KFX C103 twin engine
Angkatan Udara Korea Selatan menyatakan
ketertarikannya dengan konsep KFX twin engine, sebagai pesawat yang
akan dibangun Korea Selatan. Disain dari pesawat twin
engine,memungkinkan untuk ditingkatkan kemampuan tempurnya di kemudian
hari dan sesuai dengan visi budget jangka panjang Korea Selatan.
Pro kontra sempat terjadi ketika KAI mengusulkan konsep single engine
C501, bekerjasama dengan Lockheed Martin dengan untuk mengembangkan
T-50. Namun setelah melalui perdebatan cukup panjang, ROKAF menunjukkan
posisinya, mendukung pengembangan KFX/IFX twin engine C-103, untuk
dikembangkan kemampuan tempurnya.
Indonesia pun mengandalkan pengembangan KFX / IFX ini, dan menyumbang
20 persen pendanaannya. Namun di tengah tersendat dan molornya
pembangunan KFX/IFX, Saab Swedia menawarkan pesawat tempur Gripen NG
dengan opsi tambahan, ToT 100 persen bagi Indonesia.
Lalu apa kira kira langkah yang diambil Indonesia, untuk proyeksi
Angkatan Udaranya dalam 10 – 15 tahun ke depan, di saata konflik dan
situasi di Asia Tenggara dan sekitarnya semakin memanas. Berikut
wawancara dengan sejumlah warjager:
Seperti apa anda melihat tantangan Indonesia ke depan, terkait polemik KFX/IFX dan tawaran Saab Gripen ?
Alugoro:
Waktu kita hanya sedikit, hanya enam tahun sebelum China lebih agresif
lagi dan Australia cs lebih menekan lagi karena memaksa kita berpihak
penuh kepada mereka. Target China 2020 adalah Taiwan bergabung dengan
mainland secara sukarela seperti Hongkong.
Kabarnya rakyat Taiwan tidak ada keberatan hanya di kalangan tentara
saja yang belum setuju. jika flashpoint muncul di tahun 2020 aset kita
apa?
Kemungkinan 1sq Su-35, 1sq su27/30, 36sq f-16 (quality ?). Apakah
siap menghadang FPDA ? Apalagi China ?. Apakah kita hanya berandai-andai
dengan keberhasilan kfx yang baru masa produksi di atas tahun 2020 ?
Prioritaskan alutsista yang modern, irit dan murah (sebagian diproduksi
di Indonesia baik suku cadang maupun assembly).
Bagaimana anda melihat proyek KFX/IFX:
Assamata:
KFX/ IFX dengan biaya yang begitu murah namun kita mengharapkan untuk
mendapatkan pesawat tempur cangggih. Sudah berapa tahun wacana IFX
berlangsung namun tarik ulur tetap terjadi.
Mengandalkan IFX bukanlah sebuah solusi. Pertama kali saya mendengar
berita IFX sekitar 3 tahun yang lalu, prototipe jadi pada tahun 2016 dan
sekarang ngaret jadi 2020. Bagaimanapun Swedia memiliki ilmu tentang
pespur lebih baik dari PT DI.
Indonesia membutuhkan banyak pesawat tempur. Dengan wilayah seluas
daratan Eropa apakah menunggu IFX merupakan keputusan yang baik ?.
Misalkan sukhoi 35 BM sudah datang (kemungkinan penempatan di
Madiun), namun tetap masih banyak wilayah kosong yang belum terisi
pesawat tempur.
Lihat saja Bandara Halim Perdanakusuma. Apakah ada fighter yang cukup
mumpuni untuk menjaga daerah ibukota dan sekitarnya ?. Apa lagi kalau
kita membicarakan Papua, wah masih kosong melompong.
Plan B, plan C sangat dibutuhkan negeri ini. Selain kerjasama dengan
Korea, kerja sama dengan Swedia ataupun mengembangkan pesawat tempur
secara mandiri (dalam negeri) sangat dibutuhkan.
Ingat China bukan teman, tidak ada jaminan mereka tidak menusuk kita
(konflik tinggal sebentar lagi). Ingat Australia bukan musuh
namun provokasi mereka membuat gerah dan kita perlu berjaga-jaga agar status quo tetap terjaga (membuat mereka berpikir ulang).
Kebutuhan pespur (pesawat tempur) cukup mendesak, jadi membuka kran
air lebih dari 1 mungkin lebih bijaksana. Seperti halnya roket selain
kerja sama dengan Korsel (propelan) kerja sama China (guide) ataupun
kerja sama dengan Jerman bahkan Iran sekalipun saya setuju (dengan
Israel/ Yahudi saja tidak masalah, masak hanya karena Syiah jadi
masalah).
OrangLogis:
Saya setuju dengan Bung Alugoro, apa lagi hanya dengan budget kecil
ingin bisa bikin pesawat tempur sendiri 100%. Kayaknya nggak mungkin,
bukan kayaknya lagi tapi jelas mustahil, untuk riset mesin jet saja
China menggelontorkan duit sampai 150 triliun rupiah lebih.
Jangan terlalu berharap berlebihan dengan kfx/ifx, tempatkan pada
tempat yang sewajarnya, optimis boleh saja tapi kita juga harus
realistis.
Antonov:
Sepertinya ada salah persepsi tentang ToT. Misalnya utk KFX/IFX,
nantinya prediksi saya kita akan sebatas ‘tukang jahit’ saja semacam
NC-219.
Airframe fuselage sayap dan ekor mungkin bisa dibuat kalau kita punya
jig + machining tools. Sisanya diimpor dan dipasang: kokpit, radar,
avionik, ECM, landing gear, servo, fuel tanks, dan engine. Mau produksi
sendiri? Terbentur intellectual property rights dan economic of scale.
Untuk Gripen kasusnya sama.
STMJ:
Sebenarnya tawaran ToT Gripen SAAB sangat patut dipertimbangkan
mengingat secara teknologi sudah cukup canggih & Indonesia belum
mempunyai kapabilitas dalam membuat/mengembangkan pesawat tempur.
Poin utamanya bukan masalah ToT karena Indonesia sudah memiliki
program pengembangan pespur definitiv. Melainkan pemenuhan kebutuhan
pespur yang aman dari embargo, murah, handal serta kompetitif. Demikian
karena melalui ToT tersebut Indonesia menjadi memiliki kemampuan untuk
melakukan perawatan/reparasi sendiri, ditambah ilmu dalam pembuatan
pespur gen 4+, dan itu menjadi nilai plus yang sangat penting.
Namun yang menjadi permasalahan dalam ToT SAAB adalah indikasi ToT
tersebut tidak termasuk mesin jet pesawat, sebab mesin Gripen NG
menggunakan mesin F414 buatan ASa. Pada akhirnya ToT tersebut akan
menjadi mubadzir, sebab mesin jet adalah unsur terpenting dari pespur
yang masih sangat sulit dikuasai oleh Indonesia. Dan kembali lagi ke
awal, Gripen menjadi tidak lagi 100% aman dari embargo, tanpa mesin
tiada burung besi yang dapat terbang.
Tapi, meskipun Gripen bisa dikatakan sudah sangat layak sebagai
pengganti F-5. Tetap saja mengadopsi Gripen dapat menjadi langkah
blunder bagi Indonesia secara jangka panjang. Kedepannya mengakibatkan
TNI akan mengoperasikan terlalu banyak jenis pesawat yang pada akhirnya
berimbas pada manajemen tempur yang semakin rumit.
Pada situasi konflik nyata, keadaan ini menjadi sangat tidak
menguntungkan sebab setiap alat tempur membutuhkan perlakuan yang
spesifik. Seperti yang dicontohkan oleh Perancis pada masa PD II,
Perancis mengoperasikan beraneka macam alat tempur, sekilas tampak gagah
dan keren tapi ketika perang meletus, semuanya menjadi amburadul.
Setiap alat membutuhkan onderdil spesifik & cara pengoperasian
yang berbeda, sehingga manajemen operasional tempur menjadi sangat tidak
ringkas dan tidak praktis. Maka ketika Jerman melancarkan Blietzkrieg,
pontang pantinglah Perancis sehingga dapat digulung Jerman hanya dalam 3
hari.
Nampaknya negara-negara barat & Rusia berkaca pada pengalaman
Perancis itu sehingga mereka merampingkan variasi-variasi dalam
alat-alat tempurnya, demi tercapainya manajemen tempur yang efektif dan
efisien yang pada akhirnya menunjang kemampuan durasi/ketahanan tempur.
Kalau tidak mengambil Gripen apakah KFX/IFX bisa diandalkan ?
Nowyoudont:
Bagi saya pribadi sampai saat ini, sepertinya program IFX adalah program
“belajar”, bukan program pemenuhan kebutuhan. Hasilnya tidak bisa
dilihat seketika melainkan 10-20 tahun ke depan, jumlahnya juga tidak
signifikan.
100% mandiri rasanya kecil kemungkinan di jaman sekarang apalagi masa
depan, pasti selalu ada komponen-komponen dari luar yang bisa
diembargo. Untuk memperkecil kemungkinan itu ada beberapa jalan yang
bisa dipertimbangkan. Misalnya memilih sumber teknologi tersebut
(katakanlah, Russia dan China), serta faktor politik/ekonomi.
Untuk memenuhi kebutuhan pespur, kita masih tetap butuh produk luar.
Tapi walau bagaimanapun program IFX harus terus berlanjut, banyak
manfaat yang bisa didapat walau dari 1,5 miliar USD , tapi hendaknya kita tetap realistis memandang proyek ini. Saya yakin pemerintah juga punya Plan B dan C.
Sebagai perbandingan, belum lama ini Singapura mengeluarkan dana 2,4 miliar USD hanya untuk upgrade pesawat saja.
Alugoro:
Saya hanya mengingatkan bahwa janganlah terlalu berharap berlebihan dari
kfx. Tempatkan pada tempat yang sewajarnya. avionik dan radar di kfx
saja belum bisa dibikin oleh Korea Selatan. Apalagi sampai mission
system dan detail-detil yang lain.
Di KFX setidaknya kita punya pengalaman dari nol tentang filosofi dan
design pespur. Bermodal itu bisa dilakukan penyesuaian untuk desain
dengan skema multi sourcing. Hanya saja apakah produsen avionik dan
radar dan hal-hal lain mau berbagi source codenya ?. Itu pertanyaan
besar di kita ?. Perkembangan pespur semakin hari lebih banyak
ditentukan oleh desain dan avionik (electronis & software)nya. Mesin
ya masih tetap sama paling banter ber tvc. Mau ToT mesin ? resiko lebih
besar dengan dana jauh lebih besar dibanding pespurnya sendiri. lebih
baik bersikap realitis.
Kalau KFX/IFX belum bisa dijadikan pegangan dalam waku menengah, seberapa strategiskah pengadaan Grippen atau Typhoon ?
Donnie:
Konsepnya begini:
Plan A.
Air force : Disadur dari komentar bung Nowyudon :
1. Su-35SI Super Flanker : 64 = $5.1 bn USD
2. JAS-39 Gripen NG: 44 = $4.8 bn USD
3. EF Typhoon (refurbished+new): 36 = $3.5 bn USD
4. Su-34 Fullback: 48 = $2.4 bn USD
5. Erieye: 10 $1.3 bn USD
Total AU = $ 17.1 bn USD dapet= 202 unit.
Plan B.
Alokasi anggaran grippen + typhoon dialihkan ke keluarga flanker :
1. Su-35 $79 = 64+60 = 124 Su-35
2. Su-34 $50 = 48+70 = 118 Su-34
3. Erieye tetap 10 unit
Total AU = $ 17.1 bn USD dapet= 262 unit
Kita asumsikan data di atas itu valid dan akan terealisasi, tapi mari kita lihat sebagai berikut :
- Jadual IFX masuk produksi 2020-2025 (kemungkinan),
- Kebutuhan Kuantitas Pespur.
- Resiko kepemilikan Pespur yang beragam.
- Manfaat lebih dari Pespur itu sendiri
- Beban biaya maintenance jangka Panjang.
- Kombinasi Pespur FPDA: F-35, F-18, F-15, F-16
Berdasarkan spesifikasi Su-35 yang lebih superior dibanding Typhoon
dan Gripen, sementara kebutuhan Workhorse sebetulnya masih tercukupi dgn
kehadiran F-16 Hibah, F-5, Hawk 209 dan lain-lain.
Kalaupun harus berperang dengan China, lantas apa yang diharapkan
dari keberadaan Typhoon dan Gripen jika kalah dalam air superiority ?
Kalau saya diberikan pilihan, baik kondisi perang atau damai, dengan
dana anggaran yang sama, maka saya pilih plan B, lebih gahar dan
menghasilkan kuantitas yang lebih banyak.
One:
Pengadaan super flanker 200 unit dalam 5-7 tahun, sangat sulit. karena
negara produsen flanker juga tengah melakukan penambahan kekuatan matra
udara mereka, dan produsen pun memiliki banyak order dari negara lain
disaat yang sama.
Sekalipun melalui joint produksi tentunya butuh persiapan
infrastruktur dan SDM, khususnya SDM kita masih perlu kesiapan tenaga
dan keahlian tersendiri, tentunya akan memakan waktu yang cukup lama.
Pola pengadaannya selalu mix antara bekas dan baru, tentunya
berpengaruh nantinya dalam time frame pemakaian secara berkala dan
bertahap keluar dari inventory, di sisi lain juga melihat perkembangan
IFX.
Bicara deterence, sekalipun pespur dengan list gado-gado di atas,
saya yakin juga bikin gentar siapapun khususnya negara tetangga jika
dalam waktu 5-7 tahun ke depan, Indonesia memiliki tambahan 200 unit
pespur baru lengkap dengan teknologi dan mengadopsi doktrin tempur baru.
Posisi Indonesia adalah mengejar ketertinggalan kuantitas tapi sebisa
mungkin dipenuhi dalam waktu yang singkat dan juga terus mendorong
persiapan industri dalam negeri, sehingga muncullah program percepatan.
Di tahun 2025 kelak, produk pespur generasi baru misalnya PAKFA, F35,
J22 atau bahkan KFX akan sudah dalam kondisi persaingan di level
market. Sehingga di saat itu Indonesia dengan program IFX diharapkan
cukup siap secara teknologi dan SDM bersaing dalam hal pembangunan
kemandirian militer, bisa melalui skema joint production skala raksasa
ataupun meningkatkan kemampuan IFX menjadi setara dengan produk lainnya.
Terlihat jelas gambaran rencana pengadaan pespur yang aneka ragam
adalah situasi sekitar Indonesia 2020. Dengan membeli ke berbagai
produsen pesawat maka untuk memenuhi kuantitas minimum misalnya 200
pesawat baru dalam kurun waktu 5-7 tahun akan lebih mudah dibanding
mengandalkan satu produsen saja. dan akan berubah situasinya kelak jika
KFX/IFX berhasil terbang dan memenuhi harapan.
Memang selalu jadi hal yang menakutkan, masalah maintenance, logistik
dan sparepart, akan seperti apa. Namun jika saya sebagai pihak TNI maka
mau tidak mau opsi ini yang harus diambil, karena memang jelas secara
kuantitas jumlah unit masih minim dan semakin kuatnya potensi konflik di
sekitar NKRI. Apalagi dengan diharuskannya syarat ToT dalam setiap
kerjasama dengan asing, maka Indonesia akan punya banyak source
teknologi sekaligus SDM yang komplit untuk menuju kemandirian alutsista
nasional.
Awan:
Riset dan pengembangan diperoleh dengan biaya cukup besar dan waktu yang
tidak sebentar. Mungkin tidak banyak yang bisa kita lakukan bila waktu
tidak mencukupi bila sudah diambang perang.
Ibaratnya berapa persen puzzle yang mampu kita buat saat musuh sudah
datang ?. Menyiasati hal itu, alangkah baiknya pemerintah membuat skala
prioritas riset yang diperoleh dari ToT. Skala prioritas ini pun juga
bisa digunakan untuk mendukung pengembangan alutsista lain.
Misal pengetahuan mesin dan radar akan membantu penguasaan teknologi
roket dan uav yang sudah dirintis. Proyek KFX/IFX maupun ToT dari
manapun layak untuk disambut apabila sudah sesuai prioritas.
Keterbatasan memang bagus untuk mencari jalan keluar. Seperti saat
Perancis mengembargo pesawat Israel, akhirnya Mossad mencuri blueprint
Mirage langsung dari kantor di Perancis.
Alugoro:
Waktu kita hanya sedikit, hanya enam tahun sebelum China lebih agresif
lagi dan Australia cs lebih menekan lagi karena memaksa kita berpihak
penuh kepada mereka. Target China 2020 adalah Taiwan bergabung dengan
mainland secara sukarela seperti Hongkong.
Kabarnya rakyat Taiwan tidak ada keberatan hanya di kalangan tentara
saja yang belum setuju. jika flashpoint muncul di tahun 2020 aset kita
apa ?. Semoga kita siap.