Marsda TNI Leo Wattimena |
Leonardus Willem Johanes Wattimena memiliki nama
panggilan sehari-hari Bladsem, kata “Bladsem” mengandung arti
kilat/petir, sementara di kalangan Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI) dikenal dengan nama yang singkat Leo Wattimena.
Putra daerah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat 3 Juli 1927 itu
lahir dan dibesarkan oleh keluarga Kristen Protestan yang taat.
Ayahnya bernama Hein Leonardus Wattimena berasal dari Ambon, Maluku
sedangkan ibunya yang bernama Maria Lingkan Wattie berasal dari
Kawengian, Manado Sulawesi Utara.
Ayahnya yang bekerja sebagai Comisaris Residen Kantor di kota
Pontianak tidak membuatnya jadi enak-enakan, melainkan untuk terpacu
lebih kreatif dan berjuang dalam mengarunggi hidup. Leo Wattimena
merupakan anak keempat dari enam bersaudara masing-masing keluarganya
tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Sebelum meniti kariernya di AURI, diawali dengan menempuh Hollands
Inlandsche School (HIS) dan Algeme Middelbare School (AMS) pada tahun
1950 di Jakarta.
Leo Wattimena memiliki berprinsip kuat, bahwa tidak mau tergantung
pada orang lain, ulet, disiplin dan tahan banting untuk mencapai
cita-citanya. Prinsip yang kuat tersebut terbukti setelah ayahnya
meninggal, memulai untuk membiayai sekolahnya pemuda dengan bekerja
sebagai pelaut di Maskapai Perkapalan NISO, bahkan kalau ada waktu luang
tidak malu-malu untuk mendorong gerobak. Semua itu dilakukan karena
harus mencari biaya sendiri agar tetap bisa sekolah.
Karier di AURI dimulai bersama calon-calon kadet penerbang yang dikirim untuk mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Taloa
selama
satu tahun di California Amerika Serikat pada tahun 1950. Pendidikan
penerbang tersebut diikuti 60 kader yang dikirim pemerintah Indonesia
untuk mengikuti pendidikan penerbang Trans Ocean Airlines Oakland
Airport (TOLOA).
Selama mengikuti pendidikan penerbang di Taloa Leo Wattimena menjadi
lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya
menjadi navigator. Menyandang lulusan terbaik merupakan suatu
kebanggaan tersendiri dan mengandung arti bagi dirinya untuk selalu
berbuat yang terbaik setiap menjalankan tugas. Dari hasil yang sangat
membanggakan itu membuat dirinya mendapat kesempatan Bersama 18
temen-temennya, untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh
bulan di TALOA.
Sesampainya kembali di tanah air selanjutnya ditempatkan di Skadron 3
Lanud Halim Perdanakusuma sebagai penerbang pesawat tempur merangkap
instruktur Pesawat P-51 Mustang. Para penerbang-penerbang yang dikirim
ke Taloa berkelakar kita bertugas dengan sungguh-sungguh, semoga
dikemudian dapat berkarir dengan baik, itu terlihat dan berkarier
menonjol itu terbukti salah satunya adalah
Leo Wattimena.
Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan Leo Wattimena, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari
"orang
gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang
sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena.
Setelah kembali ke tanah air Indonesia tahun 1951, kemudian
diangkat menjadi Letnan Muda Udara I dan ditempatkan di Komando Operasi
di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga
pada tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.
Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian
mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti
Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF
Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.
Leo Wattimena mendampingi Presiden Sukarno dalam kunjungan ke Irian Barat |
Tahun 1955 bertugas kembali ke India dalam rangka peninjauan kesatuan-kesatuan pesawat Jet Vampire dari
Indian Air Force selama
dua bulan. Setelah pulang dari India dengan pangkat Acting Kapten
Udara, kemudian ditempatkan sebagai Perwira Instruktur Penerbang di
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Meniti karier berikutnya pada
bulan Mei 1956 sebagai perwira penerbang Skadron 3 diperbantukan pada
Komando Group Komposisi.
Pada bulan Juni 1956 kembali mendapatkan kesempatan yang ketiga
kalinya dikirim ke luar negeri dalam rangka menghadiri perayaan hari
Angkatan Udara Republik Uni Sovyet (Rusia).
Leo Wattimena pada tanggal 18 April 1956, menetapkan untuk mengakhiri
masa lajangnya dengan mempersunting seorang gadis Corrie Dingemans.
Dari pernihakannya dikaruniai empat anak, Clifford Joseph Wattimena,
Gunther Leonardus Wattimena, Patricia Maria Wattimena, dan Grace Riani
Wattimena.
Dalam rangka memperkuat armada tempur yang dimiliki AURI pada tahun
1957, pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk membeli delapan
buah Jet Vampire buatan Inggris. Kemudian AURI menugaskan Kapten Udara
Leo Wattimena dan Kapten Udara Rusmin Nurjadin ditugaskan ke Inggris
untuk belajar menjadi penerbang Pesawat Jet Vampire. Selama mengikuti
pendidikan instruktur lanjutan di
Royal Air Force,
kembali menunjukkan kualitasnya sebagai penerbang andal terbukti lulus
dengan predikat satu. Pada masa itu mempersiapkan penerbang baru dengan
generasi pesawat yang di pesan Indonesia, sebanyak delapan pesawat jet
tempur de Havilland DH-115 Vampire dan itu merupakan pesawat jet pertama
yang dimiliki AURI.
Penempatan penerbang untuk pesawat jet tempur de Havilland DH-115
Vampire adalah penerbang Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin. Selesai
mengikuti latihan untuk mengawaki Pesawat Jet Vampire, keduanya kembali
ke tanah air untuk mempersiapkan calon-calon penerbang Pesawat Jet
Vampire, salah satunya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang.
"Tak heran jika dengan Pesawat DH-115 Vampire sampai
Mig-17 dan jet tempur bakatnya Leo Wattimena bisa mendapatkan multi
ranting. Mulai dari L-4J Piper Club, P-51 Mustang, supersonik MiG-21
Fishbed"
Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire
untuk pertama kalinya itu, menghantarkan Leo Wattimena untuk dipercaya
memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957).
Tercatat bahwa waktu itu Indonesia sudah memiliki 16 jet tempur buatan
Inggris ini. Predikat yang disandangnya "sangat paham terhadap pesawat
terbang" memang bukan omong kosong.
Keahlian tentang pesawat ditunjukkan ketika Sumarsono, penerbang
MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya,
bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya
pesawat tersebut yang mengakibatkan penerbang Sumarsono gugur.
Waktu itu, di saat untuk menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu,
baru sekali take off and landing, kemudian turun kembali Leo Wattimena
langsung berkomentar : "Ini pesawat jelek". Meskipun begitu, tetap
menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut. Sementara di masa
kejayaannya, bahwa pesawat supersonik delta merupakan pesawat unggulan
produksi Uni Soviet.
Sebagai Wakil Panglima Komando Mandala sedang memberikan briefing dalam rangka penyebaran pamflet |
Di luar negeri Beruang Merah (UNI Soviet), hanya Indonesia yang punya
hingga dan sanggup membuat negara tetangga Australia harus memutar otak
karena kekuatan pesawat yang dimiliki Indonesia. Ditambah lagi AURI
diperkuat dengan Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber). Disaat itu
pula, pesawat Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber) menjadi unggulan
Uni Soviet, bahkan Amerika pun ingin memilikinya.
Karir sebagai Komandan Kesatuan Pancargas AURI, Pangkalan Udara
Husein Sastranegara mulai bulan Februari 1957, dan Komandan Skadron 11
April 1957. Pada akhir tahun 1957 bersama rombongan mendapat tugas
baru dengan missi pembelian pesawat, berangkat ke Negara Rusia dan
negara-negara Eropa Timur selama dua bulan. Sesampainya di tanah air
setelah melaksanakan kunjungan tersebut dengan pangkat Mayor Udara
mendapatkan tugas kembali belajar di Mesir selama tiga bulan untuk
belajar mengenai penerbangan dan teknik.
Oktober 1960 bertugas mengambil pesawat-pesawat AURI yang sedang menjalani overhaul di Hongkong
Aircraft Engineering Corporation. April 1961 bertugas ke Inggris untuk mengikuti RAF
Staf College di Andover.
Dengan dibentuknya Komando Regional Udara (Korud) tahun 1961 akhirnya
mendapat tugas baru sebagai Panglima Komando Regional Udara IV, tahun
1962 sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala pembebasan Irian Barat
dengan pangkat Kolonel Udara. Agustus 1962 sebagai Panglima Angkatan
Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara.
Pada saat operasi Trikora, pernah mendapat tugas untuk mengirim gula
dari Jakarta ke Makassar. Selama berkarir sebagai prajurit AURI,
tergolong orang yang selalui mengutamakan hak-hak prajurit yang bertugas
di medan perang. Ada peristiwa yang menarik, “
pernah pada
suatu saat makanan jatahnya dibuang, karena melihat para prajurit yang
akan diterjunkan ke Irian Barat dengan resiko tinggi, bahkan bisa
dikatakan belum tentu juga kembali dengan selamat cuma diberi makan
pakai lauk tempe, sedangkan para jenderal yang hanya bertugas dibelakang
meja makan dengan lauk daging ayam”.
Leo Wattimena adalah Jenderal pertama yang mendarat di Irian Barat,
dengan menggunakan Pesawat C-130 Hercules setelah melaksanakan tugas
penyebaran pamflet di daerah Merauke. Pesawat yang diterbangkan oleh
Captain Pilot Letkol Udara M. Slamet dan Co Pilot Mayor Udara Hamsana
didalamnya ada Komodor Udara Leo Wattimena. Setelah tugas selesai
timbul keinginan Komodor Udara Leo Wattimena mendarat di Lapangan
Terbang Merauke. Secara sigap Kaptain Pilot kemudian mengontak tower
Merauke menyatakan bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin
(Engine trouble)
dan minta ijin mendarat, dengan cara demikian, maka untuk pertama
kalinya seorang Jenderal AURI menginjakkan kakinya di Irian Barat.
Penerbang legendaris AURI dengan latar belakang pesawat Mustang |
Namun demikian setelah melaporkan ke Tower Merauke, pesawat mendarat
di ujung landasan, kemudian langsung terbang lagi. Saat itu pula tidak
serta merta tentara Belanda marah karena merasa ditipu, situasi itu
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa AURI adalah yang nomor satu.
Prestasi Penerbang sangat menonjol dan menakjubkan
Terbang di Bawah Kolong Jembatan Ampera, kemahiran
menerbangkan pesawat ditunjukkan Leo Wattimena dalam suatu kesempatan
dengan Pesawat MiG-17, terbang rendah di kolong jembatan Ampera Sungai
Musi, Palembang. Saat terbang tidak sendirian, tetapi bersama dengan
wingman-nya, Marsda (Pur) Sudjatio Adi. Dibawanya pesawat seperti
menukik mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up sebelum mencapai
permukaan air dan terbang menyambar dibawah Jembatan Ampera.
"
Terbang gila" dengan penuh resiko dan sangat
berbahaya yang dilakukan. Terbang menyalip diantara tower dan tiang
bendera di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta. Terbang straight and level,
pasti menabrak, jadi untuk dapat lolos, ujung sayap yang satu ditarik
Leo ke bawah. Alhasil, pesawat dengan indahnya menyalip terbang
diantara dua penghalang tersebut.
Menurut Marsekal Pertama (Pur) Agustinus Andy Andoko, mereka sejaman
dengan penerbang ulung itu, bahwa "Leo itu identik dengan Mustang".
Bahkan karena unik dan keahliannya berangkat kerja dari Bandung ke
Jakarta, Leo Wattimena menggunakan Pesawat Mustang.
Sebagai penerbang fighter, Leo Wattimena kenyang asam garam perang
udara, pernah memimpin serangan di Indonesia Timur melawan Permesta (14
Mei 1958) menggunakan Mustang serta empat pembom B-25 Mitchell. Sebagai
Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala pada
masa Trikora. Dalam operasi tempur perebutan Irian Barat tahun 1962,
Leo menjadi Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian
Barat.
Menurut rekan-rekannya dikenal orang sangat tekun dan serius dalam
mengemban tanggung jawab. "Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga
hari," kenang Kolonel (Pur) Suparno, mantan Kepala Dinas Penerangan
Angkatan Udara yang pernah melayani Leo. Sebagai penerbang ada yang
mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua
untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwanya.
Setelah selesai menjabat sebagai Pangkodau IV pada bulan April 1965
kemudian diangkat sebagai Panglima Komando Operasi, sedangkan jabatan
sementara Wakil II Panglima Mandala tetap dijabat sampai bulan Mei
1963. Tahun 1966 diangkat sebagai Panglima Kohanud merangkap sebagai
anggota MPRS mewakili AURI. Tanggal 17 Juni 1966 pangkatnya dinaikkan
menjadi Laksamana Muda Udara.
Pada saat berlangsungnya Operasi Dwikora pernah menjabat sebagai kepala Staf Komando Mandala Siaga.
Setelah memasuki akhir pengabdiannya sebagai prajurit AURI, Laksamana
Muda Udara Leo Wattimena mendapat kehormatan untuk menjadi Duta Besar
berkuasa penuh untuk Italia. Dengan pengangkatan menjadi Duta Besar di
Itali ini diartikan lain, karena tugas ini sama saja rasanya dibuang dan
sakit hati, karena saat itu merasakan bahwa harus berpisah dengan
Pesawat P-51 Mustang. Perpisahan itu terasa separo jiwanya telah
diambil, karena ia bercita-cita menjadi penerbang bukan Duta Besar.
Bersama Presiden Suharto setelah acara pelantikan Sebagai Dutabesar Republik Indonesia untuk Italia |
Setelah masa tugasnya sebagai Duta besar di Italia berakhir,
Laksamana Muda Udara Leo wattimena menderita sakit dan harus dirawat di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pada waktu diirawat di rumah
sakit tidak merasa nyaman dan tidak kerasan untuk diam dan tiduran
terus, akhirnya ia melarikan diri dengan naik Bajai, setelah sampai di
rumah diantar kembali ke Rumah Sakit oleh keluarganya.
Di Rumah sakit Cipto itulah Laksamana Muda Udara Leo Wattimena
menghembuskan nafasnya yang terakhir dan berpulang ke rumah Tuhan, dalam
usia 47 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.
Laksamana Muda Udara Leo Wattimena sebelum meninggal berpesan pada
istrinya, “Kalau saya meninggal rawatlah anak-anak dengan baik”. Sebelum
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, jenasah
disemayamkan di Markas Besar Angkatan Udara untuk memberi kesempatan
kepada seluruh anggota AURI memberikan penghormatan terakhir.
Selama berdinas di AURI mendapatkan Bintang/tanda jasa berupa medali
Sewindu, Gerakan Operasi Militer III, IV, V, VI, VII, Bintang Sakti dan
Satyalencana Wira Dharma.
TNI AU.