Rabu, 13 April 2016

Beratnya TNI AU “Melepas” Si Macan F-5 E/F Tiger II

F-5-Tiger-TNI-AU2

Seandainya di tahun 1995 TNI AU melakukan retrorif dengan paket ‘komplit’ pada armada F-5 E/F Tiger II, boleh jadi masa pengabdian Si Macan masih bakal lebih lama, lebih dari itu sistem persenjataan bisa di uprade lebih letal, dan harusnya bisa ditempeli fasilitas air refueling agar F-5 TNI AU sanggup isi bahan bakar di udara. Tapi sayangnya, program retrofit yang diberi label proyek MACAN (Modernization of Avionics Capabilities for Armament and Navigation) tak menyentuh elemen-elemen perubahan seperti poin diatas.

Lewat proyek MACAN, kala itu sisa sembilan unit F-5 E/F Tiger II yang siap operasional memang jadi lebih ganas, F-5 E/F TNI AU serasa lahir kembali, dengan desain lama tapi jeroan baru. Bahkan setelah dimodernisasi, kecanggihan F-5E/F Tiger II setara dengan F-16 C/D Fighting Falcon, TNI AU sendirio telah memproyeksikan masa pengabdian jet tempur ini hingga tahun 2020. Beberapa poin fitur yang ditambah dari proyek MACAN adalah HUDWAC, INS (Intertial Navigation System), Video System, RWR (Radar Warning Receiver), HOTAS (Hans On Throttles And Stick), dan FFMSDC (Fuel Flow Monitor Signal Data Converter). Lebih detail tentang fiturn yang ditambahkan dari proyek MACAN bisa dilihat di link artikel dibawah ini.

F5-4F5-1

Meski terlihat F-5 E/F Tiger II TNI AU jadi tampil dengan perangkat sensor dan avionic yang kekinian, tapi sayang tidak ada sentuhan upgrade pada sisi senjata. Setelah program MACAN tuntas, sista pada F-5E/F Tiger II TNI AU masih bertumpu pada kombinasi kanon internal dua laras M39-A3 kaliber 20mm dan rudal udara ke udara lawas AIM-9 P2 Sidewinder, itu untuk misi CAP (Combat Air Patrol). Sementara untuk misi ground attack, masih bersandar pada jenis roket FFAR dan varian bom konvensional MK-81 dan MK-82.

F5-5

Kontroversi Proyek MACAN
Yang banyak disesalkan dari proyek MACAN yaitu tidak adanya program perpanjangan usia operasional pesawat. Awal dari program modernisasi F-5 adalah saat KSAU saat itu, Marsekal TNI Rilo Pambudi mengunjungi pameran kedirgantaraan di LeBourget tahun 1993. KSAU menyatakan TNI AUsedang mempertimbangkan untuk memordenisasi armada F-5 E/F Tiger II. Kemudian respon pun bermunculan dari beberpa perusahaan penerbangan, seperti dari British Aerospace, Fokker, Alinea. Northrop Grumman, Singapore Airspace, dan Smiths Industries, semuanya berkompetisi untuk berebut tender.

Kompetisi dalam modernisasi F-5 memang peluang yang menggiurkan, pasalnya di dunia terdapat 1.600 F-5 yang masih dioperasikan oleh 26 negara. Dan, dari jumlah tersebut, 270 pesawat dari 10 negara pengguna F-5E telah melakukan modernisasi. Tapi sayang justru negara dengan populasi terbesar F-5 belum melakukan modernisasi, seperti Suadi Arabia (80 pesawat), Korea Selatan (150 pesawat), dm Taiwan (250 pesawat).

Melalu seleksi internal, akhirnya kontrak dimenangkan oleh SABCA, perusahaan penerbangan asal Belgia yang telah berdiri sejak 1920. Total kontrak yang digulirkan adalah US$ 40 juta. Selain paket upgrade yang dipancang menarik, dipilihnya SABCA karena harga yang ditawarkan cukup bersaing. Tapi disisi lain, terjadi kontroversi, kontrak US$40 juta hanya dilakukan untuk 9 unit pesawat tanpa program perpanjangan usia operasional. Jelas pihak SABCA sangat diuntungkan, sedang yang didapat TNI AU terbilang minim. Bandingkan, harga F-16 A Fighting Falcon bekas pakai USAF hanya ditawarkan US$6 juta per unit.

Senapan mesin kaliber 20 mm dengan penutup yang dibuka

Diluar proyek MACAN, Dinas Peneletian dan Pengembangan TNI AU (Dislitbangau) juga telah melakukan beberapa terobosan untuk memperpanjang usia pakai F-5 E/F Tiger II. Seperti di tahun 2010, dilakukan reverse engineering pada komponen radar AN/APQ-159. Melihat kondisi kesiapan radar APQ 159 yang berada di pesawat F-5 E/F sangat menurun karena obselette dan sulitnya mencari suku cadang, Dislitbangau dan mitra PT CMI berusaha mencari solusi untuk mengoptimalkan kembali kemampuan Radar APQ 159.

Maka dilakukan reserve engineering radar APQ-159 dengan beberapa komponen yang masih banyak di pasaran. Metodenya dengan pembuatan (kloning) modul TRx radar pada Receiver Modul, UCO Modul (Voltage Control Oscillator), AFC Modul, STC Controller Modul dan modifikasi beberapa modul di High Voltage. Keuntungan dari program reverse engineering bagi pesawat F-5 E/F antara lain dapat mengembalikan kemampuan radar AN/APQ 159 sesuai spesifikasi dan fungsinya.

Pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2014, Dislitbangau juga mengembangkan tester MSCADC untuk pesawat F-5 E/F. Alat ini untuk merubah data udara yang terkalibrasi dalam pengoperasiannya terintegrasi dengan SACS yang berfungsi sebagai Dynamic Compressible Pressure yang akan memberikan keselarasan gerakan rudder dan horizontal stabilizer. Dislitbangau juga berhasil membuat komponen drag chute untuk F-5 E/F.

Mengintip Populasi Si Macan di Langit Indonesia
Dari 16 unit pesawat tempur F-5 E/F Tiger II yang dibeli Indonesia sejak tahun 1980an, tercatat ada 4 unit yang sudah mengalami kecelakaan dan jatuh. Kejadian pertama terjadi tidak lama setelah pesawat tempur ini tiba di Indonesia. Tepatnya tahun 1981 satu unit pesawat tempur F-5E (kursi tunggal) dengan tail number TS-0504 jatuh. Kemudian disusul dengan F-5E (kursi tunggal) dengan tail number TS-0505 (1986). Dua unit lainnya yang jatuh juga dari varian kursi tunggal yaitu F-5E tail number TS-0507 (1990) dan TS-0506 (1993).

F-5 E Tiger II AU Singapura
F-5 E Tiger II AU Singapura

Dengan jatuhnya 4 unit pesawat tersebut, kesiapan operasional Skadron Udara 14 hanya memiliki 12 unit pesawat tempur F-5 E/F Tiger II sisanya. Salah satu dari 12 unit ini, yaitu pesawat tempur F-5 E (kursi tunggal) dengan tail number TS-0510 juga pernah mengalami masalah saat hendak melakukan latihan di sekitar akhir dekade 1990an. Hal ini mengakibatkan pesawat tempur ini mengalami kerusakan dan keretakan dibeberapa bagian airframe nya sehingga harus di perbaiki ke Amerika.

Dikutip dari pesawattempur.com, pada akhirnya pesawat tempur F-5 E dengan tail number TS-0510 ini akhirnya dikirimkan ke Amerika untuk diperbaiki dengan harapan masih bisa digunakan dikemudian hari. Dan setelah mengalami perbaikan di Amerika, pesawat tempur ini dinyatakan sudah bisa dikirim kembali ke Indonesia. Namun sebelum pesawat tempur ini dikirim ke Indonesia, Amerika Serikat sudah memberlakukan embargo militer bagi Indonesia terkait permasalahan Timor Timur tahun 1999.

Hal tersebut menyebabkan pesawat tempur F-5 E TS-0510 yang sudah selesai diperbaiki ini tidak bisa dikirimkan ke Indonesia dan akhirnya tertahan selama 7 tahun di Amerika. Setelah Amerika mencabut embargo militer pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mulai mengusakan untuk pemulangan pesawat tempur malang ini. Namun pemulangan pesawat tempur ini baru bisa terjadi di tahun 2006 dan tepatnya tanggal 13 September 2006, pesawat tempur F-5 E TS-0510 ini tiba di Surabaya setelah dikapalkan selama sebulan dari Amerika.

Dengan home base di Lanud Iswahjudi, kini sisa lima unit F-5E dan tiga unit F-5F F-5 E/F Tiger II masih tetap dioptimalkan. Meski tak tampil lagi di garda depan fighter TNI AU, flight F-5 E/F kini ditugaskan untuk berada di Lanud Palembang. Perkuatan jet tempur di Lanud Palembang seiring peningkatan status pangkalan, dari Lanud kelas C ke Lanud kelas B.

Masih Eksis Sampai 2020
Bila tidak ada perubahan dalam rencana strategis, nantinya F-5 E/F Tiger II TNI AU masih tetap eksis saat jet tempur penggantinya tiba di Indonesia. Merujuk ke batas pemakaian F-5 E/F sampai tahun 2020, sementara pada tahun 2018 paling telat TNI AU sudah mulai kedatangan jet tempur baru untuk Skadron Udara 14.

Walau belum terlihat upaya TNI AU untuk memoles F-5 E/F sesangar milik Singapura, Brazil, dan Kanada, namun sejak dekade silam sudah ada niatan untuk memperkuat armada F-5 E/F secara kuantitas. Di tahun 2005, TNI AU sempat dikabarkan akan menerima hibah dari AU Yordania, tapi kemudian gagal. Salah satu sebabnya adalah belum keluarnya izin dari AS, maklum Yordania adalah sekutu AS di Timur Tengah. Kemudian di bulan Maret 2012, KSAU saat itu, Marsekal TNI Imam Sufaat pernah mengungkapkan rencana TNI AU untuk menerima hibah satu skadron F-5E/F dari Taiwan. Tapi bukannya ada kelanjutan yang positif, justru Kadispen TNI AU Marsma TNI Ahmad Yunus membantah adanya rencana tersebut.

Yang terakhir di tahun 2013 berita penolakan dari pihak TNI AU atas hibah F-5 dari Korea Selatan. Alasannya bukan karena TNI AU tidak butuh F-5, melainkan karena spesifikasi F-5 Korea Selatan berbeda dengan yang dimiliki Indonesia. Pesawat F-5 milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan atau avioniknya. Sedang pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi. Soal perbedaan spesifikasi, menurut pihak TNI AU justru menjadi beban di biaya perawatan.

F-5E milik AU Kanada yang di upgrade menjadi CF-5E Tiger. CF-5 punya kemampuan isi ulang bahan bakar di udara.
F-5E milik AU Kanada yang di upgrade menjadi CF-5E Tiger. CF-5 punya kemampuan isi ulang bahan bakar di udara.5

Bila di Indonesia debut F-5 E/F Tiger II sudah masuk masa senja, lain halnya di Singapura, dikenal sebagai AU terkuat di Asia Tenggara, Singapura sampai saat ini masih terus mengoperasikan 27 unit F-5S (varian upgrade dari F-5E). Meski cakupan ruang udaranya sangat terbatas, F-5S Singapura sudah dilengkapi air refueling system, lalu ada penggantian radar ke jenis Galileo Avionica’s FIAR Grifo-F X-band, dari sisi persenjataan, F-5S bahkan sanggup meluncurkan AGM-65 Maverick dan rudal udara ke udara AIM-120 AMRAAM.

Diluaran memang kesaktian si Macan masih punya tempat, buktinya Elbit Systems, vendor elektronik pertahanan dari Israel pada 22 Oktober 2014 telah memperoleh kontrak senilai US$85 juta untuk meng-upgrade armada jet tempur Northrop F-5 Tiger. Yang menarik, Elbit Systems juga menyebut kontrak upgrade tersebut berasal dari salah satu negara di Asia. Nah! (Bayu Pamungkas)
 

Surveillance Radar Rudal Rapier, Mampu Dialihfungsi Mendukung Peran Meriam PSU S-60 57mm TNI AD

Rapier-Missiles-3

Karena usia yang uzur, rudal Rapier memang telah purna tugas, tapi perangkat penunjang sistem rudal tersebut sampai saat ini masih tersimpan, terawat dan dapat dioperasikan oleh Arhanud TNI AD. Diantaranya adalah komponen radar blindfire, generator, fire control unit, dan unit peluncur rudal (launcher unit). Dengan ide dan kreativitas, komponen sistem rudal Rapier kini dapat ‘dibangkitkan’ dari tidurnya.

Berangkat dari kondisi tersedianya 50 peluncur rudal Rapier di empat detasemen hanud (pertahanan udara), menggerakan pihak Pusdikarhanud TNI AD untuk memaksimalkan launcher unit Rapier yang masih berfungsi baik, artinya dapat digerakkan sesuai kendali. Memaksimalkan launcher unit Rapier tentu bukan memasang konsol ini dengan jenis rudal lain, melainkan radar yang terdapat di dalam radome (kubah) dapat diutak atik untuk digunakan pada pada jenis senjata lain.

Rapier kini sudah pensiun dalam kedinasan Arhanud, sista ini kini disimpan dalam depo.
Rapier kini sudah pensiun dalam kedinasan Arhanud, sista ini kini disimpan dalam depo.

Surveillance radar terdapat di dalam kubah unit peluncur.
Surveillance radar terdapat di dalam kubah unit peluncur.

Pada stuktur launcher unit Rapier yang didesain dari konsep trailer (towed). Selain ada dudukan empat rudal, masing-masing dua peluncur di kiri dan kanan, pada bagian kubah yang tertutup didalamnya tersemat surveillance radar, peran dari surveillance radar di launcher unit juga mencakup fungsi IFF (identification friend or foe). Dengan didukung teknologi komputer pemandu, radar transmitter and receiver, plus antena berbentuk parabola, menjadikan tools pemandu yang efektif pada rudal yang meluncur menuju sasaran.

Dari komponen yang terdapat di launcher unit, surveillance radar yang ada didalam kubah dicoba dimanfaatkan oleh Arhanud TNI AD sebagai elemen penjejak bagi meriam PSU (Penangkis Serangan Udara) S-60 57 mm buatan Rusia. Surveillance radar ini digadang khusus untuk mendukung jenis meriam S-60 T.AKT (Tanpa Alat Kendali Tembak). Di lingkup Arhanud TNI AD, juga terdapat meriam S-60 57mm Retrofit.

s-60-3_20457mm

Sebagai informasi, saat awal-awal diterima dari Uni Soviet di tahun 60-an, meriam S-60 sejatinya sudah dilengkapi alat kendali tembak (fire control unit) dan radar. Fire control unit pasangan meriam S-60 adalah Puazo, dan jenis radar pengintainya adalah Son -9. Kedua komponen FCU dan radar ini terbilang kondang digunakan dalam Perang Vietnam. Di Indonesia, Puazo dan Son-9 telah menjadi besi tua sejak tahun 1980.

Puazo, inilah fire control unit yang asli untuk meriam S-60.
Puazo, inilah fire control unit yang asli untuk meriam S-60.

Melengkapi Puazo FCS, ada radar surveillance Son-9.
Melengkapi Puazo FCS, ada radar surveillance Son-9.

Tanpa peralatan tersebut, S-60 seperti mati suri karena dengan kecanggihan pesawat saat ini operator meriam bisa tidak berkutik jika mengandalkan melihat sasaran secara visual. Operator akan kesulitan melakukan proses penjejakan sampai dengan penembakan sasaran. Alat kendali tembak pada alutsista hanud mempunyai peran yang sangat vital. Tanpa alat itu, waktu reaksi operator Meriam saat ada sasaran udara jadi singkat, tidak bisa menembak seawal mungkin dan prosentase perkenaan menjadi rendah. Dengan pola bidikan optik manual, sasaran baru bisa terlihat dari jarak 5,5 Km, bahkan jarak pandang bisa jadi lebih terbatas jika penempatan meriam dikontur berbukit.

Visualisasi penembakkan meriam tanpa dukungan alat kendali tembak (tanpa radar).
Visualisasi penembakkan meriam tanpa dukungan alat kendali tembak (tanpa radar).

Baca juga: Radar Fire Finder Armed TNI AD – Pemburu Posisi Meriam Lawan

Visualisasi penembakkan meriam S-60 dengan dukungan alat kendali tembak (radar).
Visualisasi penembakkan meriam S-60 dengan dukungan alat kendali tembak (radar).

Dari etalase senjata yang ada, sampai saat ini meriam S-60 57 mm T.AKT masih terdapat 125 pucuk dalam kondisi baik, 54 pucuk dalam kondisi rusak ringan, dan 9 pucuk dalam kondisi rusak berat. Kesemuanya digelar oleh satuan Yon Arhanudse (Artileri Pertahanan Udara Sedang).

Modifikasi SurveilanceRadar Rapier (SRR) dan meriam S-60T. AKT dengan beberapa alat tambahan dimungkinkan untuk dilaksanakan. Modifikasi adalah alternatif untuk meningkatkan efektivitas sista meriam S-60 T. AKT dan memperpanjang usia pakai. Dengan sistem ini, diharapkan operator akan lebih mudah dalam proses penembakan sasaran, mempunyai waktu reaksi yang cukup, bisa lebih awal menembak sasaran serta menambah prosentase perkenaan terhadap sasaran.

Prajurit Arhanud tengah mendorong S-60 T.AKT.
Prajurit Arhanud tengah mendorong S-60 T.AKT.

Sistem dibangun dengan memanfaatkan peralatan yang tersedia dan menggabungkannya menjadi sebuah sistem baru. Peralatan yang dibutuhkan adalah:SurveilanceRadar Rapier(SRR), Meriam 57 mm S60 T.AKT, TDR/RLD, Interface(alat tambahan pada Surveilance Radar), Synchro(alat tambahan pada Meriam 57 mm S 60 T. AKT) dan Headset(untuk Danpu dan Awak Azimuth).Fungsidari tiap-tiap peralatan adalah :

SurveilanceRadar Rapier(SRR) berfungsi untuk mencari dan menemukan sasaran denganjangkauan sampai dengan radius 12 Km.
Meriam 57 mm S-60 T. AKT berfungsi untuk menembak dan menghancurkan sasaran yang telah tracking /dijejaki.
TDR/RLD berfungsi sebagai alat untuk memproses data sasaran, menunjukkan arah sasaran serta mengontrol waktu penembakan.
Interface berfungsi untuk mensinkronkan data output dari radar agar bisa dibaca oleh peralatan TDR/RLD
Synchro berfungsi sebagai alat elektro mekanik untuk mengetahui arah meriam.
Headset berfungsi untuk mendengarkan bunyi alarm dan tone bahwa arah laras meriam sudah tepat pada sasaran.

Alat peralatan disusun sesuai konfigurasi agar berfungsi optimal saat gelar Hanud. Konfigurasiyang dibutuhkan dalam 1 satuan tembak terdiri dari :1 (Satu) SurveilanceRadar Rapier, 4 (Empat) Meriam 57 mm S-60 T. AKT, 4 (Empat) TDR/RLD, 1 (Satu) interface, 4 (Empat) Synchrodan 8 (Delapan) headset.

S-60 TNI AD dalam HUT ABRI 1977, tampak meriam ditarik oleh truk Reo
S-60 TNI AD dalam HUT ABRI 1977, tampak meriam ditarik oleh truk REO.

S-60 Arhanudse TNI AD dalam sebuah uji penembakan
S-60 Arhanudse TNI AD dalam sebuah uji penembakan

Dengan sistem kendali tembak seperti ini, dapat menambah akurasi perkenaan pada target, pasalnya operator terbantu dari segi waktu. Setelah operator memasang laras meriam ke arah yang di aba-abakan Komandan pucuk, operator akan meraba ketepatan arah laras sesuai dengan tone dari alat peralatan. Jika secara manual proses dimulai dari radius 5,5 Km, dengan sistem ini proses sudah bisa dimulai dari radius 12 Km dari posisi gelar meriam. Dari aspek teknis dan taktis sudah jelas menguntungkan karena bertambahnya waktu reaksi bagi operator.

Meski dari segi usia pengabdian, S-60 sudah terbilat sangat tua, dalam gelar taktis S-60 dapat mendukung konsep senjata komposit hanud TNI, yakni kombinasi rudal dan kanon/meriam. Semakin banyak alutsista yang digelar maka akan semakin padat hamburan peluru di udara dan akan saling menutupi kelemahan satu dengan yang lainnya.(Gilang Perdana)

AN/UPS-3 TDAR: Radar Penjejak Target Untuk Meriam PSU S-60 57mm Retrofit Arhanud TNI AD

IMAG1492

Ditengah ramainya perbincangan tentang rudal hanud (pertahanan udara) dan kanon reaksi cepat PSU (penangkis serangan udara) terbaru TNI AD dan TNI AU. Terbesit pertanyaan, bagaimana dengan kabar si meriam ‘sepuh’ atau akrab dipanggil “Si Mbah” S-60 yang dimiliki Yon Arhanudse (Artileri Pertahanan Udara Sedang) TNI AD? Apakah meriam PSU yang telah mengabdi 56 tahun ini masih dioperasikan? Maklum ditinjau dari aspek coverage, masih banyak obyek vital di Indonesia yang masih lowong dalam pengamanan sista hanud.

Meski meriam S-60 buatan Rusia sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1960, merujuk informasi dari situs Pusdikarhanud.mil.id, faktanya meriam ini masih terpelihara dengan baik, bahkan sparepart diproduksi sendiri untuk proses pemeliharaan sehingga seluruh meriam masih berfungsi dengan baik. Dukungan amunisi 57 mm pun telah diproduksi secara mandiri oleh PT Pindad.

Gelar meriam S-60 Arhanudse TNI AD.
Gelar meriam S-60 Arhanudse TNI AD.

Seperti yang telah disinggung dalam bedah meriam S-60 pada artikel terdahulu, kuantitas meriam ini yang cukup banyak hingga ratusan unit, plus kondisi si Mbah yang masih prima, mendorong alutsista ini terus dan masih dipertahankan sampai saat ini. Secara umum, meriam S-60 di Arhanud TNI AD alutdibagi ke dua kelompok, yakni S-60 57 mm Retrofit dan S-60 TAKT (Tanpa Alat Kendali Tembak). Khusus S-60 Retrofit sudah didukung sejumlah modifikasi, sehingga meriam dapat digerakkan secara elektrik dengan cara Local Control yang menggunakan tenaga listrik dari dua buah baterai yang tersedia dan dengan cara Remote Control yang dikendalikan dari FCS (Firing Control Sistem).

tdar1tdar

Lepas dari itu, S-60 Retrofit masih disokong perangkat radar AN/UPS-3 TDAR (Tactical Defence Alert Radar). Antena taktis yang dapat digelar portable ini dapat mendeteksi keberadaan sasaran sejauh 20 Km. Dengan mengusung teknologi 2D (dua dimensi), radar buatan Jerman ini dalam operasinya dapat menjalankan moda beyond line of sight target. Dari aspek ketinggian deteksi, AN/UPS-3 TDAR dapat mengendus sasaran yang berada di ketinggian 3.000 meter.

Dalam teorinya, radar ini ideal mengendus sasaran berupa helikopter dari jarak 8 – 10 Km. Sedangkan sasaran berupa pesawat dengan kecepatan Mach 1.6 dapat dideteksi dari jarak 20 Km. Dari sisi akurasi, TDAR punya kualitas presisi sampai 300 meter. Sistem radar ini dalam gelarannya dapat di remoted dari pos komando. Dalam simulasi, operator radar TDAR menginformasikan dan menyajikan data terkait update sasaran kepada unit operator meriam. Koneksi antara operator radar dan operator meriam dapat dilakukan lewat radio atau kabel. Karena dimensinya yang kompak, radar TDAR dapat ditejunkan dalam operasi Lintas Udara. Dalam gelarannya, radar ini juga bisa ditempatkan di jip taktis. (Gilang Perdana)

Spesifikasi Radar AN/UPS-3 TDAR
– Frekuensi: 1,75 – 1,85 Mhz
– Berkas pancaran: 5,5 (hor) 18
– Sudut elevasi: -3 s/d 10
– Jangkauan max: 20 Km
– Polarisasi: horizontal
– Kecepatan putar: 10 – 15 RPM
– Ketahangan angin: saat operasi (70 Km/jam) dan tidak operasi (100 Km/jam)
– Tenaga: 24 Volt, 1A
– Jumlah awak: 2 orang
– Tahun pembuatan: 1992
– Tahun pengiriman: 1994
 

Camera Pod Vicon 70: Ujung Tombak Operasi Pemotretan Udara Jet Tempur TNI AU

6

Berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, Indonesia sejak era Orde Baru tidak memiliki jet tempur dengan fitur reconnaissance yang embedded. Jet tempur embedded reconnaissance bisa diartikan sebagai pesawat tempur yang dari pabriknya secara dedicated dilengkapi peralatan intai fotografi udara. Di lingkup ASEAN, identitas jet yang dimaksud adalah RF-5E Tigereye, varian F-5E Tiger II yang konfigurasi pada bagian hidungnya dilengkapi perangkat kamera panoramic.

41

Meski TNI AU hingga kini minus pesawat dengan kemampuan embedded reconnaissance, bukan berarti tidak ada pesawat tempur TNI AU yang mampu melakukan pemotretan terfokus dari udara. Lewat dukungan teknologi camera pod, jet tempur konvensional pun sejak lama mampu menjalankan misi intai strategis terkait pengumulan informasi fotografi ke permukaan. Di luar dugaan, justru bekal camera pod sudah digunakan TNI AU sejak era A-4E Skyhawk, dan uniknya setelah seluruh armada A-4 Skyhawk TNI AU dipensiunkan karena usia uzur, peninggalan camera pod jenis Vicon 70 sampai saat ini masih terus digunakan.

Dikutip dari dokumen Ristek Dislitbangau TNI AU, pasca A-4 Skyhawk pensiun, camera pod Vicon 70 buatan Rockford, Inggris, akan disematkan di jet tempur taktis Hawk 109/209. Camera pod Vicon 70 dipasang pada hard point bagian tengah, tepat dibawah bodi. Sebagai wadah kamera, Vicon 70 telah dikembangkan sejak awal dekade 70-an. Camera pod ini dirancang untuk disematkan pada jet tempur dengan kecepatan subsonic.

3
Keterangan:
a. Kamera Vinten 518
b. Kamera Vinten 518
c. Kamera Vinten 751

25

Dengan desain modular, camera pod Vicon 70 berisi serangkaian kamera yang dapat diganti jenisnya. Standarnya, Vicon 70 dengan bobot 98 kg dilengkapi empat unit kamera. Yaitu sebuah kamera oblik ke depan (Vinten 518), dua buah kamera vertikal (Vinten 518) serta sebuah kamera panoramic (Vinten 751). Vinten 518 dikenal sebagai high performance air reconnaissance camera dengan lensa Zeiss Distagon 50 mm. Sedangkan Vinten 751 menggunakan lensa 76 mm.

Hard point penempatan camera pod di A-4 Skyhawk.
Hard point penempatan camera pod di A-4 Skyhawk.

Loading Camera pod Vicon 70 di Hawk 209.
Instalasi Camera pod Vicon 70 di Hawk 209.

Dengan merubah penempatan camera pod ke pesawat Hawk 109/209, maka dilakukan penyesuaian pada komponen plug power dan plug data. Operasional camera pod dilakukan secara manual oleh pilot lewat saklar on/off di kokpit.

Dalam operasi pemotretan, jet tempur menyapu sasaran menggunakan kamera forward looking. Kamera ini melakukan pemindaian 40 derajat. Lalu kamera pada bagian lain melakukan down track coverage dengan lebar sudut 48,5 derajat. Kecepatan pemotretan bervariasi antara 0,56 hingga 5 frame per detik. Dengan teknik forward motion competation, seluruh film dijamin dari bebas blur yang disebabkan gerakan pesawat saat melakukan pemotretan. (Wahyu Sabono)

RF-5E Tigereye milik AU Malaysia.
RF-5E Tigereye milik AU Malaysia.

Konfigurasi ruang kamera di RF-5E Tigereye.
Konfigurasi ruang kamera di RF-5E Tigereye.

Spesifikasi Camera Pod Vicon 70
– Panjang: 2,3 meter
– Diameter: 350 cm
– Berat: 98 kg
– Jarak suspention lug: 360 cm
 

Kisah Prajurit Kopassus Berhasil Menyusup ke Basis Gerilyawan

Operasi Sandi Yudha. ©2013 Merdeka.com/repro buku Operasi Sandi Yudha
Operasi Sandi Yudha. ©2013 Merdeka.com/repro buku Operasi Sandi Yudha

Operasi pembebasan sandera di Provinsi Basilan memakan korban, 18 tentara Filipina tewas di tangan pemberontak Abu Sayyaf, empat di antaranya digorok. Sedangkan 50 orang lainnya terluka, alhasil 1 Peleton pasukan babak belur dalam penyergapan yang dilakukan 100 militan.

Kekalahan telak yang dialami pasukan Filipina tersebut menjadi pelajaran berharga bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bahkan, mereka terus mengasah kemampuan agar bisa menghadapi Abu Sayyaf yang dikenal ahli perang gerilya.

Soal perang gerilya, Indonesia cukup kenyang pengalaman dalam menghadapi pertempuran hutan. Bahkan, Jenderal (Purn) AH Nasution disebut-sebut sebagai mastermind perang gerilya.

Salah satu kunci sukses tersebut dilakukan oleh prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pasukan elite TNI Angkatan Darat ini tak sekadar berhasil menemukan basis persembunyian kelompok militan, tapi juga menyusup sampai jauh ke dalam markas musuh.

Kisah ini ditulis Jenderal (Purn) AM Hendropriyono dalam bukunya ‘Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin’, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2013. Ketika itu, pasukan yang dipimpinnya diterjunkan melawan gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) sekitar tahun 1968-1974.

Bersama 11 prajurit Halilintar Prayudha Kopasandha (kini Kopassus), ditugaskan untuk meringkus Sekretaris Wilayah III Mempawah Siauw Ah San. Berbeda dengan pasukan reguler, mereka hanya membawa pisau komando serta handy talky (HT), hanya Hendro yang membawa pistol untuk berjaga-jaga.

Pasukan bergerak pada 3 Desember 1973, sekitar pukul 16.00, tim sudah merayap ke sasaran yang jauhnya mencapau 4,5 km melewati hutan rimba. Kecepatan merayap ditentukan. Kode hijau artinya merayap 10 meter per menit, kuning berarti lima meter per menit dan merah berhenti merayap. Di tengah kegelapan malam, anak buah Hendro berhasil melumpuhkan beberapa penjaga secara senyap.

Pukul 22.25 WIB, tim sampai di lokasi yang ditentukan. Kabar mengejutkan terdengar dari HT, di mana Intelijen melaporkan Ah San tak ada di pondok tersebut. Seluruh tim sangat kecewa, mereka pun harus menunggu lagi hingga siang hari.

Baru pukul 14.00 Siat Moy dan perwira intelijen Kodim Mempawah memastikan Ah San ada di pondok. Maka kembali kegembiraan melingkupi seluruh anggota tim. Dengan kecepatan kuning, mereka merayap mendekati sasaran, hingga dari jarak 200 meter terlihat pondok kayu rumah persembunyian Ah San.

Tiba-tiba anjing-anjing penjaga pondok tersebut berloncatan ke arah tim Halilintar sambil mengonggong keras. Hendro segera meneriakkan komando “Serbuuuuu,” katanya sambil lari sekencang-kencangnya ke arah pondok.

“Abdullah alias Pelda Kongsenlani mendahului saya lima detik untuk tiba di sasaran. Dia mendobrak pintu dengan tendangan mae-geri dan langsung masuk. Saya mendobrak jendela dan meloncat masuk,” beber Hendro.

Hendro berteriak pada Ah San. “Menyerahlah Siauw Ah San, kami bukan mau membunuhmu.”

Tapi Ah San enggan menyerah. Dia menyabet perut Kongsenlani dengan bayonet hingga usus prajurit itu terburai. Hendro menyuruh anak buahnya keluar pondok. Dia sendiri bertarung satu lawan satu dengan Ah San.

“Dengan sigap saya lemparkan pisau komando ke tubuh Ah San. Tapi tidak menancap telak, hanya mengena ringan di dada kanannya,” Hendro menggambarkan peristiwa menegangkan itu.

Kini Hendro tanpa senjata harus menghadapi Ah San yang bersenjatakan bayonet. Memang ada senjata yang ditaruh di belakang tubuh Hendro, tapi mengambil senjata dalam keadaan duel seperti ini butuh beberapa detik. Hendro takut Ah San keburu menusuknya.

Hendro lalu melompat dan menendang dada Ah San. Berhasil, tetapi sebelum jatuh Ah San sempat menusuk paha kiri Hendro hingga sampai tulang, darah langsung mengucur. Ah San berusaha menusuk dada kiri Hendro yang kemudian ditangkis dengan tangan. Akibatnya lengannya terluka parah dan jari-jari kanannya nyaris putus.

Celakanya pistol di pinggang belakang Hendro melorot masuk ke dalam celananya. Butuh perjuangan baginya untuk meraih pistol itu dengan jari-jari yang nyaris putus. Akhirnya Hendro berhasil meraihnya. Perwira baret merah ini menembak dua kali. Tapi hanya sekali pistol meletus, satunya lagi macet. Pistol segera jatuh karena Hendro tak mampu lagi memegangnya.

Peluru itu mengenai perut Ah San. Membuatnya limbung, Hendro yang juga kehabisan tenaga membantingnya dengan teknik o-goshi. Kemudian Hendro menjatuhkan tubuhnya keras-keras di atas tubuh Ah San.

Duel maut itu selesai. Ah San tewas, tetapi Hendro pun terluka parah. Beruntung anak buahnya segera datang menyelamatkan Hendro. Rupanya saat diserang tadi Ah San sudah membakar gubuknya sendiri. Tujuannya agar pasukan penyerang sama-sama mati terbakar.
Luka-luka Hendro dan Kongsenlani berhasil disembuhkan. Hendro mendapat Satya Lencana Bhakti, tanda jasa khusus bagi tentara yang terluka dalam pertempuran. 
 
(Merdeka)

Selasa, 12 April 2016

Merespon Memanasnya Laut Cina Selatan, TNI AU Gelar Kanon Oerlikon Skyshield di Natuna

image150

Bakal ada yang berbeda dari Pangkalan Udara (Lanud) Ranai di Pulau Natuna, sebab dalam waktu dekat Lanud kelas B ini akan dilengkapi senjata kanon PSU (Penangkis Serangan Udara) paling mutakhir, Oerlikon Skyshield 35 mm Air Defence System. Karena memang masih terbilang baru, kanon buatan Rheinmetall Defence ini baru sebatas ditempatkan di Lanud Hasanuddin, Lanud Halim Perdanakusuma, dan Lanud Supadio. Yang ketiga lanud diatas masuk kategori Lanud kelas A.
Loading Oerlikon Skyshield TNI AU ke dalam ruang kargo C-130 Hercules TNI AU.
Loading Oerlikon Skyshield TNI AU ke dalam ruang kargo C-130 Hercules TNI AU.

Konfigurasi sistem senjata Skyshield, yang mencakup kanon, Fire Control Unit, genset, dan radar.
Konfigurasi sistem senjata Skyshield, yang mencakup kanon, Fire Control Unit, genset, dan radar.

Naiknya status Lanud Ranai dari kelas C ke kelas B sudah berlangsung sejak awal Januari lalu, naiknya status ini ditandai peningkatan peran lanud, seperti pembangunan fasilitas shelter bagi pesawat tempur yang singgah untuk patroli, dan fasilitas pendukung operasi lainnya. Dari sisi fasilitas keamanan, juga disebutkan akan ditingkatkan kelengkapannya. Namun, menyusul ketegangan di Laut Cina Selatan, khususnya dipicu aksi masuknya Kapal Patroli Penjaga Pantai Cina ke teritorial NKRI, plus klaim sepihak Cina atas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di Natuna, menjadikan pemerintah harus mempercepat langkah pengamanan obvit (obyek vital) di Natuna, yang notabene garis terdepan RI dalam merespon dampak konflik di Laut Cina Selatan.

Oerlikon Skyshield Paskhas dalam defile HUT TNI ke-69.
Oerlikon Skyshield Paskhas dalam defile HUT TNI ke-69.

Baterai Skyshield juga ditempatkan di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.
Baterai Skyshield juga ditempatkan di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

Seperti dikutip dari Janes.com (5/4/2016), dalam pertemuan antara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan perwakilan Komisi I DPR RI terkait pendanaan alutsista TNI AU, tersebut rencana untuk menggelar 4 unit kanon Oerlikon Skyshield di Natuna. Lebih detailnya, unti kanon tembak reaksi cepat yang dilengkapi radar ini akan ditempatkan di Pulau Natuna Besar, rencana penempatannnya di bagian utara pulan dan sepanjang pantai timur yang menjadi lokasi Lanud Ranai. Selain lanud, obvit lain di pulau tersebut adalah Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Ranai. Bahkan peran Lanal Ranai kedepan akan bertambah strategis, setelah ada renana pembangunan pangkalan kapal selam di Natuna.


Oerlikon Skyshield 35 mm dioperasikan oleh Detasemen Pertahanan Udara (Denhanud) Paskhas TNI AU. Untuk memboyong kanon ini menuju pangkalan aju di Natuna, kanon dapat dibawa lewat udara dengan pesawat angkut C-130 Hercules. Atau jika mau dibawa lengkap dengan platform truk carrier, kanon dapat dibawa melalui jalur laut. Besar kemungkinan, bila Denhanud membawa Oerlikon Skyshield maka rudal MANPADS (Man Portable Air Defence System) QW-3 berikut radar Smart Hunter juga akan dibawa ke wilayah operasi.


Denhanud Paskhas TNI AU juga dilengkapi rudal QW-3. Foto: Tribunnews.com
Denhanud Paskhas TNI AU juga dilengkapi rudal QW-3. Foto: Tribunnews.com


Oerlikon Skyshield dibawa dengan kapal ferry, saat menuju penempatan di Lanud Supadio, Pontianak.
Oerlikon Skyshield dibawa dengan kapal ferry, saat menuju penempatan di Lanud Supadio, Pontianak. Foto: Tribunnews.com

Dirunut dari teknologinya, Rheinmetall Skyshield merupakan sistem yang memiliki kemampuan deteksi dengan sarana radar dan mampu dihubungkan antar unit untuk membentuk satu sistem jaringan pertahanan titik yang mumpuni.

Dalam hal desain, sistem Skyshield mengusung jenis kanon Oerlikon Contraves 35/1000 kaliber 35 mm L79 GDF-007 dengan mekanisme gas serta pendingin berupa air. Kanon ini digadang mampu melibas sasaran berupa helikopter, jet tempur yang terbang rendah, sampai rudal jelajah. Meski kanon Skyshield menggunakan jenis laras tunggal, kanon ini nyatanya dapat melontarkan 1.000 proyektil dalam satu menit. Dalam hal kecepatan tembak, proyektil Skyshield dapat melesat hingga 1.440 meter per detik dengan jangakaun tembak efektif hingga 4 kilometer. (Gilang Perdana)
 

Douglas A-4 Skyhawk: Pesawat Tempur Pertama TNI AU dengan Kemampuan Air Refueling

a4skyhawkic9

Di luar Amerika Serikat, Indonesia adalah negara pengguna pertama pesawat tanker KC-130B Hercules pada awal 1960. Namun faktanya baru dua dekade kemudian, KC-130B Hercules TNI AU menemukan ‘jodoh’, yakni saat TNI AU menerima paket jet tempur taktis A-4 Skyhawk. Dan kemudian resmilah A-4 E/H Skyhawk sebagai pesawat TNI AU pertama yang punya kemampuan air refueling. Meski kini statusnya telah menjadi penghuni museum dan monumen, debut Skyhawk tak akan lekang dalam sejarah perkembangan kekuatan udara nasional.

1797560_860651350618506_8496547128886077744_nJet_Fighter_A-4_Skyhawk_Refueling_Close

Hadir di Indonesia lewat Operasi Alpha yang digelar pada bulan Juni 1979, secara teknis armada Skyhawk yang dibeli Indonesia berasal dari AS, meski barangnya berada di Israel. Inilah yang sampai saat ini kontroversinya masih terus bergulir, mengingat Indonesia dan Israel tidak punya hubungan dagang dan diplomatik. Secara kuantitas unit Skyhawk yang didatangkan ke Indonesia cukup besar, sebagai barang bekas pakai AL AS, secara bertahap, sebanyak 31 unit A-4E (single seater) dan dua unit TA-4H (dual seater) dikirim dari Israel ke Indonesia lewat kapal laut.

indoA-4Hb

Di periode yang sama, TNI AU juga mendapat berkah kedatangan jet tempur F-5 E/F Tiger II buatan Northrop. Bedanya F-5 E/F Tiger II adalah barang gress, didatangkan dengan pesawat angkut berat C-5A Galaxy langsung ke Lanud Iswahjudi. Sudah barang tentu pengadaan F-5 E/F Tiger II dilakukan secara terbuka, beda dengan proses kedatangan paket A-4 Skyhawk dari Israel yang dilakukan secara sangat rahasia. Namun, benang merahnya pengadaan A-4 Skyhawk, F-5 Tiger, dan juga periode yang sama ada pembelian jet latih tempur Hawk MK53, dapat berlangsung sebagai imbas manis penjualan minyak dan non migas RI yang saat itu sedang booming. Sementara disisi lain, AS yang masih diselimuti aroma Perang Dingin dengan Uni Soviet, berusa merangkul mitranya di Asia Tenggara dengan paket penjualan alutista berdiskon jor-joran.

A4SkyhawkTT0436ThunderTeam7

Meski yang didatangkan bukan alutsista berdaya getar tinggi, hadirnya A-4 Skyhawk dalam jumlah besar, plus F-5 E/F Tiger II menjadi buah pemacu semangat bagi awak penerbang dan teknisi TNI AU. Pasca revolusi 1965, kekuatan udara TNI AU melorot drastis, dari yang sempat begitu digdaya dengan keberadaan jet tempur MiG-21 Fishbed, kekuatan interceptornya harus pasrah menerima hibah jet F-86 Avon Sabre dari AU Australia.
2mxl51

Di lingkup operasi TNI AU, A-4 Skyhawk masuk ke dalam gugur pesawat Tempur Taktis (TT), jika disamakan dengan kondisi saat ini, status A-4 Skyhawk sama dengan jet Hawk 109/209. Menyandang gelar battle proven di laga Perang Vietnam, Perang Malvinas, dan Perang Timur Tengah, Skyhawk diciptakan untuk membawa sabreg senjata yang letal. Persisnya A-4 Skyhawk dapat meluncurkan rudal AIM-9 Sidewinder, AGM-45 Shrike, AGM-65 Maverick, AGM-62 Walleye glide bomb, dan AGM-12 Bullpup. Sementara bom yang dapat digotong seperti Rockeye Mk.20 Cluster Bomb Unit, Rockeye Mk.7/APAM-59 Cluster Bomb Unit, Mk.81 (250 lb/113 kg) dan Mk.82 (500 lb/227 kg), dan Mk.76 practice bombs. Namun perlu jadi catatan, A-4 Skyhawk TNI AU sayangnya tidak di setting untuk meluncurkan rudal.

0F3F9B8CE1F7A2F6480C3587729A7C29.jpg31587

Hingga akhir masa baktinya, racikan senjata yang diusung A-4 Skyhawk TNI AU memang amat terbatas, seperti enam bom Mk-82 dan tabung peluncur roket LAU-68B berisi roket 2×7 FFAR 2,75 mm, plus kanon internal 2x Colt Mk 12 kaliber 20 mm dengn 100 peluru per kanon, terkesan hanya dipersiapkan untuk penanggulangan konflik berintesitas rendah. Operasi tempur yang melibatkan peran A-4 Skyhawk TNI AU berlangsung saat Operasi Seroja. Dalam suatu misi di tahun 1987, lima unit A-4 menghantam sebanyak 30 sasaran. Jumlah total bom yang dijatuhkan seberat 7,5 ton dan roket yang diluncurkan sebanyak 70 munisi. Selain menggotong ribuan kilogram bom dan roket, A-4 masih membawa dua tangki cadangan yang masing-masing berisi sekitar 1.200 liter Avtur-50. Dalam pertempuran udara, khususnya untuk kepentingan manuver, tangki cadangan atau drop tanki itu bisa dilepas.

A-4E Skyhawk di Museum Dirgantara Mandalla, Yogyakarta.
A-4E Skyhawk di Museum Dirgantara Mandalla, Yogyakarta.

Tampilan dahboard kokpit A-4 E Skyhawk.
Tampilan dahboard kokpit A-4 E Skyhawk.

Hampir tiga dekade TNI AU mengoperasikan A-4 Skyhawk, dalam rentang yang cukup panjang Dislitbangau telah melakukan serangkaian modifikasi pada pesawat tempur ini. Karena basis acuannya adalah Israel, maka modifikasi Skyhawk TNI AU bisa dibilang identik dengan Israel punya, Modifikasi yang dilaksanakan oleh Israel antara lain menambahkan perangkat pembawa born seperti outer wing rack, sistem pengereman double disc break, memanjangkan tail pipe sehingga bisa mengurangi panas buangan bahan bakar dan sulit dilacak oleh rudal pencari panas, mengganti sistem pengereman pesawat dengan parasut yang lebih handal (drug chute), memasang senjata berkemampuan lebih besar DEFA 552 GUN kaliber 30 mm, mengubah sistem air refueling probe, mengubah chaff dan dispenser roket, dan lainnya. Ketika dikirim ke Indonesia, A-4 yang didatangkan langsung dari Israel umumnya memiliki kualifikasi seperti itu.

Tail pipe extension, diadopsoi dari gaya A-4 Skyhawk Israel.
Tail pipe extension, diadopsoi dari gaya A-4 Skyhawk Israel.

TA-4 H Skyhawk TNIAU.
TA-4 H Skyhawk TNIAU.

Singapura termasuk pengguna Skyhawk yang cukup sukses dengan mengembangkan varian A-4SU Super Skyhawk. Dilakukan penggantian mesin, sistem avionik, dan dapat meluncurkan rudal udara ke udara, dan udara ke permukaan.
Singapura termasuk pengguna Skyhawk yang cukup sukses dengan mengembangkan varian A-4SU Super Skyhawk. Dilakukan penggantian mesin, sistem avionik, dapat meluncurkan rudal udara ke udara, dan udara ke permukaan.

Secara khusus, modifikasi Skyhawk yang dilakukan TNI AU mencakup pemasangan kamera pengintai VICON 70 Camera, radio komunikasi yang frekuensinya standar TNI ARC 182 (VHF-UHV-AM-FM, Doppler antena, TANS Computer, sistem pemandu senjata WDNS (Weapon Delivery Navigation Systems, pembidik senjata Ferranti Gun Sight, dan penambahan persenjataan Front Mounting Gun.

Sesuai programnya saat itu, TNI AU sebenarnya tidak hanya ingin memiliki dua skadron Skyhawk (Skadron 11 dan Skadron 12), tapi berencana menambah 16 unit Skyhawk lagi. Tapi keinginan TNI AU untuk menambah tipe dual seater itu gagal karena Israel tak mau melepasnya. Namun pada tahun 1998 TNI AU berhasil menambah dua Skyhawk tipe TA-4J yang merupakan lungsuran dari AL AS. Dalam cerita lain, TNI AU juga pernah menambah unit F-5 E/F Tiger II bekas pakai AU Yordania, tapi sayangnya pembelian ini terganjal kongres AS yang tidak memberikan lampu hijau. (Bayu Pamungkas)

Spesifikasi A-4 E Skyhawk
– Crew: one (two in OA-4F, TA-4F, TA-4J)
– Length: 12,22 m
– Wingspan: 8,38 m
– Height: 4,57 m
– Empty weight: 4.750 kg
– Loaded weight: 8.318 kg
– Max. takeoff weight: 11.136 kg
– Powerplant: 1 × Pratt & Whitney J52-P8A turbojet
– Maximum speed: 1.083 km/h
– Range: 3.220 km
– Combat radius: 1.158 km
– Service ceiling: 12.880 m
– Rate of climb: 43 m/s
– g-limit: +8/-3 g