Berawal dari sebuah peristiwa mogok kerja para pegawai “Garuda
Indonesia (saat ini telah berubah nama menjadi PT Garuda Indonesia
persero), sehingga maskapai penerbangan tersebut menjadi lumpuh,
seluruh pesawatnya tidak terbang dan terparkir di Pelabuhan Udara
seluruh Indonesia.
Saat itu tanggal 29 dan 30 Januari 1980 sebanyak 120 orang pegawai Garuda mengadakan tindakan sepihak berupa pemogokan tidak mau bekerja tanpa sepengetahuan manajemen dengan sengaja meninggalkan tugasnya dan tidak bersedia terbang.
Melihat peristiwa dan kejadian saat itu, pemerintah tidak tinggal diam segera menentukan keputusan untuk mengerahkan pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara dan Pelita Air Service untuk membantu menangani krisis angkutan udara dalam negeri. Sementara para penumpang yang akan melaksanakan penerbangan ke luar negeri dapat segera di pindahkan/dialihkan ke Perusahaan Penerbangan Asing.
Sebagai tindaklanjut untuk mengatasi Krisis tersebut, tanggal 1 Februari 1980 dibentuklah Pusat Pengendalian Krisis (Pusdalsis) dengan tugas utamanya adalah menormalisasi angkutan udara dengan sandi “Operasi Jembatan Udara” dan membantu Direksi Garuda Indonesia Air Ways menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sehingga pemerintah bersifat sebagai penghubung dan fasilitator antara pegawai Garuda dengan Manajemen garuda.
Pusdalsis secara nasional itu dibentuk, dengan pimpinan bersama antara Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana TNI Sudomo, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan A. Tahir, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri. Dalam operasional Pusdalsis juga beranggotakan Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi, Panglima Kodam V/Laksusda Jaya Mayor Jenderal TNI Norman Sasono, Kadapol Metro Jaya Mayor Jenderal Pol. Anton Sudjarwo, Direktur Pelita Air Service, Wakil Direktur GIA, Direktur Angkasa Pura, dan Panglima Kodau V Marsekal muda TNI Sutoyo. Sebagai Humas Pusdalsis adalah Brigadir Jenderal TNI Gunarso SF.
Untuk pengendalian lokal Jakarta untuk Pelabuhan Udara Kemayoran dan Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma dipimpin oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri bersama Kepala Stasiun Garuda Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, dan Kepala Angkasa Pura. Adapun wakil-wakilnya adalah Laksusda Jaya, Kodak Metro Jaya, Garuda, Pelita Air Service, TNI Angkatan Udara, Satpam Angkasa Pura Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, dan Humas Garuda.
Peran TNI Angkatan Udara dalam Operasi Jembatan Udara
Dengan berbekal Surat Perintah Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi kepada Panglima Komando Pasukan Tempur Udara (Panglima Kopatdara) Marsekal Muda TNI Aried Riyadi, tentang menghadapi krisis angkutan udara di Indonesia.
Pada waktu itu hari rabu tepatnya tanggal 30 Januari 1980 Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi kepada Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi mengadakan inspeksi untuk memeriksa kesiapan pesawat C-130 Hercules dari Skadron Udaran 31 dan F-27 Fokker dari Skadron Udara 2.
Dari hasil pemeriksaan kesiapan pesawat yang berada di dua Skadron
itu akhirnya Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi
memerintahkan kepada Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi
dengan Surat Perintah Nomor SPRIN/19/I/1980/KASAU. Adapun surat
perintah Kasau Kepada Panglima Kopatdara berisikan tentang TNI Angkatan
Udara ikut dalam tim Pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menimpa
didalam tubuh maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways dan segera
menyiapkan empat Pesawat C-130 Hercules serta empat Pesawat F-27 Fokker
beserta awak pesawat.
Keesokan harinya tanggal 31 Januari 1980 tepatnya pukul 05.30 sebagai
awal Bakti sosial berupa bantuan angkutan udara dengan sandi “Jembatan
Udara”, Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi didampingi
Asisten Pengamanan Kasau Marsekal Muda TNI Sukotjo dan Kadispenau
Marsekal Pertama Agus Achdijat memberikan pengarahan kepada penerbang
dan crew Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship sebelum
pergerakan pesawat dari hangar menuju ke Pelabuhan Udara Kemayoran.
Setelah semuanya siap maka Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship terbang menuju ke Pelabuhan Udara Kemayoran, untuk membantu penerbangan sipil yang kosong karena pesawat GIA tidak beroperasi.
Pada hari itu juga TNI Angkatan udara mengoperasikan delapan pesawat meliputi empat Pesawat C-130 Hercules dan empat Fokker F-27 Troopship untuk penerbangan dalam negeri. Route untuk penerbangan Pesawat C-130 Hercules dari Jakarta-Ujung Pandang, Jakarta-Pekanbaru, Jakarta-Surabaya. Sementara untuk Pesawat F-27 Troopship Jakarta-Bangka, Jakarta-Pontianak, Jakarta-Betung, dan Jakarta-Semarang.
Selama melaksanakan operasi Jembatan Udara mulai dari tanggal 31 Januari sampai dengan 3 Februari 1980 tercatat sudah 34 sorties penerbangan. Masing-masing tanggal 31 Januari 1980 11 kali penerbangan Pergi pulang Pesawat C-130 Hercules dari satu kali Jakarta-Ujung Pandang-Pekan Baru dan dua kali Jakarta-Surabaya. Pesawat Fokker F27 Troopship satu kali dari Jakarta-Bangka-Teluk Betung-Talang Betutu dan dua kali Jakarta-Semarang-Pontianak.
1 Februari 1980 ada lima penerbangan, dua kali dengan Pesawat C-130 Hercules Jakarta-Ujung Pandang, tiga kali penerbangan menggunakan Pesawat Fokker F-27 Troopship Jakarta-Branti, Jakarta Pontianak, dan Jakarta-Semarang.
2 Februari 1980 ada 12 penerbangan, lima penerbangan menggunakan Peswat C-130 Hercules satu kali Jakarta-Pekan Baru-Ujung Pandang, tiga kali Jakarta-Surabaya.
3 Februari 1980 ada enam penerbangan, Pesawat C-130 Hercules satu kali Jakarta menuju Ujung Pandang, Ambon, Pekan Baru, dan dua kali ke Surabaya. Pesawat Fokker F-27 Troopship dua kali penerbangan satu kali ke Semarang dan satu kali ke Pontianak.
Untuk mempermudah menghapal pesawat, oleh manajemen bandara dan untuk memenuhi ketentuan penerbangan sipil, maka Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship TNI AU diberikan kode PK-VFJ, PK-VHE, PK-VHH, PK-VHJ dan PK-VFK.
Sebagai wujud keseriusan melaksanakan tugas Negara melalui Jembatan Udara Tahun 1980, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi senantiasa melakukan pemantauan dan pengendalian jalannya operasi dan kesiapan pesawat TNI Angkatan Udara.
Meskipun Operasi Jembatan Udara itu hanya berlangsung secara siingkat selama lima hari, namun pengabdian TNI Angkatan Udara saat itu sangat dirasa besar manfaatnya oleh masyarakat pengguna jasa penerbangan. Kondisi itu dapat dilihat dari respon masayarakat melalui berbagai media massa nasional yang memuat tentang bagaimana pengabdian TNI Angkatan Udara dapat dirasakan. Sebagian besar penumpang merasakan beruntung, walaupun kondisi penerbangan GIA mengalami hambatan, namun berkat adanya Operasi jembatan Udara keperluan penerbangan dan dipenuhi dengan Pesawat TNI AU dan Pelita Air Service.
Dari data penerbangan yang dilaksanakan selama lima hari saat Operasi
Jembatan Udara, Pesawat C-130 Hercules tercatat melaksanakan terbang
selama 97 jam 10 menit, membawa 1.727 orang dan cargo seberat 53.179 kg.
Pesawat Fokker F-27 Troopship mampu mencatat 68 jam 20 menit jam
terbang, 993 orang penumpang dan Cargo 35.968 kg.
Sehingga selama lima hari Operasi Jembatan Udara itu dilaksanakan telah tercatat pesawat TNI AU mencatat total penerbangan sebanyak 165 jam 30 menit, mengangkut personel sebanyak 2.720 orang, dan mengangkut barang/cargo 89.147 kg.
Operasi Jembatan Udara pada awal tahun 1980 merupakan wujud kemanunggalan TNI Angkatan Udara dengan rakyat, disisi lain bahwa dengan kinerja dan pengabdian yang dilaksanakan hanya singkat dapat pula meningkatkan citra TNI AU dimata masyarakat, karena dengan sukses mampu memberikan pengabdian terbaik untuk masyarakat dengan bantuan angkutan udara kepada masyarakat.
Dan juga bahwa kesiapan TNI Angkatan Udara dalam menjalankan tugas Operasi Jembatan Udara membuktikan bahwa TNI AU tidak hanya siap untuk fungsi penegakan hukum di udara sesuai matra udara, tetapi juga mampu mengemban misi sebagai pelindung masyarakat.
Tanggal 4 Februari 1980. Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo sesaat setelah membubarkan Operasi Jembatan Udara dan Pusat Pengendalian Krisis, mengadakan peninjauan langsung ke lapangan udara Kemayoran. Tampak para awak pesawat TNI Angkatan Udara.
TNI-AU.
Saat itu tanggal 29 dan 30 Januari 1980 sebanyak 120 orang pegawai Garuda mengadakan tindakan sepihak berupa pemogokan tidak mau bekerja tanpa sepengetahuan manajemen dengan sengaja meninggalkan tugasnya dan tidak bersedia terbang.
Melihat peristiwa dan kejadian saat itu, pemerintah tidak tinggal diam segera menentukan keputusan untuk mengerahkan pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara dan Pelita Air Service untuk membantu menangani krisis angkutan udara dalam negeri. Sementara para penumpang yang akan melaksanakan penerbangan ke luar negeri dapat segera di pindahkan/dialihkan ke Perusahaan Penerbangan Asing.
Sebagai tindaklanjut untuk mengatasi Krisis tersebut, tanggal 1 Februari 1980 dibentuklah Pusat Pengendalian Krisis (Pusdalsis) dengan tugas utamanya adalah menormalisasi angkutan udara dengan sandi “Operasi Jembatan Udara” dan membantu Direksi Garuda Indonesia Air Ways menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sehingga pemerintah bersifat sebagai penghubung dan fasilitator antara pegawai Garuda dengan Manajemen garuda.
Pusdalsis secara nasional itu dibentuk, dengan pimpinan bersama antara Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana TNI Sudomo, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan A. Tahir, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri. Dalam operasional Pusdalsis juga beranggotakan Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi, Panglima Kodam V/Laksusda Jaya Mayor Jenderal TNI Norman Sasono, Kadapol Metro Jaya Mayor Jenderal Pol. Anton Sudjarwo, Direktur Pelita Air Service, Wakil Direktur GIA, Direktur Angkasa Pura, dan Panglima Kodau V Marsekal muda TNI Sutoyo. Sebagai Humas Pusdalsis adalah Brigadir Jenderal TNI Gunarso SF.
Untuk pengendalian lokal Jakarta untuk Pelabuhan Udara Kemayoran dan Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma dipimpin oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Sugiri bersama Kepala Stasiun Garuda Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, dan Kepala Angkasa Pura. Adapun wakil-wakilnya adalah Laksusda Jaya, Kodak Metro Jaya, Garuda, Pelita Air Service, TNI Angkatan Udara, Satpam Angkasa Pura Kemayoran dan Halim Perdanakusuma, dan Humas Garuda.
Peran TNI Angkatan Udara dalam Operasi Jembatan Udara
Dengan berbekal Surat Perintah Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi kepada Panglima Komando Pasukan Tempur Udara (Panglima Kopatdara) Marsekal Muda TNI Aried Riyadi, tentang menghadapi krisis angkutan udara di Indonesia.
Pada waktu itu hari rabu tepatnya tanggal 30 Januari 1980 Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi kepada Panglima Kopatdara Marsekal Muda TNI Aried Riyadi mengadakan inspeksi untuk memeriksa kesiapan pesawat C-130 Hercules dari Skadron Udaran 31 dan F-27 Fokker dari Skadron Udara 2.
Suasana di Pelabuhan Udara Kemayoran. Kepentingan penumpang telah teratasi berkat partisipasi "Hercules" TNI Angkatan Udara
|
"Krisis Garuda" memanggil bakti karya Skadron-Skadron Angkut
|
Setelah semuanya siap maka Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship terbang menuju ke Pelabuhan Udara Kemayoran, untuk membantu penerbangan sipil yang kosong karena pesawat GIA tidak beroperasi.
Pada hari itu juga TNI Angkatan udara mengoperasikan delapan pesawat meliputi empat Pesawat C-130 Hercules dan empat Fokker F-27 Troopship untuk penerbangan dalam negeri. Route untuk penerbangan Pesawat C-130 Hercules dari Jakarta-Ujung Pandang, Jakarta-Pekanbaru, Jakarta-Surabaya. Sementara untuk Pesawat F-27 Troopship Jakarta-Bangka, Jakarta-Pontianak, Jakarta-Betung, dan Jakarta-Semarang.
Selama melaksanakan operasi Jembatan Udara mulai dari tanggal 31 Januari sampai dengan 3 Februari 1980 tercatat sudah 34 sorties penerbangan. Masing-masing tanggal 31 Januari 1980 11 kali penerbangan Pergi pulang Pesawat C-130 Hercules dari satu kali Jakarta-Ujung Pandang-Pekan Baru dan dua kali Jakarta-Surabaya. Pesawat Fokker F27 Troopship satu kali dari Jakarta-Bangka-Teluk Betung-Talang Betutu dan dua kali Jakarta-Semarang-Pontianak.
1 Februari 1980 ada lima penerbangan, dua kali dengan Pesawat C-130 Hercules Jakarta-Ujung Pandang, tiga kali penerbangan menggunakan Pesawat Fokker F-27 Troopship Jakarta-Branti, Jakarta Pontianak, dan Jakarta-Semarang.
2 Februari 1980 ada 12 penerbangan, lima penerbangan menggunakan Peswat C-130 Hercules satu kali Jakarta-Pekan Baru-Ujung Pandang, tiga kali Jakarta-Surabaya.
3 Februari 1980 ada enam penerbangan, Pesawat C-130 Hercules satu kali Jakarta menuju Ujung Pandang, Ambon, Pekan Baru, dan dua kali ke Surabaya. Pesawat Fokker F-27 Troopship dua kali penerbangan satu kali ke Semarang dan satu kali ke Pontianak.
Untuk mempermudah menghapal pesawat, oleh manajemen bandara dan untuk memenuhi ketentuan penerbangan sipil, maka Pesawat C-130 Hercules dan Fokker F-27 Troopship TNI AU diberikan kode PK-VFJ, PK-VHE, PK-VHH, PK-VHJ dan PK-VFK.
Sebagai wujud keseriusan melaksanakan tugas Negara melalui Jembatan Udara Tahun 1980, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi senantiasa melakukan pemantauan dan pengendalian jalannya operasi dan kesiapan pesawat TNI Angkatan Udara.
Meskipun Operasi Jembatan Udara itu hanya berlangsung secara siingkat selama lima hari, namun pengabdian TNI Angkatan Udara saat itu sangat dirasa besar manfaatnya oleh masyarakat pengguna jasa penerbangan. Kondisi itu dapat dilihat dari respon masayarakat melalui berbagai media massa nasional yang memuat tentang bagaimana pengabdian TNI Angkatan Udara dapat dirasakan. Sebagian besar penumpang merasakan beruntung, walaupun kondisi penerbangan GIA mengalami hambatan, namun berkat adanya Operasi jembatan Udara keperluan penerbangan dan dipenuhi dengan Pesawat TNI AU dan Pelita Air Service.
Di
darat atau di udara seperti dalam cabin "Hercules" TNI AU ini, berita
"Krisis Garuda" sedang menjadi pusat perhatian masyarakat.
|
Sehingga selama lima hari Operasi Jembatan Udara itu dilaksanakan telah tercatat pesawat TNI AU mencatat total penerbangan sebanyak 165 jam 30 menit, mengangkut personel sebanyak 2.720 orang, dan mengangkut barang/cargo 89.147 kg.
Operasi Jembatan Udara pada awal tahun 1980 merupakan wujud kemanunggalan TNI Angkatan Udara dengan rakyat, disisi lain bahwa dengan kinerja dan pengabdian yang dilaksanakan hanya singkat dapat pula meningkatkan citra TNI AU dimata masyarakat, karena dengan sukses mampu memberikan pengabdian terbaik untuk masyarakat dengan bantuan angkutan udara kepada masyarakat.
Dan juga bahwa kesiapan TNI Angkatan Udara dalam menjalankan tugas Operasi Jembatan Udara membuktikan bahwa TNI AU tidak hanya siap untuk fungsi penegakan hukum di udara sesuai matra udara, tetapi juga mampu mengemban misi sebagai pelindung masyarakat.
Tanggal 4 Februari 1980. Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo sesaat setelah membubarkan Operasi Jembatan Udara dan Pusat Pengendalian Krisis, mengadakan peninjauan langsung ke lapangan udara Kemayoran. Tampak para awak pesawat TNI Angkatan Udara.
TNI-AU.