Rencana Kementerian Pertahanan untuk membentuk badan intelijen sendiri menuai kritik dari berbagai kalangan.
Di
satu sisi, dianggap menyalahi perundangan, di lain sisi arahnya
dianggap keliru, dan dituding akan tumpang tindih dengan kewenangan
badan intelijen yang sudah ada.
Sebagian anggota DPR menganggap,
gagasan Kementerian Pertahanan untuk membentuk badan intelijen akan
melanggar Undang-undang tentang TNI dan UU Intelijen Negara yang
menyebut fungsi pertahanan hanya diselenggarakan oleh TNI.
Namun ada hal yang lebih pokok, yang membuat gagasan itu tidak disambut baik, kata pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie.
"Apakah
ini ungkapan kekecewaaan Kementerian Pertahanan, bahwa pertukaran
informasi intelijen ternyata tak seperti yang diharapkan, ini bisa
dibahas," kata Rahakundini.
"Namun saya ingin melihat gambar lebih
besar. Bahwa strategi pertahanan negara ini, larinya agak
tersendat-sendat, dan tidak terarah. Antara doktrin, strategi, postur,
rencana kebutuhan postur, dan direktifnya. Membingungkan. Hal mendesak
dan strategis apa yang membuat menteri merasa harus membangun badan
intelijen sendiri?" tanya Connie.
"Apakah ini sifatnya responsif
untuk mengatasi hal mendesak dan strategis, misalnya terkait situasi
Laut Cina Selatan, atau penyelundupan manusia? Pertanyaannya, bagaimana
misalnya rencana kebutuhannya?"
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengungkapkan
niat membentuk badan intelijen sendiri di bawah kementerian pertahanan,
Senin pekan lalu, dalam bentuk seperti agen dinas rahasia.
Namun
sebetulnya gagasan itu sudah diungkapkan sejak beberapa bulan lalu, oleh
Kepala Badan Instalasi Strategis Nasional Kementerian Pertahanan Mayjen
TNI Paryanto.
Menurutnya, rencana itu adalah mengubah organisasi
pada Satuan Kerja (Satker) Badan Instalasi Strategis Nasional
(Bainstranas) menjadi Badan Intelijen Pertahanan.
Juru bicara kementerian pertahanan, Brigadir Jenderal Junjan Eko
Bintoro menjelaskan, bahwa gagasan ini sebetulnya terkait dengan
perubahan sesudah reformasi: dipisahkannya Kementerian Pertahanan dengan
TNI, yang dulu menyatu, dipimpin Menhankam/Pangab, saat itu masih
mencakup keamanan pula.
"Salah satu alatnya, intelijen, dulu
berada kementerian ini. Sekarang melekat pada TNI. Jadi sekarang, di
Kementerian Pertahanan tak ada lagi intelijen yang mengurusi hal-hal
yang berkaitan pertahanan," kata Eko Bintoro.
"Nah, kami
memikirkan bahwa Kementerian Pertahanan memerlukan (badan intelijen)
terkait berbagai hal untuk menentukan hal-hal terkait pertahanan
negara."
Ia memastikan bahwa gagasan ini relevan dengan tantangan dan situasi aktual Indonesia.
"Ketika
Kementerian Pertahanan harus menentukan seperti apa bentuknya ancaman
pertahanan, kalau kita tak mempunyai intelijen, dari mana kita
menentukan itu semua?" lontarnya.
Junjan Eko Bintoro menyebutkan,
pembentukan Badan Intelijen Pertahanan ini bukan untuk mengambil alih
fungsi dan tugas badan intelijen yang sudah ada, seperti Bais TNI, BIN,
Baintelkan Polri, Intelijen Kejaksaan, dan lain-lain.
Namun badan
intelijen pertahanan itu akan merupakan bagian dari komunitas intelijen
nasional yang menangani hal yang spesifik terkait dengan pertahanan
negara.
Pengamat militer Al Araf dari Imparsial menyebut, ada masalah dengan rencana ini.
Memang sepantasnya intelijen berada di bawah kementerian, kata Al Araf.
"Tetapi seharusnya yang dilakukan adalah memindahkan BAIS yang sekarang di bawah TNI, ke Kementerian Pertahanan," kata Al Araf.
"Sehingga
Panglima TNI mengurus aparat inteljen di ketentaraan saja. Adapun BAIS,
menangani inteljen terkait ancaman dari luar, ditempatkan di bawah
Kementrian Pertahanan."
Dengan demikian, katanya, gagasan Kemenhan untuk membentuk badan inteljen sendiri keliru. Dan malah bisa memperumit masalah.
Lembaga-lembaga intelijen itu makin saling bertumpang tindih, kata Al Araf.
"Sekarang ini ada kecenderungan overlapping," papar Al Araf.
"BAIS
sebagai inteljen militer, kadang mempersepsikan ancaman eksternal dan
internal, dan berperan di wilayah itu. Padahal seharusnya hanya
mengambil peran terkait ancaman eksternal. Dan BIN sebagai badan
inteljen negara sering mengurusi juga ancaman internal dan eskternal
pula, harusnya hanya intenal."
Di sisi lain, militer juga memiliki intelejen lain di luar BAIS,
berupa intelejen tempur dan inteljen teritorial. Jadi ada kompleksitas
dalam sistem intelejen Indonesia sisa warisan Orde baru yang belum
tertata.
Menurut Al Araf, harus dilakukan penataan dan reformasi
yang menyeluruh, yang membuat fungsi dan tugas masing-masing lembaga
intelijen.