PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia (VIVAnews/Tommy Adi Wibowo)
Lima tahun ke depan, BPPT menargetkan membuat pesawat nirawak MALE.
VIVAnews – Drone atau
pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari
lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo
Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga
ramai dibicarakan di sosial media.
Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk
mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan
teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT).
Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews,
Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan
pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak
Sriti.
“Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan,” kata dia.
Menurutnya dengan kemampuan daya
jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di
perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan
itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat
nirawak itu.
“Pulau Kalimantan itu kan panjangnya
sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan
butuh 4 base station,” katanya.
Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.
Joko mengakui selama ini pesawat
nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan
di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan
didorong untuk menekan pencurian ikan.
Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang
dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian
terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.
Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang
dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang
sampai di atas awan.
“Tidak bisa lihat (area pengawasan)
jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai
20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa
online kirim data,” katanya.
Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.
Untuk itu, BPPT dalam lima
tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan
kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long
Endurance (MALE).
Pesawat ini lebih besar dari Wulung,
mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan
untuk kebutuhan pengintaian.
Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.
“Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan,” katanya.
Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.(teknologi.news.viva.co.id)
=========================================================================================
Hanya dalam Enam Bulan, Kalahkan Drone Wulung
PENELITI yang
sehari-hari menjabat sebagai direktur Advanced Marine Vehicles Research
Center di Universitas Surya tersebut memang sudah lama terobsesi pada
dunia penerbangan. Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama lebih dari
20 tahun di bidang penerbangan, doktor lulusan Universitas Nagoya,
Jepang, tersebut membuka harapan baru bagi dunia kedirgantaraan dan
militer Indonesia dengan menciptakan pesawat tanpa awak yang diberi nama
Super Drone.
Berawal dari penunjukan dirinya sebagai penanggung jawab penelitian dan pembuatan drone
oleh Universitas Surya yang bekerja sama dengan TNI-AD, Thombi lalu
mengumpulkan sejumlah peneliti sebagai tim pembuat Super Drone.
Jumlahnya tujuh orang dan semuanya merupakan pakar di bidang
aeromodeling.
Tim itu juga diperkuat tim ahli dari TNI-AD. ”Jadi, total tim beranggota 14 pakar,” kata Thombi kepada Jawa Pos saat ditemui Rabu lalu (25/6).
Mantan peneliti BPPT (Badan Penerapan
dan Pengkajian Teknologi) itu mengatakan, proyek tersebut nyaris membuat
para anggota tim kencing berdiri. Sebab, proyek itu sejak awal
ditargetkan selesai dalam enam bulan. Hal tersebut terkait dengan dana
yang terbatas, yakni sekitar Rp 1 miliar. Waktu enam bulan itu relatif
singkat untuk sebuah proyek pembuatan pesawat tanpa awak. Juga, mulai
Oktober 2013 proyek itu dieksekusi.
Meski begitu, Thombi cs tidak lantas
mundur. Target waktu yang singkat dan biaya yang terbatas bagi sebuah
proyek berteknologi tinggi tersebut mereka jadikan tantangan. Thombi
juga perlu memompa semangat timnya agar bekerja keras menyelesaikan
proyek itu sesuai dengan target waktu yang dicanangkan.
”Harus siap berpanas-panas. Kalau tidak mau, jangan bergabung di tim ini,” tegasnya.
Dengan berbekal pengetahuan, ketelitian, dan kerja keras, akhirnya Thombi cs berhasil menyelesaikan pembuatan Super Drone dalam waktu enam bulan pada Maret 2014. ”Sepanjang sejarah di Indonesia, yang saya tahu, (pembuatan drone) ini rekor tercepat. BPPT saja itu butuh waktu 15 tahun,” ujar pria kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1966, tersebut.
Tidak hanya selesai membuat bodi, Thombi
dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone bisa terbang nyaris
sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji coba di lokasi
latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat.
Memang menerbangkan Super Drone yang
baru jadi tersebut tidak bisa sembarangan. Perlu memperhatikan kondisi
cuaca dan arah angin. Sebab, apabila salah memperhitungkan cuaca, drone bisa gagal lepas landas atau jatuh.
”Makanya, harus sabar. Kalau tidak bisa
hari ini, ditunggu sampai besok hingga cuacanya bagus dan memungkinkan
untuk menerbangkan,” terang Thombi.
”Momen yang paling luar biasa adalah ketika melihat drone
berhasil lepas landas. Rasanya, terbayar kerja keras kami selama ini,”
tambah doktor yang pernah bergabung di Japan Society for Aeronautical
and Space Sciences tersebut.
Super Drone karya Thombi dan timnya punya bobot total 120 kilogram dengan rentang sayap 6 meter dan panjang 4 meter. Drone
itu mampu membawa bahan bakar bensin hingga 20 liter di udara. Bensin
dibawa dengan menggunakan dua tabung yang diletakkan di tiap-tiap sayap.
Dengan stok bahan bakar sebanyak itu, Super Drone mampu terbang
6–9 jam dengan daya jelajah sejauh sekitar 100 kilometer. Pesawat itu
juga bisa membawa beban seberat 45 kg saat terbang.
Meski bukan drone pertama yang
dibuat di Indonesia, terang Thombi, Super Drone akan menjadi bagian dari
alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI-AD untuk kepentingan
pertahanan negara. Ke depan, Super Drone disempurnakan sehingga dapat
digunakan untuk menyerang musuh, seperti Predator Drone milik Amerika
Serikat atau Eitan kepunyaan Israel.
”Tidak hanya untuk pertahanan, untuk
aksi kombat juga bisa. Misalnya, tabung bensin diganti dengan bom.
Minimal dapat digunakan untuk latihan menjatuhkan bom,” terang Thombi.
Menurut rencana, Super Drone dilengkapi
dengan kamera pengintai di bagian bawah kepala pesawat. ”Saat ini belum
dipasangi karena masih butuh penyempurnaan. Kamera itu mahal harganya.
Kalau dipakai sekarang, terus jatuh, saya bisa nangis,” ucapnya.
Kendati demikian, Thombi mengakui bahwa Super Drone masih jauh dari sempurna. Banyak bagian drone di sana-sini yang masih butuh penyesuaian dan penyempurnaan agar dapat digunakan di lapangan.
Menurut Thombi, yang paling sulit dalam
penyempurnaan Super Drone adalah menentukan titik keseimbangan pesawat.
Thombi, yang menamatkan program S-1 di Jurusan Teknik Penerbangan Texas
A&M University, AS, mengatakan bahwa titik keseimbangan dalam
pembuatan pesawat merupakan salah satu yang paling vital. Sebab, beda
berat 1 gram saja akan memengaruhi posisi pesawat saat berada di udara.
”Kalau mobil atau truk beda berat di
samping atau depan-belakangnya, ia masih bisa jalan di darat. Kalau
pesawat, akan jatuh. Makanya, bidang penerbangan menuntut untuk disiplin
dan teliti menghitung semuanya,” ujar dia.
Sebab, lanjut dia, waktu enam bulan yang diberikan buat penelitian dan penyelesaian drone tidak mencukupi untuk menciptakan drone yang punya kemampuan baik. ”Waktu enam bulan ya hasilnya adalah enam bulan itu. Jangan ini dibandingkan dengan drone milik Israel. Penelitian mereka bertahun-tahun dengan dana yang unlimited. Jadi, harus dibandingkan apple-to-apple,” tuturnya.
Selain bidang penerbangan, Thombi
ternyata juga menekuni bidang maritim. Dia pernah terlibat dalam
pembuatan kapal laut dan kapal selam kecil untuk keperluan penelitian di
salah satu perusahaan pembuat kapal.
Bagi Thombi, sistem kerja pesawat
terbang dan kapal selam tidak jauh berbeda karena sama-sama melayang.
Bedanya, pesawat melayang di udara, sedangkan kapal selam ”melayang” di
air laut. ”Bedanya ada di fluidanya. Yang satu udara dan satunya air,”
ucapnya seraya tertawa.
Pengetahuan mengenai udara dan air tersebut dia wujudkan melalui hasil riset berupa perahu hovercraftyang
dirancang dapat terbang di atas air. Perahu itu dapat melayang karena
dilengkapi dengan sebuah kipas yang mengarah ke bawah dan sayap. Dengan
mengatur pada kecepatan tertentu, perahu akan terbang statis setinggi
sekitar 1 meter dari permukaan air.
Hovercraft terbang tersebut
akan digunakan untuk program iFly yang dia gagas. Proyek itu merupakan
program sosial untuk memperkenalkan pengetahuan berbasis teknologi
tingkat tinggi kepada anak-anak putus sekolah. Dalam program tersebut,
Thombi bakal memperkenalkan perahu terbang karyanya itu dan mengajak
anak-anak untuk ikut mempelajari kinerjanya.
”Dengan memperkenalkan teknologi tingkat
tinggi, anak-anak jalanan itu akan termotivasi bahwa mereka juga bisa
menciptakan teknologi. Mereka punya potensi yang tidak mereka sadari,
yaitu otak yang luar biasa,” tegas dia.(jawapos.com)