Ilustrasi Kegembiraan rakyat Yogyakarta pasca-Tentara Belanda ditarik mundur dari Ibu Kota RI
Pada 19 Desember 1948,
Belanda melancarkan Agresi Militer II “Operatie Kraai”, sebagai bentuk
pelanggaran yang kedua kalinya terhadap perjanjian antara mereka sendiri
dengan Indonesia. Tapi 24 Juni 1949, pemerintahan Indonesia di
Yogyakarta bisa kembali dipulihkan.
Sejak Belanda menginvasi Yogyakarta yang kala itu menjadi Ibu Kota
Republik Indonesia (RI), TNI beserta elemen rakyat terus berusaha
membuktikan pada dunia bahwa kekuatan militer Indonesia masih ada.
Klimaksnya pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949.
Dunia internasional dan tentunya Amerika Serikat, terus mendorong
perselisihan dua negara diselesaikan lewat perundingan. Kesepakatan
Roem-Roijen pun tercipta dan sebagai kelanjutannya, terjadi perundingan
tiga pihak antara Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Majelis
Konsultatif Federal, Indonesia dan Belanda yang diawasi perwakilan PBB,
Thomas Kingston Critchley.
Perundingan itu menghasilkan deal lainnya, yakni pengembalian
pemerintah RI ke Yogyakarta yang harus dilaksanakan pada 24 Juni 1949
(hingga diresmikan 1 Juli 1949), RI menghentikan perang gerilya dan
Konferensi Meja Bundar untuk digelar di Den Haag, Belanda.
Di sisi lain dengan adanya kesepakatan itu, Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat pimpinan
Syafrudin Prawiranegara pun, diserahkan lagi ke Wakil Presiden Mohammad
Hatta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Menteri Pertahanan
ditugaskan ketua Koordinator Keamanan selama penarikan mundur tentara
Belanda.
Sedianya Belanda dengan berat hati harus mematuhi hasil-hasil
kesepakatan di atas. Mereka menganggap jika Yogyakarta ditinggalkan,
pihak Republik takkan mampu menjaga kestabilan keamanan. Bahkan isu-isu
pun disebar bahwa akan ada tindakan balasan terhadap para pendukung
politik Belanda di Yogya.
Mereka menawarkan untuk ikut keluar Yogyakarta, seiring penarikan
mundur tentara Belanda, baik dari elemen KNIL (Koninklijke
Nederlandsch-Indische-Leger) atau tentara Hindia-Belanda, maupun KL
(Koninklijke Landmaacht) atau angkatan darat Kerajaan Belanda, ke
Magelang pada 24-29 Juni 1949.
Spirit tentara Belanda sendiri dikutip dari buku ‘Takhta untuk
Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Hamengku Buwono IX’, merosot lantaran
harus angkat kaki dari Yogyakarta tanpa bertempur.
Suasa hati mereka bak diibaratkan dengan slogan “Weest wijs, maar
wordt gek” yang kira-kira artinya, “Jadilah orang yang bijaksana, tetapi
jadilah orang gila,”.
Suasana seantero Yogyakarta, terutama di wilayah kota begitu lengang
ketika derap tentara Belanda beradu dengan deru-deru kendaraan baja
mereka mengarah ke utara meninggalkan Yogyakarta.
Pasalnya rakyat Yogyakarta sesuai amanat Sri Sultan HB IX, diimbau
untuk tidak keluar rumah atau membanjiri jalan hanya untuk melihat
kesibukan tentara Belanda yang pergi.
Amanat tersebut berbunyi, “Hak milik tiap orang dijamin, keselamatan
raga dan jiwanya dilindungi, bahkan barang siapa yang hendak pergi dari
Yogyakarta setelah pemulihan, akan diberi kesempatan semudah-mudahnya….,
diperintahkan kepada segenap penduduk agar tinggal di rumah selama 24
jam pada hari terakhir penarikan mundur tentara pendudukan Belanda,”.
29 Juni, sisa-sisa tentara Belanda sudah tiada, kehidupan rakyat
seolah terlepas dari belenggu dan tak lama kemudian, TNI mulai memasuki
Yogyakarta dari arah selatan yang di kemudian hari dikenal sebagai
peristiwa “Yogya Kembali”.
(Okezone)