Minggu, 06 Juli 2014

Rheinmetall L/44 120mm: Senjata Pamungkas MBT Leopard 2A4 Revolution TNI AD

Nama MBT (main battle tank) Leopard kembali menjadi trending topic, setelah sosok tank buatan Jerman ini menjadi bahasan dalam debat Capres Prabowo vs Jokowi beberapa waktu lalu. Lepas dari polemik pada perdebatan, satu yang pasti bahwa Indonesia segera akan kedatangan tank battle proven, menjadikan Korps Kavaleri TNI AD dapat membusungkan dada serta tampil percaya diri diantara negara-negara tetangga, setelah selama ini tertinggal dibanding Malaysia, Singapura dan Australia yang sudah mengoperasikan MBT lebih dulu.
Publik di Tanah Air, khususnya di Jakarta dan Surabaya sudah diperlihatkan sosok Leopard 2A4, tampil perdana di khalayak dalam defile HUT TNI Oktober 2013 silam, yang dilanjutkan demo statis pada Pameran Alutsista TNI AD di lapangan Monas. Kenyataan memang hadirnya Leopard banyak membetot perhatian, maklum sedari Republik ini berdiri belum pernah ada tank seberat 57 ton yang memperkuat alutsista militer Indonesia. Tapi perlu dicatat, yang jadi maskot dari serial kedatangan keluarga Leopard bukanlah yang diperlihatkan di lapangan Monas, masih ada yang lebih gahar dengan desain futiristik, yakni varian upgrade dari 2A4, yakni Leopard 2A4 Revolution. Karena dibeli Indonesia, identitasnya bisa dipersingkat jadi Leopard 2 Ri, tank ini baru tampil sekali dalam ajang Indo Defence 2012 di Kemayoran.
Pengembangan paling nyata dari Revolution adalah pada perangkat proteksinya, yang menggunakan lapisan komposit Advanced Modular Armor Protection (AMAP). Lapisan pelindung ini terdiri atas materi nanokeramik serta titanium dan baja alloy, yang diklaim memberikan kemampuan perlindungan yang jauh lebih baik. Karena sifatnya yang modular alias bisa dibongkar pasang, pengguna bisa memilih variasi kemampuan proteksi sesuai kebutuhan, seperti untuk menangkal granat berpeluncur roket (RPG) atau untuk peledak improvisasi (IED).
Leopard 2 A4 TNI AD
Leopard 2 A4 TNI AD
Leopard 2A4 Revolution dalam Indo Defence 2012,
Leopard 2A4 Revolution dalam Indo Defence 2012,

Dengan sifat modularnya itu pula, seandainya lapisan proteksi itu rusak dihajar serangan musuh, perangkat itu bisa dibongkar untuk diganti baru. Dengan tambahan lapisan proteksi itu, ada konsekuensinya yaitu bobot tank yang bertambah hingga menjadi lebih kurang 60 ton, dibandingkan varian 2A4 yang sekitar 57 ton. Namun dari aspek mesin, Revolution tetap menggunakan tipe mesin yang sama dengan 2A4 yaitu diesel turbocharge MTU MB837 Ka501 yang berkekuatan 1.500 hp (tenaga kuda), yang membuatnya bisa mencapai kecepatan hingga 72 km per jam di medan yang rata. Dengan upgrade tersebut, dari segi harga Leopard Revolution jauh lebih mahal dari varian 2A4 yaitu US$1,7 juta per unit. Sementara varian 2A4 harganya “hanya” dipatok US$700 ribu. Dalam proyek pengadaan Leopard, jumlah tank yang akan dikirim dari Jerman sebanyak 153 unit, terdiri dari tank Leopard Revolution sebanyak 61 unit, tank Leopard 2A4 sebanyak 42 unit, dan sisanya tank IFV Marder sebanyak 50 unit.
Meski tampilan jauh beda, ada lagi kesamaan antara Leopard 2A4 dan Leopard 2A4 Revolution, yakni pada senjata pamungkas, alias senjata utama, yakni meriam L/44 smoothbore kaliber 120 mm buatan Rheinmetall. Kemampuan meriam menjadi poin terpenting dalam MBT, mengingat inilah penentu kemenangan dalam pertempuran. Adopsi meriam L/44 menjadi poin penting bagi kesenjataan kaveleri TNI AD, karena L/44 juga dipakai oleh MBT M1 Abrams dari AS, Type 90 dari Jepang, dan K1A1 dari Korea Selatan. Dengan diadopsi oleh beberapa MBT ternama, khususnya oleh M1 Abrams, menjadikan rekor battle proven meriam ini tak perlu diragunakan lagi, ajang Perang Teluk, Perang Irak, dan Perang Afghanistan menjadi pembuktian meriam ini.
Desain pelontar granat asap dan senapan mesin kaliber 12,7 mm cukup modern, senjata dioperasikan secara remote.
Desain pelontar granat asap dan senapan mesin kaliber 12,7 mm cukup modern, senjata ini dioperasikan secara remote.
leopard_2_mbt_revolution_v1_by_siregar3d-d611qxr
leopard_2_mbt_revolution_v2_by_siregar3d-d611v6k
Pertahankan Sistem Loading Amunisi Manual
Secara umum, awak Leopard terdiri dari pengemudi, komandan, penembak, dan pengisi peluru. Ada beberapa pendapat pro dan kontra mengenai penggunaan sistem pengisian manual versus autoloader. Pengisi peluru memang makan tempat dalam tank yang sempit. Kecepatan pengisiannya bisa jadi kalah dibawah sistem autoloader walaupun ini bisa dilatih terus-menerus sampai menyamai atau melebihi kecepatan autoloader.
Sementara itu, adopsi seorang tenaga pengisi peluru bisa jauh lebih handal ketimbang sistem autoloader yang mekanikel. Dalam skenario, pengisi peluru sejatinya mampu memilih jenis-jenis peluru sesuai perintah komandan, dibandingkan sistem autoloader yang menggunakan isian yang baku, amunisi apa yang pertama masuk, maka itulah yang akan ditembakkan berikutnya. Selain itu, dalam kondisi terjadi amunisi tidak berhasil ditembakkan, sistem autoloader membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengeluarkan peluru dari breech (pangkal laras) jika dibandingkan dengan adanya awak pengisi peluru.
Leopard 2A4 Revolution dengan meriam L/44 kaliber 120 mm.
Leopard 2A4 Revolution dengan meriam L/44 kaliber 120 mm.
Desain utuh laras meriam.
Desain utuh laras meriam.
Beberapa varian meriam kaliber 120 mm buatan Rheinmetall untuk MBT.
Beberapa varian meriam kaliber 120 mm buatan Rheinmetall untuk MBT.
Laras meriam L/44
Laras meriam L/44

Dalam situasi pertempuran, prosesi pengisian peluru dimulai dengan perintah yang disuarakan oleh komandan lewat interkom. Komandan biasanya cukup menyebut salah satu dari jenis amunisi yang diinginkan, pastinya disesuaikan dengan jenis sasaran yang akan disikat. Contohnya “HEAT! Sabot! DM! Pengisi peluru mengambil amunisi yang ia pilih dengan terlebih dahulu membuka pelindung ruang amunisi dengan meneka sakelar, dan kemudian mengambil amunisi yang diperintahkan komandan. Ia mengisikan peluru ke dalam pangkal laras dan menunggu sampai juru tembak atau komandan memutuskan menembak meriam.
Setelah suatu tembakan berhasil dilakukan, tutup pangkal laras akan terbuka secara otomatis. Saat itu sisa asap mesiu memenuhi ruangan dan mungkin membuat pusing dan mata berkunang-kunang. Tidak ada kelongsong amunisi yang tersisa, karena hampir seluruhnya terbakar habis saat dipantik secara elektrik, menyisakan piringan stump untuk dibuang.
Simulator kubah Leopard 2A4.
Simulator kubah Leopard 2A4.

Meriam ini bisa menggunakan semua varian peluru standar NATO, dan tank ini mampu membawa amunisi sebanyak 42 butir. 15 peluru sudah dalam kondisi siap tembak tersimpan di kubah meriam, sementara sisanya tersimpan di bagian dalam bodi.

Identifikasi Sasaran
Seorang komandan tank Leopard punya kemampuan untuk mengidentifikasi sasaran dan lingkungan disekitarnya dalam segala kondisi berkat kendali penembakkan buatan Krupp-Atlas Elektronik yang mengintegrasikan day optic dengan sistem thermal imaging. Komandan membaca kondisi dan mengidentikasi sasaran melalui periskop yanb berputar 360 derajat. Setelah memilh sasaran, komandan bisa memutar kubah sampai selaras dengan pandangan yang diidentikasi. Langkah berikutnya, komandan menyebutkan sasaran yang di identifikasi pada juru tembak. Komandan bisa melihat tampilan yang dilihat pada optik HZF disisi penembak, sehingga bisa menyelaraskan perintahnya dan menghasilkan respon lebih cepat.
Setelah juru tembak menerima idetifikasi sasaran dari komandan dan laras sudah mengarah ke sasaran, ia menempelkan wajahnya ke optik bidik HZF yang punya dua setelan, siang dan malam. Setelah siang punya 12x pembesaran, sementara untuk malam dengan pembesaran 4x dan 12x. Untuk mode siang, lensanya dilengkapi filter laser sehingga tak mempengaruhi laser beritensitas tinggi yang digunakan untuk membutakan optik. Hebatnya, untuk mencegah kotoran menghalangi lensa di luar, tersedia tombol cuci yang mengalirkan air untuk membersihkan lensa.
03leopard2revolution
Beberapa visual kompartemen di dalam kubah Leopard 2A4.
Visual sistem kendali penembakkan pada Leopard.
Kompartemen komanda,
Kompartemen komandan,
Periskop untuk intai sasaran.
Periskop untuk intai sasaran.

Untuk setelan malam, ada dua setingan tampilan, dengan white thermal input dan black thermal input. Dalam kondisi black thermal, obyek yang menghasilkan panas akan berpendar dalam warna hitam, sehingga memudahkan penembak dalam melihat sasaran. Mengidentikasi sumber panas, bahkan dari panas tubuh manusia, menjadi hal yang mudah. Saat juru tembak mengarahkan bidikan ke sasaran yang tertampil, laser range finder bekerja mengukur jarak ke sasaran dan menyampaikan ke sistem EMES-15 yang mengolah dan menyajikan data jarak serta informasi lainnya disisi bawah tampilan sasaran.
Kemampuan laser range finder Leopard bisa mengukur sasaran sampai jarak 9.900 meter. Masih dalam proses penembakkan, juru tembak atau komandan tetap memfokuskan matanya pada sasaran dan terus menjaga agar crosshair ada di tengah titik yang diberikan oleh penembakan dengan bantuan joystick. Selagi penembak berkonsentrasi, computer juga terus bekerja dan melakukan koreksi elevasi dan azimuth yang dibutuhkan, terutama dalam kondisi tank sedang melaju dimana jarak dengan sasaran tentu terus berubah. Begitu sasaran telah benar-benar dikunci, juru tembak tinggal menekan tombol fire, dan selanjutnya amunisi 120 mm akan melesat secepat kilat menghantarkan maut ke sasaran.
Bagi Rheinmetall, keberadaan meriam L/44 dianggap cukup mumpuni untuk menghadapi sasaran dengan jarak tembak dikisaran 2.000 meter. Ditambah lagi, untuk kontur medan di Indonesia, jarak 2.000 meter bolehlah dianggap cukup optimal, karena kontur dan vegetasi medan di Indonesia nyaris tak pernah menyediakan kesempatan kontak pada jarak tersebut. Jadi pilihan Revolution untuk tetap mengadopsi meriam L/44 kaliber 120 mm dipandang sudah tepat.
Leopard 2A4 Evolution milik Singapura, juga menggunakan meriam L/44.
Leopard 2A4 Evolution milik Singapura, juga menggunakan meriam L/44.

Untuk tambahan daya gempur dan pertahanan diri ringan, tank yang diawaki 4 orang ini juga dilengkapi senapan mesin berat kaliber 12,7 mm yang dioperasikan dengan remot kontrol/RCWS (remote control weapon system) sehingga awak tank tak perlu muncul keluar untuk mengoperasikannya. Sepucuk senapan mesin kaliber 7,62 mm juga terpasang sejajar dengan meriam.

Amunisi
Dirunut dari pasar di industri meriam tank, Rheinmetall kini menjadi pemimpin dalam penjualan amunisi 120 mm. Dalam hal ini, ternyata bukan hanya kualitas amunisi saja yang menjadikan Rheinmetall unggul. Rheinmetall berani memberikan garansi bagi amunisi-amunisi yang dibeli oleh konsumennya selama kondisi ideal terpenuhi. Untuk membantu konsumen mencapai kondisi ideal, Rheinmetall mengembangkan alat pemantau yang disebut Databox, alat ini mampu merekam segala kondisi dan pengaruh lingkungan secara akurat, termasuk indicator warning bila kondisi minimal tidak terpenuhi. Databox juga ditambahi sensor kejut yang dapat mengukur apabila amunisi yang tersimpan mengalami goncangan berlebih yang dapat mempengaruhi kondisinya saat ditembakkan.
Amunisi kaliber 120 mm.
Amunisi kaliber 120 mm.
Penempatan amunisi pada kubah.
Penempatan amunisi pada kubah.
leopard 2 tank
Kompartemen penyimpanan amunisi cadangan. (dilihat dari belakang bodi).
Kompartemen penyimpanan amunisi cadangan. (dilihat dari belakang bodi).

Rheinmetall berani menjamin bahwa amunisi buatannya selalu bisa di daur ulang (recycling) menjadi amunisi baru, tentunya dengan sejumlah tambahan biaya. Hal ini menjadi solusi ekonomis bagi negara yang anggarannya pas-pasan. Dalam paket Leopard 2A4 Revolution yang dibeli Indonesia, dipastikan bahwa seluruh opsi amunisi yang diproduksi Rheinmetall akan diboyong. Sebut saja mulai dari APFDS (armor piercing fin stabilized discarding sabot) DM33/DM43, amunisi HEAT (high explosive anti tank) seperti DM11/DM12, dan amunisi latih. (Sam)

Spesifikasi Meriam Rheinmetall L/44
Kaliber : 120 mm
Berat laras : 1.190 kg
Berat meriam keseluruhan : 3.317 kg
Panjang laras : 5,28 meter
Kecepatan luncur proyektil : 1.580 sampai 1.750 meter per detik
Jangkauan tembak maksimum : 4.000 meter dengan amunisi DM63 dan 8.000 meter dengan amunisi LAHAT

Penerbangan Uji Fungsi F-16 Peace Bima Sena II Berhasil


Pelaksanaan Functional Check Flight atau Uji Fungsi pesawat F16C-52ID ber nomor ekor TS 1625 telah sukses dilaksanakan pada tanggal 21 April 2014. Pesawat berkursi tunggal ini merupakan pesawat pertama yang telah selesai melaksanakan program regenerisasi di Depo Regenerisasi Hill AFB. Proyek yang dinamakan Peace Bima sena II yang memakan waktu hampir 14 bulan ini dimulai sejak bulan April 2013. Penerbangan Uji Fungsi  dilaksanakan untuk memastikan semua sistem yang terintregrasi bisa beroperasi dengan baik.
Sebelumnya Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau), Marsekal TNI I.B Putu Dunia didampingi Atase Udara RI di Washington DC, Kol Pnb Benedictus B Koessetianto dan Technical Liaison Officer Mayor Tek. Subagyo telah melaksanakan kunjungan kerja selama 2 hari di Depo Regenerasi Hill AFB, Utah pada tanggal 4-5 April 2014. Dalam kunjungan tersebut Kasau menerima laporan dari Maj Gen Brent Baker, Komandan Kompleks Logistik tentang pelaksanaan regenerasi F-16 C/D-52ID dalam Proyek Peace Bima Sena II di Hill AFB.  Dalam kesempatan tersebut Kasau melaksanakan inspeksi ke hangar tempat regenerasi pesawat dilaksanakan. Kasau juga melihat langsung pesawat pertama (TS 1625) yang telah selesai melaksanakan upgrade dan modifikasi. Kasau menyampaikan harapan agar regenerasi dapat dilaksanakan secara optimal sesuai jadwal yang telah direncanakan.
Pengadaan 24 pesawat F16 C/D-52ID merupakan kerjasama antara Pemerintah AS dan Indonesia berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada tanggal 17 Januri 2012. Pelaksanaan regenerasi meliputi structural/airframe upgrade 24 pesawat Block 25 agar mempunyai usia pakai lebih lama, serta modernisasi sistem avionic dan engine. Diharapkan program regenerasi akan meningkatkan kemampuan struktur pesawat sehingga dapat dioperasikan hingga mencapai masa usia pakai (service life) optimal. Disisi lain modernisasi avionic dan engine pesawat akan memiliki kemampuan tempur yang setara dengan F-16 block 52.
Selain pengadaan 24 pesawat F-16, kontrak kerjasama juga meliputi pengadaan spare parts, support equipment, training, JMPS (Joint Mission Planning System), RIAIS (Rackmont Improve Aivonic Intermediate System ), AME (Alternate Mission Equipment) dan PMEL (Precision Measurment Equipment Laboratory). Dua puluh empat pesawat F-16 C/D-52ID yang terdiri dari lima pesawat F-16 D berkursi ganda dan 19 pesawat F-16 C berkursi tunggal akan dikirimkan secara bertahap ke Indonesia. Enam orang penerbang Skadron Udara 3 sudah mulai melaksanakan pelatihan “Differential Training”  di Tucson Arizona  mulai tanggal 30 Juni-14 Juli 2014. Selanjutnya dua penerbang akan ikut ferry flight tiga pesawat pertama dari Utah-Alaska–Guam–Madiun dengan air refueling sepanjang perjalanan yang direncanakan berangkat tanggal 15 Juli hingga tanggal 20 Juli 2014 tiba di Lanud Iswahjudi, Madiun Jawa Timur.
Pengadaan 24 F-16 C/D-52ID tersebut akan melengkapi Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi dan Skadron Udara 16 Lanud Rusmin Nuryadin untuk menambah kekuatan tempur  TNI Angkatan Udara sebagai tulang punggung kekuatan dirgantara (Air Power) kita demi menjaga Keamanan Nasional Indonesia.(tni-au.mil.id)

Dua Armada Wilayah Tempur Baru

Sebuah KRI sandar di Armatim, Surabaya. Foto : Taufik suarasurabaya.net

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) segera membentuk armada wilayah baru yang akan dibentuk di Makassar, Sulawesi Selatan dan Sorong, Papua.
Saat ini kekuatan tempur TNI Angkatan Laut baru bertumpu pada dua armada wilayah, yakni Barat atau Armabar yang berada di Jakarta, dan Timur atau Armatim berada di Surabaya.
“Nanti Armabar tetap di Jakarta, dan Armatim kita ubah menjadi Armada Besar, sedangkan untuk Armada Tengah kita bentuk di Makassar dan Armada Timur kita tempatkan di Sorong,” kata Laksamana Muda Suyitno, Asisten Logistik KASAL, di sela-sela peluncuran Kapal Cepat Rudal (KCR) 60 meter di Dermaga Ujung PT PAL, Jumat (4/7/2014).
Menurut Laksda Suyitno, lokasi Makassar dan Sorong dipilih karena memiliki geopolitik yang tepat dan strategis. Tujuan lain, untuk mempertegas kedaulatan Indonesia di kawasan, terutama wilayah tengah dan timur yang dirasa masih kurang pengamanannya.
Dengan pembangunan dua armada wilayah baru ini, TNI AL nantinya akan menggunakan pembagian sistem alih bina atau pembagian kekuatan tempur yang dimiliki. Dengan kata lain, sejumlah kapal perang calon penghuni armada baru akan didatangkan dari armada Surabaya dan Jakarta.
Saat ini jumlah kapal perang milik TNI AL ada 150-160 unit. Namun, Untung menegaskan, jumlah kapal perang tersebut tidak akan dibagi rata untuk mengisi tiga armada wilayah. Penambahan armada baru juga akan diikuti dengan penambahan divisi pasukan marinir.
Sementara itu, terkait alutsista, TNI AL saat ini juga terus melakukan modernisasi dengan membangun di galangan-galangan dalam negeri. Di PT PAL misalnya, saat ini sedang merampungkan pesanan 16 KCR 60 meter dan 16 KCR 40 meter.
SIGMA 10514 Guided Missile Frigate (photo DSNS)
SIGMA 10514 Guided Missile Frigate (photo DSNS)

Tak hanya itu, sebuah kapal besar penghancur kapal rudal berukuran 105 meter saat ini juga sedang di bangun bekerjasama antara PT PAL dengan galangan asal Belanda.
TNI AL juga sedang memesan beberapa kapal selam dari Korea dengan cara transfer teknologi. “Dua kapal selam dibangun di korea, nanti satunya dibangun di PT PAL,” kata dia.(kelanakota.suarasurabaya.net)

PT PAL Rampungkan KCR 60 KRI Halasan

 Direksi PT PAL dan petinggi TNI AL di depan KCR 60 PT PAL. (photo : Taufik suarasurabaya.net)

Direksi PT PAL dan petinggi TNI AL di depan KCR 60 PT PAL. (photo : Taufik suarasurabaya.net)

PT PAL kembali rampungkan sebuah kapal perang jenis Kapal Cepat Rudal (KCR) 60 meter. Kapal ini melengkapi dua kapal sebelumnya yang telah rampung dibangun. Bahkan satu KCR 60 meter juga telah diserahterimakan ke TNI Angkatan Laut pada 28 Juni 2014 dan diberi nama KRI Sampari.
Untuk Kapal kedua, saat ini dalam tahap uji coba dan diberinama KRI Tombak, sementara kapal ke-tiga yang bernama KRI Halasan, Jumat (4/7/2014) secara resmi diluncurkan menandai rampungnya pembuatan. Peluncuran ditandai dengan memasukkan kapal untuk pertama kalinya ke lautan yang berada di Dermaga Ujung, PT PAL Surabaya.
Peluncuran kapal ke-tiga kali ini dilakukan oleh jajaran Dewan Komisaris PT PAL dan jajaran petinggi TNI AL. “Setelah hari ini peluncuran, mungkin bulan depan KCR ini juga kami serah terimakan,” kata Syaiful Anwar, Direktur Desain dan Teknologi PT PAL.

KCR 60 meter produksi PT PAL ini memiliki spesifikasi :
- Panjang keseluruhan (LOA) : 60 M
- Panjang garis air (LWL) : 54.82 M
- Lebar (B) : 8.10 M
- Tinggi pada tengah kapal (T) : 4.85 M
- Berat muatan penuh (Displacement) : 460 Ton
- Kecepatan : berlayar 15 Knot, Jelajah 20 Knot dan max 28 Knot.
- Dilengkapi persenjataan canggih, berupa Meriam dan Peluncur Rudal seri C705 dan 802
- Jumlah penumpang 55 Orang- Ketahanan berlayar 9 Hari- Mesin pendorong 2 x 2880 kw
Selain produksi KCR, PT PAL sebenarnya juga telah berhasil memproduksi 43 kapal patroli, baik berukuran 28 meter hingga 57 meter pesanan Kementerian Pertahanan.
Sementara itu, Laksamana Muda TNI Suyitno, Aslog KASAL mengatakan tiga kapal KCR 60 ini bukanlah yang terakhir di pesan di PT PAL.
“Kami saat ini masih pesan lagi dengan total nanti ada 16 KCR 60 meter pesan di PT PAL serta 16 KCR 40 meter,” kata Laksamana Muda Suyitno.
Pembangunan KCR ini, kata dia, merupakan langkah awal untuk kemandirian alutsista khususnya bagi TNI AL. Harapannya pada tahun 2024 mendatang, TNI benar-benar sudah mandiri dalam membangun seluruh persenjataannya. (suarasurabaya.net)

Kamis, 03 Juli 2014

Sejauh Mana Pengembangan Teknologi Drone RI?

PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia
PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia  (VIVAnews/Tommy Adi Wibowo)

Lima tahun ke depan, BPPT menargetkan membuat pesawat nirawak MALE.

VIVAnews – Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.
Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.
“Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan,” kata dia.
Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.
“Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station,” katanya.
Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.
Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.
Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.
Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.
“Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika  di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data,” katanya.
Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.
Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.
Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.
“Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan,” katanya.
Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.(teknologi.news.viva.co.id)
=========================================================================================

Hanya dalam Enam Bulan, Kalahkan Drone Wulung

BUAH KERJA KERAS: Thombi Layukallo (kiri) bersama tim pembuat Super Drone
saat akan uji coba  di kawasan Batujajar, Bandung Barat.
PENELITI yang sehari-hari menjabat sebagai direktur Advanced Marine Vehicles Research Center di Universitas Surya tersebut memang sudah lama terobsesi pada dunia penerbangan. Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama lebih dari 20 tahun di bidang penerbangan, doktor lulusan Universitas Nagoya, Jepang, tersebut membuka harapan baru bagi dunia kedirgantaraan dan militer Indonesia dengan menciptakan pesawat tanpa awak yang diberi nama Super Drone.
Berawal dari penunjukan dirinya sebagai penanggung jawab penelitian dan pembuatan drone oleh Universitas Surya yang bekerja sama dengan TNI-AD, Thombi lalu mengumpulkan sejumlah peneliti sebagai tim pembuat Super Drone. Jumlahnya tujuh orang dan semuanya merupakan pakar di bidang aeromodeling.
Tim itu juga diperkuat tim ahli dari TNI-AD. ”Jadi, total tim beranggota 14 pakar,” kata Thombi kepada Jawa Pos saat ditemui Rabu lalu (25/6).
Mantan peneliti BPPT (Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi) itu mengatakan, proyek tersebut nyaris membuat para anggota tim kencing berdiri. Sebab, proyek itu sejak awal ditargetkan selesai dalam enam bulan. Hal tersebut terkait dengan dana yang terbatas, yakni sekitar Rp 1 miliar. Waktu enam bulan itu relatif singkat untuk sebuah proyek pembuatan pesawat tanpa awak. Juga, mulai Oktober 2013 proyek itu dieksekusi.
Meski begitu, Thombi cs tidak lantas mundur. Target waktu yang singkat dan biaya yang terbatas bagi sebuah proyek berteknologi tinggi tersebut mereka jadikan tantangan. Thombi juga perlu memompa semangat timnya agar bekerja keras menyelesaikan proyek itu sesuai dengan target waktu yang dicanangkan.
”Harus siap berpanas-panas. Kalau tidak mau, jangan bergabung di tim ini,” tegasnya.
Dengan berbekal pengetahuan, ketelitian, dan kerja keras, akhirnya Thombi cs berhasil menyelesaikan pembuatan Super Drone dalam waktu enam bulan pada Maret 2014. ”Sepanjang sejarah di Indonesia, yang saya tahu, (pembuatan drone) ini rekor tercepat. BPPT saja itu butuh waktu 15 tahun,” ujar pria kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1966, tersebut.
Tidak hanya selesai membuat bodi, Thombi dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone bisa terbang nyaris sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji coba di lokasi latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat.
Memang menerbangkan Super Drone yang baru jadi tersebut tidak bisa sembarangan. Perlu memperhatikan kondisi cuaca dan arah angin. Sebab, apabila salah memperhitungkan cuaca, drone bisa gagal lepas landas atau jatuh.
”Makanya, harus sabar. Kalau tidak bisa hari ini, ditunggu sampai besok hingga cuacanya bagus dan memungkinkan untuk menerbangkan,” terang Thombi.
”Momen yang paling luar biasa adalah ketika melihat drone berhasil lepas landas. Rasanya, terbayar kerja keras kami selama ini,” tambah doktor yang pernah bergabung di Japan Society for Aeronautical and Space Sciences tersebut.
Super Drone karya Thombi dan timnya punya bobot total 120 kilogram dengan rentang sayap 6 meter dan panjang 4 meter. Drone itu mampu membawa bahan bakar bensin hingga 20 liter di udara. Bensin dibawa dengan menggunakan dua tabung yang diletakkan di tiap-tiap sayap. Dengan stok bahan bakar sebanyak itu, Super Drone mampu terbang 6–9 jam dengan daya jelajah sejauh sekitar 100 kilometer. Pesawat itu juga bisa membawa beban seberat 45 kg saat terbang.
Meski bukan drone pertama yang dibuat di Indonesia, terang Thombi, Super Drone akan menjadi bagian dari alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI-AD untuk kepentingan pertahanan negara. Ke depan, Super Drone disempurnakan sehingga dapat digunakan untuk menyerang musuh, seperti Predator Drone milik Amerika Serikat atau Eitan kepunyaan Israel.
”Tidak hanya untuk pertahanan, untuk aksi kombat juga bisa. Misalnya, tabung bensin diganti dengan bom. Minimal dapat digunakan untuk latihan menjatuhkan bom,” terang Thombi.
Menurut rencana, Super Drone dilengkapi dengan kamera pengintai di bagian bawah kepala pesawat. ”Saat ini belum dipasangi karena masih butuh penyempurnaan. Kamera itu mahal harganya. Kalau dipakai sekarang, terus jatuh, saya bisa nangis,” ucapnya.
Kendati demikian, Thombi mengakui bahwa Super Drone masih jauh dari sempurna. Banyak bagian drone di sana-sini yang masih butuh penyesuaian dan penyempurnaan agar dapat digunakan di lapangan.
Menurut Thombi, yang paling sulit dalam penyempurnaan Super Drone adalah menentukan titik keseimbangan pesawat. Thombi, yang menamatkan program S-1 di Jurusan Teknik Penerbangan Texas A&M University, AS, mengatakan bahwa titik keseimbangan dalam pembuatan pesawat merupakan salah satu yang paling vital. Sebab, beda berat 1 gram saja akan memengaruhi posisi pesawat saat berada di udara.
”Kalau mobil atau truk beda berat di samping atau depan-belakangnya, ia masih bisa jalan di darat. Kalau pesawat, akan jatuh. Makanya, bidang penerbangan menuntut untuk disiplin dan teliti menghitung semuanya,” ujar dia.
Sebab, lanjut dia, waktu enam bulan yang diberikan buat penelitian dan penyelesaian drone tidak mencukupi untuk menciptakan drone yang punya kemampuan baik. ”Waktu enam bulan ya hasilnya adalah enam bulan itu. Jangan ini dibandingkan dengan drone milik Israel. Penelitian mereka bertahun-tahun dengan dana yang unlimited. Jadi, harus dibandingkan apple-to-apple,” tuturnya.
Selain bidang penerbangan, Thombi ternyata juga menekuni bidang maritim. Dia pernah terlibat dalam pembuatan kapal laut dan kapal selam kecil untuk keperluan penelitian di salah satu perusahaan pembuat kapal.
Bagi Thombi, sistem kerja pesawat terbang dan kapal selam tidak jauh berbeda karena sama-sama melayang. Bedanya, pesawat melayang di udara, sedangkan kapal selam ”melayang” di air laut. ”Bedanya ada di fluidanya. Yang satu udara dan satunya air,” ucapnya seraya tertawa.
Pengetahuan mengenai udara dan air tersebut dia wujudkan melalui hasil riset berupa perahu hovercraftyang dirancang dapat terbang di atas air. Perahu itu dapat melayang karena dilengkapi dengan sebuah kipas yang mengarah ke bawah dan sayap. Dengan mengatur pada kecepatan tertentu, perahu akan terbang statis setinggi sekitar 1 meter dari permukaan air.
Hovercraft terbang tersebut akan digunakan untuk program iFly yang dia gagas. Proyek itu merupakan program sosial untuk memperkenalkan pengetahuan berbasis teknologi tingkat tinggi kepada anak-anak putus sekolah. Dalam program tersebut, Thombi bakal memperkenalkan perahu terbang karyanya itu dan mengajak anak-anak untuk ikut mempelajari kinerjanya.
”Dengan memperkenalkan teknologi tingkat tinggi, anak-anak jalanan itu akan termotivasi bahwa mereka juga bisa menciptakan teknologi. Mereka punya potensi yang tidak mereka sadari, yaitu otak yang luar biasa,” tegas dia.(jawapos.com)

Rabu, 02 Juli 2014

PIONIR INDUSTRI PESAWAT TERBANG INDONESIA


Komodor Udara Nurtanio Priggoadisuryo
Berawal dari sebuah cita-cita yang sederhana, namun hingga akhir hayatnya cita-cita itu belum terwujudkan yaitu keliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya sendiri Indonesia tercinta. Nurtanio berasal keluarga terpelajar mengawali pendidikannya dari memasuki ELS (EuropeeschLagere School) SD Belanda, MULO (Meer Urgebreid Lagere Onderwijs) SMP,  AMS (Algemene Middelbare School), SMTT-IVEVO Sekolah Menengah Tinggi Teknik di Jakarta, dan Kogyo Senmon Gakko di Sawahan, Surabaya, JawaTimur. Dengan kecintaannya di kedirgantaraan Nurtanio juga telah mendirikan sebuah klub pecinta pesawat, namanya Junior Aero Club (JAC), padahal pada masa pendudukan penjajah Jepang bahasa Inggris dilarang digunakan.   Karena kecintaannya perhatian Nurtanio tidak terbatas kepada pesawat model, ia juga mulai mempelajari teknik penerbangan yang kebanyakan berbahasa Jerman dan gemar menggambar glider tipe Zogling obsesi awal Nurtanio.
Setelah menyelesaikan sekolah di SMTT tahun 1945, kemudian bergabung pada Biro Rencana dan Konstruksi Kementerian Pertahanan di Yogyakarta dan kemudian dilantik menjadi anggota TKR bagian Penerbangan dengan Pangkat OMU (Opsir Muda Udara) II.   Tahun 1946 ditempatkan di Pangkalan Udara Maospati (sekarang Lanud Iswahjudi).  Di sanalah dicurahkan semua pikiran dan tenaganya yang ada secara kongkrit untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan suatu industri penerbangan Nasional.  Karya Nurtanio dalam pembuatan pesawat diawali dengan membuat glider, pesawat tanpa mesin.  Pesawat glider pertama buatan Nurtanio dimasa perjuangan ini dinamakan NWG-1 “Nurtanio Wiweko Glider”.
Bersama rekan-rekannya dengan penuh semangat, sebelum akhir tahun 1946 berhasil membuat enam buah pesawat glider “Zogling” NWG-1.   Pesawat glider ini yang digunakan untuk menyeleksi dua puluh kadet penerbang yang akan dikirim ke Sekolah Penerbang di India.  Selain itu juga digunakan untuk propaganda di kalangan kaum muda dan remaja pada umumnya.

Pesawat RI-X

Keberhasilan sang maestro peran­cang pesawat diawali pada periode kemerdekaan antara tahun 1946-1948, berkat kerjasama dan kerja kerasnya para ahli pesawat Indonesia diantaranya Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisuryo dan Yum Sumarsono.  Pada tahun 1948, mereka berhasil membuat Experimental Light Plane (WEL X/RIX-1) pesawat sejenis “Paper Cub” hingga bisa terbang dengan menggunakan mesin bekas motor “Harley Davidson”

Pesawat Sikumbang

Atas prestasinya, Nurtanio kemudian dikirim ke FEATI (Far Eastern Aero Technical Institute), Manila, Filipina.  Dari FEATI mendapatkan gelar Bachelor in Aeronautical Sciences, di kampus Nurtania terkenal sebagai bintang universitas karena kemampuannya yang sangat menonjol, disamping belajar tentang ilmu pesawat terbang ia juga menerima pelajaran terbang dasar.

Pesawat Sikunang

Sebagai perintis industri penerbangan Indonesia pada awal tahun 1950 Nurtanio berhasil membuat pesawat dengan mengunakan all metal COIN (Counter-insurgency anti gerilya) dan fighter Indonesia yang dinamai Sikumbang-1. Sebuah Pesawat “single seat’, dilengkapi senjata otomatis untuk menembak dari udara ke darat. Uji coba terbang pertama pesawat sikumbang dilakukan oleh seorang “test pilot” berkebangsaan Amerika Kapten Powers pada tanggal 1 Agustus 1954. Pada awal tahun 1957 Nurtanio berhasil meluncurkan pesawat Sikumbang-2 dengan mengunakan mesin Continental 225 dk.             Pesawat buatan Nurtanio berikutnya adalah “Belalang”, yaitu pesawat latih dengan menggunakan mesin Continental 85 HP/90 HP untuk penganti pesawat Paper Cub yang sudah mulai tua.  Pesawat latih ini kemudian digunakan oleh Sekolah Penerbang AURI di Yogyakarta, Sekolah Penerbang Angkatan Darat di Semarang dan Sekolah Penerbang LPPU Curug di Jakarta.  Karya lain adalah pesawat olah raga Si-Kunang bermesin VW-25 HP/1190 CC yang semua materialnya berasal dari dalam negeri, Pesawat “Kinjeng” Pesawat penyemprot hama menggunakan mesin berkekuatan 150 HP. Helikopter “Kepik” dengan mengunakan mesin Continental 90 HP.
Pada tanggal 16 Desember 1961 diresmi­kan berdirinya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) dan Nurtanio ditugas­kan sebagai direktur yang pertama.  Sementara itu telah dibuat kontrak perjanjian antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Polandia untuk bekerjasama dalam mem­bangun suatu pabrik pesawat terbang di Bandung. Selain itu juga kontrak yang meliputi suatu usaha bersama memproduksi pesawat serbaguna PZL-104 Wilga “Gelatik”, dimaksudkan sebagai “training ground” untuk membina kemampuan dan mengumpulkan pengalaman-pengalaman tenaga teknisi Indonesia. Disisi lain bahwa pembukaan lembaga pendidikan tersebut untuk memperbanyak kader-kader yang handal. Seluruh kegiatan-kegiatan ini merupakan hasil pemikiran Nurtanio yang kemudian menjiwai adanya kontrak perjanjian tersebut. Maksudnya agar pada suatu ketika dapat kiranya dicapai suatu tahap sebagai pangkalan dimana bangsa Indonesia telah siap dengan fasilitas-fasilitas pabrik, tenaga manusia yang mempunyai keterampilan khusus dan pengalaman serta pengetahuan untuk dapat memproduksi pesawat-pesawat terbang, yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman.
Pengembangan pesawat terus berlanjut, di bawah Nurtanio, Indonesia mampu memproduksi berbagai pesawat.    Pengembangan pesawat tersebut berada di bawah periode Presiden Soekarno.  Keinginan Nurtanio yang belum terwujud adalah berkeliling dunia dengan menggunakan pesawat buatan sendiri.   Ketika nurtanio akan menyiapkan sebuah pesawat Arev (Api Revolusi), pesawat dimaksud adalah pesawat angkut ringan Super Aero 45 bermesin ganda buatan Cekoslowakia yang tergeletak di kawasan Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta. Kemudian pesawat di bawa ke  Lanud Husen Sastranegara Bandung untuk diperbaki.  Nurtanio dan para teknisi LAPIP berdiskusi dan bekerja keras memperbaiki pesawat itu, dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian hingga diperoleh suatu keyakinan bahwa pesawat dalam keadaan baik dan dapat diterbangkan dengan aman. 
Dengan idealisnya pribadi dan dedikasinya yang tinggi, sehingga Ia tidak mempercayakan kepada orang lain dan harus mencoba pesawat yang telah dimodifikasi sendiri, namun apadaya seorang manusia kalau Tuhan berkehendak lain maka berhentilah rencana yang selalu disiapkan oleh manusia.   Nurtanio Pringgoadisuryo meninggal saat test flight dalam uji coba menerbangkan pesawat Arev.     Kecelakaan pesawat terbang itu terjadi pada tanggal 21 Maret 1966, ketika menerbangkan Pesawat Aero 45 atau Arev buatan Cekoslowakia, yang telah dimodifikasi dengan memberi tangki bahan bakar ekstra.   Pesawat ini sebenarnya direncanakan akan digunakan untuk penerbangan keliling dunia, akan tetapi pada saat penerbangan diatas Kota Bandung pesawat mengalami kerusakan pada mesin, dengan kemampuan yang dimiliki Nurtanio berusaha untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega Bandung namun pendaratan itu gagal, karena pesawatnya menabrak sebuah toko.
Sebagai personel TNI AU yang professional dibidang penerbangan meninggal tanggal 21 Maret 1966, dengan usia yang relatif muda yaitu 43 tahun. Saat melak­sana­kan uji terbang tersebut Nurtanio didampingi kawan seangkatan Sekolah Penerbang Lanjutan di Andir Bandung, Kolonel Udara Supadio dalam peristiwa itu pula turut meninggal Kolonel Soepadio yang oleh TNI AU namanya diabadikan sebagai nama Bandara di Pontianak.
Oleh karena itu nama Nurtanio terpatri dalam perkembangan dunia Dirgantara di Indonesia, nama Nurtanio melekat pada industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya yang dimiliki Indonesia di wilayah Asia Tenggara.    Perusahaan tersebut berdiri pada 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dalam perkembangannya selalu berubah nama hingga sekarang bernama PT. Dirgantara Indonesia.  **pd

TNI AU. 

PENERBANG LEGENDARIS AURI



Marsda TNI Leo Wattimena
Leonardus Willem Johanes Wattimena memiliki nama panggilan sehari-hari Bladsem,  kata “Bladsem” mengandung arti kilat/petir, sementara di kalangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dikenal dengan nama yang singkat Leo Wattimena.
Putra daerah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat 3 Juli 1927 itu lahir dan dibesarkan oleh keluarga Kristen Protestan yang taat.   Ayahnya bernama Hein Leonardus Wattimena berasal dari Ambon, Maluku sedangkan ibunya yang bernama Maria Lingkan Wattie berasal dari Kawengian, Manado Sulawesi Utara.
Ayahnya yang bekerja sebagai Comisaris Residen Kantor di kota Pontianak tidak membuatnya jadi enak-enakan, melainkan untuk terpacu lebih kreatif dan berjuang dalam mengarunggi hidup.  Leo Wattimena merupakan anak keempat dari enam bersaudara masing-masing keluarganya tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Sebelum meniti kariernya di AURI, diawali dengan menempuh  Hollands Inlandsche School (HIS) dan Algeme Middelbare School (AMS) pada tahun 1950 di Jakarta. 
Leo Wattimena memiliki berprinsip kuat, bahwa tidak mau tergantung pada orang lain, ulet, disiplin dan tahan banting untuk mencapai cita-citanya.  Prinsip yang kuat tersebut terbukti setelah ayahnya meninggal, memulai untuk membiayai sekolahnya pemuda dengan bekerja sebagai pelaut di Maskapai Perkapalan NISO, bahkan kalau ada waktu luang tidak malu-malu untuk mendorong gerobak.    Semua itu dilakukan karena harus mencari biaya sendiri agar tetap bisa sekolah. 
Karier di AURI dimulai  bersama calon-calon kadet penerbang yang dikirim untuk mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Taloa selama satu tahun di California Amerika Serikat pada tahun 1950.    Pendidikan penerbang tersebut diikuti 60 kader yang dikirim pemerintah Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbang Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA).
Selama mengikuti pendidikan penerbang di Taloa Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator.  Menyandang lulusan terbaik merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mengandung arti bagi dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik setiap menjalankan tugas. Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya mendapat kesempatan Bersama 18 temen-temennya, untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA.
Sesampainya kembali di tanah air selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma sebagai penerbang pesawat tempur merangkap instruktur Pesawat P-51 Mustang.   Para penerbang-penerbang yang dikirim ke Taloa berkelakar kita bertugas dengan sungguh-sungguh, semoga dikemudian dapat berkarir dengan baik, itu terlihat dan berkarier menonjol itu terbukti salah satunya adalah Leo Wattimena.
Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan Leo Wattimena, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari "orang gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena.
Setelah kembali ke tanah air Indonesia  tahun 1951, kemudian diangkat menjadi Letnan Muda Udara I  dan ditempatkan di Komando Operasi di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga pada tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.
Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.

Leo Wattimena mendampingi Presiden Sukarno dalam kunjungan ke Irian Barat
Tahun 1955 bertugas kembali ke India dalam rangka peninjauan kesatuan-kesatuan pesawat Jet Vampire dari Indian Air Force selama dua bulan.   Setelah pulang dari India dengan pangkat Acting Kapten Udara, kemudian ditempatkan sebagai Perwira Instruktur Penerbang di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.   Meniti karier berikutnya pada bulan Mei 1956 sebagai perwira penerbang Skadron 3 diperbantukan pada Komando Group Komposisi.
Pada bulan Juni 1956 kembali mendapatkan kesempatan yang ketiga kalinya dikirim ke luar negeri dalam rangka menghadiri perayaan hari Angkatan Udara Republik Uni Sovyet (Rusia).
Leo Wattimena pada tanggal 18 April 1956, menetapkan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting seorang gadis Corrie Dingemans.   Dari pernihakannya dikaruniai empat anak, Clifford Joseph Wattimena, Gunther Leonardus Wattimena,  Patricia Maria Wattimena, dan Grace Riani Wattimena.
Dalam rangka mem­perkuat armada tempur yang dimiliki AURI pada tahun 1957, pemerintah Republik Indonesia mem­­utuskan untuk membeli delapan buah Jet Vampire buatan Inggris.  Kemudian AURI menugaskan Kapten Udara Leo Wattimena dan Kapten Udara Rusmin Nurjadin ditugaskan ke Inggris untuk belajar menjadi penerbang Pesawat Jet Vampire. Selama mengikuti pendidikan instruktur lanjutan di Royal Air Force, kembali menunjukkan kualitasnya sebagai penerbang andal terbukti lulus dengan predikat satu.  Pada masa itu mempersiapkan penerbang baru dengan generasi pesawat yang di pesan Indonesia, sebanyak delapan pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire dan itu merupakan pesawat jet pertama yang dimiliki AURI.
Penempatan penerbang untuk pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire adalah penerbang Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin.  Selesai mengikuti latihan untuk mengawaki Pesawat Jet Vampire, keduanya kembali ke tanah air untuk mempersiapkan calon-calon penerbang Pesawat Jet Vampire, salah satunya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang.
"Tak heran jika dengan Pesawat DH-115 Vampire sampai Mig-17 dan jet tempur bakatnya Leo Wattimena bisa mendapatkan multi ranting. Mulai dari L-4J Piper Club, P-51 Mustang, supersonik MiG-21 Fishbed" 
Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire untuk pertama kalinya itu, menghantarkan Leo Wattimena untuk dipercaya memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957).  Tercatat bahwa waktu itu Indonesia sudah memiliki 16 jet tempur buatan Inggris ini.  Predikat yang disandangnya  "sangat paham terhadap pesawat terbang" memang bukan omong kosong.
Keahlian tentang pesawat ditunjukkan ketika Sumarsono, penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya, bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut yang mengakibatkan penerbang Sumarsono gugur.
Waktu itu, di saat untuk menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu, baru sekali take off and landing, kemudian turun kembali Leo Wattimena langsung berkomentar : "Ini pesawat jelek". Meskipun begitu, tetap menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut.  Sementara di masa kejayaannya, bahwa pesawat supersonik delta merupakan pesawat unggulan produksi Uni Soviet.

Sebagai Wakil Panglima Komando Mandala sedang memberikan briefing dalam rangka penyebaran pamflet
Di luar negeri Beruang Merah (UNI Soviet), hanya Indonesia yang punya hingga dan sanggup membuat negara tetangga Australia harus memutar otak karena kekuatan pesawat  yang dimiliki Indonesia.  Ditambah lagi AURI diperkuat dengan Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber).  Disaat itu pula, pesawat  Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber) menjadi unggulan Uni Soviet, bahkan Amerika pun ingin memilikinya.
Karir sebagai Komandan Kesatuan Pancargas AURI, Pangkalan Udara Husein Sastranegara mulai bulan Februari 1957, dan Komandan Skadron 11 April 1957.      Pada akhir tahun 1957 bersama rombongan mendapat tugas baru dengan missi pembelian pesawat, berangkat ke Negara Rusia dan negara-negara Eropa Timur selama dua bulan.   Sesampainya di tanah air setelah melaksanakan  kunjungan tersebut dengan pangkat Mayor Udara mendapatkan tugas kembali belajar di Mesir selama tiga bulan untuk belajar mengenai penerbangan dan teknik.   
Oktober 1960 bertugas mengambil pesawat-pesawat AURI yang sedang menjalani overhaul di Hongkong Aircraft Engineering Corporation.    April 1961 bertugas ke Inggris untuk mengikuti RAF Staf College di Andover.
Dengan dibentuknya Komando Regional Udara (Korud) tahun 1961 akhirnya mendapat tugas baru sebagai Panglima Komando Regional Udara IV, tahun 1962 sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala pembe­basan Irian Barat dengan pangkat Kolonel Udara. Agustus 1962 sebagai Panglima Angkatan Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara.
Pada saat operasi Trikora, pernah mendapat tugas untuk mengirim gula dari Jakarta ke Makassar.  Selama berkarir sebagai prajurit AURI, tergolong orang yang selalui mengutamakan hak-hak prajurit yang bertugas di medan perang.  Ada peristiwa yang menarik, “pernah pada suatu saat makanan jatahnya  dibuang, karena melihat para prajurit yang akan diterjunkan ke Irian Barat dengan resiko tinggi, bahkan bisa dikatakan belum tentu juga kembali dengan selamat cuma diberi makan pakai lauk tempe, sedangkan para jenderal yang hanya bertugas dibelakang meja makan dengan lauk daging ayam”.
Leo Wattimena adalah Jenderal pertama yang mendarat di Irian Barat, dengan menggunakan Pesawat C-130 Hercules setelah melaksanakan tugas penyebaran pamflet di daerah Merauke.  Pesawat yang diterbangkan oleh Captain Pilot Letkol Udara M. Slamet dan Co Pilot Mayor Udara Hamsana didalamnya ada Komodor Udara Leo Wattimena.   Setelah tugas selesai timbul keinginan Komodor Udara Leo Wattimena mendarat di Lapangan Terbang Merauke.  Secara sigap Kaptain Pilot kemudian mengontak tower Merauke menyatakan bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin (Engine trouble) dan minta ijin mendarat, dengan cara demikian, maka untuk pertama kalinya seorang Jenderal AURI  menginjakkan kakinya di Irian Barat.

Penerbang legendaris AURI dengan latar belakang pesawat Mustang
Namun demikian setelah melaporkan ke Tower Merauke, pesawat mendarat di ujung landasan, kemudian langsung terbang lagi.  Saat itu pula tidak serta merta tentara Belanda marah karena merasa ditipu, situasi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa AURI adalah yang nomor satu.

Prestasi Penerbang sangat menonjol dan menakjubkan
Terbang di Bawah Kolong Jembatan Ampera, kemahiran menerbangkan pesawat ditunjukkan Leo Wattimena dalam suatu kesempatan dengan Pesawat MiG-17,  terbang rendah di kolong jembatan Ampera Sungai Musi, Palembang.   Saat terbang tidak sendirian, tetapi bersama dengan wingman-nya, Marsda (Pur) Sudjatio Adi. Dibawanya pesawat seperti menukik mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up sebelum mencapai permukaan air dan terbang menyambar dibawah Jembatan Ampera.
"Terbang gila" dengan penuh resiko dan sangat berbahaya yang dilakukan. Terbang menyalip diantara tower dan tiang bendera di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta.    Terbang straight and level, pasti menabrak, jadi untuk dapat lolos, ujung sayap yang satu ditarik Leo ke bawah.  Alhasil, pesawat dengan indahnya menyalip terbang diantara dua penghalang tersebut.
Menurut Marsekal Pertama (Pur) Agustinus Andy Andoko, mereka sejaman dengan penerbang ulung itu, bahwa "Leo itu identik dengan Mustang".  Bahkan karena unik dan keahliannya berangkat kerja dari  Bandung ke Jakarta, Leo Wattimena menggunakan Pesawat Mustang.
Sebagai  penerbang fighter, Leo Wattimena kenyang asam garam perang udara, pernah memimpin serangan di Indonesia Timur melawan Permesta (14 Mei 1958) menggunakan Mustang serta empat pembom B-25 Mitchell. Sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala pada masa Trikora.  Dalam operasi tempur perebutan Irian Barat tahun 1962, Leo menjadi Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian Barat.
Menurut rekan-rekannya dikenal orang sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. "Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari," kenang Kolonel (Pur) Suparno, mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara yang pernah melayani Leo.  Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwanya.
Setelah selesai menjabat sebagai Pangkodau IV pada bulan April 1965 kemudian diangkat sebagai Panglima Komando Operasi, sedangkan jabatan se­men­tara Wakil II Panglima Mandala tetap dijabat sampai bulan Mei 1963.   Tahun 1966 diangkat sebagai Panglima Kohanud merangkap sebagai anggota MPRS mewakili  AURI.   Tanggal 17 Juni 1966 pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Muda Udara.
Pada saat berlangsungnya Operasi Dwikora pernah menjabat sebagai kepala Staf Komando Mandala Siaga.
Setelah memasuki akhir pengabdiannya sebagai prajurit AURI, Laksamana Muda Udara Leo Wattimena mendapat kehormatan untuk menjadi Duta Besar berkuasa penuh untuk Italia. Dengan pengangkatan menjadi Duta Besar di Itali ini diartikan lain, karena tugas ini sama saja rasanya dibuang dan sakit hati, karena saat itu merasakan bahwa harus berpisah dengan Pesawat P-51 Mustang.    Perpisahan itu terasa separo jiwanya telah diambil, karena ia bercita-cita menjadi penerbang bukan Duta Besar.

Bersama Presiden Suharto setelah acara pelantikan Sebagai Dutabesar Republik Indonesia untuk Italia
Setelah masa tugasnya sebagai Duta besar di Italia berakhir, Laksamana Muda Udara Leo wattimena menderita sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.  Pada waktu diirawat di rumah sakit tidak merasa nyaman dan tidak kerasan untuk diam dan tiduran terus, akhirnya ia melarikan diri  dengan naik Bajai, setelah sampai di rumah diantar kembali ke Rumah Sakit oleh keluarganya.
Di Rumah sakit Cipto itulah Laksamana Muda Udara Leo Wattimena menghembuskan nafasnya yang terakhir dan berpulang ke rumah Tuhan, dalam usia 47 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.
Laksamana Muda Udara Leo Wattimena sebelum meninggal berpesan pada istrinya, “Kalau saya meninggal rawatlah anak-anak dengan baik”. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, jenasah disemayamkan di Markas Besar Angkatan Udara untuk memberi kesempatan kepada seluruh anggota AURI  memberikan penghormatan terakhir.
Selama berdinas di AURI mendapatkan Bintang/tanda jasa berupa medali Sewindu, Gerakan Operasi Militer III, IV, V, VI, VII, Bintang Sakti dan Satyalencana Wira Dharma.

TNI AU.