Sepertinya
sudah menjadi jalan hidup pria kelahiran Blora ini untuk tidak
jauh-jauh dari tanaman padi. Adalah Sersan Mayor Sucipto, yang
kesehariannya bertugas di Satpamwal Denma Mabes TNI. Dalam mengawali
karier militernya, di pendidikan Perbekalan dan Angkutan Cimahi, suami
Jumiati ini mengambil kelas makanan. Dari sinilah, dia mulai berurusan
dengan pangan (beras). Apalagi dalam penempatan kerja selanjutnya ia
mendapat pekerjaan di bagian dapur satuannya, mau tidak mau ia harus
berurusan pula dengan beras.
Titik awal lainnya muncul ketika saat itu, sang ayahanda, bapak
Mardi, datang dari kampung dengan membawa benih padi sambil mengatakan
kalau beliau sudah cukup berupaya mengembangkan benih padinya dan
meminta putranya untuk meneruskannya. Permintaan tersebut tentu harus
dilaksanakan, karena baginya pekerjaan petani juga merupakan panggilan
jiwanya, sehingga walaupun jauh berada dari tempat asalnya ia tetap
berupaya memanfaatkan peluang untuk mengolah dan menggarap lahannya.
Keterampilan yang secara tidak langsung diajarkan sang ayahanda,
tentu dipraktikkan dengan menanam padi di lahan sekitar Mabes TNI,
Cilangkap sejak tahun 2007. Awalnya, dari hasil pertanian tersebut,
kebutuhan keluarganya belum dapat dikatakan mencukupi, sehingga
timbullah suatu keinginan untuk meningkatkan hasil pertaniannya.
Berbekal motivasi inilah, bapak berusia 35 tahun ini mulai mengembangkan
daya inovasinya di bidang pertanian dan mendengarkan masukan dari para
ahli pertanian untuk mengembangkan padi secara pola tanam yang lebih
profesional. Melalui berberapa percobaan dengan cara menggabungkan
beberapa varietas padi bibit unggul untuk disilangkan atau dikawinkan,
tumbuhlah varietas padi yang lebih unguul. Langkah Serma Sucipto ini
terbukti dapat mendekatkan TNI dengan masyarakat khususnya petani,
karena sekarang sudah ada 19 kelompok tani di sejumlah daerah yang
menanam benih padi hasil ciptaan Sucipto.
Dari hasil itulah, Serma Sucipto dapat mengembangkan cipta karyanya
untuk membantu petani. Dia mengatakan, setelah mendapat benih padi dari
ayahandanya, ia menanam padi itu pada waktu luang di sekitar Mabes TNI,
Cilangkap. “Awalnya tidak luas, ± 3.000 – 4.000 m2, “ katanya. Bermula
dari lahan tersebut, Serma Sucipto dibantu dengan anggota Detasemen
Markas (Denma) Mabes TNI lainnya dan masyarakat yang bergerak di bidang
pertanian tergerak hatinya untuk membentuk sebuah paguyuban yang
dinamakan Penyayang Alam Umat Semesta (PAUS) untuk melakukan suatu
penelitian dan pengembangan padi unggul serta pupuk organik.
Kegiatan penelitian dan pengembangan padi unggulan ini tidak berhenti
sampai disini saja, karena masih ada beberapa varietas padi unggul dan
pupuk/obat padi (organik) menuju proses penyempurnaan dengan menggunakan
perlengkapan dan peralatan tradisional (manual). Dengan adanya
penelitian dan pengembangan ini, maka terciptalah varietas padi unggul
yang dinamakan Siliwangi Parikesit Dewi Sri Agung (SPDSA) dan pupuk cair organik Maradewi melalui pola tanam semi SRI (System Rice Intensification)
dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan berupa tanaman umbi-umbian dan
rempah-rempah yang langsung ditemukan Sucipto dan adiknya Dewi Dede
Maryani pada tahun 2009silam.
Benih padi hasil ciptaannya yang juga biasa dikenal dengan benih padi
Sri Agung telah memiliki bulir sekitar 400 - 500 bulir per tangkai.
Jumlah ini tergolong tinggi, karena biasanya yang ada hanya ± 200 bulir.
Dalam hitungan petani, varietas padi yang ada bisa menghasilkan 4-5 ton
untuk 1 hektar lahan. Akan tetapi, petani yang menggunakan benih padi
ini memperkirakan hasilnya akan di atas rata-rata, atau bahkan ada yang
memperkirakan di atas 8 ton per hektar. Ditambah pula dengan hasil
laboratorium balai penelitian dan pengembangan pertanian, padi Serma
Sucipto ini lebih unggul 1,5–2 kali lipat dari padi biasa, serta
terdapat berbagai macam kandungan vitamin seperti vitamin A, B, E,
Inositol, Omega 3, Omega 6, dan Omega 9.
“Saya yakin padi ini memang padi hebat, karena hasilnya pun sangat
besar, “kata Kosim, petani di desa Tegal Panjang, Cariu. Demikian juga
dengan Sairih, petani lainnya, menceritakan kehebatan padi temuan Serma
Sucipto ini, karena padinya memiliki batang yang kuat dan tak roboh
diterpa angin meski tingginya di atas tanaman padi rata-rata. Bapak 2
orang putra ini semakin semangat, karena banyak pihak yang mendukung
upayanya, termasuk dari atasannya. Tak ketinggalan, dukunganpun didapat
dari lembaga bentukannya bersama sejumlah anggota Denma Mabes TNI
lainnya dan masyarakat sekitar khususnya kelompok tani Tegal Panjang
yang berupaya untuk melestarikan sumber kekayaan hayati itu. Selamat
Sersan, semoga hasil jerih payahmu makin bermanfaat bagi banyak orang.
(Port Au Prince – Haiti, 27 September
2013). Merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi seluruh personel yang
tergabung Satgas Kizi TNI Kontingen Garuda TNI XXXII-B/MINUSTAH, untuk
ikut serta memeriahkan Hari Perdamaian Dunia di Plaza De La Paix, Port
Au Prince – Haiti, Rabu (25/9/2013).
Dalam peringatan ini selain dimeriahkan
dengan berbagai penampilan seni dan budaya dari berbagai kontingen
negara yang tergabung dalam pasukan perdamaian dunia di Haiti juga diisi
dengan kegiatan pelayanan kesehatan gigi oleh Kontingen Brasil juga
penyuluhan tentang keamanan dan ketertiban dalam berkendara oleh
kepolisian Haiti bekerjasama dengan UNPOL.
Turut tampilnya kesenian Reog Ponorogo dalam memeriahkan pegelaran seni dan budaya ini merupakan undangan khusus dari Chief of Staff military component of MINUSTAH, Colonel Stephen Cadden, seorang perwira menengah berkewarganegaraan Kanada.
Beberapa waktu yang lalu, Chief of Staff military component of MINUSTAH (COS) mengadakan kunjungan ke Bumi Garuda Camp, Gonaives – Haiti bersama dengan pejabat Chief of Integrated Support Staff (CISS). Dari hasil kunjungan tersebut pejabat Chief of Staff
(COS) ternyata sangat tertarik akan pertunjukan seni Reog Ponorogo yang
kala itu ditampilkan guna turut memeriahkan acara kunjungan pejabat COS
dan CISS di Bumi Garuda Camp.
Menjawab undangan khusus yang ditujukan
bagi tim kesenian Reog Ponorogo yang tergabung dalam personel pasukan
Satgas Kizi TNI Kontingen Garuda TNI XXXII-B/MINUSTAH di Haiti untuk
tampil di pagelaran seni dan budaya ini maka tidak ada kata lain selain
harus tampil secara total dan maksimal.
Dalam pagelaran kesenian ini, kesenian
Reog Ponorogo ditampilkan sebagai acara inti kegiatan pagelaran senia
dan budaya. Dihadapan para tamu undangan dan masyarakat Port Au Prince
yang memadati Plaza De La Paix, kesenian Reog Ponorogo tampil sangat
memukau dan mengundang decak kagum.
Kesenian Reog Ponorogo sering
diidentikkan dengan dunia hitam, serta sangat erat dengan dunia mistis
dan kekuatan supranatural. Dengan keahlian khusus yang dimiliki, 2 orang
personel “jathil” atau penunggang kuda lumping yang menampilkan atraksi
memakan pecahan gelas dan menyemburkan api.
Begitu juga penampilan “bujang
ganong/ganongan” yang menampilkan atraksi akrobatik, demonstrasi pencak
silat serta tidak ketinggalan pula ketangguhan personel “barongan” untuk
dapat mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram hanya dengan
kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung membuat decak
kagum para penonton.
Para penonton terhanyut akan suasana
mistis, unik, eksotis serta bersemangat dengan tetabuhan instrumen musik
tradisional pengiringnya, perpaduan irama kempul, ketuk, kenong,
genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, yang menyuarakan
nada slendro dan pelog. Tidak mengherankan gemuruh tepuk tangan dari
para tamu undangan dan masyarakat Port Au Prince pecah membahana seiring
berakhirnya pertunjukan kesenian Reog Ponorogo ini.
Dansatgas Kizi TNI Kontingen Garuda
XXXII-B/MINUSTAH, Letkol Czi Arief Novianto yang turut hadir dalam acara
itu menjelaskan bahwa penampilan kesenian Reog Ponorogo bertujuan untuk
mengenalkan keanekaragaman budaya dan kesenian yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia di mata internasional.“
Pada hakikatnya selain menjadi bagian
dari personel penjaga perdamaian dunia yang bertugas di Haiti, seluruh
personel yang tergabung dalam Satgas Kizi TNI Kontingen Garuda
XXXII-B/MINUSTAH juga menjadi duta budaya bangsa guna dapat
mempromosikan keanekaragaman budaya Bangsa Indonesia khususnya Reog
Ponorogo di dunia internasional”, Kata Dansatgas menambahkan. Authentikasi Perwira Penerangan Konga XXXII-B/MINUSTAH Haiti, Kapten Czi Ali Akbar
Kembali ke Korean Aerospace Industries (KAI) di Sacheon, 250
kilometer (km) tenggara ibukota Korea Selatan, Seoul setelah
melaksanakan keseluruhan program di Republic of Korean Air Force (ROKAF)
selama hampir lima bulan, serasa seperti kembali ke 'rumah'. Di sini
keenam penerbang TNI AU melanjutkan program Initial Cadre Training
dengan menerbangkan pesawat milik Indonesia, T-50i Golden Eagle.
Masing-masing penerbang akan mendapatkan enam sorti, dibagi menjadi tiga sorti Front Seat dan tiga sorti Rear Seat. Latihan yang dilakukan adalah Advanced Handling Characteristics, Instrument Flight, Formation Day dan Night Flight.
Selain itu, untuk Letkol Pnb Wastum dan Mayor Pnb Marda Sarjono akan
mendapatkan tambahan tiga sorti untuk bisa memiliki kualifikasi Function Check Flight Pilot (FCF Pilot).
Instruktur yang akan membimbing keenam penerbang selama di KAI adalah tiga orang Experimental Test Pilot KAI yang sudah terlibat secara langsung dalam proses pengembangan dan pembuatan pesawat T-50 Golden Eagle mulai dari prototipe sampai kepada Full Scale Development (FSD) dan sampai sekarang sudah menerbangkan dan menguji seluruh T-50 dan TA-50 yang digunakan ROKAF.
Aircraft design
Sesuai kontrak, Indonesia akan membeli 16 T-50i yang warnanya dibagi dua, yaitu delapan pesawat pertama dengan Aerobatic Scheme, sedangkan delapan pesawat berikutnya dilaburi dengan Camouflage Scheme. Apabila dilihat sekilas, T-50i mirip sekali dengan F-16. Keduanya sama-sama menggunakan bubble canopy, wing, dan fuselage
yang saling menyatu serta mirip dalam bentuk secara keseluruhan. T-50i
memiliki panjang 43 kaki serta lebar sayap 31 kaki dan tinggi 16 kaki.
Dengan ukuran ini, T-50i memiliki dimensi lebih kecil empat kaki dari F-16. Perbedaan yang terlihat menyolok adalah adanya twin side-mounted air inlets sebagai air intake yang digunakan T-50i berbeda dengan F-16, dimana air intake di bawah fuselage. Air intake ini akan mengalirkan udara luar langsung menuju single engine General Electric F404-GE-102, merupakan mesin serupa digunakan pesawat Boeing F/A-18 Hornet dan Saab Gripen, namun dimodifikasi sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan performance T-50i.
Mesin ini mampu menghasilkan thrust 17.700 pounds menggunakan after burner. Apabila dimaksimalkan, kecepatan yang dapat dicapai Mach 1,5 Mach atau 1,5 kali kecepatan suara.
Masuk ke kokpit, penerbang akan disuguhkan fitur kokpit pesawat
modern. Tepat di hadapan kita pada panel depan kokpit terdapat dua layar
berwarna Smart Multi Function Display (SMFD) ukuran 5x7 inci. Pada posisi line of sight terdapat Head Up Display (HUD). Dalam jangkauan tangan tepat di bawah HUD terdapat Integrated Up Front Controller (IUFC), penerbang dapat memasukkan semua informasi yang dibutuhkan selama penerbangan.
Seperti frekwensi radio untuk komunikasi, data koordinat untuk navigasi yang didukung dengan sistem EGI (Embedded GPS/INS), termasuk memasukkan data untuk way point ataupun menentukan jumlah bingo fuel.
Pada bagian lain dari panel depan masih terdapat Engine Flight Instrument (EFI), display warning untuk emerjensi dan beberapa backup system display. Kesemua sistem ini terintegrasi pada Integrated Mission/Display Computer (IMDC) dan dapat merekam data-data (in flight recording) selama penerbangan untuk memudahkan dalam melaksanakan de-briefing. Secara keseluruhan, sistem operasi pada sistem avionik T-50i seperti switchology, display philosophy dan symbology mirip digunakan F-22 Raptor dan F-35 Lighting II.
T-50i menggunakan side stick yang memiliki kemampuan full HOTAS mirip F-16. Perbedaannya adalah pada T-50i TNI AU masih dapat merasakan pergerakan dari stick
sejauh kurang lebih 20mm ke segala arah. Hal ini bertujuan untuk
membantu siswa ataupun penerbang tempur yang baru lulus dari Sekolah
Penerbang untuk merasakan feel and motion pada saat menggerakkan stick. Demikian juga bagi instruktur pilot yang berada di kokpit belakang dapat merasakan pergerakan stick siswa secara langsung. Flight Control System T-50i juga memiliki override system pada stick
sehingga dapat digunakan oleh instruktur untuk dapat mengambil alih
kontrol secara penuh apabila terjadi sesuatu di luar kendali.
Saat duduk di kokpit T-50i, penerbang memiliki field of view
atau luas jangkauan pandang 320 derajat, sehingga hampir dapat melihat
“6 o'clock” dari posisi duduk penerbang. Kursi T-50i memiliki
kemiringan 17 derajat, mirip seat angle pesawat F-35 dan F-22 serta dilengkapi kursi lontar Martin Baker berkemampuan zero-zero ejection.
Persenjataan
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai pesawat tempur, T-50i Golden Eagle memiliki kemampuan persenjataan yang dapat digunakan dalam misi multirole.
Total kapasitas yang dapat dibawa 10.500 pound persenjataan. Pesawat
ini dilengkapi kanon internal tiga laras General Dynamics 20mm Gatling
yang mampu menyeburkan 3.000 peluru per menit. Kanon ini ditempatkan di
sisi kiri kokpit, tepat di leading edge extension dari pesawat. Lima external station disiapkan pada bagian under fuselage dan under wing serta dua station pada wingtip untuk dapat membawa amunisi bom ataupun roket. ( Kapten Pnb Dharma Gultom)
Karang menyamarkan bentuk kapal RI Nagabanda. Tapi apa dampaknya?
(Ilustrasi, Thinkstock)
Dalam perjalananan pulang setelah melancarkan misi pengintaian Pelabuhan Biak, kapal selam RI, Nagabanda,
sengaja muncul ke permukaan untuk mengisi baterai. Nagabanda sendiri
berada di Biak, Papua, dalam rangka Operasi Jayawijaya yang digelar oleh
TNI AL pada 20 - 29 Juli 1962 dengan nama sandi Operasi Cakra.
Kapal selam itu naik ke permukaan pada saat matahari terbit, sesuai
pula dengan permintaan awak kapal karena bisa menghirup udara luar dan
melepaskan kejenuhan. Permintaan itu juga tidak ditolak komandan kapal
selam RI Nagabanda, Mayor Wignyo.
Tapi ternyata perjalanan pulang kapal selam RI Nagabanda rupanya sudah dikuntit pesawt Neptune milik Belanda. Mujur para awak mengetahui keberadaan Neptune dan kemudian masuk ke palka dan disusul menyelamnya kapal pada kecepatan maksimal (dive crash).
Neptune melakukan manuver menyerang, bekerja sama dengan kapal-kapal pemburu kapal selam milik Belanda lainnya. RI Nagabanda berusaha menghindar serangan dengan cara berubah haluan dan kedalaman.
Untuk menghindari pantauan radar dari kapal Belanda yang bekerja
berdasar suara mesin dan bentuk kapal, Mayor Wignyo akhirnya
memerintahkan untuk mematikan mesin dan berhenti pada kedalaman 180
meter di antara batu karang.
Dalam posisi berhenti itu, bentuk kapal akan tersamar oleh karang
sehingga radar pencari sasaran pada kapal perang Belanda berhasil
dikecoh. Cara meloloskan diri dengan mematikan mesin dan berhenti pada
kedalaman ekstrem cukup aman karena adanya inversi, di mana berat jenis
air di bawah lebih besar dibandingkan dari yang di atas. Maka kapal
berada dalam posisi mengambang.
Operasi pengejaran ini berlangsung selama 36 jam. Setelah keadaan aman, barulah Nagabanda naik ke permukaan. Keputusan ini diambil Mayor Wignyo karena penyelaman ekstrem menyebabkan kerusakan pada Nagabanda sehingga tidak bisa menyelam lagi.
Mujur, perjalanan pulang tidak menemukan kendala. Tapi setelah
pemeriksaan dilakukan, diketahui kedalaman ekstrem menyebabkan kebocoran
di dekat ruang baterei. RI Nagabanda pun segera dibawa ke pangkalan pemerliharaan Bitung untuk perbaikan.
Kisah Operasi Jayawijaya lebih lengkap bisa Anda simak dalam Majalah Angkasa Edisi Koleksi Kisah Heroik Pertempuran Laut Trikora.
Aksi KC-130B Hercules TNI AU saat akan “menyusui” Sukhoi
Daya jelajah pada pesawat tempur menjadi faktor penting dalam suatu
operasi militer, terutama bila berbicara pada tahapan penyerbuan ke
target sasaran yang jaraknya cukup jauh. Didasari beberapa pertimbangan,
seperti kerahasiaan dan meningkatkan unsur pendadakan, banyak negara
memilih cara air refuelling (pengisian bahan bakar di udara) untuk
meningkatkan endurance serta daya jelajah pesawat tempurnya.
Dalam beberapa pertimbangan lainnya, menggunakan operasi air
refuellingjuga bisa dikarenakan si negara pelaksana tidak memiliki
pangkalan aju yang memadai, alhasil operasi pengisian bahan bakar harus
digelar. Ilustrasi yang cukup populer terkait kondisi geografi tatkala
operasi serbuan Inggris ke Malvinas (Falkland) pada tahun 1982. AU
Inggris (RAF) saat itu harus melakukan 600 kali lebih air refuelling,
maklum kedua wilayah dipisahkan oleh medan samudra Atlantik yang begitu
luas. Saat itu, RAF mengerahkan tiga jenis tanker, yakni victor, Vulcan,
dan KC-130 Hercules.
Operasi air refuelling kemudian hampir tak pernah absen dalam setiap
laga konflik. Sebut saja saat AS dan NATO berlaga di perang Teluk,
perang Afghanistan, hingga serbuan ke Libya, pola pengisian bahan bakar
cukup mendomominasi, dan memang setiap jet tempur dan pembom NATO
umumnya sudah dibekali kemampuan air refuelling. Contoh yang menarik,
dengan air refuelling, pengebom sekelas F-111 Raven dapat terbang 13 jam
tanpa mendarat saat operasi menghantam target di kotaTripoli, Libya.
KC-130B Hercules TNI AU
Lalu bagaimana dengan TNI AU? Sebagai angkatan udara yang punya tugas
mengawal teritori angkasa terluas di kawasan Asia Selatan, apakah ada
sosok pesawat yang punya kemampuan air refuelling? Jawabannya ada dan
sejatinya jenis pesawat ini sudah cukup lama hadir di lingkungan TNI AU.
Yang dimaksud tak lain adalah KC-130B Hercules buatan Lockheed Martin.
Pesawat angkut berat ini masuk dalam etalase kekuatan skadron udara 32
yang bermarkas di lanud Abdul Rahman Saleh, Malang – Jawa Timur.
KC-130B Hercules dengan nomer registrasi A-1309, salah satu pesawat tanker TNI AU
Skadron udara 32 secara keseluruhan diperkuat oleh belasan pesawat
Hercules tipe C-130B/H dan C-130BT. Tapi secara actual, hanya dua
pesawat yang punya kemampuan sebagai tanker, yakni pesawat dengan nomer
registrasi A-1309 dan A-1310. Merujuk informasi dari buku “Hercules Sang
Penjelajah – skadron udara 31,” disebutkan C-130 Hercules dengan nomer
registrasi A-1309 dan A-1310 sudah resmi digunakan TNI AU sejak 18 April
1961. Awalnya kedua pesawat punya peran reguler sebagai pesawat angkut
berat dan penunjang operasi linud, baru kemudian pesawat dimodifikasi
untuk ditambahkan kemampuan sebagai tanker bagi jet tempur.
Dengan kemampuan tanker, tidak lantas sisi multi purpose KC-130B
Hercules jadi berkurang. Hercules tetaplah Hercules, dimana pesawat
dapat diubah perannya sesuai kebutuhan. Semisal tidak ada kebutuhan
untuk misi operasi pengisian bahan bakar di udara, pesawat ini dapat
menjalankan peran layaknya Hercules biasa, siap mengantarkan logistic
dan mendukung beragam operasi militer bukan perang.
Jet tempur TNI AU yang pertama kali menjadi klien KC-130 Hercules
adalah A-4E Skyhawk. Secara permanent memang A-4 Skywak memiliki probe
fixed pada bagian hidungnya. Seiring modernisasi alutsista, klien
KC-130B Hercules bertambah dengan hadirnya Hawk-200 yang memperkuat
skadron udara 12 dan skadron udara 1. Dan, jet tempur paling canggih
yang dapat dilayani oleh KC-130B Hercules adalah Sukhoi Su-30MK skadron
11.
A-4E Skyhawk (ex-skadron 11), telah menjadi klien KC-130 sejak tahun 80-an.
KC-130B Hercules dan Hawk 200
Meski secara teori mungkin biasa-biasa saja, tapi adalah peristiwa
yang unik saat jet tempur buatan Rusia disusui pesawat tanker buatan AS.
Dalam gelar operasi air refuelling, satu KC-130B Hercules dapat
melayani pengisian untuk dua jet tempur sekaligus lewat teknik hose.
Uji Statis dan Uji Dinamis
Sesuai koordinasi yang telah dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait
dalam misi uji coba, pada tanggal 23 Maret 2009 satu set crew awak
pesawat yang dipimpin langsung oleh Komandan Skadron udara 32 letkol Pnb
Yani Ajat Hermawan S sebagai RAC (Refuelling area commander ) yang
dibantu oleh 2 orang Copilot BT Kapten Pnb Agus R dan Lettu Pnb Dodik S
serta satu orang navigator Kapten Nav M.Jausan sebagai RC ( Rendevous
Controller) berangkat menuju pangkalan udara Hasanudin home base skadron
udara 11.
Kegiatan uji coba statis direncanakan diawali dengan uji engage dan
disengage probe dengan drouge. Untuk meyakinkan bahwa probe yang berada
di pesawat Sukhoi 30 MK dapat engage dengan drouge yang berada pada
pesawat KC-130 Hercules. Diharapkan apabila sesuai akan dilanjutkan
dengan uji transfer fuel untuk mengetahui pressure rate yang di
dapatkan. Sehingga ada kesesuaian pressure fuel yang dihasilkan
oleh pesawat transceiver dan receiver. Kegiatan tersebut dilaksanakan
on ground dengan kondisi tehnis disesuaikan dengan kondisi sebenarnya.
Meskipun ada sedikit keengganan dari tehnisi Rusia untuk laksanakan uji
statis on ground dengan alasan bahwa pesawat Sukhoi 30 MK secara
spesifikasi tehnis mempunyai kemampuan untuk melaksanakan misi air
refuelling. Sehingga mereka tidak menjamin apabila dalam proses uji
dinamis on ground mengalami kerusakan. Setelah diadakan koordinasi maka
diputuskan untuk melaksanakan uji dinamis menggunakan pesawat Sukho 30
MK yang telah datang sebelumnya,bukan menggunakan pesawat Sukhoi 30 MK 2
yang baru datang dari Rusia yang masih dalam kondisi warrantly claim.
Hasil yang didapatkan, probe dan drouge dapat engage maupun disengage
dengan sempurna. Hal tersebut menambah semangat crew pesawat KC-130
Hercules untuk turut menjadi saksi sebuah sejarah baru dalam kekuatan
udara TNI AU.
Kegiatan dilanjutkan dengan uji dinamis yang dilaksanakan on the air
dengan melaksanakan Inflight Refuelling sesuai dengan parameter
masing-masing pesawat. Setelah melaksanakan briefing penerbangan secara
terencana dan terukur secara presisi dengan segala antisipasi dalam
menghadapi emergency condition dan abnormal condition
kedua crew dengan penuh percaya diri bersiap untuk melaksanakan
penerbangan uji coba tersebut. Kegiatan InFlight Refuelling secara umum
dapat terlaksana dengan baik. Secara system tidak ada masalah yang
berarti di dalam pelaksanaan ,namun perlu adanya penyesuaian prosedure
antara receiver dan pesawat tanker.
Menurut informasi dari Wikipedia, diluar kapasitas tank internal
pesawat, KC-130 Hercules dapat membawa 3.600 removable gallon (136,26
hecto liter) dalam tanki stainless stell yang ditempatkan di dalam
kompartemen kargo. Untuk menyalurkan bahan bakar Avtur ke jet tempur
penerima, terdapat dua mounted hose (masing-masing satu) pada sayap.
Mounted hose ini dibekali drogue pengisian bahan bakar yang dijulurkan
ke pesawat penerima. Setiap drogue dapat mengalirkan hingga 300 galon
per menitnya (1135,5 liter/menit) untuk dua pesawat penerima secara
simultan. Untuk kepentingan keselamatan, memang proses air refuelling
harus berlangsung cepat tapi aman.
Hose dan Boom
Pengisian air refuelling dapat dilakukan cepat dan aman. Prosedur
sebelum terbang, titik pertemuan telah ditentukan. Demikian pula waktu
pertemuan, ketinggian, kecepatan dan radio yang akan digunakan sebagai
jalur berkomunikasi antar pesawat tanker dan pesawat receiver
(penerima). Mereka menentukan pula tempat dan waktu untuk pertemuan
cadangan, hal ini diperlukan sebagai plan B, seandainya pada titik
pertemuan awal terjadi kondisi yang kurang memungkinkan, semisal cuaca
buruk atau rawan terhadap sergapan pesawat musuh.
Sukhoi Su-30 TNI AU tengah menggapai drogue, berupa parasut kecil untuk proses air refuelling dalam teknik hose
F-16 B TNI AU dalam uji air refuelling dengan teknik Boom
Tidak itu saja, dalam skenario air refuelling juga ditentukan
pangkalan cadangan untuk melakukan pendaratan darurat, semisal mereka
menemui kegagalan dalam operasi ini. Pengendalian acara pengisian bahan
bakar di udara itu, sepenuhnya dipimpin oleh perwira penerbang di
pesawat tanker yang dibantu navigator untuk mengarahkan pertemuan kedua
jenis pesawat tersebut.
Untuk metode pengisian bahan bakar di udara ada dua macam, yaitu:
Hose, yakni pengisian bahan bakar di udara
menggunakan pipa lentur yang ujungnya dilengkapi drogue, seperti parasut
kecil. Dalam pola ini, pesawat penerima yang harus aktif mencari
‘puting susu’ dari tanker tersebut.
Boom, yakni pengisian bahan bakar di udara
menggunakan tail boom, semacam tangkai sodok di ekor. Dalam pola ini,
pesawat tanker yang aktif memberi ‘asupan susu’ alias asupan bahan bakar
ke pesawat penerima.
Dengan adanya perbedaan sistem pada pengisian bahan bakar di udara,
maka tidak semua pesawat tanker dapat mengisikan bahan bakar di pesawat
lainnya. Ambil contoh, jet tempur F-16 A/B Fighting Falcon milik skadron
udara 3 hanya bisa melakukan air refuelling melalui cara boom. Alhasil
F-16 A/B Fighting Falcon TNI AU tidak bisa dilayani oleh tanker KC-130B
dari skadron udara 32. Hal ini menjadikan daya jelajah F-16 TNI AU jadi
terbatas. Padahal dalam beberapa kesempatan, pilot F-16 TNI AU sudah
bisa menjalankan boom air refuelling, terutama dalam beberapa kali
latihan bersama AU AS menggunakan KC-135 Stratotanker.
Meski TNI AUminus tanker berkemampuan boom, penerbang F-16 TNI AU
punya pengalaman tersendiri. Pola boom ini sudah diterapkan saat F-16
TNI AU melakukan penerbangan dari pabriknya di Fort Worth – Texas, AS
menuju Madiun – Jawa Timur. Jarak kedua titik sangat jauh, yakni 16.000
km, menyebabkan air refuelling dilakukan berulang kali. Penerbangan
melintasi Samudra Pasifik dilakukan total 21 jam dengan menginap di
Honolulu dan Guam. Karena jarak tempuh melebihi endurance F-16, maka
satu jam sekali harus dilakukan air refuelling dengan KC-135
Stratotanker. Jadi dalam 21 jam penerbangan, setidaknya dibutuhkan 19
kali pengisian bahan bakar di udara. Dallas – Hawaii tujuh kali, Hawaii –
Guam tujuh kali, dan Guam – Madiun lima kali. Dalam operasi membawa
pesawat baru tersebut, pilot TNI AU bertidak sebagai co pilot di kursi belakang, tapi yang jelas pengalaman itu sangat berharga.
Ilustrasi air refuelling dengan teknik Boom. Foto: Indoflyer.net
Malaysia dan Singapura Juga Punya
Jumlah dua tanker yang dimiliki TNI AU jelas sangat tidak ideal,
mengingat cakupan operasional pengamanan udara RI begitu luas. Kedepan,
penulis berharap aka nada lagi C-130 Hercules yang ditambahkan kemampuan
sebagai tanker.
Agak ironis, jutru kekuatan armada pesawat tanker AU Malaysia (TUDM)
lebih besar dari TNI AU. Setidaknya kini AU Malaysia punya 4 unit
KC-130T Hercules, versi nya pun lebih maju daripada punya TNI AU. Malah
untuk uji pengisian ke Sukhoi Su-30, AU Malaysia sudah lebih duluan dari
TNI AU. Informasi ini disampaikan instruktur dari Rusia, Melnikov
Sergey. Seperti diketahui, TUDM juga mengoperasikan Sukhoi. Sementara
Negeri Pulau Singapura, lebih sangar lagi dengan punya 4 unit KC-130B
Hercules dan 1 unit KC-130H Hercules. Malahan KC-130H AU Singapura sudah
dibekali glass cockpit dan flight management system yang sangat
canggih. Sekiranya dengan artikel ini, bisa menggugah pemerintah untuk
juga memikirkan pengembangan di lini pesawat tanker, pasalnya elemen
air refuelling punya nilai strategis.
Sejenak kita flash back ke pertengahan tahun 70-an, terutama saat
pergolakan operasi Seroja di Timor Timur, TNI begitu membutuhkan unsur
mobilitas udara dalam menunjang gelar misi tempur. Konsep gelaran berupa
UH (utility helicopter) dipandang yang paling ideal kala itu, beragam
peran dapat dijalankan pada jenis UH. Heli UH sendiri sering disebut
multipurpose utility helicopter dalam pengertian sipil, meski letak
perbedaan sebenarnya tak beda jauh, UH lebih ditekankan pada kelengkapan
senjata yang dirancang portable.
Pergerakan pasukan membutuhkan sarana helikopter yang memadai, selain
mampu angkut personel, SAR tempur, drop logistik, dan evakuasi medis,
juga dituntut mampu melakukan bantuan tembakan ke permukaan. Untuk
menunjang misi tersebut, ada dua jenis helikopter yang didatangkan pada
tahun 1977 – 1978, masing-masing adalah SA-330 Puma buatan Perancis dan Bell-205 A-1.
Keduanya masuk dalam kategori heli angkut sedang. Bila SA-330 Puma
menjadi arsenal skadron udara 8 TNI AU, maka Bell 205 A-1 menjadi
kekuatan skadron udara 11/Serbu Penerbad yang bermarkas di Semarang,
Jawa Tengah. Bahasan mengenai Bell 205 A-1
sebelumnya telah kami kupas, dan kini giliran SA-330 Puma yang buat
penulis cukup menarik untuk dicermati, pasalnya heli ini telah
beroperasi 3 dekade lebih dan masih terus dipercaya hingga kini.
Berbeda dengan Bell 205 A-1 yang dibeli secara bekas (second) dari
pasar penerbangan sipil di AS, lain hal dengan SA-330, heli ini sedari
awal dibeli baru dengan langsung menyandang spesifikasi versi militer.
Heli dengan empat bilah baling-baling ini datang pada Mei 1978,
helikopter produksi Aerospatiale, Perancis ini dibeli sebanyak 6 unit.
Dan kemudian pada tahun 1980 kembali datang 5 unit heli SA-330 yang
langsung langsung diterbangkannya dari Perancis dengan rute Paris-Abu
Dhabi-Islamabad-Colombo-Medan-Jakarta. SA-330 nyatanya tidak hanya
dibuat langsung di Perancis, di tahun 1982 kembali ada tambahan 5 unit
helikopter sejenis, tapi unit yang diterima adalah buatan IPTN (Industri
Pesawat Terbang Nusantara) – sekarang PT. Dirgantara Indonesia. Tidak
berhenti disitu, pada bulan Februari 1985 diterima lagi 2 unit Puma tipe
L, yang kemudian dimodifikasi menjadi Helikopter VIP, dengan nomor
registrasi HT-3317 dan HT-3318. Dan bila di total keseluruhan, ada 18
unit SA-330 yang dimiliki TNI AU.
Beraksi dalam misi SAR
Bila dirunut dari spesifikasinya, SA-330 masih tergolong sebagai
helikopter angkut sedang, tetapi di lingkungan TNI AU helikopter ini
“naik status” ketika menjadi arsenal utama Skadron Udara 8 yang
bermarkas di lanud Atang Sendjaja – Bogor. Skadron Udara 8 sendiri
menyandang status sebagai skadron heli angkut berat, dimana skadron ini
pernah menjadin induk dari helikopter raksasa Mi-6 yang legendaris. Skadron 8 pertama kali menggunakan pesawat jenis Mi-6 buatan USSR
(Soviet). Pesawat helikopter angkut berat dengan kemampuan muat barang
seberat 12.000 kg, dengan rekor muat barang mencapai 20.117 kg dan
mempunyai 120 tempat duduk terpasang serta memiliki kecepatan jelajah
250 km/jam dengan jumlah awak lima orang. Helikopter Mi-6 datang ke
Indonesia tahun 1960-an diangkut menggunakan kapal laut dan berlabuh di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dalam bentuk tidak utuh. Dari Tanjung
Priok diangkut ke Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Cililitan (Lanud Halim
Perdanakusuma) untuk dirakit ulang dan siap diterbangkan yang dipimpin
oleh Kapten Udara Atang Sendjaja. Seiring dengan waktu dan penggunaan
jam terbang serta kesulitan pengadaan suku cadang, maka semua jenis
pesawat helikopter buatan Eropa Timur, akhirnya lumpuh tidak dapat
dioperasikan lagi yang berujung dengan dibekukannya Skadron Udara 8. Dan berkat kedatangan armada SA-330, kemudian diambil keputusan
pada Mei 1981 untuk mengaktifkan kembali Skadron 8 Angkut Berat yang
lebih satu dasawarsa mengalami pembekuan dan ditunjuk Letkol Pnb
Suparman menjadi Komandan Skadron.
Kembali ke SA-330, pada tahun 1984 dua unit pesawat SA-330 Puma
(H-3304 dan H-3306) dipindahkan dari Skadron Udara 8 Lanud Atang
Sendjaja ke Skadron Udara 17 VIP Lanud Halim Perdanakusuma beserta
beberapa personel penerbang dan teknisi menjadi kekuatan penuh organik
Skadron Udara 17 VIP Lanud Halim Perdanakusuma.
Mungkin disebut heli angkut berat juga dikarena SA-330 pada saat itu
adalah heli yang punya spesifikasi paling “berat” di lingkungan TNI,
lain hal bila bicara pada saat ini, dimana sudah ada helikopter UH milik
TNI yang lebin heavy, seperti NAS-332 Super Puma dan Mil Mi-17 V5 Penerbad.
SA-330 punya berat kosong 4 ton, dan punya berat maksimum saat
operasi hingga 7,4 ton. Ditenagai 2 mesin Turbomeca Turmo IV C, SA-330
Puma punya kecepatan jelajah 248 km per jam, serta kecepatan maksimum
257 km per jam. Jangkauan jelajahnya hingga 580 km dengan kecepatan
menanjak 7,1 meter per detik. Ketinggian terbang SA-330 adalah 4.800
meter. Dari segi daya angkut, bobot muatan yang bisa digendong hingga
sekitar 3 ton, termasuk dengan sling, sementara jumlah personel yang
bisa diangkut adalah 16 orang.
Sebagai helikopter berkualifikasi UH, SA-330 Puma juga bisa
dipersenjatai. Dari banyak varian senjata yang bisa dibawa, TNI AU
diketahui telah “mendandani” Puma dengan roket FFAR 2,75 inchi dan twin
door gun dengan SMB (senapan mesin berat) Browning kaliber 12,7 mm.
Untuk roket ada dua pod LAI 51 yang bisa dibawa, masing-masing 1 pod
disisi kanan dan kiri. Setiap pod berbobot 80 kg, terdiri dari 19 roket,
sementara berat satu roket FFAR sekitar 5 kg. Kemudian untuk door gun,
ada dua laras Browning M2 yang dirangkai dalam satu kendali. Bobot
masing-masing senjata adalah 15 kg, sedangkan berat gun stand mencapai
25 kg dengan amunisi sekitar 100 kg di lantai.
Sebagai heli “angkut berat” SA-330 dapat membawa muatan lewat sling.
Kemampuan dropping pasukan menjadi salah satu tugas utamanya.
SA-330 milik Pelita Air Service
Karena kemampuannya yang multi guna, SA-330 banyak berjasa tidak
hanya dalam misi tempur, tapi juga pada operasi militer selain perang,
seperti misi SAR, dan evakuasi kecelakaan, dan bencana alam.
Salah satu misi tempur yang cukup spektakuler adalah saat berlansungnya
operasi Seroja, diantaranya dalam operasi memburu Presiden Fretelin,
Labota yang akhirnya bisa ditembak, sebagai bukti SA-330 Puma H-3306
sampai berlubang diterjang 23 buah proyektil.
Merujuk dari sejarahnya, prototipe SA-330 Puma mulai terbang perdana
pada 15 April 1965. Produksinya dilakukan mulai tahun 1968 hingga 1987
dengan jumlah populas 697 unit (termasuk yang diproduksi dalam lisensi).
Ada puluhan negara yang menggunakan helikopter ini, baik dalam versi
militer dan sipil. Di lingkungan TNI AU, terdapat tipe J dan L. Versi J
adalah varian sipil memiliki sistem emergency yang lebih baik dibanding
dengan type L (versi militer), maka akan lebih dapat menjamin keamanan
dan keselamatan terbang. Oleh karena itu untuk keperluan penerbangan
VVIP Presiden dan wakil Presiden digunakan SA-330 Puma tipe J. Versi J
SA-330 juga digunakan oleh maskapai Pelita Air Service. Kini TNI AU
telah memiliki generasi lanjut SA-330 Puma, yakni NAS-332 Super Puma
yang memperkuat Skadron Udara 6.
Kerap beroperasi di wilayah konflik, tak jarang Puma harus menerima
terjangan proyektil. Tampak bekas lubang proyektil pada kaca kokpit.
SA-330 juga bisa dipersenjatai secara sangar, termasuk dengan rudal,
roket, dan kanon otomatis berikut sensornya. Tapi sayang versi TNI AU
tidak secanggih ini.
Tampilan instrumen pada ruang kokpit.
Sempat Disulap Jadi Heli Serbu Mi-24 Hind
SA-330 Puma sempat beberapa kali ditampilkan dalam lakon film laga
Hollywood. Dari pengamatan penulis, heli ini muncul di film Red Dawn
(1984), Rambo II (1985) dan Rambo III (1988). Di lihat dari tahun
peluncuran ketiga film tersebut, jelas berada dalam era Perang Dingin
antara Uni Soviet dan AS. Dan lewat kedua film tadi, SA-330 disulap
menjadi sosok heli serbu Mil Mi-24 Hind milik Uni Soviet.
Maklum saat Perang Dingin, produser film masih kesulitan mendapat
‘pinjaman’ Mi-24 asli, alhasil SA-330 yang di make up ala heli Mi-24.
Untuk memberi kesan kuat Mi-24, SA-330 sampai dibuatkan wing khusus
untuk platform roket, tentu saja itu semua hanya fake untuk kebutuhan shooting film.
Spesifikasi SA-330 Puma
Berat kosong : 4000 Kg
Berat maksimum : 7400 Kg
Tinggi : 5,5 meter
Diamater M/ R Blade : 15,09 meter
Diameter Tail Rotor : 3,04 meter
Kecepatan Jelajah : 248 km per jam
Kecepatan Maksimum : 257 km per jam
Jangkauan Terbang : 580 km
Ketinggian Terbang Maksimum : 4.800 meter
Mesin : 2 Turbomeca TURMO IV C
Power Engine : 1115 Kw
Rotor : 4 main rotor blade
5 tail rotor blade
Alat Komunikasi : ICS ( Inter Communication System ), VHF 1 dan FHF 2
COLLINS 20, UHF COLLINS ARC 131, VHF FM COLLINS ARS, dan HF SSB COLLINS
718V-5
Alat Navigasi : ADF TYPE DF 206 dan VHF-UHF TYPE 301
Bahan Bakar : Avtur JP-4
Kapasitas Tanki Utama : 1.565 liter
Kapasitas Tanki Eksternal : 700 liter
Bila kita cermati, saat ini elemen CAS (close air support)
di lingkungan TNI AU dan TNI AD sudah cukup meningkat dari segi
kualitas. Selama tiga dekade belakangan, dukungan BTU (Bantuan Tembakan
Udara) di lingkup operasi TNI kebanyakan masih bersandar pada senjata
jenis kanon, bom, dan roket. Kini meski secara kuantitas masih terbatas,
elemen BTU yang dimuntahkan dari pesawat tempur dan helikopter TNI
sudah merujuk pada kehadiran sosok rudal.
Dari segi jenis misalnya, TNI AU sejak tahun 1990 sudah memiliki AGM-65G Maverick, jenis rudal air to ground missile
yang punya kualifikasi penghancur sasaran lapis baja dan beton. AGM-65G
Maverick dapat dilepaskan dari jet tempur TNI AU, yakni F-16 Fighting
Falcon dan Hawk 100/200. Kemudian ada lagi rudal AT-9 Sprial-2 (Ataka),
ini merupakan rudal penghancur sasaran tank. AT-9 yang dibeli pada
tahun 2010 disiapkan menjadi senjata andalan pada heli serbu Mi-35P
Penerbad TNI AD. Dari segi daya deteren, boleh jadi rudal-rudal diatas
cukup memadai, tapi bagaimana jika yang dihadapi TNI masih sebatas
konflik dalam skala kecil dan menengah? Apalagi potensi konflik terbesar
masih berupa pemberotakan di Dalam Negeri.
Melihat peta konflik yang ada, ditambah sangat mahalnya harga satu unit rudal, menjadikan gelar rudal untuk close air support
kurang efisien. Sebagai gambaran, menurut salah seorang awak heli
Mi-35P saat Pameran Alutsista TNI AD (November 2012) di Lapangan Monas,
disebutkan bahwa rudal ini belum pernah sekalipun di uji tembakan,
karena harga per unitnya yang mahal. Mudah-mudah saat tulisan ini di
posting, sudah ada uji tembak rudal tersebut. Untuk Maverick, TNI AU
secara terbatas pernah melakukan uji tembak dari F-16 dan Hawk 200.
Fin (sirip) roket yang akan mengembang saat roket melesat
Melihat kasus diatas, dalam konteks saat ini racikan BTU masih
prioritas pada kombinasi kanon, bom, dan roket. Dari ketiga elemen
senjata tadi, roket adalah salah satu yang punya efek dan daya hancur
cukup besar. Dan uniknya, roket yang dipakai, baik pada helikopter serbu
TNI AD dan pesawat tempur TNI AU, mengacu pada jenis yang sama, yaitu
roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket ) 2,75 Inchi kaliber 70mm .
Dilihat dari namanya, roket ini sejatinya memang dirancang awal untuk
dilepaskan dari wahana udara, dan punya rancangan berupa sirip lipat
yang akan mengembang saat ditembakkan. Dan yang cukup penting, FFAR
merupakan jenis alutsista yang telah mampu di produksi di Dalam Negeri
dalam jumlah cukup besar.
Merujuk dari sejarahnya, roket ini dikembangkan pada akhir 1940 oleh
US Naval Ordnance Test Center dan North American Aviation. Versi
pertamanya, MK4 disebut juga sebagai Mighty Mouse dan telah malang melintang dalam banyak jagad pertempuran. Desain awalnya roket ini untuk menggasak sasaran di udara (air to air rocket).
Adopsi roket FFAR untuk pertempuran udara ke udara cukup masif
digunakan dalam Perang Korea. Kemudian seiring permbangan, FFAR lebih
banyak difungsikan untuk melibas target di permukaan. Dengan pola
tembakan salvo, FFAR yang dilepaskan dari helikopter dan pesawat tempur
mampu merobek basis pertahanan musuh.
Peluncur FFAR pada heli NBO-105 Penerbad
Upload roket FFAR pada peluncur di helikopter SA-330 Puma TNI AU. Sumber : repro dari Majalah Angkasa
Tampak laras kanon 12,7mm dan peluncur roket FFAR pada pesawat OV-10F Bronco TNI AU
Pengguna terbesar roket FFAR adalah TNI AU, sejak masih menyandang
nama AURI, roket ringan ini telah digunakan pada jenis pesawat tempur
propeller, yakni P-51D Mustang “Cocor Merah” , pembom B-26 Invader, dan OV-10F Bronco. Di lini jet tempur, FFAR menjadi senjata andalan di A-4E Skyhawk, F-5E/F Tiger II, dan Hawk 100/200. Masih dalam paying TNI AU, helikopter SA-330 Puma Skadron Udara 8
juga bisa dilengkapi dua dispenser/peluncur FFAR. Kavaleri udara TNI
AD juga akrab dengan FFAR, paling sering tampil dengan pod/dispenser
FFAR adalah heli NBO-105, tak ketinggalan helikopter Bell 205-A1 dan NBell-412 juga sanggup menggotong dispenser FFAR.
Tiap-tiap pesawat dan helikopter punya jenis peluncur FFAR yang
berbeda. Dari perbedaan peluncur juga berpengaruh pada kapasitas roket
yang dibawa. Seperti pada OV-10F Bronco, pesawat tempur anti gerilya
ini biasa membawa 2 dispenser (tipe XM157 Rocket Pod), masing-masing
dispenser berisi 7 roket. Sementara NBO-105 Penerbad menggunakan jenis
pod T.905 yang berisi 12 roket. Bagaimana dengan spesifikasi FFAR? Untuk
tipe MK4, roket dengan bobot 5 kg serta panjang 1005,9 mm ini dapat
melesat dengan kecepatan 600 meter per detik, sementara jarak jangkau
hingga 6.000 meter.
NDL-40, MLRS FFAR versi towed untuk kebutuhan Armed TNI AD
Masuk dalam kategori sistem MLRS (multiple launch rocket system),
FFAR memang baru terasa keganasannya dalam pola tembakan salvo. Di
tahun 1987, PT. Dirgantara Indonesia membuat platform MLRS untuk FFAR,
yakni NDL-40 untuk keperluan TNI AD, dan di tahun 2005 juga dibuat untuk
versi di kapal perang TNI AL. NDL-40 bisa meluncurkan 40 roket dari 40
tabung luncurnya secara salvo dengan selang 0,1 sampai 9,9 detik untuk
tiap roketnya. Dengan kemampuan ini NDL-40 mampu meluluh-lantakan sebuah
daerah seluas 200m x 300 meter dalam sekejab. Jangkauan terjauh dari
senjata ini hanya 6 km namun demikian bila menggunakan roket khusus
jangkauan bisa bertambah menjadi 8 km.
Di pentas internasional FFAR sudah tak terbilang banyaknya digunakan,
di lingkup Indonesia pun roket ini laris manis dalam laga operasi
militer. Kedahsyatan roket ini setidaknya pernah dirasakan oleh Fretilin
dalam operasi Seroja. Di operasi Seroja sekitar tahun 80-an A-4
Skyhawk, F-5E Tiger II dan OV-10F Bronco kerap memberi BTU pada pasukan
infantri, selain menggunakan kanon dan bom, FFAR juga turut disertakan.
Di periode operasi Seroja, memang TNI AU juga belum mempunyai jet tempur
yang bisa melontarkan rudal AGM (air to ground missile).
Selanjutnya FFAR juga terlihat digunakan dalam operasi penumpasan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka), NBO-105 TNI AD membuka serangan pada perkubuan
GAM dengan kombinasi kanon dan roket FFAR.
Heli NBO-105 Penerbad sedang beraksi melepaskan roket FFAR
Selain bom udara, roket FFAR adalah bagian dari alutsista yang telah
mampu diproduksi di Dalam Negeri. Debut produksi FFAR di Indonesia
sudah dimulai pada tahun 60-an, proyek dengan sandi “Proyek Menang,”
karena basis produksi awalnya di di Desa Menang, Madiun – Jawa Timur.
Saat itu sebagai pelaksana yang ditunjuk langsung oleh KSAU Omar Dhani,
Deputi Logistik Budiardjo terpaksa mengalihkannya ke lain tempat karena
keterbatasan fasilitas di Desa negara di Eropa. Proyek ini menghasilkan
roket-roket yang kemudian menjadi senjata andalan pesawat P-51D Mustang
AURI. Proyek ini berawal dari transfer of technology dari roket Lesca buatan Eropa Timur.
Kemudian di era PT Nurtanio (sekarang PT. Dirgantara Indonesia), FFAR
2,75 inchi mulai diproduksi setelah mendapat lisensi pada tahun 1981.
Lisensinya bukan dari AS, melainkan dari Force de Zeeburg Belgia. Hingga
kini roket ini masih diproduksi oleh Divisi Senjata PT. Dirgantara
Indonesia. Berdasarkan informasin pada tahun 2007, PT. DI dapat
memproduksi FFAR hingga kapasitas 10.000 unit per tahun dalam satu shift
kerja, bila dalam dua shift kerja, kapasitas produksi dapat digenjot
hingga 20.000 roket per tahun.
P-15D Mustang TNI AU, jawara Perang Dunia Kedua ini menjadi pengusung generasi awal FFAR di Tanah Air
FFAR terus diandalkan hingga kini, AH-64 Apache pun masih mengandalkan roket ini.