Rabu, 14 Mei 2014

Keperkasaan Pesawat C-130 Hercules dan F-27 Fokker TNI Angkatan Udara sebagai Jembatan Udara Tahun 1980, Bukti Kemanunggalan TNI dengan Rakyat

Berawal dari sebuah peristiwa mogok kerja para pegawai “Garuda Indonesia (saat ini telah berubah nama menjadi PT Garuda Indonesia persero), sehingga maskapai penerbangan tersebut menjadi lumpuh, seluruh pesawatnya tidak terbang dan terparkir di Pelabuhan Udara seluruh Indonesia.
Saat itu tanggal 29 dan 30 Januari 1980 sebanyak 120 orang pegawai Garuda mengadakan tindakan sepihak berupa pemogokan tidak mau bekerja tanpa sepengetahuan manajemen dengan sengaja meninggalkan tugasnya dan tidak bersedia terbang.
Melihat peristiwa dan kejadian saat itu, pemerintah tidak tinggal diam segera menentukan keputusan untuk mengerahkan pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara dan Pelita Air Service untuk membantu menangani krisis angkutan udara dalam negeri. Sementara para penumpang yang akan melaksanakan penerbangan ke luar negeri dapat segera di pindahkan/dialihkan ke Perusahaan Penerbangan Asing.
Sebagai tindaklanjut untuk mengatasi Krisis tersebut, tanggal 1 Februari 1980 dibentuklah Pusat Pengendalian Krisis (Pusdalsis) dengan tugas utamanya adalah menormalisasi angkutan udara dengan sandi “Operasi Jembatan Udara” dan membantu Direksi Garuda Indonesia Air Ways menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sehingga pemerintah bersifat sebagai penghubung dan fasilitator antara pegawai Garuda dengan Manajemen garuda.
Pusdalsis secara nasional itu dibentuk, dengan pimpinan bersama antara Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana TNI Sudomo, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan A. Tahir, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri. Dalam operasional Pusdalsis juga beranggotakan Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi, Panglima Kodam V/Laksusda Jaya Mayor Jenderal TNI Norman Sasono, Kadapol Metro Jaya Mayor Jenderal Pol. Anton Sudjarwo, Direktur Pelita Air Service, Wakil Direktur GIA, Direktur Angkasa Pura, dan Panglima Kodau V Marsekal muda TNI Sutoyo. Sebagai Humas Pusdalsis adalah Brigadir Jenderal TNI Gunarso SF.
Untuk pengendalian lokal Jakarta untuk Pelabuhan Udara Kemayoran dan Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma dipimpin oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri bersama Kepala Stasiun Garuda Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, dan Kepala Angkasa Pura. Adapun wakil-wakilnya adalah Laksusda Jaya, Kodak Metro Jaya, Garuda, Pelita Air Service, TNI Angkatan Udara, Satpam Angkasa Pura Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, dan Humas Garuda.

Peran TNI Angkatan Udara dalam Operasi Jembatan Udara
Dengan berbekal Surat Perintah Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi kepada Panglima Komando Pasukan Tempur Udara (Panglima Kopatdara) Marsekal Muda TNI Aried Riyadi, tentang menghadapi krisis angkutan udara di Indonesia.
Pada waktu itu hari rabu tepatnya tanggal 30 Januari 1980 Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi kepada Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi mengadakan inspeksi untuk memeriksa kesiapan pesawat C-130 Hercules dari Skadron Udaran 31 dan F-27 Fokker dari Skadron Udara 2.

Suasana di Pelabuhan Udara Kemayoran. Kepentingan penumpang telah teratasi berkat partisipasi "Hercules" TNI Angkatan Udara
Dari hasil pemeriksaan kesiapan pesawat yang berada di dua Skadron itu akhirnya Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi memerintahkan kepada Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi dengan Surat Perintah Nomor SPRIN/19/I/1980/KASAU. Adapun surat perintah Kasau Kepada Panglima Kopatdara berisikan tentang TNI Angkatan Udara ikut dalam tim Pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menimpa didalam tubuh maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways dan segera menyiapkan empat Pesawat C-130 Hercules serta empat Pesawat F-27 Fokker beserta awak pesawat.

"Krisis Garuda" memanggil bakti karya Skadron-Skadron Angkut
Keesokan harinya tanggal 31 Januari 1980 tepatnya pukul 05.30 sebagai awal Bakti sosial berupa bantuan angkutan udara dengan sandi “Jembatan Udara”, Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi didampingi Asisten Pengamanan Kasau Marsekal Muda TNI Sukotjo dan Kadispenau Marsekal Pertama Agus Achdijat memberikan pengarahan kepada penerbang dan crew Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship sebelum pergerakan pesawat dari hangar menuju ke Pelabuhan Udara Kemayoran.
Setelah semuanya siap maka Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship terbang menuju ke Pelabuhan Udara Kemayoran, untuk membantu penerbangan sipil yang kosong karena pesawat GIA tidak beroperasi.
Pada hari itu juga TNI Angkatan udara mengoperasikan delapan pesawat meliputi empat Pesawat C-130 Hercules dan empat Fokker F-27 Troopship untuk penerbangan dalam negeri. Route untuk penerbangan Pesawat C-130 Hercules dari Jakarta-Ujung Pandang, Jakarta-Pekanbaru, Jakarta-Surabaya. Sementara untuk Pesawat F-27 Troopship Jakarta-Bangka, Jakarta-Pontianak, Jakarta-Betung, dan Jakarta-Semarang.
Selama melaksanakan operasi Jembatan Udara mulai dari tanggal 31 Januari sampai dengan 3 Februari 1980 tercatat sudah 34 sorties penerbangan. Masing-masing tanggal 31 Januari 1980 11 kali penerbangan Pergi pulang Pesawat C-130 Hercules dari satu kali Jakarta-Ujung Pandang-Pekan Baru dan dua kali Jakarta-Surabaya. Pesawat Fokker F27 Troopship satu kali dari Jakarta-Bangka-Teluk Betung-Talang Betutu dan dua kali Jakarta-Semarang-Pontianak.
1 Februari 1980 ada lima penerbangan, dua kali dengan Pesawat C-130 Hercules Jakarta-Ujung Pandang, tiga kali penerbangan menggunakan Pesawat Fokker F-27 Troopship Jakarta-Branti, Jakarta Pontianak, dan Jakarta-Semarang.
2 Februari 1980 ada 12 penerbangan, lima penerbangan menggunakan Peswat C-130 Hercules satu kali Jakarta-Pekan Baru-Ujung Pandang, tiga kali Jakarta-Surabaya.
3 Februari 1980 ada enam penerbangan, Pesawat C-130 Hercules satu kali Jakarta menuju Ujung Pandang, Ambon, Pekan Baru, dan dua kali ke Surabaya. Pesawat Fokker F-27 Troopship dua kali penerbangan satu kali ke Semarang dan satu kali ke Pontianak.
Untuk mempermudah menghapal pesawat, oleh manajemen bandara dan untuk memenuhi ketentuan penerbangan sipil, maka Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship TNI AU diberikan kode PK-VFJ, PK-VHE, PK-VHH, PK-VHJ dan PK-VFK.
Sebagai wujud keseriusan melaksanakan tugas Negara melalui Jembatan Udara Tahun 1980, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi senantiasa melakukan pemantauan dan pengendalian jalannya operasi dan kesiapan pesawat TNI Angkatan Udara.
Meskipun Operasi Jembatan Udara itu hanya berlangsung secara siingkat selama lima hari, namun pengabdian TNI Angkatan Udara saat itu sangat dirasa besar manfaatnya oleh masyarakat pengguna jasa penerbangan. Kondisi itu dapat dilihat dari respon masayarakat melalui berbagai media massa nasional yang memuat tentang bagaimana pengabdian TNI Angkatan Udara dapat dirasakan. Sebagian besar penumpang merasakan beruntung, walaupun kondisi penerbangan GIA mengalami hambatan, namun berkat adanya Operasi jembatan Udara keperluan penerbangan dan dipenuhi dengan Pesawat TNI AU dan Pelita Air Service.

Di darat atau di udara seperti dalam cabin "Hercules" TNI AU ini, berita "Krisis Garuda" sedang menjadi pusat perhatian masyarakat.
Dari data penerbangan yang dilaksanakan selama lima hari saat Operasi Jembatan Udara, Pesawat C-130 Hercules tercatat melaksanakan terbang selama 97 jam 10 menit, membawa 1.727 orang dan cargo seberat 53.179 kg. Pesawat Fokker F-27 Troopship mampu mencatat 68 jam 20 menit jam terbang, 993 orang penumpang dan Cargo 35.968 kg.
Sehingga selama lima hari Operasi Jembatan Udara itu dilaksanakan telah tercatat pesawat TNI AU mencatat total penerbangan sebanyak 165 jam 30 menit, mengangkut personel sebanyak 2.720 orang, dan mengangkut barang/cargo 89.147 kg.
Operasi Jembatan Udara pada awal tahun 1980 merupakan wujud kemanunggalan TNI Angkatan Udara dengan rakyat, disisi lain bahwa dengan kinerja dan pengabdian yang dilaksanakan hanya singkat dapat pula meningkatkan citra TNI AU dimata masyarakat, karena dengan sukses mampu memberikan pengabdian terbaik untuk masyarakat dengan bantuan angkutan udara kepada masyarakat.
Dan juga bahwa kesiapan TNI Angkatan Udara dalam menjalankan tugas Operasi Jembatan Udara membuktikan bahwa TNI AU tidak hanya siap untuk fungsi penegakan hukum di udara sesuai matra udara, tetapi juga mampu mengemban misi sebagai pelindung masyarakat.

Tanggal 4 Februari 1980. Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo sesaat setelah membubarkan Operasi Jembatan Udara dan Pusat Pengendalian Krisis, mengadakan peninjauan langsung ke lapangan udara Kemayoran.  Tampak para awak pesawat TNI Angkatan Udara.

TNI-AU. 

SIMBOL PESAWAT AURI



Sebuah pesawat terbang yang tanpa menggunakan tanda pengenal atau identitas, maka pesawat tersebut akan dicurigai sebagai pesawat yang tidak dikenal negara asalnya. Setiap negara memberi tanda pengenal pesawatnya agar diketahui dari mana asalnya, termasuk Indonesia. Bagi AURI identitas pesawat terbangnya adalah berbentuk segilima berwarna merah putih, pinggirnya merah tengahnya putih. Tanda pengenal/identitas pesawat AURI yang sekarang digunakan mempunyai riwayat yang berhubungan dengan perjuangan anggota AURI dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. 
Dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia banyak mendapat pesawat terbang peninggalan dari Belanda dan Jepang yang masih bisa dipakai maupun yang tidak. Pesawat-pesawat ini mempunyai tanda pengenal. Jepang misalnya berbentuk lingkaran berwarna merah yang merupakan simbol matahari terbit. Ketika kita merebut pesawat-pesawat Jepang pada tahun 1945 oleh para pejuang RI simbol tersebut separuh di bagian bawah di cat putih sehingga menjadi merah putih. 

Pesawat Cukiu dengan tanda merah putih bulat
Tanda pengenal yang berbentuk lingkaran merah putih ini dipakai dari tahun 1945 sampai dengan 1948. Tahun 1950 sampai dengan 1954, tanda pesawat AURI, merah putih berbentuk persegi panjang yang disesuaikan dengan bentuk bendera kebangsaan yang sebenarnya. Simbol ini mulai dipergunakan pula untuk pesawat-pesawat yang diserahkan Belanda untuk menggantikan tanda pesawat Belanda yang berbentuk persegi empat atau lingkaran berwarna merah putih biru. 

Pesawat Nishikoren dengan tanda merah putih bujur sangkar
Mulai tahun 1954 berdasarkan Surat Keputusan KSAU No. 8/5/Pen/KS/1954 tanggal 21 Januari 1954 tanda pengenal atau tanda kebangsaan pesawat AURI diganti menjadi bentuk segilima merah putih. Dalam surat keputusan tersebut antara lain dijelaskan bahwa segilima yang memberikan arti Pancasila (lima dasar) di letakkan di : 
1. Sebelah kiri dan kanan badan pesawat di antara gambar huruf dan angka nomor registrasi. 
2. Atas sayap kiri pesawat. 
3. Atas dan bawah sayap kanan pesawat. 
Sejak tahun 1954 hingga sekarang tanda kebangsaan pesawat terbang AURI berbentuk segilima berwarna merah putih. Kemudian, untuk tanda kebangsaan pesawat terbang dari angkatan lain dan Polri sama dengan tanda kebangsaan pesawat TNI.AU dengan tambahan tanda-tanda khusus yang diberikan masing-masing angkatan dan Polri.

Pesawat Harvard dengan tanda merah putih segilima
Misalnya pesawat terbang TNI.AD tanda kebangsaannya adalah berbentuk segilima warna merah dan putih, di tengahnya (bagian putih) ada gambar bintang. Sedangkan tanda kebangsaan pesawat terbang dari TNI.AL berupa segilima warna merah dan putih yang di dalamnya ditambah gambar jangkar, sedangkan identitas pesawat terbang sipil Indonesia, menggunakan huruf PK yang mengikuti standar Internasional dari ICAO (International Civil Aviation Organization) atau Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. 

MENGENAL PESAWAT CUKIU PADA MASA KEJAYAANNYA



Pesawat Cukiu termasuk pesawat berukuran kecil  bersayap satu, bermesin tunggal dibuat oleh Pabrik Tachikawa, Jepang tahun 1938.  Bermotor radial dingin angin “Hitachi”  mempunyai kekuatan  450 dayakuda.   Kecepatan jelajah  210 km/h, Kecepatan mendarat 95 km/h, Jarak Tempuh Terbang 950 km, batas ketinggian 5000 m. 
Pesawat Cukiu buatan Jepang itu tergolong dalam jenis pesawat latih lanjut walaupun awalnya dimaksudkan  sebagai pesawat  pengintai darat yang dilengkapi dengan satu senjata kaliber 7,7 mm. Pesawat tersebut pernah menjadi kekuatan udara Jepang ketika mengalahkan Belanda dan menduduki Indonesia sejak tahun 1942.
Pesawat tersebut di­kenal dengan memiliki tiga nama yaitu Ki-55, Cukiu dan Ida.  Ki-55 adalah nama yang populer di lingkungan militer Jepang. Sedang­kan Cukiu nama yang popular di Indonesia, sementara itu Ida adalah nama yang diberikan oleh tentara sekutu pada masa Perang Pasifik.
Oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)  Cukiu dioperasikan dari tahun 1946 sampai dengan 1948 diperuntukkan sebagai pesawat latih lanjut, pengintai dan pengangkut.   Sebagai identitas pesawat ini,  pada body bagian belakang terdapat tanda lingkaran berwarna Merah Putih yang melambangkan bendera Indonesia sekaligus mengandung arti bahwa pesawat tersebut adalah pesawat milik Indonesia.   Pada awal mulanya sebelum lingkaran tersebut, hanya berwarna putih ditengahnya ada lingkaran berwarna merah yang melambangkan bendera Negara Jepang.
      Pada bagian “vertical elevator”  tertulis huruf TK yang merupakan singkatan kata Tjukiu.
Ketika terjadi pengambilalihan beberapa pangkalan udara dari tangan Jepang, beberapa pesawat Cukiu berhasil disita dan dikuasai  di Pangkalan Udara Bugis Malang dan Pangkalan Udara Cibeureum Tasikmalaya.   Di Pangkalan Udara Bugis Malang  tercatat 25 pesawat cukiu,  namun tidak diketahui jumlah pasti di Pangkalan Udara Cibeureum.           Dari beberapa pesawat yang berhasil di kuasai,  tetapi tidak semua pesawat dapat digunakan, karena kondisi yang ada tidak terpelihara dan dalam keadaran rusak,  mengingat untuk menghidupkan kembali membutuhkan suku cadang yang diperlukan namun tidak ada dan bahkan untuk mencarinya harus kemana, karena negara masih dalam kodisi Negara serba darurat.

Pesawat Cukiu kode TK dan nomor seri 105
Pada waktu itu bulan September 1945, pesawat-pesawat Cukiu yang ada di Lanud Bugis Malang mulai diperbaiki.   Tahap awal para teknisi-teknisi Bangsa Indonesia berhasil memperbaiki empat pesawat, setelah dinyatakan bisa hidup kemudian pesawat-pesawat itu diberi nomor registrasi Cukiu  001, Cukiu 002, Cukiu 003 dan Cukiu 004.
Setelah pesawat-pesawat itu selesai diperbaiki oleh para teknisi bangsa Indonesia muncul masalah baru, masalah tersebut karena saat itu di Pangkalan Udara Bugis tidak ada pilot yang bisa menerbangkan pesawat tersebut untuk melaksanakan uji terbang (test flight).
Untuk keperluan test flight tersebut didatangkanlah Dr. Soegiri  bersama dua orang pilot dan seorang montir warga negara Jepang dari Surabaya.   Ketiga orang Jepang tersebut sudah memakai nama Indonesia  yaitu Ali dan Atmo adalah pilot serta Amat seorang montir.   Awalnya dua orang pilot tersebut menolak untuk melakukan test flight karena sesuai dengan perjanjian  yang diadakan dengan Sekutu orang Jepang tidak diperbolehkan terbang di Indonesia.   Namun setelah didesak dan diyakinkan bahwa mereka adalah penerbang Indonesia, akhirnya mereka dengan senang hati mau menerimanya.

Pesawat Cukiu T-108 berdampingan dengan Pesawat Angkut C-47 Dakota. Pada bodi bagian belakang Cukiu terlihat bulatan berwarna merah putih. Begitu juga pada vertikal elevator terlihat persegi merah putih sebagai lambang bendera RI

Dari hasil pengecekan  yang dilaksana­kan oleh para penerbang dan teknisi pada pemerintahan Jepang, ternyata hanya dua Pesawat Cukiu yang benar-benar  siap untuk dilaksanakan test flight yaitu Cukiu 003 dan Cukiu 004. Akhirnya kedua pesawat tersebut pada tanggal 17 Oktober 1945 diterbangkan, yang pertama take off adalah Pesawat Cukiu 003 dengan penerbang Atmo didampingi seorang montir bernama Amat.   Setelah 15 menit di udara kemudian pesawat mendarat dalam keadaan selamat namun mesin masih dirasa belum sempurna.   Setelah penerbangan pertama berhasil mendarat dengan baik, kemudian menyusul test flight kedua pesawat Cukiu 004 dengan penerbang Ali didampingi montir AS Hananjudin.   Selama limabelas menit pesawat mengudara di atas kota Malang kemudian  mendarat kembali dengan selamat.
Dalam test flight tersebut AS Hanandjudin diberi pelajaran cara-cara mengemudikan pesawat  udara dan tentu saja hal tersebut tidak disia-siakannya.   Kemudian penerbang Jepang tersebut juga sempat mencoba keberanian  bangsa Indonesia  yang sedang bersamanya, dengan mengadakan terbang akrobatik dan seakan-akan menyambar-nyambar di sekitar kota Malang.   Penerbangan yang cukup lama itu tentu saja menarik perhatian beribu-ribu rakyat dan sambil bersorak-sorak kegirangan mereka melambaikan tangan.  Cukiu 003 juga sempat diterbangkan oleh seorang teknisi yang bernama Sukarman setelah mendapat pelajaran singkat dari Atmo.  Sukarman sempat menerbangkan Cukiu 003 selama 2 jam mengitari kota Malang.
Pada awal tahun 1946 satu pesawat Cukiu yang berada di Malang, diserahkan ke Sekolah Penerbang Yogyakarta.   Pesawat Cukiu tersebut diterbangkan sendiri oleh Agustinus Adisutjipto.  Penyerahan pesawat Cukiu tersebut merupakan realisasi dari permintaan Agustinus Adisutjipto untuk para kadet Sekolah Penerbang Yogyakarta.  Permintaan pesawat tersebut berawal dari kunjungan Agustinus Adisutjipto pada bulan Desember 1945  ke Pangkalan Udara Bugis Malang dan melihat banyaknya pesawat-pesawat peninggalan Jepang.
Karena wilayah Malang, dibawah kendali Divisi VIII maka Agustinus  Adisutjipto menghubungi pihak Divisi VIII, hanya hasilnya tidak menggembirakan dan keberatan mengijinkan pesawat-pesawat terbang dari Bugis dibawa ke Yogyakarta.  Karena tidak puas atas jawaban dari Divisi III serta keinginannya untuk memiliki pesawat tersebut, kemudian Agustinus Adisutjipto pergi ke Pangkalan Udara Bugis dan menemui pimpinannya.
Akhirnya usahanya menampakkan hasil dan tidak sia-sia, bahkan hal ini mendapat tanggapan yang baik dari pimpinan Pangkalan Udara Bugis.   Kemudian Tanggal 17 Februari 1946 merupakan hari yang berarti buat Agustinus  Adisutjipto, karena telah berhasil menerbangkan sebuah pesawat Cukiu dari Pangkalan Udara Bugis menuju Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebagai sumbangan pesawat udara pertama dari TKR Udara Malang kepada Sekolah Penerbang Yogyakarta.
Pada tanggal 5 Maret 1946, satu lagi pesawat Cukiu yang ada di Bugis Malang dibawa ke Pangkalan Udara Solo.   Perpindahan satu pesawat Cukiu tersebut atas permintaan Opsir Udara II Soejono (Komandan BKR Udara Solo).   Adapun pesawat yang diberikan ke Solo tersebut sudah diberi nomor registrasi yaitu Cukiu 007 dalam keadaan flegklaar (siap terbang).

Pesawat Cukiu di Lanud Bugis pada awal Perang Kemerdekaan
Satu Pesawat Cukiu yang berada di Pangkalan Udara Cibeureum juga berhasil diperbaiki oleh 18 orang teknisi pesawat dari Bandung.   Kedelapan belas teknisi yang dikoordnir oleh Toeloes Martoadmodjo adalah M Jacoeb, Agoes Rasidi, Abdoel Gaffur, Karmoes S., Tatang Endi, Hasan, Asep Rosadi, Wirajat, Machmoed, Abdoel Tocman, Endang Adjesan, Sanoesi, Samsoe, Didi Samsoedin, Soedarso, Maskanan, dan Soedarman.   Perbaikan pesawat Cukiu di Lanud Tasik ini atas permintaan ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Tasikmalaya.  Pesawat ini kemudian diberi identitas merah putih untuk menunjukkan bahwa pesawat-pesawat tersebut sudah menjadi milik Indonesia.  Walaupun Pesawat Cukiu berhasil diperbaiki tetapi tidak dilakukan uji atau percobaan terbang.
Salah satu pesawat cukiu mengalami kecelakaan pada saat penerbangan dari Yogyakarta menuju Malang pada saat melakukan pendaratan darurat di Sundeng Pacitan.  Waktu itu pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Soejono dengan seorang teknisi Oemar Slamet.   Ketika pendaratan darurat, masyarakat setempat mengepung pesawat tersebut dan hampir terjadi salah pengertian sehingga penerbangnya hampir terbunuh, karena belum tahu kalau pesawat tersebut adalah milik bangsa Indonesia dan mereka memperkirakan pesawat tersebut pesawat musuh.
Pada tanggal 14 September 1945, pesawat Cukiu mendarat di Kediri (Nirbojo) yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Patah.  Pada tanggal 1 April 1946, dilaksanakan penerbangan solo oleh Abd. Saleh, Mantiri, Soenarjo.  Penerbangan itu merupakan permulaan latihan dengan pesawat Tjukiu.
Disamping latihan terbang hal itu sekaligus mengemban tugas negara, pada tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Cukiu yaitu TK-04, TK-05 dan TK-06 tinggal landas dari Maguwo menuju Lapangan Udara Kemayoran Jakarta.  Penerbangan tiga cukiu tersebut dalam rangka  membawa rombongan Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Mayor Jenderal Sudibyo untuk melaksanakan perundingn dengan Sekutu tentang pemulangan RAPWI (Repatriation Allied Prisoners of War and Internees).  Jarak dari Maguwo ke Kemayoran ditempuh dalam waktu kurang dari 105 menit.

Tiga buah pesawat Cukiu  di Lapangan Udara Kemayoran tanggal 23 April 1946  membawa pimpinan TRI ke perundingan APWI
Sehari kemudian (24 April 1946) setelah perunding­an selesai dua pesawat Cukiu berhasil mengudara dengan tujuan yang berbeda. Cukiu dengan registrasi TK 06  diterbangkan oleh Opsir Udara II Iswahjudi dan Opsir Udara II A. Rasjid bertolak dari  Pangkalan Udara Kemayoran menuju Gorda Banten mengantarkan Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Udara Surjadi Suryadarma.   Penerbangan itu ditempuh dalam waktu 20 menit.  Setelah menginap semalam, esok harinya pesawat cukiu kembali mengudara meninggalkan Gorda menuju ke  Selat Sunda melintas ke Teluk Betung selanjutnya ke Branti (Sumsel).  Karena keadaan yang tidak mengijinkan  mereka tidak dapat mendarat di lapangan terbang Branti dan harus kembali ke Banten.  Mereka terbang 2 jam 15 menit terus menerus.
Cukiu TK-05 mengudara  menuju Kalijati terus ke Yogyakarta dengan  Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto sebagai penerbangnya.  Misi mengantarkan Mayjen Sudibyo.  Sedangkan Cukiu TK 04 rusak tinggal di Kemayoran. Crew Opsir Udara II Imam Suwongso dan  Opsir Muda Udara II Kaswan Sumohardjono ditangkap Belanda  di Jatinegara.
Pada tanggal 21-26 Mei 1946, dilakukan penerbangan formasi yang terdiri atas 4 pesawat ke Jawa Barat, Sumatera dan Madura.  Dua pesawat ke Serang dengan penerbang Husein Sastranegara dan Santoso.   Satu pesawat terbang melalui Malang dengan Opsir Udara Sunarjo dan Soeparman.  Pesawat keempat dengan penerbang Opsir Udara Soejono beserta Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.
Dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama tanggal 17 Agustus 1946, para anggota teknik udara Pangkalan Udara Bugis bermaksud membuat suatu acara, yaitu menerbangkan “Pesawat Merah Putih” di atas Kota Malang. Tetapi muncul permasalahan, “Siapa yang akan menerbangkannya”, sedangkan penerbang-penerbang Jepang telah kembali ke negerinya dan anggota teknik yang pernah mendapat kesempatan  belajar terbang dari Jepang, belum berani menerbangkannya yaitu Soekarman, Moedjiman, Idung Soekotjo, Djauhari dan AS Hanandjudin.   Tetapi mereka telah bertekad pada hari itu pesawat Merah Putih harus berada di Angkasa Indonesia.  Kalau Sulistijo adalah seorang penerbang, tidak demikian halnya dengan Soekarman.  Soekarman adalah seorang teknisi pesawat.   Penunjukan Soekarman sebagai salah satu penerbang pesawat Cukiu berbendera merah putih pertama tersebut cukup menggelikan.
Setelah mereka berunding, ternyata Soekarnan dan Sutarmadji bersedia untuk menjadi sukarelawan (bisa disamakan dengan bunuh diri) untuk menerbangkan pesawat yang sama sekali belum mereka kuasai.    Alasan lain dia mempunyai kelainan di mata serta belum mempunyai keluarga, sehingga tidak akan merepotkan teman-teman jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.  Waktu itu teman-temannya pun telah bersedia untuk menyiapkan semacam dana “pensiun” yang diambilkan dari gaji masing-masing dengan cara di potong sebesar Rp 2,5,- setiap bulan selama masih berdinas di penerbangan.
Pada waktu itu tanggal 17 Agustus 1946 dipagi hari seluruh anggota Pangkalan Udara Bugis telah siap di tempat yang telah di tentukan.   Kemudian waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB menderulah dua pesawat Cukiu dengan nomor registrasi 001 dan 003 yang diawaki Penerbang Sulistijo dengan juru teknik Supardi dan  Sukarnan dengan saudaranya (Sudarmadji)  yang hendak melakukan demonstrasi terbang.   Tak lama kemudian  pesawat take off meninggalkan pangkalan Udara Bugis  tanpa mengalami kesulitan, selanjutnya melakukan “mission” untuk mengobarkan semangat rakyat Jawa Timur umumnya dan Malang khususnya serta menanamkan rasa cinta dirgantara.
Apa yang telah dilakukan oleh pesawat-pesawat Cukiu ini sangat mendebarkan hati yang melihatnya, karena mereka melakukan demonstrasi terbang rendah di atas alun-alun dan pasar Malang, bahkan karena begitu rendahnya  seakan-akan hampir saja menyambar terutama pucuk atap gereja yang tergolong gedungnya tinggi.   Setelah pesawat kembali ke Lapangan Udara Bugis dan waktu akan mendarat tampaknya penerbang mengalami kendala di pesawat, hal itu terbukti bahwa pesawat lama berputar-putar saja di atas serta belum ada tanda-tanda akan mendarat.   Hal ini menimbulkan kekhawatiran anggota yang berada di bawah, barangkali dikarenakan kehabisan bahan bakar pesawat akhirnya terpaksa mendarat.   Pendaratan salah satu dari dua pesawat tersebut tidak berjalan mulus, pesawat terjungkir di landasan sehingga pesawat terpotong jadi tiga bagian dan motornya terlepas.   Sementara penerbang dalam keadaan selamat namun sedikit mengalami luka-luka ringan.
Hal ini sangat menggembirakan dan mengharukan teman-temannya setelah mendarat dan penerbang terlihat aman dan selamat, kemudian segera secara bersama-sama teman-teman yang berada di bawah segera mengeluarkan kedua pilot dari dalam pesawat, dan mereka berdua dianggap sebagai “Pahlawan Teknik Udara Malang”.
Salah satu pesawat Cukiu bersama pesawat  Cureng  dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Udara Bugis Malang di kirim ke Pangkalan Udara Panasan Solo.  Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Soejono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik.    Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta api.  Sesampai di Solo ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946.   Setelah berhasil diperbaiki, dilakukan test flight yang dilakukan oleh seorang penerbang RAF (Tan Gie Gan) yang kebetulan ada di sana. Test flight dilakukan dua kali.  Test flight pertama di atas kota Solo tidak berjalan dengan baik, tetapi setelah diadakan perbaikan test flight kedua berhasil dengan baik.
Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng, Cukiu dan Cureng menuju pangkalan  Udara Cibeureum Tasikmalaya.   Kemudian melanjutkan  penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten, setelah mendarat di Gorda Pesawat Cureng ditinggalkan karena mengalami kerusakan mesin.   Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung.  Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda.  Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin.   Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
Pada tanggal 26 September 1946, sebuah pesawat Cukiu jatuh di Gowongan Utara (Yogyakarta) yang mengakhibatkan meninggalnya Penerbang Opsir Udara Husein Sastranegara beserta Juru Teknik Rukidi.   Pada saat itu, Pesawat Cukiu yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara mengemban misi test flight di kota Yogyakarta.   Rencana awal bahwa Pesawat tersebut akan digunakan untuk  mengangkut Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Syahrir menuju Malang.   Namun beberapa saat setelah take off dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, pesawat  mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Utara Yogyakarta. 
Pada tanggal 3 Oktober 1946 peristiwa tidak terelakkan kembali, terjadi sebuah Pesawat Cukiu jatuh di Ambarawa yang menyebabkan meninggalnya Kadet Udara I Wim Prajitno dan Kadet Udara I Soeharto.
Pada tanggal 5 oktober 1946, pada hari Angkatan Perang tiga buah pesawat Cukiu mengudara untuk menyebarkan pamflet dan mengadakan pemoteran udara.  Adapun awak pesawat yang menerbangkan pesawat tersebut adalah Dr. Abdulrachman Saleh dengan  seorang anggota pemotret, Soejono dan Arjono, Iswahjudi.   Pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Soejono jatuh di Sagau, akan tetapi dengan peristiwa itu tidak memakan korban karena penerbang dan pemotret keduanya selamat.
Salah satu pesawat cukiu yang sudah menjadi milik RI yang berlambangkan merah putih, pernah berubah identitas seperti bendera Jerman. Waktu itu sekitar  tahun 1946/1947 sebuah pesawat cukiu terbang ke Sumatera dan mendarat disebuah lapangan terbang Sungai Buah dekat Palembang.  Pesawat itu diterbangkan oleh Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma. Karena bahan bakarnya habis dan persediaan bensin udara tidak ada, terpaksa nongkrong untuk beberapa waktu di Palembang.  Kesempatan itu oleh Yacoeb dipergunakan untuk overhaul  terhadap pesawat yang kehabisan bahan bakar  tersebut. Setelah itu M. Jacoeb mendapat ilham untuk merubah tanda pengenal  merah putih bulat menjadi gambar garuda hitam, mirip dengan symbol Negara Jerman.  Tujuannya adalah untuk mengelabui lawan agar dapat menembus blokade udara pihak Belanda yang sangat ketat.  Kita mengelabui Belanda dengan membuat identitas gambar mirip dengan negara lain di Eropa, yaitu Jerman.   Kalau melihat pesawat terbang Jerman,  Belanda diperkirakan tidak akan menyerang.  Kemudian setelah ada bahan bakar, pesawat tersebut diterbangkan kembali oleh Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma untuk kembali ke Yogyakarta.

TNI-AU. 

KIPRAH CURENG DIAWAL KEMERDEKAAN


Beberapa pesawat Curen di PU Maguwo Yogyakarta
Nama cureng merupakan nama lokal Indonesia, dalam bahasa Jepang  pesawat buatan pabrik Nippon Hikoki KK tahun 1933 ini dikenal dengan sebutan Yokusuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan pihak Serikat menyebutnya dengan “Willow”. Dalam Perang Pasifik, pesawat ini dijuluki  dengan   “Red Dragonfly” (Si Capung Merah).  Sejak berlangsungnya perang Cina-Jepang sampai tahun berakhirnya perang Pasifik telah diproduksi sebanyak 5.591 buah pesawat. Beberapa buah diantaranya digunakan untuk pasukan penyerang “kamikaze” meskipun sebenarnya pesawat ini dibuat untuk pesawat latih lanjut.
Pesawat Cureng  tergolong pesawat kecil bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan  dua tempat duduk (depan belakang). Copit  tanpa kanopi penutup atas sehingga bagian kepala dan dada penerbang kelihatan jelas dari luar.   Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” dengan kekuatan 350 dayakuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/h dan  kecepatan mendarat 92,6 km/h.  Pencapai terbang sejauh 708 km dengan  batas ketinggian praktis 4000 m dengan lama terbang 4½ jam.
Cureng ini merupakan pesawat peninggalan Jepang yang paling banyak dibandingkan dengan pesawat lainnnya.   Di Indonesia pesawat cureng ini ditemukan hanya di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebanyak 50 buah.  Untuk memastikan kondisi pesawat tersebut atas perintah Suryadi Suryadarma, didatangkan teknisi dari Pangkalan Udara Andir Bandung.  Di Pangkalan Udara Maguwo waktu itu tidak ada teknisi pesawat.  Dua orang dari beberapa teknisi dari Bandung tersebut  adalah Basir Surya dan Tjarmadi.
Dari hasil pemeriksaan secara umum semua pesawat tersebut dinyatakan dalam keadaan rusak,  kecuali tiga yang masih dalam keadaan lengkap walaupun dalam keadaan rusak ringan.  Ketiga Pesawat Cureng ini me­rupakan pesawat yang siap terbang ketika terjadi perebut­an pangkalan oleh BKR dan lascar yang ada di Yogyakarta, namun batal karena kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Suharto (mantan Presiden RI).   Waktu itu Suharto sempat taxi (memarkir pesawat) ketiga pesawat tersebut setelah para penerbangnya yang orang Jepang ditawan dan PU Maguwo berhasil direbut. Hanya dalam waktu satu hari yakni tanggal 26 Oktober satu pesawat Cureng dapat diperbaiki dan dinyatakan siap test flight setelah diberi tanda berupa lingkaran berwarna merah putih sebagai simbol bendera RI yang sekaligus menyatakan bahwa pesawat tersebut sudah menjadi milik Republik Indonesia.

Satu pesawat Cureng sedang diperbaiki di PU Maguwo Yogyakarta
Test flight dilakukan tanggal 27 Oktober 1945 pukul 10.00 selama 30 menit oleh Agustinus Adisucipto yang didampingi oleh Rudjito.    Dipilihnya Agustinus Adisucipto untuk test flight ini karena ia mempunyai wing penerbang yaitu Groot Militaire  Brevet.   Namun wing penerbang yang dimiliki adalah kualifikasi penerbang dengan pesawat Eropa, bukan pesawat Jepang.  Penerbangan ini tercatat sebagai penerbangan pesawat  beridentitas merah putih yang pertama di alam Indonesia merdeka oleh pemuda Indonesia sendiri.
Setelah penerbangan pertama itu, para teknisi terus bekerja memperbaiki pesawat – pesawat  yang ada di Maguwo. Pada awal Januari 1946, berhasil diperbaiki dan disiapkan  25 pesawat lagi hingga siap terbang.  Pesawat cureng tersebut kemudian menjadi kekuatan Pangkalan  Udara Maguwo yang sekaligus menjadi kekuatan Sekolah Penerbangan yang dipimpin oleh Agustinus Adisucipto.  Sekolah Penerbangan itu dibuka pada tanggal 15 November 1945. Karena itu pesawat cureng umumnya hanya diterbangkan oleh para kadet Sekbang.    Para kadet angkatan pertama sekolah penerbang ini tercatat 31
Tanggal 14 Januari 1946 salah satu pesawat cureng mengudara dari Pangkalan Udara Maguwo.  Namun naas pesawat Cureng tersebut mengalami kecelakaan. Waktu itu pesawat  diterbangkan oleh Iswahjudi dan Wiriadinata sebagai penumpang.   Kedua orang yang berada dalam penerbangan itu selamat.  Peristiwa ini merupakan kecelakaan pesawat cureng pertama  yang sekaligus merupakan kecelakaan pesawat pertama di alam Indonesia merdeka.  Benar juga apa yang dikatakan oleh para penerbang Royal Air Force (RAF) yang pernah datang ke Yogyakarta.  Para penerbang itu mengatakan “You are flying Coffin” (Tuan menerbangkan sebuah peti mati).
Kecelakaan pesawat tersebut ternyata tidak membuat ciut  nyali para penerbang muda waktu itu dan tidak berkesimpulan bahwa pesawat jenis Cureng tersebut tidak layak terbang malah menjadi tantangan bagi pelopor pendiri dan pejuang AURI untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara yang baru berdiri.  Dua hari setelah kecelakaan tersebut (tanggal 16 Januari 1946), satu pesawat  Cureng diterbangkan oleh Suyono untuk melakukan  tugas pengintaian di Laut Selatan.  Misi pengintaian  menggunakan pesawat Cureng itu atas perintah Agustinus Adisucipto.  Pesawat Cureng take off dari Pangkalan Udara Maguwo menuju Parangtritis, sampai jauh ke Selatan di atas Lautan Hindia. Dalam penerbangan itu, pesawat sempat masuk awan hitam tebal sehingga penerbanganya sampai kehilangan orientasi (disorientasi). Peristiwa ini pun dicatat sebagai operasi penerbangan pertama dalam rangka misi pertahanan di Indonesia merdeka.
Sukses dengan fungsinya sebagai pesawat latih  melahirkan beberapa orang penerbang, pesawat  Cureng tercatat sebagai pesawat pertama yang digunakan dalam latihan terjun payung.  Latihan terjun payung pertama ini dilaksanakan tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo atas perintah Suryadi Suryadarma selaku kepala TKR jawatan Penerbangan.  Latihan terjun payung itu  menggunakan 3 pesawat Cureng yang masing-masing diterbangkan oleh A. Adisucipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo.  Adapun para penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut.    Satu pesawat untuk satu penerjun.  Penerjunan ini merupakan peristiwa penting bagi TNI Angkatan Udara bahkan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia bahwa  inilah awal dari munculnya pasukan para TNI.

Dua pesawat Curen mendarat setelah melaksanakan terbang Formasi
Pada tanggal 16 Maret 1946, sekali lagi H. Suyono  menerbangkan pesawat Cureng, kali ini bertolak dari Pangkalan Udara Bugis Malang menuju Utara untuk menyebarkan pamflet di atas kota Sidoarjo.  Dalam penerbangan itu ikut pula seorang montir pesawat, Sukarman.
Selain melaksana­kan latihan terbang solo, pesawat Cureng juga digunakan untuk latihan  terbang formasi  dan Cross Country (lintas daerah). Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng.  Penerbang­­­nya antara lain  Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso, dan Wim Prayitno.   Cross country ini merupakan terbang formasi dan lintas daerah yang pertama dilakukan oleh penerbang-penerbang Indonesia.
Tanggal 12 Mei 1946 kembali Pesawat Cureng diterbangkan ke arah Timur dan mendarat di Lapangan Sekip (Pamekasan).  Penerbangan yang dipiloti oleh  Opsir Udara II  Sujono dan Opsir Udara III Wim Prajitno dengan misi  memperbaiki lapangan udara   tersebut sebagai persiapan guna penerbangan berikutnya.  Ikut serta dalam penerbangan itu dua orang montir pesawat yakni Naim dan  Dulatif.  Dalam penerbangan kembali  kedua pesawat terpaksa mendarat di Pangkalan Udara Bugis  Malang karena mengalami kerusakan  di bagian kaki rodanya.
Pada tanggal 21 Mei 1946 empat pesawat cureng mengudara menuju beberapa daerah di Jawa barat dan Jawa Timur. Dua pesawat Cureng menuju ke Serang Jawa barat.  Cureng pertama diterbangkan oleh  Opsri Udara II Husein Sastranegara sebagai yang disertai H. Semaun dan pesawat kedua dipiloti oleh Opsir Udara III Santoso disertai seorang penumpang bernama Soeharto.  Sebuah pesawat Cureng menuju ke Malang dengan penerbang Opsir Udara III Sunarjo yang disertai seorang  penumpang Suparman. Sebuah pesawat terbang Cureng lainnya diterbangkan oleh Opsir Udara II H. Sujono dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma dalam penerbangan kearah Timur untuk mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah tempat pembuatan garam, karena belum adanya pangkalan udara yang siap untuk didarati. Setelah lima hari mengadakan perjalanan ,  pada tanggal 25 Mei 1946 keempat pesawat tersebut  kembali ke Maguwo dengan selamat.
Kemudian pada tanggal 10 Juni 1946, pada saat pembukaan Lanud Tjibereum Tasikmalaya diterbangkan 5 pesawat Cureng dari Maguwo dengan crew sebagai berikut :
-       Komodor A. Adisucipto dan Husein Sastranegara
-       Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh dan Tulus Martoatmodjo.
-       Opsir Udara Sujono dan Opsir Muda Udara Kaswan
-       Opsir Udara Wirjosaputro dan Opsir Udara Sunarjo.
-       Opsir Udara Iswahjudi dan Opsir Udara Suhodo.
Tanggal 8 Agustus 1946, sebuah pesawat Cureng diterbangkan dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta ke Pangkalan Udara Bugis Malang.  Adapun misi penerbangan yang dipiloti oleh Tugio adalah mengantarkan AS. Hananjuddin atas panggilan Divisi VIII Malang Imam Supeno.
Pada tanggal 2 September 946 salah satu pesawat Cureng kembali mengalami kecelakaan dan ini adalah kecelakaan kedua pesawat Cureng setelah kejadian pertama pada tanggal 14 Januari 1946.  Pesawat jatuh di Cipatujah (Tasikmalaya) sewaktu pesawat melakukan pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito.   Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi Merdeka.   Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono, pada tanggal 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara.

Tampak gambar samping: Pesawat cureng berperan penting dalam penyebaran pamflet dalam rangka penumpasan pemberontakan PKI Muso
Pada tanggal 29 Juli 1947, digunakan untuk menyerang kedudukan musuh (Belanda) di kota Ambarawa dan Salatiga.  Pesawat Cureng diterbang­kan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutardjo Sigit.   Pesawat Cureng juga digunakan  oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka Penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto.  Pada tahun 1948 saat meletusnya pemberontakan PKI Muso di Madiun pesawat ini digunakan untuk penyebaran pamflet, drooping obat-obatan dan logistik  bagi pasukan ABRI yang berada di daerah terpencil.
Dalam menumpas pemberontakan PKI Muso pada bulan September 1948, pesawat Cureng mendapat tugas menyebarkan pamflet kepada masyarakat agar tidak mengikuti pemberontakan PKI dan mendukung pemerintah untuk membasminya.  Untuk mengabadikan dan mengenang kiprah pesawat cureng ini, pada  tahun 1977 salah satu pesawat ini diabadikan di Museum TNI Satria Mandala.

TNI-AU. 

Pengamanan pilpres lebih berat, jumlah personel TNI ditambah

 Pengamanan pilpres lebih berat, jumlah personel TNI ditambah
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengungkapkan, pengamanan pelaksanaan Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014 akan lebih berat dibandingkan pengamanan pelaksanaan pemilu legislatif, oleh karena itu jumlah personel TNI akan ditambah.

"Ya, pasti ada penambahan personel. Kita akan sesuaikan. Karena menurut pandangan saya, pengamanan sekarang agak lebih berat. Kita akan sesuaikan dengan kebutuhan lapangan," kata Panglima TNI, usai acara Pencanangan Perluasan Tanam Kedelai bersama Menteri Pertanian Suswono di Desa Ponggang, Kecamatan Serang Panjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rabu.

Menurut dia, potensi gesekan calon presiden (capres) semakin besar. Pasalnya, tensi persaingan semakin meningkat jika dibandingkan dengan pemilihan legislatif (pileg) lalu.

Meski begitu, Moeldoko mengatakan, TNI sudah mengantisipasi segala gesekan yang muncul di lapangan. Karena itu, pihaknya bakal melakukan evaluasi sistem guna menyesuaikan beban pengamanan.

Dengan antisipasi itu, ia berharap, tidak ada satu kejadian kerusuhan selama masa kampanye. "Kemarin (pileg) cair sekarang mulai ada kristalisasi kubu A dan kubu B, kemungkinan ada gesekan," tutur mantan Wakil Gubernur Lemhannas ini.

Di tempat yang sama, Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Dedi Kusnadi mengatakan, Kodam III Siliwangi akan mengerahkan sekitar 7.200 personel yang diperbantukan untuk Polda Jabar dalam mengamankan pilpres.

"Di Kodam III ada 7.200 personel yang siap diperbantukan ke Polda Jabar. Yang cadangan ada sekitar 7.000 personel. Tak ada bantuan dari pusat," tuturnya.

Kendati sudah menyiapkan pasukan pengamanan pilpres, namun dirinya berharap pelaksanaan pilpres nanti berjalan dengan aman dan lancar, sepertihalnya pelaksanaan pileg lalu.

Soal pemetaan daerah rawan konflik, kata dia, pihaknya akan melihat situasi di lapangan.

"Kami akan akan lebih fokus ke Kota Bandung yang menjadi pusat kegiatan. Namun, bukan berarti daerah lain diabaikan, tetapi akan kami pantau. Bandung hanya sebagai barometer pelaksanaan pilpres," ujarnya.

Berdasarkan pengamatan intelijen, kata dia, pelaksanaan pilpres akan berlangsung dengan aman.

"Itu yang kita harapkan. Yang penting masyarakat juga ikut mengamankan, jangan seenaknya sendiri. Kami sudah koordinasi dengan polisi, pemda dan masyarakat," ucapnya.

Anda Percaya, Kami Pasti Bisa !

Awal mulanya istilah “kepentingan nasional” (national interest) mengacu pada bahasa Perancis raison d’Etat, atau dalam bahasa Inggris, reason of the state, yang secara sederhana diartikan sebagai, alasan-alasan utama eksistensi suatu negara. Pengertiannya tidak berhenti disitu, akan tetapi tersirat di dalamnya apa tujuan yang akan dicapai oleh negara tersebut serta ambisi-ambisi yang terkandung di dalamnya, apakah mengenai ekonomi, militer, budaya dan sebagainya.
Karakteristik utama sistem ini adalah pemeliharaan keseimbangan kekuatan (balanced of power),adanya suatu pemerintahan yang terpusat dan diakui/sah, teritori dengan batas-batas yang jelas, rakyat yang umumnya memiliki asal usul yang sama, bahasa yang sama serta berbagai bentuk budaya yang mengikat. Negara bangsa menjadi instrumen dari kesatuan nasional, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan budaya dan lain sebagainya.
(ilustrasi)
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kepentingan nasional suatu negara bangsa berkembang juga menjadi sangat beragam, namun yang paling umum dan utama yang secara pasti dianut oleh banyak negara adalah: eksistensi dan kelangsungan hidup negara, kesejahteraan rakyat/bangsa serta KEAMANAN.

Pertanyaannya lalu dimana kepentingan nasionalnya dan dimana kedudukannya terhadap konsep bernegara di atas? Salah satu rumusannya terdapat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 26 Januari 2008. Dalam Perpres tersebut kepentingan nasional kelihatannya sudah diposisikan pada tempatnya yang sebenarnya, karena selain menjadi landasan pertahanan Negara.
Dalam Perpres No. 7 tahun 2008 tersebut, telah ditetapkan kepentingan nasional Indonesia dalam tiga strata yaitu:
  1. Mutlak, kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berupa integritas teritorial, kedaulatan nasional dan keselamatan bangsa Indonesia.
  2. Penting, berupa demokrasi politik dan ekonomi, keserasian hubungan antar suku, agama, ras dan golongan (SARA), penghormatan terhadap hak azasi manusia, dan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
  3. Pendukung, berupa perdamaian dunia dan keterlibatan Indonesia secara meluas dalam upaya mewujudkannya.
Dari strategi keamanan nasional inilah kemudian dijabarkan lagi kedalam strategi bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi, militer, intelejen, sosial budaya dan sebagainya. Strategi militer nasional akan menjadi dasar penyusunan atau perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan/militer dengan pengertian bahwa kekuatan militer negara adalah kekuatan inti pertahanan.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa postur pertahanan tahun 2010-2029 diarahkan untuk membangun kekuatan yang bertaraf “Minimum Essential Force” (MEF). Terjemahan bebasnya barangkali menjadi; kekuatan pada tingkat minimum yang dapat diandalkan. Kekuatan (Force) disini berkonotasi pada jumlah Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) TNI termasuk personilnya serta pendukungnya dari ketiga Angkatan Darat, Laut dan Udara.

Kehadiran MEF ini juga menjadi jalan strategis memantapkan kekuatan pertahanan bahwa pengadaan Alutsista TNI akan diupayakan dari industri pertahanan di dalam negeri. Dalam rangka modernisasi Alutsista, Kemhan dan TNI akan sepenuhnya mengikuti kebijakan pemerintah menggunakan secara optimal produksi industri pertahanan dalam negeri. Kebijakan tersebut amat strategis, karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap negara lain seperti yg tertuang di UU Nomer 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
DSC_0205
Saat ini pemerintah menjadikan industri pertahanan dalam negeri menjadi prioritas pengadaan. Industri pertahanan dalam negeri pun diikutsertakan dalam penyusunan Rencana Induk kebutuhan Alpalhankam untuk mengetahui kemampuan saat ini. Salah satunya PT Pindad, perusahaan BUMNip ini memproyeksikan mampu memenuhi kebutuhan kendaran tenpur sebanyak 452 unit. Kebutuhan ini meliputi Panser 6×6 (332 unit), Ranpur roda rantai (45 unit), ranpur roda ban (71 unit) dan Tank Amphibi (14 unit).
Panser 2015-2019
Di tahun 2014 Perusahaan yg berdomisili di Bandung ini sedang menyiapkan sertifikasi Tank Kanon dan rencana pada tahun 2016 untuk tank kanon amphibi. Agar bisa meningkatkan kemampuan produsen peralatan pertahanan, Pindad pun menggandeng sejumlah perusahaan internasional. Kerjasama ini diharapkan membantu misi Pindad yaitu “Menjadi Produsen Peralatan Pertahanan dan Keamanan terkemuka di Asia pada tahun 2023,”.
DSC_0139
Kerjasama Internasional PT. Pindad

Tidak hanya PT. Pindad, dibidang Radio Detection and Ranging atau radar sejumalh perusahan tanah air juga melakukan kerjasama Internasional seperti PT. Inti yg mendapatkan pori pekerjaan sebanyak 40% dengan Northrop Grumman, PT. CMI yg dinilai dunia Internasional berhasil menghasilkan produk baik dan dipilih oleh Lockheed Martin sebagai mitra kerjasama, dan sejumlah perusahaan lainnya seperti InfraRCS Indonesia, IRCTR-Indonesia, dll.
DSC_0189
Lalu bagaimana dengan PT. Len, perusahaan radar BUMNip? Sama seperti yg lain, PT. Len juga bermitra dengan sejumlah instansi dalam negeri seperti LIPI, BPPT, maupun perusahaan swasta lainnya. Tidak hanya itu, sejumlah perusahaan Internasional juga menjadi mitra dalam pengembangan teknologi radar maupun elektronik pertahanan lainnya seperti SAAB, Thales UK, Selex ES, dll. Saat ini PT. Len sedang focus mendirikan pabrik industry photovoltaic atau yang dikenal Len Technopark yang dibangun untuk mengejar Visinya yaitu “Menjadi perusahaan elektronik kelas dunia,” bisa tercapai.
DSC_0199

“Saya optimis di tahun 2016, kita dapat membuktikan
kepada semua pihak khususnya Negara
bahwa Len siap Go Public,”…
(Andra Y. Agussalam-Direktur Keuangan PT. Len)
DSC_0191
Salah satu peneliti mengatakan begini, “Ketika user atau pemerintah percaya, kami pasti bisa semangat pun  akan membara untuk membuktikan bahwa kami bisa memberikan terbaik untuk bangsa dan masyarakat kita,”Semoga upaya-upaya yang telah dilakukan oleh segenap komponen bangsa dalam menguasai teknologi pertahanan mampu mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan disegani oleh dunia internasional. Bersambung…..
(Jalo dan berbagai sumber)

JKGR. 

Ormas dinilai penting dalam sistem pertahanan negara

Ormas dinilai penting dalam sistem pertahanan negara
Pembukaan Rapimnas LDII Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (kedua kiri) didampingi Ketum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Abdullah Syam (ketiga kiri) dan anggota penasehat DPP LDII Abdul Syukur (kiri) memasuki ruangan Rampimnas LDII di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (13/5). Dalam rapimnas itu Moeldoko membawakan materi berjudul "Peran Serta Ormas dalam Sistem Pertahanan Nasional". (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan posisi organisasi masyarakat (ormas) sangat penting dalam sistem pertahanan negara karena sebelum diinvasi harus membangun kesadaran bersama dalam bidang bela negara.

"Di dalam Rapimnas tadi membahas soal peran ormas dalam ketahanan negara. Saya katakan bahwa peran ormas sangat penting dalam sistem pertahanan negara," ujar Jenderal Moeldoko usai menghadiri Rapimnas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Balai Kartini, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, sebelum diinvasi harus membangun kesadaran bersama dalam bidang bela negara.

"Peran organisasi masyarakat dalam sistem pertahanan negara itu sistem pertahanan rakyat semesta maknanya adalah negara ini terancam seluruh sumber daya nasional di mobilisasi untuk kepentingan bangsa," kata dia.

Terkait pemberantasan teroris, Ia mengutarakan ormas harus memberikan pembicaraan positif bagi masyarakat untuk membangun kemandirian bangsa dan memberikan ajaran-ajaran positif bagaimana membangun akhlakul karimah serta ilmu yang berguna untuk membangun bangsa.

"Melalui dakwah itu bisa membantu negara dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat terkait kesadaran bela negara," ujar dia.