtanio berhasil membuat pesawat dengan mengunakan all metal COIN (Counter-insurgency anti gerilya) dan fighter Indonesia yang dinamai Sikumbang-1. Sebuah Pesawat “single seat’, dilengkapi senjata otomatis untuk menembak dari udara ke darat. Uji coba terbang pertama pesawat sikumbang dilakukan oleh seorang “test pilot” berkebangsaan Amerika Kapten Powers pada tanggal 1 Agustus 1954. Pada awal tahun 1957 Nurtanio berhasil meluncurkan pesawat Sikumbang-2 dengan mengunakan mesin Continental 225 dk.             Pesawat buatan Nurtanio berikutnya adalah “Belalang”, yaitu pesawat latih dengan menggunakan mesin Continental 85 HP/90 HP untuk penganti pesawat Paper Cub yang sudah mulai tua.  Pesawat latih ini kemudian digunakan oleh Sekolah Penerbang AURI di Yogyakarta, Sekolah Penerbang Angkatan Darat di Semarang dan Sekolah Penerbang LPPU Curug di Jakarta.  Karya lain adalah pesawat olah raga Si-Kunang bermesin VW-25 HP/1190 CC yang semua materialnya berasal dari dalam negeri, Pesawat “Kinjeng” Pesawat penyemprot hama menggunakan mesin berkekuatan 150 HP. Helikopter “Kepik” dengan mengunakan mesin Continental 90 HP.
Pada tanggal 16 Desember 1961 diresmi­kan berdirinya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) dan Nurtanio ditugas­kan sebagai direktur yang pertama.  Sementara itu telah dibuat kontrak perjanjian antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Polandia untuk bekerjasama dalam mem­bangun suatu pabrik pesawat terbang di Bandung. Selain itu juga kontrak yang meliputi suatu usaha bersama memproduksi pesawat serbaguna PZL-104 Wilga “Gelatik”, dimaksudkan sebagai “training ground” untuk membina kemampuan dan mengumpulkan pengalaman-pengalaman tenaga teknisi Indonesia. Disisi lain bahwa pembukaan lembaga pendidikan tersebut untuk memperbanyak kader-kader yang handal. Seluruh kegiatan-kegiatan ini merupakan hasil pemikiran Nurtanio yang kemudian menjiwai adanya kontrak perjanjian tersebut. Maksudnya agar pada suatu ketika dapat kiranya dicapai suatu tahap sebagai pangkalan dimana bangsa Indonesia telah siap dengan fasilitas-fasilitas pabrik, tenaga manusia yang mempunyai keterampilan khusus dan pengalaman serta pengetahuan untuk dapat memproduksi pesawat-pesawat terbang, yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman.
Pengembangan pesawat terus berlanjut, di bawah Nurtanio, Indonesia mampu memproduksi berbagai pesawat.    Pengembangan pesawat tersebut berada di bawah periode Presiden Soekarno.  Keinginan Nurtanio yang belum terwujud adalah berkeliling dunia dengan menggunakan pesawat buatan sendiri.   Ketika nurtanio akan menyiapkan sebuah pesawat Arev (Api Revolusi), pesawat dimaksud adalah pesawat angkut ringan Super Aero 45 bermesin ganda buatan Cekoslowakia yang tergeletak di kawasan Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta. Kemudian pesawat di bawa ke  Lanud Husen Sastranegara Bandung untuk diperbaki.  Nurtanio dan para teknisi LAPIP berdiskusi dan bekerja keras memperbaiki pesawat itu, dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian hingga diperoleh suatu keyakinan bahwa pesawat dalam keadaan baik dan dapat diterbangkan dengan aman. 
Dengan idealisnya pribadi dan dedikasinya yang tinggi, sehingga Ia tidak mempercayakan kepada orang lain dan harus mencoba pesawat yang telah dimodifikasi sendiri, namun apadaya seorang manusia kalau Tuhan berkehendak lain maka berhentilah rencana yang selalu disiapkan oleh manusia.   Nurtanio Pringgoadisuryo meninggal saat test flight dalam uji coba menerbangkan pesawat Arev.     Kecelakaan pesawat terbang itu terjadi pada tanggal 21 Maret 1966, ketika menerbangkan Pesawat Aero 45 atau Arev buatan Cekoslowakia, yang telah dimodifikasi dengan memberi tangki bahan bakar ekstra.   Pesawat ini sebenarnya direncanakan akan digunakan untuk penerbangan keliling dunia, akan tetapi pada saat penerbangan diatas Kota Bandung pesawat mengalami kerusakan pada mesin, dengan kemampuan yang dimiliki Nurtanio berusaha untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega Bandung namun pendaratan itu gagal, karena pesawatnya menabrak sebuah toko.
Sebagai personel TNI AU yang professional dibidang penerbangan meninggal tanggal 21 Maret 1966, dengan usia yang relatif muda yaitu 43 tahun. Saat melak­sana­kan uji terbang tersebut Nurtanio didampingi kawan seangkatan Sekolah Penerbang Lanjutan di Andir Bandung, Kolonel Udara Supadio dalam peristiwa itu pula turut meninggal Kolonel Soepadio yang oleh TNI AU namanya diabadikan sebagai nama Bandara di Pontianak.
Oleh karena itu nama Nurtanio terpatri dalam perkembangan dunia Dirgantara di Indonesia, nama Nurtanio melekat pada industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya yang dimiliki Indonesia di wilayah Asia Tenggara.    Perusahaan tersebut berdiri pada 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dalam perkembangannya selalu berubah nama hingga sekarang bernama PT. Dirgantara Indonesia.  **pd

TNI AU. 

PENERBANG LEGENDARIS AURI



Marsda TNI Leo Wattimena
Leonardus Willem Johanes Wattimena memiliki nama panggilan sehari-hari Bladsem,  kata “Bladsem” mengandung arti kilat/petir, sementara di kalangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dikenal dengan nama yang singkat Leo Wattimena.
Putra daerah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat 3 Juli 1927 itu lahir dan dibesarkan oleh keluarga Kristen Protestan yang taat.   Ayahnya bernama Hein Leonardus Wattimena berasal dari Ambon, Maluku sedangkan ibunya yang bernama Maria Lingkan Wattie berasal dari Kawengian, Manado Sulawesi Utara.
Ayahnya yang bekerja sebagai Comisaris Residen Kantor di kota Pontianak tidak membuatnya jadi enak-enakan, melainkan untuk terpacu lebih kreatif dan berjuang dalam mengarunggi hidup.  Leo Wattimena merupakan anak keempat dari enam bersaudara masing-masing keluarganya tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Sebelum meniti kariernya di AURI, diawali dengan menempuh  Hollands Inlandsche School (HIS) dan Algeme Middelbare School (AMS) pada tahun 1950 di Jakarta. 
Leo Wattimena memiliki berprinsip kuat, bahwa tidak mau tergantung pada orang lain, ulet, disiplin dan tahan banting untuk mencapai cita-citanya.  Prinsip yang kuat tersebut terbukti setelah ayahnya meninggal, memulai untuk membiayai sekolahnya pemuda dengan bekerja sebagai pelaut di Maskapai Perkapalan NISO, bahkan kalau ada waktu luang tidak malu-malu untuk mendorong gerobak.    Semua itu dilakukan karena harus mencari biaya sendiri agar tetap bisa sekolah. 
Karier di AURI dimulai  bersama calon-calon kadet penerbang yang dikirim untuk mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Taloa selama satu tahun di California Amerika Serikat pada tahun 1950.    Pendidikan penerbang tersebut diikuti 60 kader yang dikirim pemerintah Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbang Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA).
Selama mengikuti pendidikan penerbang di Taloa Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator.  Menyandang lulusan terbaik merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mengandung arti bagi dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik setiap menjalankan tugas. Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya mendapat kesempatan Bersama 18 temen-temennya, untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA.
Sesampainya kembali di tanah air selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma sebagai penerbang pesawat tempur merangkap instruktur Pesawat P-51 Mustang.   Para penerbang-penerbang yang dikirim ke Taloa berkelakar kita bertugas dengan sungguh-sungguh, semoga dikemudian dapat berkarir dengan baik, itu terlihat dan berkarier menonjol itu terbukti salah satunya adalah Leo Wattimena.
Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan Leo Wattimena, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari "orang gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena.
Setelah kembali ke tanah air Indonesia  tahun 1951, kemudian diangkat menjadi Letnan Muda Udara I  dan ditempatkan di Komando Operasi di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga pada tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.
Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.

Leo Wattimena mendampingi Presiden Sukarno dalam kunjungan ke Irian Barat
Tahun 1955 bertugas kembali ke India dalam rangka peninjauan kesatuan-kesatuan pesawat Jet Vampire dari Indian Air Force selama dua bulan.   Setelah pulang dari India dengan pangkat Acting Kapten Udara, kemudian ditempatkan sebagai Perwira Instruktur Penerbang di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.   Meniti karier berikutnya pada bulan Mei 1956 sebagai perwira penerbang Skadron 3 diperbantukan pada Komando Group Komposisi.
Pada bulan Juni 1956 kembali mendapatkan kesempatan yang ketiga kalinya dikirim ke luar negeri dalam rangka menghadiri perayaan hari Angkatan Udara Republik Uni Sovyet (Rusia).
Leo Wattimena pada tanggal 18 April 1956, menetapkan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting seorang gadis Corrie Dingemans.   Dari pernihakannya dikaruniai empat anak, Clifford Joseph Wattimena, Gunther Leonardus Wattimena,  Patricia Maria Wattimena, dan Grace Riani Wattimena.
Dalam rangka mem­perkuat armada tempur yang dimiliki AURI pada tahun 1957, pemerintah Republik Indonesia mem­­utuskan untuk membeli delapan buah Jet Vampire buatan Inggris.  Kemudian AURI menugaskan Kapten Udara Leo Wattimena dan Kapten Udara Rusmin Nurjadin ditugaskan ke Inggris untuk belajar menjadi penerbang Pesawat Jet Vampire. Selama mengikuti pendidikan instruktur lanjutan di Royal Air Force, kembali menunjukkan kualitasnya sebagai penerbang andal terbukti lulus dengan predikat satu.  Pada masa itu mempersiapkan penerbang baru dengan generasi pesawat yang di pesan Indonesia, sebanyak delapan pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire dan itu merupakan pesawat jet pertama yang dimiliki AURI.
Penempatan penerbang untuk pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire adalah penerbang Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin.  Selesai mengikuti latihan untuk mengawaki Pesawat Jet Vampire, keduanya kembali ke tanah air untuk mempersiapkan calon-calon penerbang Pesawat Jet Vampire, salah satunya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang.
"Tak heran jika dengan Pesawat DH-115 Vampire sampai Mig-17 dan jet tempur bakatnya Leo Wattimena bisa mendapatkan multi ranting. Mulai dari L-4J Piper Club, P-51 Mustang, supersonik MiG-21 Fishbed" 
Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire untuk pertama kalinya itu, menghantarkan Leo Wattimena untuk dipercaya memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957).  Tercatat bahwa waktu itu Indonesia sudah memiliki 16 jet tempur buatan Inggris ini.  Predikat yang disandangnya  "sangat paham terhadap pesawat terbang" memang bukan omong kosong.
Keahlian tentang pesawat ditunjukkan ketika Sumarsono, penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya, bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut yang mengakibatkan penerbang Sumarsono gugur.
Waktu itu, di saat untuk menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu, baru sekali take off and landing, kemudian turun kembali Leo Wattimena langsung berkomentar : "Ini pesawat jelek". Meskipun begitu, tetap menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut.  Sementara di masa kejayaannya, bahwa pesawat supersonik delta merupakan pesawat unggulan produksi Uni Soviet.

Sebagai Wakil Panglima Komando Mandala sedang memberikan briefing dalam rangka penyebaran pamflet
Di luar negeri Beruang Merah (UNI Soviet), hanya Indonesia yang punya hingga dan sanggup membuat negara tetangga Australia harus memutar otak karena kekuatan pesawat  yang dimiliki Indonesia.  Ditambah lagi AURI diperkuat dengan Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber).  Disaat itu pula, pesawat  Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber) menjadi unggulan Uni Soviet, bahkan Amerika pun ingin memilikinya.
Karir sebagai Komandan Kesatuan Pancargas AURI, Pangkalan Udara Husein Sastranegara mulai bulan Februari 1957, dan Komandan Skadron 11 April 1957.      Pada akhir tahun 1957 bersama rombongan mendapat tugas baru dengan missi pembelian pesawat, berangkat ke Negara Rusia dan negara-negara Eropa Timur selama dua bulan.   Sesampainya di tanah air setelah melaksanakan  kunjungan tersebut dengan pangkat Mayor Udara mendapatkan tugas kembali belajar di Mesir selama tiga bulan untuk belajar mengenai penerbangan dan teknik.   
Oktober 1960 bertugas mengambil pesawat-pesawat AURI yang sedang menjalani overhaul di Hongkong Aircraft Engineering Corporation.    April 1961 bertugas ke Inggris untuk mengikuti RAF Staf College di Andover.
Dengan dibentuknya Komando Regional Udara (Korud) tahun 1961 akhirnya mendapat tugas baru sebagai Panglima Komando Regional Udara IV, tahun 1962 sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala pembe­basan Irian Barat dengan pangkat Kolonel Udara. Agustus 1962 sebagai Panglima Angkatan Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara.
Pada saat operasi Trikora, pernah mendapat tugas untuk mengirim gula dari Jakarta ke Makassar.  Selama berkarir sebagai prajurit AURI, tergolong orang yang selalui mengutamakan hak-hak prajurit yang bertugas di medan perang.  Ada peristiwa yang menarik, “pernah pada suatu saat makanan jatahnya  dibuang, karena melihat para prajurit yang akan diterjunkan ke Irian Barat dengan resiko tinggi, bahkan bisa dikatakan belum tentu juga kembali dengan selamat cuma diberi makan pakai lauk tempe, sedangkan para jenderal yang hanya bertugas dibelakang meja makan dengan lauk daging ayam”.
Leo Wattimena adalah Jenderal pertama yang mendarat di Irian Barat, dengan menggunakan Pesawat C-130 Hercules setelah melaksanakan tugas penyebaran pamflet di daerah Merauke.  Pesawat yang diterbangkan oleh Captain Pilot Letkol Udara M. Slamet dan Co Pilot Mayor Udara Hamsana didalamnya ada Komodor Udara Leo Wattimena.   Setelah tugas selesai timbul keinginan Komodor Udara Leo Wattimena mendarat di Lapangan Terbang Merauke.  Secara sigap Kaptain Pilot kemudian mengontak tower Merauke menyatakan bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin (Engine trouble) dan minta ijin mendarat, dengan cara demikian, maka untuk pertama kalinya seorang Jenderal AURI  menginjakkan kakinya di Irian Barat.

Penerbang legendaris AURI dengan latar belakang pesawat Mustang
Namun demikian setelah melaporkan ke Tower Merauke, pesawat mendarat di ujung landasan, kemudian langsung terbang lagi.  Saat itu pula tidak serta merta tentara Belanda marah karena merasa ditipu, situasi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa AURI adalah yang nomor satu.

Prestasi Penerbang sangat menonjol dan menakjubkan
Terbang di Bawah Kolong Jembatan Ampera, kemahiran menerbangkan pesawat ditunjukkan Leo Wattimena dalam suatu kesempatan dengan Pesawat MiG-17,  terbang rendah di kolong jembatan Ampera Sungai Musi, Palembang.   Saat terbang tidak sendirian, tetapi bersama dengan wingman-nya, Marsda (Pur) Sudjatio Adi. Dibawanya pesawat seperti menukik mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up sebelum mencapai permukaan air dan terbang menyambar dibawah Jembatan Ampera.
"Terbang gila" dengan penuh resiko dan sangat berbahaya yang dilakukan. Terbang menyalip diantara tower dan tiang bendera di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta.    Terbang straight and level, pasti menabrak, jadi untuk dapat lolos, ujung sayap yang satu ditarik Leo ke bawah.  Alhasil, pesawat dengan indahnya menyalip terbang diantara dua penghalang tersebut.
Menurut Marsekal Pertama (Pur) Agustinus Andy Andoko, mereka sejaman dengan penerbang ulung itu, bahwa "Leo itu identik dengan Mustang".  Bahkan karena unik dan keahliannya berangkat kerja dari  Bandung ke Jakarta, Leo Wattimena menggunakan Pesawat Mustang.
Sebagai  penerbang fighter, Leo Wattimena kenyang asam garam perang udara, pernah memimpin serangan di Indonesia Timur melawan Permesta (14 Mei 1958) menggunakan Mustang serta empat pembom B-25 Mitchell. Sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala pada masa Trikora.  Dalam operasi tempur perebutan Irian Barat tahun 1962, Leo menjadi Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian Barat.
Menurut rekan-rekannya dikenal orang sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. "Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari," kenang Kolonel (Pur) Suparno, mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara yang pernah melayani Leo.  Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwanya.
Setelah selesai menjabat sebagai Pangkodau IV pada bulan April 1965 kemudian diangkat sebagai Panglima Komando Operasi, sedangkan jabatan se­men­tara Wakil II Panglima Mandala tetap dijabat sampai bulan Mei 1963.   Tahun 1966 diangkat sebagai Panglima Kohanud merangkap sebagai anggota MPRS mewakili  AURI.   Tanggal 17 Juni 1966 pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Muda Udara.
Pada saat berlangsungnya Operasi Dwikora pernah menjabat sebagai kepala Staf Komando Mandala Siaga.
Setelah memasuki akhir pengabdiannya sebagai prajurit AURI, Laksamana Muda Udara Leo Wattimena mendapat kehormatan untuk menjadi Duta Besar berkuasa penuh untuk Italia. Dengan pengangkatan menjadi Duta Besar di Itali ini diartikan lain, karena tugas ini sama saja rasanya dibuang dan sakit hati, karena saat itu merasakan bahwa harus berpisah dengan Pesawat P-51 Mustang.    Perpisahan itu terasa separo jiwanya telah diambil, karena ia bercita-cita menjadi penerbang bukan Duta Besar.

Bersama Presiden Suharto setelah acara pelantikan Sebagai Dutabesar Republik Indonesia untuk Italia
Setelah masa tugasnya sebagai Duta besar di Italia berakhir, Laksamana Muda Udara Leo wattimena menderita sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.  Pada waktu diirawat di rumah sakit tidak merasa nyaman dan tidak kerasan untuk diam dan tiduran terus, akhirnya ia melarikan diri  dengan naik Bajai, setelah sampai di rumah diantar kembali ke Rumah Sakit oleh keluarganya.
Di Rumah sakit Cipto itulah Laksamana Muda Udara Leo Wattimena menghembuskan nafasnya yang terakhir dan berpulang ke rumah Tuhan, dalam usia 47 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.
Laksamana Muda Udara Leo Wattimena sebelum meninggal berpesan pada istrinya, “Kalau saya meninggal rawatlah anak-anak dengan baik”. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, jenasah disemayamkan di Markas Besar Angkatan Udara untuk memberi kesempatan kepada seluruh anggota AURI  memberikan penghormatan terakhir.
Selama berdinas di AURI mendapatkan Bintang/tanda jasa berupa medali Sewindu, Gerakan Operasi Militer III, IV, V, VI, VII, Bintang Sakti dan Satyalencana Wira Dharma.

TNI AU. 

Pesawat Guntei (Ki-51)



Pesawat Guntei
Pesawat Guntei merupakan pesawat jenis pembom tukik (Dive Bomber) buatan pabrik Mitsubishi, Jepang tahun 1938.   Pesawat Guntai pada eranya pernah menjadi salah satu kekuatan udara Jepang pada Perang Dunia II,         di Indonesia Pesawat Guntei pada awalnya ditemukan di Pangkalan Udara Bugis, Malang dengan jumlah 7 pesawat yang merupakan peninggalan pemerintah Jepang saat menguasai wilayah Indonesia.
Pesawat pembom yang menggunakan motor radial dengan pendingin menggunakan angin.  Pesawat tersebut berkekuatan 850 daya kuda dengan kecepatan maksimum 400 km/jam, kecepatan jelajah 265 km/jam dan kemampuan jelajah 1.722 km.
Sebagai pesawat pembom Pesawat Guntei mampu membawa bom seberat 500 kg dan dilengkapi tiga pucuk senapan mesin caliber 303.   Angkatan Darat menyebutnya "Type 99 Assault Plane".   Sekutu menyebutnya dengan "Sonia". Pertama terbang pada pertengahan 1939.  Total produksi sekitar 2.385 unit.
Karakterisitik Pesawat Guntei adalah sebagai berikut :
  • Kru Dua orang
  • Panjang 9,21 m
  • Lebar sayap 12,1 m
  • Tinggi 2,73 m
  • Wing area 24,0 m²
  • Berat kosong  1.873 kg
  • Loaded weight 2.798 kg
  • Max. lepas landas berat  2.920 kg
  • Powerplant 1 × Mitsubishi Ha-26-II 14 cylinder air  cooled radial engine, 709 kW (950 hp)
  • Kecepatan maksimum : 424 km / jam  (229 kn, 263 mph)
  • Rentang  1.060 km (574 nmi, 660 mil)
  • Layanan langit-langit  8.270 m (27.130 kaki)
  • Wing beban  117 kg / m² (23,8 lb / ft ²)
  • Daya / massa 0,24 kW / kg (0,15 hp / lb)
  • Kemampuan menanjak 5.000 m (16.400 ft)  9 min 55 sec
Pesawat dengan kode G-32 pernah digunakan dalam suatu operasi ketika melakukan penyerangan terhadap kedudukan musuh di kota Semarang.


Pesawat Guntei (Ki-51) sedang dipersiapkan terbang yang akan diterbangkan oleh Kadet Mulyono pada peristiwa penyerangan ditangsi Belanda tanggal 29 Juli 1947
Pada tanggal 10 Juni 1946, salah satu pesawat Guntei mengalami kecelakaan. Pesawat Guntei tersebut diterbangkan oleh H. Soejono dengan rute Malang-Yogyakarta.  Diatas kota Ponorogo mesin pesawat mulai “batuk-batuk” namun pesawat sampai juga ke Yogyakarta.  Sepanjang penerbangan dari Malang menuju ke Yogyakarta tercatat 6 kali pesawat Guntei batuk-batuk. Di Yogyakarta pesawat kemudian diperbaiki dengan mem­butuh­kan waktu hingga selama 4 hari dan pesawat kembali diterbangkan menuju ke Pangkalan Udara Malang.
Di atas Blitar mesin pesawat kembali bermasalah dalam pengapian (batuk-batuk).   Semakin lama semakin sering batuk-batuknya, sementara daya angkat pesawat di ketinggian semakin menurun karena powernya ikut berkurang.  Namun demikian dalam menghadapi keadaan yang terjadi, penerbang tidak berpikiran untuk melakukan pendaratan darurat.
Waktu itu pesawat berada diatas Kesamben dan Kepanjen yang bergunung-gunung serta sangat menuntut keahlian dan keberanian.   Sesaat setelah memasuki daerah Malang, Pangkalan Udara Bugis sudah kelihatan dengan ketinggian 300 meter secara mendadak mesin mati.    Berdasarkan pengalamaan dan teori yang didapat, penerbang secara berturut-turut melakukan flaps down…..switch off… sambil mencari tempat pendaratan darurat kemudian “ploftlanding”.  Pesawat mendarat dengan hentakan yang cukup keras hingga pesawat hancur, namun penerbangnya Sujono berhasil selamat.

Jasa Pesawat Guntei pada masa perjuangan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia adalah, ketika pesawat tersebut berhasil melaksanakan misi operasi udara pertama. Pesawat Guntei itu diterbangkan oleh Kadet Penerbang Mulyono pada tanggal 29 Juli 1947 untuk melancarkan pemboman ke tangsi-tangsi militer Belanda di Semarang dalam Perang Kemerdekaan RI pertama.
Sementara pesawat peninggalan Jepang lain yang digunakan secara bersamaan dengan Pesawat Guntei adalah dua Pesawat Cureng menyerang tangsi-tangsi Belanda di Salatiga dan Ambarawa. ** Pd

TNI AU. 

P-51 MUSTANG, PERINTIS TIM AEROBATIK TNI ANGKATAN UDARA



Pesawat P-51 Mustang
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan titik  kulminasi dari perjuangan  bangsa Indonesia, yang berarti bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah menjadi negara yang berdaulat dan bebas menentukan nasibnya sendiri dalam suatu kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Namun pernyataan kemerdekaan yang diproklamirkan tersebut, bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia, karena Kolonial Belanda baru mengakui kedaulatan Negara Indonesia pada 27 Desember 1949 sebagai tindak lanjut dari keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haaq, Belanda tanggal 23 Agustus - 2 November 1949 yang memaksa Pemerintah Belanda  mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).   Pengakuan kedaulatan ini kemudian ditandai dengan penyerahan kekuasaan, baik sipil maupun militer kepada bangsa Indonesia.   Salah satu fasilitas militer yang diserahkan adalah penyerahan pangkalan-pangkalan udara beserta fasilitasnya, yang dilaksanakan secara bertahap dan sebagai puncaknya adalah penyerahan Markas Besar Penerbangan Militer Belanda atau Hoofd Kwartier Militaire Luchtvaart (HKML) di Jalan Merdeka Barat Nomor 8 Jakarta Pusat kepada Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat (AURIS) tanggal 27 Juni 1950.

Formasi Pesawat P-51 Mustang
Dengan telah diserahkannya seluruh fasilitas Militaire Luchtvaart (ML) kepada Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu AURI sudah memiliki kekuatan udara dengan berbagai macam jenis pesawat, diantaranya adalah pesawat tempur P-51D Mustang buatan Amerika Serikat, yang kemudian melalui Surat Keputusan KSAU Nomor 28/II/KS/51 tanggal 21 Maret 1951, P-51 Mustang ditempatkan di Skadron 3 Pemburu Pangkalan Udara Cililitan, Jakarta dan selanjutnya dipindahkan ke Lanud Abdulrachman Saleh, Malang pada 17 Juli 1962 dibawah Wing Operasional 002 Taktis.

Atraksi Pesawat P-51 Mustang pada HUT TNI Angkatan Udara 9 April 1951
P-51 Mustang adalah pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal pada era perang dunia ke dua.  Mustang menjadi satu-satunya pesawat tempur yang mampu melangsungkan serangan secara mandiri maupun melaksanakan tugas pengawalan terhadap pesawat pengebom.  Karena kehandalannya, Mustang diproduksi ribuan dan digunakan oleh banyak angkatan udara, termasuk Indonesia.  Meskipun saat itu Indonesia menerima Mustang sebagai hibah dari Belanda, namun Mustang telah menjadi tulang punggung AURI dalam menjalankan berbagai operasi militer diwilayah NKRI, bahkan mustang digunakan Indonesia untuk melawan Belanda dan sekutunya dikemudian hari.

Duduk : Dono Indarto, Ramli, Ig. Dewanto Berdiri : Hamawi, Hapid, Roesmin, Leo Wattimena
Untuk mengawaki pesawat P-51D Mustang yang diserahkan tersebut, AURI mendatangkan para instruktur dari negara asal pesawat maupun instruktur-instruktur yang sebelumnya merupakan personel Militaire Luchtvaart.  Latihan yang dilaksanakan berupa penembakan udara ke darat dan dari udara ke udara, dengan menggunakan peralatan seadanya.  Melalui latihan yang terus dilakukan, maka kemampuan dan keterampilan para penerbang tempur AURI semakin meningkat, sehingga mampu membentuk satu tim aerobatik dengan menggunakan pesawat tempur P-51D Mustang.
Pembentukan tim aerobatik TNI Angkatan Udara yang pertama ini berawal dari latihan formasi pesawat yang dibimbing oleh salah satu instruktur penerbang dari Amerika Serikat bernama Leo Nooms.  Latihan yang diberikan adalah Red Race, kemudian formasi String, yaitu terbang berurutan lurus ke belakang, dengan instruktur di depan dan diikuti oleh penerbang di belakangnya.  Latihan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai tingkat mahir.  Kemudian dilanjutkan latihan terbang formasi dengan dua pesawat, tiga sampai empat pesawat, dengan masing-masing pesawat saling berdekatan untuk melakukan gerakan bersama.  Semua latihan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan sempurna, sehingga mendorong Leo Wattimena, Roesmin Noerjadin, Ignatius Dewanto, Mulyono, Hadi Sapandi dan Pracoyo, untuk membentuk tim aerobatik kebanggaan AURI pada waktu itu.

Moeljono, gugur ketika aerobatik di Surabaya pada 12 April 1951
Tim aerobatik P-51D Mustang berlatih disela-sela kegiatan operasi, sehingga tim ini tidak pernah muncul di depan publik, bahkan salah satu penerbangnya yaitu Mulyono, gugur dalam kecelakaan aerobatik di Surabaya dalam rangka atraksi di Kota Surabaya pada 12 April 1951.    Meskipun tim aerobatik P-51D Mustang tidak pernah tampil di depan umum dan tidak memiliki nama khusus seperti tim-tim aerobatik TNI Angkatan Udara lainnya, namun tim ini telah menjadi inspirasi bagi penerbang-penerbang AURI berikutnya untuk membentuk tim aerobatik sejenis, sehingga tim aerobatik P-51D Mustang dapat dikatakan sebagai perintis atau the pioneer dari tim-tim aerobatik kebanggaan bangsa Indonesia, khususnya TNI Angkatan Udara.

Sejak diterima AURI, berbagai operasi telah dijalankan P-51 Mustang, seperti Operasi Tegas di Sumatera pada 1955,  Operasi Sapta Marga di Medan pada 1958, Operasi 17 Agustus di Padang dan Pekanbaru pada 1958, Operasi Merdeka di Manado pada 1958, Operasi Trikora pada 1960-an, Operasi Dwikora pada 1964 dan Operasi Sambar Kilat di Kalimantan Barat pada 1966.  Pada awal tahun 1970-an pesawat P-51 Mustang atau lebih dikenal dengan julukan “Si Cocor Merah” ini dinyatakan grounded, dikarenakan usianya yang sudah tua, dan sukucadangnya yang langka.

TNI AU. 

MEF Indonesia dan Ancaman Kawasan

Kapal Induk China Liaoning yang bergerak ke Laut China Selatan (photo; PLA Navy)
Kapal Induk China Liaoning yang bergerak ke Laut China Selatan (photo; PLA Navy)

Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, berpendapat, perlu ada koreksi mendalam tentang pendekatan penyusunan Minimum Essential Force (MEF) Indonesia. Selama ini, dia menilai, pelaksanaan MEF hanya terfokus pada pendekatan anggaran yang tersedia, tidak didasarkan pada ancaman yang berkembang. Jika ini terus dilakukan, MEF tidak akan tercapai.
“Jika pengukuran MEF itu berdasarkan ancaman, artinya angkanya harus berubah tiap tahun. Ancaman kita 10 tahun lalu, ancaman kita 5 tahun lalu, dengan ancaman kita hari ini, kan sudah berubah,” ucap Connie.
Ia menjelaskan, dinamika ancaman kawasan saat ini sudah cukup kompleks. Oleh karenanya, penegasan terhadap paradigma outward looking TNI yang sudah dicetuskan sejak reformasi 1998, perlu segera diwujudkan, tidak sekadar wacana di atas kertas.
“Seperti ada ancaman ketika Tiongkok menetapkan kebijakan green water policy. Green water policy Tiongkok akan masuk sampai pada Selat Malaka. Dan blue water Tiongkok akan masuk sampai Samudera Hindia. Kalau kita mengukur MEF dari ancaman tersebut, seharusnya sudah berubah hitungan MEF dari Kemhan hari ini,” katanya.
Untuk matra laut, Connie berpandangan, Indonesia setidaknya memerlukan 755 kapal perang KRI, 4 buah kapal induk, dan 22 kapal selam. Kebutuhan ini untuk melindungi kepentingqan Indonesia, minimum hingga 60 tahun mendatang.
“Visi MEF saya bagaimana melindungi kepentingan Indonesia minimum 60 tahun mendatang. Visi MEF hari ini itu per 10 tahun, susah. Itu cara perhitungannya berbeda,” cetus Connie.
Dia melihat kemunduran cara berpikir dalam paradigma pembangunan pertahanan Indonesia sekarang. Salah satunya, masih dominannya orientasi pertahanan darat. Seharusnya, jika sejalan dengan doktrin outward looking military, arah penguatannya ada pada matra laut dan udara.
“Paradigma pertahanan kita juga terlalu berorientasi kepada daratan. Cara kita menetapkan ancaman kita juga dari darat. Kenapa kita tidak seperti zaman nenek moyang kita dahulu, seperti kerajaan Ternate dan Tidore misalnya? Mereka melihat ancaman itu dari laut. Makanya kenapa dulu kekuatan maritim kita bisa sampai ke Madagaskar. MEF kita zaman sekarang kalah dengan MEF kita zaman Tidore. Cara berpikir kita sekarang benar-benar mundur,” pungkasnya. (Anwar Iqbal / Arif Giyanto / Jurnalmaritim.com).

Kemampuan Kapal Perang Indonesia

 
Rudal pertahanan anti-udara VL Mica MBDA
Rudal pertahanan anti-udara VL Mica MBDA

Menarik untuk dicermati kehadiran KRI Bung Tomo class dengan senjata yang diusungnya, diantaranya adalah rudal exocet MM 40 blok II dan rudal MBDA Mica. Rudal exocet merupakan salah satu rudal yang cukup legendaris dan terbukti battle proven. Beruntung kita memilikinya.
Dengan diadopsinya rudal VL Mica pada KRI Bung Tomo class, merupakan era baru SAM tipe VLS pada jajaran KRI kita, mengingat selama ini KRI kita dipertahankan dengan SAM tipe manual.
Seperti kita ketahui duel laut yang terjadi dalam konflik besar dunia mulai dari Perang Dunia sampai Perang Malvinas, Perang Teluk, dan lain-lain, tidak melulu melibatkan duel antar kapal perang, atau antar kapal perang dengan kapal selam saja, tapi juga melibatkan peran udara.
Seperti dalam Perang Malvinas, serangan Argentina terhadap Inggris didominasi dengan Pesawat tempur. Kala itu Argentina cukup sukses menenggelamkan beberapa kapal Inggris dengan pesawat tempurnya menggunakan rudal AM 39 Exocet.
Bagaimana kondisi KRI kita, seperti telah banyak diulas, memang kondisi KRI kita cukup miris dalam hal arsenal pertahanan udara. Dari 140-an KRI kita, saat ini perlindungan SAM tercanggih dimiliki oleh KRI Diponegoro class dengan SAM Mistral dengan jangkauan 5-6 km, hanya efektif untuk menghancurkn helikopter.
KRI DIPONEGORO 365 - Rudal Mistral TETRAL (photo: Fay Aldrian)
KRI DIPONEGORO 365 – Rudal Mistral TETRAL (photo: Fay Aldrian)

Cukup mnggembirakn dengan hadirnya SAM Mica, dengan tipe VLS-nya yang artinya memberikan perlindungan udara hingga 360 derajat dan jangkauan lebih jauh yaitu 25 km.
Meskipun sebenarnya adopsi SAM tipe VLS pada KRI kita cukup terlambat dibanding tetangga jiran kita Malaysia dan Singapura. Bahkan SaM VLS yang dimiliki Kapal Perang Singapura tipe Formidable lebih inferior dengan jangkauan 60 km.
Dari penjabaran tersebut, jika Kapal perang kita melayani duel kapal perang tentu masih bisa dijawab dengan Yakhont kita. Dengan jangkauan hingga 300 km, menjadikan angkatan laut kita mnjadi paling inferior di kawasan Asia Tenggara.
Tapi bila skenario perang yang terjadi harus melawan pesawat tempur yang menggotong rudal anti kapal jarak jauh dan dalam kondisi tanpa perlindungan Angkatan Udara, maka Kapal perang kita bisa menjadi bulan-bulanan. Apalgi banyak kapal perang kita tanpa perlindungan CIWS (close-in weapon system) yang merupakan tameng udara terakhir pada Kapal Perang.
Rheinmetall Millenium 35mm CIWS
Rheinmetall Millenium 35mm CIWS

Dengan muntahan peluru hingga 5000 butir/menit dan jangkauan maksimal hingga 8 km, CIWS cukup bisa diandalkan melawan rudal yang mendekat. Bahkan Rusia pun memasang hingga 4 CIWS pada frigate mereka. Tapi kalau yang dihadapi adalah rudal anti kapal canggih dengan kecepatan supersonic seperti Yakhont atau Brahmos, alamat mati tanpa bisa mengelak, karena rudal canggih sekelas Brahmos atau Yakhont diketahui mmiliki lintasan yang unik dan rumit sehingga sulit untuk ditangkal. Apalagi rencana akuisisi rudal brahmos tipe peluncuran udara pada Sukhoi Malaysia merupakann ancaman yang nyata pada Angkatan Laut kita.
Maka penting untuk kedaulatan NKRI perlu mnghadirkan arsenal terbaik. Mengingat geopolitik kawasan yang semakin hangat. ‘Jalesveva Jayamahe’, ‘Di Lautan Kita Jaya’. Salam. (by: Runo_art)