Selasa, 07 Maret 2017
Mengapa Indonesia Cetak Lebih Banyak Pilot Flanker?
Di saat yang hampir bersamaan, Angkatan Udara Indonesia berhasil menelurkan penerbang-penerbang pesawat tempur. Ada lima penerbang dari dua tipe pesawat tempur berbeda yang berhasil lulus, dan yang unik hanya satu orang dari penerbang pesawat tempur F-16 dan empat penerbang lainnya dari pesawat tempur Su-30MK2.
Menurut ANTARA, untuk penerbang F-16 pada tahun ini mencetak satu, yakni Lettu Pnb Fulgentius Dio Prakoso. Sedangkan untuk pesawat tempur Flanker ada empat penerbang yang berhasil lulus, yakni Mayor Pnb Reza Muryaji, Mayor Pnb M.Yunus, Mayor Pnb I Kadek Suta A. dan Mayor Pnb Apri Arfianto.
Foto : Antara
Padahal dimasa mendatang, justru armada pesawat tempur F-16 refurbished yang akan segera datang memperkuat Angkatan udara Indonesia, yang menurut berbagai pemberitaan dari media nasional ada 10 unit yang akan datang pada tahun 2017. Sedangkan dari armada pesawat tempur Sukhoi sendiri masih belum diketahui kedatangannya.
Pilot pesawat tempur adalah aset Angkatan Udara yang paling berharga. Untuk di Indonesia, dana pendidikan seorang pilot pesawat tempur selama 2 hingga 3 tahun bisa memakan biaya lebih dari 10 miliar rupiah
Untuk satu jam terbang latih dengan menggunakan pesawat tempur F-16 bisa menghabiskan biaya 50 juta rupiah, sedangkan untuk pesawat tempur Sukhoi Su-30 menghabiskan biaya 91 juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh negara.
Sekolah penerbang TNI AU biasanya berlangsung selama 18 bulan. Siswa lulus kemudian berlatih di kesatuan selama enam bulan. Setiap siswa kemudian diberikan pilihan ingin menjadi pilot pesawat tempur, pesawat transport atau helikopter. Para pilot kemudian disiapkan lagi untuk latihan operasi perang selama 6-12 bulan.
JKGR.
Mengenal Dua Sistem Pemandu Pada Rudal Arhanud TNI
Karena punya fungsi untuk mengejar dan menghancurkan pesawat tempur, maka tak heran bila rudal hanud (pertahanan udara) diciptakan untuk melesat dengan kecepatan supersonic, sebagian dari Anda mungkin sudah mahfum dengan nama-nama rudal hanud, terlebih dengan yang telah dioperasikan oleh TNI. Dan untuk lebih mengenal tentang rudal hanud, pada artikel kali ini kami kupas tentang dua mahzab sistem pemandu yang berlaku dalam dunia rudal hanud. Masing-masing punya karakter dan keunggulan tersendiri, bergantung pada situasi, kondisi, dan jenis sasaran yang dihadapi.
Bo Almqvist, Vice President, Strategic Business Project Dynamics Saab India, dalam suatu kesempatan di Aero India 2017 menyebutkan, bahwa pada prinsipinya ada dua platform sistem pemandu (guidance) yang digunakan dalam rudal hanud. Pertama adalah radar atau IR (Infra Red) homing missiles, dan Kedua adalah Command to Line of Sight Systems. Rudal dengan pemandu radar atau IR (Infra Red) homing missiles, jamak ditemui pada rudal hanud jarak dekat dan sebagian besar rudal MANPADS (Man Portable Air Defence System). Disini dicirikan penempatan sensor pemandu berada pada bagian depan rudal. Rudal dengan jenis ini pun sudah digunakan TNI sejak beberapa tahun, diantaranya rudal Mistral besutan MBDA, rudal QW-3 produksi China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC), dan rudal Chiron lansiran LIG Nex1 yang digunakan Denhanud Paskhas TNI AU.
Sementara yang kedua, sistem pemandu dengan Command to Line of Sight Systems, dicirikan penempatan sensor pemandu berada pada bagian belakang rudal. Rudal jenis ini pun sudah bukan sesuatu yang asing bagi TNI, seperti Arhanud TNI AD yang mengoperasikan rudal VSHORAD (Very Short Air Defence System) RBS-70 MK2 produksi Saab, rudal ini tidak bersifat fire and forget, melainkan bekerja dengan cara dipandu (diarahkan) lewat teknologi laser ke sasaran yang dikehendaki. Masih dari perusahaan yang sama, rudah hanud BAMSE (Bofors Advanced Missile System Evaluation) yang juga sempat ditawarkan ke Indonesia, juga mengadopsi pemandu Fire Control Radar (FCR) Automatic Command to Line Of Sight (ACLOS). Bedanya bila RBS-70 adalah VSHORAD dengan jarak tembak maksimum 8 km, sedangkan BAMSE bisa menghajar sasaran hingga jarak 25 km.
Lantas bagaimana dengan nama-nama rudal lainnya yang tak kalah sangar, seperti S-300, Sky Dragon 50, dan NASAMS, menggunakan sistem pemandu yang manakah mereka? Dan bila ditelaah dari cara kerjanya, maka kecenderungannya mengarah pada sistem pemandu jenis pertama. Lantas apa yang menjadi keunggulan sistem pemandu jenis kedua, yakni Command to Line of Sight Systems. Bo Almqvist menyebut bahwa opsi yang dipilih Saab pada jenis pemandu tersebut karena dianggap lebih tahan terhadap jamming, kemudian ada kemampuan self destruction, dan presisi yang lebih tinggi pada pengenaan sasaran.
Dalam pemahanan di dunia rudal hanud bisa ditekankan, bahwa pada sistem pemandu radar atau IR (Infra Red) homing missiles, main intelligent system berada pada rudal. Sebaliknya pada sistem pemandu Command to Line of Sight Systems, main intelligent system berada di ground system (pada pengendali di darat). Yang jelas diantara kedua sistem pemandu punya keunggulan tersendiri, maka tak heran bila pihak user, seperti Arhanud TNI AD mengadopsi dua sistem pemandu pada arsenal rudal hanud yang dimiliki saat ini. (Haryo Adjie)
Bell 429 GlobalRanger Pesanan Polri Telah Mengudara
Tanpa hiruk pikuk soal ToT (Transfer of Technology), dua
helikopter ringan pesanan Direktorat Kepolisian Udara (Polisi Udara) RI
jenis Bell 429 GlobalRanger kini telah rampung diproduksi, bahkan
terlihat sudah mengudara di fasilitas manufakturnya. Penandatanganan
pengadaan dua helikopter dilakukan pada ajang Singapore AirShow 2016.
Kehadiran Bell 429 GlobalRanger dilakukan sebagai langkah peremajaan
pada armada unit helikopter NBO-105 yang sudah digunakan Polri sejak
beberapa dekade.
Seperti terlihat di dalam foto,dua Bell 429 GlobalRanger Polri telah
siap mengudara, namun belum ada informasi mengenai kapan waktu
pengiriman unit helikopter tersebut ke Indonesia. Melihat kebiasaan
pengiriman helikopter dari lokasi manufaktur, besar kemungkinan Bell 429
GlobalRanger akan didatangkan secara teruruai, untuk kemudian dirakit
di Indonesia.
Bell
429 ditenagai twin engine Pratt & Whitney Canada PW207D1 turboshaft
, menjadikan helikopter ini dapat mencapai kecepatan maksimum hingga
287 km per jam. Dengan jangkauan terbang sampai 722 km, Bell 429 dengan
kapasitas bahan bakar 821 liter mampu melaju dengan kecepatan jelajah
273 km per jam. Bell 429 punya kemampuan multirole, selain laris
digunakan pihak sipil dan kepolisian internasional, pihak AL Australia
(RAN) juga mengoperasikan Bell 429 di Skadron 723. Dengan bekal
clamshell doors di bagian belakang, heli ini juga ideal dipakai sebagai
ambulance udara (medical evacuation). Sementara untuk misi intai dan penegakan hukum, Bell 429 bisa disematkan perangkat FLIR (Forward Looking Infra Red), bahkan pada pintu gesernya dapat dipasang door gun.
Bell
429 saat ini telah beroperasi di kawasa Amerika Utara, Amerika Latin,
Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik. Di Asia Pasifik saat ini ada
lebih 30 unit Bell 429 yang beroperasi, dan dua unit milik Polri akan
menambah populasi tersebut. Merunut sejarahnya, Bell 429 adalah hasil
pengembangan dari Bell Helicopter dan Korea Aerospace Industries.
Rancang bangunnya berasal dari generasi Bell 427. Prototipe heli ini
terbang perdana pada 27 Februari 2007, sementara sertfikasi lulus uji
terbang diperoleh dari FAA pada 1 Juli 2009.
“Kami telah menikmati hubungan yang cukup lama dengan Kepolisian
Indonesia, dan bangga untuk mendukung dengan penggunaan produk Bell 206
dan NBell-412 untuk armada Polri saat ini,” uajr Sameer A. Rehman,
Managing Director Bell Helicopter Asia Pasifik dalam siaran pers
(18/2/2016). (Gilang Perdana)
Korps Marinir Uji Fungsi Drone Backpack SWG Throw System
Dalam meladeni peperangan modern, unit pasukan infanteri pun sudah harus mahfum dengan kemampuan drone/UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Dan menunjang kebutuhan taktis infanteri di medan tempur, dikenal drone dengan ukuran mini untuk menunjang pengintaian. Karena digelar dalam operasi taktis, drone untuk infanteri ini dapat dikemas di dalam tas ransel, dan tentunya dapat di rakit dengan cepat bilamana dibutuhkan.
Meski belum dirilis wujudnya, Korps Marinir TNI AL belum lama ini dikabarkan tengah melakukan pelatihan dan uji fungsi drone yang disebut UAV Backpack SWG Throw System. Dan saat tulisan ini dibuat, sejumlah prajurit Marinir sejak 28 Februari 2016 tengah melaksanakan uji fungsi drone di PT Bhimasena yang terlerak di kawasangan Jatinangor, Bandung, Jawa Barat. Pelatihan dibuka secara resmi oleh Kepala SUB Dinas Perbekalan (Kasubdisbek) Dinas Material Korps Marinir (Dismat Kormar) Letkol Marinir Hendy, Selaku penanggung jawab Kepelatihan.
“Pelatihan uji fungsi drone intai dengan kendali jarak jauh dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. untuk memberikan bekal dan meningkatkan kemampuan serta pengetahuan kepada prajurit Denjaka, Batalyon Taifib, dan Brigade Infanteri Korps Marinir. Sasaran dalam latihan ini adalah agar para peserta mampu mengawaki serta meningkatkan pengetahuan drone yang berfungsi untuk mengintai dengan kendali jarak jauh dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. Supaya Korps Marinir bisa menghadapi perkembangan teknologi.
Kamis, 02 Maret 2017
Setelah Pesawat N-219, PTDI-LAPAN Garap Pesawat N-245
Mock up pesawat N-245 PTDI di International Maritime & Aerospace (LIMA) exhibition, Malaysia. (credit photo :Ainonline)
Dunia industri penerbangan Indonesia terus bergerak mengejar
kemandirian di bidang pembuatan pesawat. Kendaraan udara ini sangat
dibutuhkan oleh negara kepulauan seperti Indonesia, di mana penduduk
membutuhkan transportasi yang cepat.
Untuk itu PT Dirgantara Indonesia atau PTDI berencana membuat pesawat baru berkapasitas kurang lebih 50 penumpang. Pesawat N-245 itu akan dikerjakan PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau Lapan, dengan model hampir sama dengan pesawat N-235.
Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, PTDI saat ini mulai merencanakan proyek pengerjaan pesawat yang dilengkapi teknologi Short Take-Off and Landing (STOL) atau mampu tinggal landas dan mendarat di landasan pendek, yakni 800 meter, seperti yang dilansir oleh Viva.co.id , 28/2/2017.
“Hanya 25 persen baru lainnya enggak. Kami akan ambil sayap pesawat N-235, yang dipakai N-295. Engine pakai N-295 tapi dikurangi. Dari N-235 lebih panjang 1,8 meter. Perubahan penting di bagian belakang pesawat,” ungkap Budi kepada Viva.co.id di PTDI, Bandung, Jawa Barat, Senin 27 Februari 2017.
PTDI tak ingin bersaing dengan perusahaan pesawat raksasa dunia seperti Airbus dan Boeing. Karenanya yang disasar adalah pasar pesawat dengan kapasitas 50 penumpang. Rencananya pesawat itu akan diperkenalkan kepada publik, usai pesawat N-219 terbang perdana pertengahan tahun 2017.
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan setelah pengembangan pesawat N219 yang sudah memasuki tahap akhir, diharapkan dapat terus berlanjut ke pesawat N245 dan N270.
Viva.co.id dan Antara
TGM-65 Maverick: Bentuk Serupa Aslinya, Inilah Rudal Latih Udara ke Permukaan Andalan TNI AU
Jet tempur taktis Hawk 109/Hawk 209 TNI AU sudah lazim dipasangi rudal udara ke permukaan Raytheon AGM-65 Maverick, dalam sekali terbang jet tempur single engine besutan British Aeropsace ini dapat membawa dua unit AGM-65 Maverick. Dan belum lama berselang, Skadron Udara 12 “Black Panther” Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, pada Senin (20/2/2017) telah melaksanakan latihan tempur diatas udara wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Lima unit Hawk 109/Hawk 209 dikerahkan dengan masing-masing mengusung rudal AGM-65 Maverick.
Untuk misi penghancuran, Hawk 109/Hawk 209 di setting untuk membawa rudal AGM-65G Maverick. Ada label seri “G”menyiratkan bahwa ini adalah seri keluarga Maverick yang beroperasi dengan sistem pemandu infra red. AGM-65G sendiri berasal dari pengembangan AGM-65D dan diluncurkan perdana pada Februari 1986. Dengan hulu ledak seberat 136 kg, AGM-65G memang pas untuk menghajar sasaran dari jarak jauh, termasuk sasaran favoritnya adalah kapal permukaan. Bobot total AGM-65G ditaksir mencapai 301,5 kg. Bila Hawk 109/Hawk 209 hanya bisa menggotong dua unit Maverick, maka F-16 Fighting Falcon bisa membawa empat unit Maverick.
Resminya AGM-65G mampu melesat dengan kecepatan 1.150 km per jam, sementara jarak jangkaunya ada di rentang 13 – 27 km (tergantung sudut ketinggian pelepasan rudal). Karena merupakan alutsita berharga tinggi, untuk uji cobanya pun harus selektif, Hawk Skadron Udara 1 TNI AU pernah melaksanakan uji tembak rudal ini pada bulan Juni 2011 di Air Weapon Range (AWR) Pulung, Ponorogo, Jawa Timur dengan melibatkan tujuh pesawat Hawk 109/209.
Pakai TGM-65 Maverick?
Dalam misi latihan tempur 20 Februari lalu, lima pesawat jenis Hawk ini take off dari Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Aceh Besar, Setelah berputar-putar di udara Tanah Rencong sekitar 45 menit, pesawat ini kembali ke Lanud. Pada sesi pertama, ada tiga pesawat yang terbang disusul dua pesawat lainnya. Kelima pesawat ini terbang pada ketinggian 6 ribu kaki. Lokasinya 15 mil dari Lanud SIM di sisi barat dan timur.
Namun melihat dari foto yang dipublikasikan di beberapa media, Nampak rudal Maverick yang terpasang di Hawk 109/Hawk 209 dilengkapi cincin (ring) berwarna putih. Jenis Maverick dengan ring putih menandakkan bahwa rudal tersebut adalah TGM-65, jenis rudal latih yang juga dimiliki TNI AU dalam paket pembelian Maverick pada dekade 90-an. TGM-65 resminya adalah Training Groung Missile-65. Ditandai dengan cincin putih yang berarti dummy dipakai sebagai prasarana latihan penerbang dalam hal pembidikan di udara. Mempunyai sistem serupa dengan AGM-65, cuma tidak dilengkapi motor roket, jadi tidak dapat diluncurkan.
Selain TGM-65, TNI AU juga memiliki MLT-65, yakni Munition Load Training-65. Digunakan para teknisi di darat untuk latihan loading dan unloading agar terlatih sewaktu memasang Maverick yang asli. MLT-65 mempuyai bentuk, berat, warna sama dengan rudal asli, dan ditandai cincin biru. Karena mempunyai kemiripan dengan rudal asli, sering dipakai saat static show. Masih ada lagi MMT-65, yaitu Munition Maintenance Training. Dipakai teknisi guna mengecek sistem alat bidik yang ada di pesawat, untuk membedakan dari jenis lain alat peraga ini bercincin kuning. (Gilang Perdana)
Indomil.
Advanced Hawk: Dibekali Air Refueling System, Ini Performa Maksimal Keluarga Hawk 100
Di arsenal jet tempur TNI AU, kodrat Hawk 109 dan Hawk 209 sudah dipatok sebagai penempur lapis kedua yang punya peran tempur taktis. Meski dari aspek payload ada perbedaan, tapi keduanya dapat menggotong jenis senjata yang serupa, bahkan Hawk109/Hawk 209 sama-sama tidak dilengkapi kanon internal. Namun bila ditelaah lebih dalam, Hawk 209 sanggup terbang lebih lama dan lebih jauh berkat adanya fasilitas air to air refueling, berbeda dengan Hawk 109 yang tandem seat, jet tempur yang dijuluki Lead In Fighter Trainer ini harus pasrah terbang sesuai kapasitas tangki bahan bakar.
Sejak keluarga Hawk 100 mulai dirilis British Aerospace (BAe) pada awal dekade 90-an, berlanjut ke akhir tahun 2016, tidak satu pun varian Hawk 100 yang dilengkapi fasilitas refueling probe. Kodrat Hawk 100 (untuk versi TNI AU disebut Hawk 109) hanya dipatok pada jet latih tempur dengan kemampuan serba terbatas, terlebih dari segi endurance. Baru kemudian ada gebrakan yang terbilang revolusioner, di pameran dirgantara Aero India 2017 yang berlangsung 13 – 18 Februari lalu di Bangalore, BAe Systems dan Hindustan Aeronautics Limited (HAL) resmi meluncurkan versi terbaru Hawk yang paling mutakhir, diberi label Advanced Hawk, jet latih tempur dengan kemampan ground attack ini dilengkapi refueling probe.
India sampai saat ini menjadi pengguna terbesar keluarga Hawk 100, setidaknya AU India mengoperasikan 106 unit Hawk 132 yang disokong mesin Rolls-Royce Adour Mk 871. Karena India membeli dalam jumlah besar, maka nilai ToT (Transfer of Technology) yang didapat juga signifikan, ini terbukti dengan HAL yang merilis versi Hawk i pada awal tahun ini. Nah, menengok kebisaan Hawk 200 yang dibekali air refueling probe, menjadikan HAL terobsesi untuk menawarkan versi baru Hawk 100, dan yang ini disebut Advanced Hawk.
Karena Advanced Hawk tak hanya diproyeksi untuk kebutuhan India, agar moncer dalam pasar ekspor, sedari awal HAL telah melibatkan BAe Systems dari Inggris pada rancangan Advanced Hawk. Bukan sekedar pemasanan air refueling probe pada bagian hidung, sejumlah pemaharuan dilakukan untuk mengurangi tuntutan pelatihan pada pesawat tempur utama yang memakan biaya operasional besar.
Meski sosoknya tak berbeda dengan Hawk 109 milik TNI AU, tapi sejumlah peningkatan telah dilakukan pada Advanced Hawk, diantaranya pada bagian sayap ekor dibekali defensive aids suite, pada bagian ini terdapat komponen RWR (Radar Warning Receiver) dan counter measure dispensing system. Guna membawa jenis senjata yang lebih beragam, pada struktur sayap telah diberi kekuatan pada combat flap.
Pada bagian kokpit juga di-upgrade dengan keberadaan datalink, sensor simultan,digital head up display, autopilot, dan ground proximity warning system. Terkhusus untuk kapasitas beban, Advanced Hawk sudah dibekali smart weapon enabled, laser designation pod, dan centerline dual purpose fuel. Di Aero India 2017, beberapa senjata yang dipajang untuk Advanced Hawk seperti smart bomb Paveway, ruda udara ke permukaan Brimstone, dan rudal udara ke udara Cobham.
Lain dari itu, Advanced Hawk dilengkapi perangkat elektronik yang serupa Hawk 109, seperti komponen elektronik pada bagian hidung berupa sensor penjejak laser (laser range finder) dan perangkat FLIR (Forward Looking Infra Red). (Haryo Adjie)
Indomil.
Langganan:
Postingan (Atom)