Seandainya di tahun 1995 TNI AU melakukan retrorif dengan paket ‘komplit’ pada armada F-5 E/F Tiger II, boleh jadi masa pengabdian Si Macan masih bakal lebih lama, lebih dari itu sistem persenjataan bisa di uprade lebih letal, dan harusnya bisa ditempeli fasilitas air refueling agar F-5 TNI AU sanggup isi bahan bakar di udara. Tapi sayangnya, program retrofit yang diberi label proyek MACAN (Modernization of Avionics Capabilities for Armament and Navigation) tak menyentuh elemen-elemen perubahan seperti poin diatas.
Lewat proyek MACAN, kala itu sisa sembilan unit F-5 E/F Tiger II yang siap operasional memang jadi lebih ganas, F-5 E/F TNI AU serasa lahir kembali, dengan desain lama tapi jeroan baru. Bahkan setelah dimodernisasi, kecanggihan F-5E/F Tiger II setara dengan F-16 C/D Fighting Falcon, TNI AU sendirio telah memproyeksikan masa pengabdian jet tempur ini hingga tahun 2020. Beberapa poin fitur yang ditambah dari proyek MACAN adalah HUDWAC, INS (Intertial Navigation System), Video System, RWR (Radar Warning Receiver), HOTAS (Hans On Throttles And Stick), dan FFMSDC (Fuel Flow Monitor Signal Data Converter). Lebih detail tentang fiturn yang ditambahkan dari proyek MACAN bisa dilihat di link artikel dibawah ini.
Meski terlihat F-5 E/F Tiger II TNI AU jadi tampil dengan perangkat sensor dan avionic yang kekinian, tapi sayang tidak ada sentuhan upgrade pada sisi senjata. Setelah program MACAN tuntas, sista pada F-5E/F Tiger II TNI AU masih bertumpu pada kombinasi kanon internal dua laras M39-A3 kaliber 20mm dan rudal udara ke udara lawas AIM-9 P2 Sidewinder, itu untuk misi CAP (Combat Air Patrol). Sementara untuk misi ground attack, masih bersandar pada jenis roket FFAR dan varian bom konvensional MK-81 dan MK-82.
Kontroversi Proyek MACAN
Yang banyak disesalkan dari proyek MACAN yaitu tidak adanya program perpanjangan usia operasional pesawat. Awal dari program modernisasi F-5 adalah saat KSAU saat itu, Marsekal TNI Rilo Pambudi mengunjungi pameran kedirgantaraan di LeBourget tahun 1993. KSAU menyatakan TNI AUsedang mempertimbangkan untuk memordenisasi armada F-5 E/F Tiger II. Kemudian respon pun bermunculan dari beberpa perusahaan penerbangan, seperti dari British Aerospace, Fokker, Alinea. Northrop Grumman, Singapore Airspace, dan Smiths Industries, semuanya berkompetisi untuk berebut tender.
Kompetisi dalam modernisasi F-5 memang peluang yang menggiurkan, pasalnya di dunia terdapat 1.600 F-5 yang masih dioperasikan oleh 26 negara. Dan, dari jumlah tersebut, 270 pesawat dari 10 negara pengguna F-5E telah melakukan modernisasi. Tapi sayang justru negara dengan populasi terbesar F-5 belum melakukan modernisasi, seperti Suadi Arabia (80 pesawat), Korea Selatan (150 pesawat), dm Taiwan (250 pesawat).
Melalu seleksi internal, akhirnya kontrak dimenangkan oleh SABCA, perusahaan penerbangan asal Belgia yang telah berdiri sejak 1920. Total kontrak yang digulirkan adalah US$ 40 juta. Selain paket upgrade yang dipancang menarik, dipilihnya SABCA karena harga yang ditawarkan cukup bersaing. Tapi disisi lain, terjadi kontroversi, kontrak US$40 juta hanya dilakukan untuk 9 unit pesawat tanpa program perpanjangan usia operasional. Jelas pihak SABCA sangat diuntungkan, sedang yang didapat TNI AU terbilang minim. Bandingkan, harga F-16 A Fighting Falcon bekas pakai USAF hanya ditawarkan US$6 juta per unit.
Diluar proyek MACAN, Dinas Peneletian dan Pengembangan TNI AU (Dislitbangau) juga telah melakukan beberapa terobosan untuk memperpanjang usia pakai F-5 E/F Tiger II. Seperti di tahun 2010, dilakukan reverse engineering pada komponen radar AN/APQ-159. Melihat kondisi kesiapan radar APQ 159 yang berada di pesawat F-5 E/F sangat menurun karena obselette dan sulitnya mencari suku cadang, Dislitbangau dan mitra PT CMI berusaha mencari solusi untuk mengoptimalkan kembali kemampuan Radar APQ 159.
Maka dilakukan reserve engineering radar APQ-159 dengan beberapa komponen yang masih banyak di pasaran. Metodenya dengan pembuatan (kloning) modul TRx radar pada Receiver Modul, UCO Modul (Voltage Control Oscillator), AFC Modul, STC Controller Modul dan modifikasi beberapa modul di High Voltage. Keuntungan dari program reverse engineering bagi pesawat F-5 E/F antara lain dapat mengembalikan kemampuan radar AN/APQ 159 sesuai spesifikasi dan fungsinya.
Pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2014, Dislitbangau juga mengembangkan tester MSCADC untuk pesawat F-5 E/F. Alat ini untuk merubah data udara yang terkalibrasi dalam pengoperasiannya terintegrasi dengan SACS yang berfungsi sebagai Dynamic Compressible Pressure yang akan memberikan keselarasan gerakan rudder dan horizontal stabilizer. Dislitbangau juga berhasil membuat komponen drag chute untuk F-5 E/F.
Mengintip Populasi Si Macan di Langit Indonesia
Dari 16 unit pesawat tempur F-5 E/F Tiger II yang dibeli Indonesia sejak tahun 1980an, tercatat ada 4 unit yang sudah mengalami kecelakaan dan jatuh. Kejadian pertama terjadi tidak lama setelah pesawat tempur ini tiba di Indonesia. Tepatnya tahun 1981 satu unit pesawat tempur F-5E (kursi tunggal) dengan tail number TS-0504 jatuh. Kemudian disusul dengan F-5E (kursi tunggal) dengan tail number TS-0505 (1986). Dua unit lainnya yang jatuh juga dari varian kursi tunggal yaitu F-5E tail number TS-0507 (1990) dan TS-0506 (1993).
F-5 E Tiger II AU Singapura
Dengan jatuhnya 4 unit pesawat tersebut, kesiapan operasional Skadron Udara 14 hanya memiliki 12 unit pesawat tempur F-5 E/F Tiger II sisanya. Salah satu dari 12 unit ini, yaitu pesawat tempur F-5 E (kursi tunggal) dengan tail number TS-0510 juga pernah mengalami masalah saat hendak melakukan latihan di sekitar akhir dekade 1990an. Hal ini mengakibatkan pesawat tempur ini mengalami kerusakan dan keretakan dibeberapa bagian airframe nya sehingga harus di perbaiki ke Amerika.
Dikutip dari pesawattempur.com, pada akhirnya pesawat tempur F-5 E dengan tail number TS-0510 ini akhirnya dikirimkan ke Amerika untuk diperbaiki dengan harapan masih bisa digunakan dikemudian hari. Dan setelah mengalami perbaikan di Amerika, pesawat tempur ini dinyatakan sudah bisa dikirim kembali ke Indonesia. Namun sebelum pesawat tempur ini dikirim ke Indonesia, Amerika Serikat sudah memberlakukan embargo militer bagi Indonesia terkait permasalahan Timor Timur tahun 1999.
Hal tersebut menyebabkan pesawat tempur F-5 E TS-0510 yang sudah selesai diperbaiki ini tidak bisa dikirimkan ke Indonesia dan akhirnya tertahan selama 7 tahun di Amerika. Setelah Amerika mencabut embargo militer pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mulai mengusakan untuk pemulangan pesawat tempur malang ini. Namun pemulangan pesawat tempur ini baru bisa terjadi di tahun 2006 dan tepatnya tanggal 13 September 2006, pesawat tempur F-5 E TS-0510 ini tiba di Surabaya setelah dikapalkan selama sebulan dari Amerika.
Dengan home base di Lanud Iswahjudi, kini sisa lima unit F-5E dan tiga unit F-5F F-5 E/F Tiger II masih tetap dioptimalkan. Meski tak tampil lagi di garda depan fighter TNI AU, flight F-5 E/F kini ditugaskan untuk berada di Lanud Palembang. Perkuatan jet tempur di Lanud Palembang seiring peningkatan status pangkalan, dari Lanud kelas C ke Lanud kelas B.
Masih Eksis Sampai 2020
Bila tidak ada perubahan dalam rencana strategis, nantinya F-5 E/F Tiger II TNI AU masih tetap eksis saat jet tempur penggantinya tiba di Indonesia. Merujuk ke batas pemakaian F-5 E/F sampai tahun 2020, sementara pada tahun 2018 paling telat TNI AU sudah mulai kedatangan jet tempur baru untuk Skadron Udara 14.
Walau belum terlihat upaya TNI AU untuk memoles F-5 E/F sesangar milik Singapura, Brazil, dan Kanada, namun sejak dekade silam sudah ada niatan untuk memperkuat armada F-5 E/F secara kuantitas. Di tahun 2005, TNI AU sempat dikabarkan akan menerima hibah dari AU Yordania, tapi kemudian gagal. Salah satu sebabnya adalah belum keluarnya izin dari AS, maklum Yordania adalah sekutu AS di Timur Tengah. Kemudian di bulan Maret 2012, KSAU saat itu, Marsekal TNI Imam Sufaat pernah mengungkapkan rencana TNI AU untuk menerima hibah satu skadron F-5E/F dari Taiwan. Tapi bukannya ada kelanjutan yang positif, justru Kadispen TNI AU Marsma TNI Ahmad Yunus membantah adanya rencana tersebut.
Yang terakhir di tahun 2013 berita penolakan dari pihak TNI AU atas hibah F-5 dari Korea Selatan. Alasannya bukan karena TNI AU tidak butuh F-5, melainkan karena spesifikasi F-5 Korea Selatan berbeda dengan yang dimiliki Indonesia. Pesawat F-5 milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan atau avioniknya. Sedang pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi. Soal perbedaan spesifikasi, menurut pihak TNI AU justru menjadi beban di biaya perawatan.
F-5E milik AU Kanada yang di upgrade menjadi CF-5E Tiger. CF-5 punya kemampuan isi ulang bahan bakar di udara.5
Bila di Indonesia debut F-5 E/F Tiger II sudah masuk masa senja, lain halnya di Singapura, dikenal sebagai AU terkuat di Asia Tenggara, Singapura sampai saat ini masih terus mengoperasikan 27 unit F-5S (varian upgrade dari F-5E). Meski cakupan ruang udaranya sangat terbatas, F-5S Singapura sudah dilengkapi air refueling system, lalu ada penggantian radar ke jenis Galileo Avionica’s FIAR Grifo-F X-band, dari sisi persenjataan, F-5S bahkan sanggup meluncurkan AGM-65 Maverick dan rudal udara ke udara AIM-120 AMRAAM.
Diluaran memang kesaktian si Macan masih punya tempat, buktinya Elbit Systems, vendor elektronik pertahanan dari Israel pada 22 Oktober 2014 telah memperoleh kontrak senilai US$85 juta untuk meng-upgrade armada jet tempur Northrop F-5 Tiger. Yang menarik, Elbit Systems juga menyebut kontrak upgrade tersebut berasal dari salah satu negara di Asia. Nah! (Bayu Pamungkas)