Memasuki bulan September, masyarakat Indonesia akan dikenangkan oleh
peristiwa G-30-S/PKI atau Gestok (Gerakan Satu Oktober). Memperingati
itu, menarik kiranya kita mengkaji ulang surat terbuka yang pernah
dilayangkan Ratna Sari Dewi Sukarno kepada Presiden Soeharto. Surat itu
ditulis dan dikirim dari Paris, Perancis pada April 1970. Surat Ratna Sari Dewi kepada Soeharto, secara jujur juga
mengemukakan opini pribadinya terhadap segala kebijakan yang dibuat
Sukarno, suaminya. Dia mengaku, ada kalanya tidak setuju dengan
keputusan Sukarno. Akan tetapi, di luar itu semua, Dewi tahu betul,
bahwa apa pun kebijakan dan keputusan Sukarno, semua semata dilakukan
untuk cinta tunggalnya, Indonesia. Harap pula dicatat, surat ini ditulis Ratna Sari Dewi April 1970, dua bulan sebelum Bung Karno wafat, 21 Juni 1970.
Yang Mulia, Presiden Soeharto
Sekali-kali bukanlah maksud saya untuk mengingatkan Anda akan
hal-hal yang rupanya ingin Anda lupakan. Tetapi karena saya mengikuti
kejadian-kejadian di Indonesia dari dekat, saya anggap tugaskulah untuk
berbicara. Mungkin akan lebih bijaksana untuk tetap membisu seperti
sphink. Pertanggungjawaban untuk melanggar tabu biasanya amat berat,
karena itu saya juga sadar bahwa saya akan dikucilkan. Barangkali lebih
berat daripada yang saya pikirkan.
Baik di dunia maupun di Indonesia lambat-laun akan beredar
cerita-cerita yang dipalsukan bahwa saatnya sudah tiba saya membeberkan
kejadian-kejadian dari sudut pandang saya. Saya telah memutuskan untuk
menyampaikan surat kepada Anda sebagai warrga negara Indonesia. Selain
itu saya mengharapkan agar tidak timbul keragu-raguan bahwa keputusan
saya untuk mengirimkan surat terbuka kepada Anda, maupun isinya,
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan tidak ada sangkut pautnya
dengan Sukarno, mantan Presiden Indonesia.
Sekarang sudah terlambat untuk membicarakan para perwira yang
telah dihukum mati sebagai “kontra-revolusioner” dan sebagai “pelaku
maker terhadap negara”. Sudah sejak dahulu, sejak hari-hari Sukarno
masih berkuasa, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa “kekuasaan
selalu menang”. Saya juga tidak setuju bila kepala negara mengelilingi
dirinya dengan yes-man. Saya masih saja berpendapat bahwa di sekitar
Anda masih terlalu banyak orang berkumpul, yang selalu bungkam, yang
pura-pura setuju dan menaati Anda, agar mendapatkan lebih banyak
kekuasaan untuk dirinya.
Yang pertama-tama saya kutuk ialah yang disebut proses-proses, di
mana orang dihukum mati untuk “kejahatan-kejahatan yang dilakukan
terhadap negara” tanpa mengindahkan norma-norma yang lazim dilakukan
dalam suatu proses di pengadilan. Proses-proses itu berlangsung dalam
suasana kekerasan dan terror.
Mereka, yang di bawah pimpinan Sukarno hampir tidak punya suara,
kemudian melampiaskan diri dengan sangat tidak bertanggung-jawab dan
membunuh serta menteror dari posisi kekuasaan yang baru mereka peroleh.
Bila suatu waktu nanti tempat Anda kosong untuk diisi oleh orang lain,
bisa saja terjadi, bahwa mereka yang menonjol dalam rezim Anda, termasuk
di dalamnya tentu Anda sendiri, dan sejumlah mitra militer Anda, akan
dihukum mati karena pengkhianatan terhadap negara dan
kejahatan-kejahatan lain, misalnya korupsi yang telah menyebar luas
kemana-mana.
Mengapa Anda memberikan contoh seburuk itu kepada negara semuda
Indonesia? Dalam hal ini yang saya maksud tidak hanya proses-proses
politik yang telah Anda selenggarakan. Tetapi yang teringat olehku
adalah orang-orang yang terbunuh oleh yang dinamakan “pembersihan merah”
menyusul peristiwa 30 September 1965. Berapa dari orang-orang ini
hanyalah pengikut-pengikut Sukarno? Berita yang merebak menyebutkan
bahwa tidak kurang dari 800.000 orang Indonesia, termasuk perempuan dan
anak-anak, telah dibunuh karena mereka merupakan pengikut PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Januari 1966, London Times menulis, “Setelah kejadian-kejadian di
Indonesia, tiga bulan yang lalu, telah dibunuh seratus ribu komunis,
angka itu menurut diplomat-diplomat Barat amat rendah. Laporan itu
selanjutnya menyebutkan ‘Para usahawan dan turis Eropa, yang baru
kembali dari Indonesia mengabarkan bahwa mereka melihat sebuah sungai
penuh dengan mayat tanpa kepala, sedangkan di desa-desa anak-anak
bermain sepakbola dengan kepala korban’. Tiga bulan setelah peristiwa 30
September merupakan mimpi buruk dengan kekejaman-kekejaman yang tak
terlukiskan yang diwarnai darah – tanpa tandingan dalam sejarah
Indonesia.
Seorang koresponden “Washington Post” menulis dari Jakarta, bahwa
di Jawa Timur saja telah dibunuh 250.000 orang menurut juru bicara
pihak Islam. Koran itu kemudian memberitahukan bahwa “pembunuhan
mencapai puncaknya pada bulan November 1965. Kepala orang dipakai
sebagai dekorasi di atas jembatan. Di tempat lain orang melihat
jenazah-jenazah tanpa kepala berjajar di atas perahu-perahu di sungai.
Apa yang terjadi di sini sungguh tak bisa dibayangkan. Rupanya seperti
di neraka. Bengawan Solo yang didendangkan dengan begitu indah memuat
demikian banyhaknya jenazah, sehingga arinya pun kadang-kadang tam
tampak. Beberapa pengamat berbicara tentang dasar sungai yang berwarna
merah karena darah”, demikian Washington Post. Koran Inggris “The
Economist” memperkirakan korban pembunnuhan missal berjumlah satu juta.
Dan bolehkah saya bertanya, apa yang dimaksudkan Jenderal
Nasution, dengan ucapannya, “fitnah dari para pengkhianat” dan “kami
tidak akan melakukannya terhadap musuh-musuh kami?” Tujuan utama lima
puluh orang yang berseragam pasukan pengawal Presiden Sukarno “dan
bergerak menuju rumah dinas Jenderal Nasution adalah untuk membunuhnya
karena dia seorang antikomunis yang terkenal. Atau bukankah begitu?
Tetapi sebagai gantinya mereka melihat ajudannya jenderal, yakni Letnan
Tendean sebagai Jenderal Nasution. Saya yakin bahwa tiap anggota pasukan
pengawal Presiden Sukarno dengan segera akan mengenali Jenderal
Nasution. Teori yang mengatakan bahwa para anggota PKI yang katanya
mendapat tugas penting untuk membunuh jenderal, tidak mengenali
wajahnya, rasanya tidak masuk akal.
Sadahkah Anda bahwa masyarakat di Indonesia mempersoalkan dan
curiga bahwa Anda sebagai satu-satunya anggota staf tertinggi dari
Angkatan Bersenjata pada malam naas itu tidak diserang, karena para
pembunuh dalam perjalanan ke rumah Anda tidak dapat menemukan alamatnya
yang tepat? Dan lebih hebat lagi. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965 itu
Anda mengambil alih komando Angkatan Bersenjata dan dengan kecepatan
yang hampir tidak manusiawi Anda bisa membungkam Dewan Revolusi.
Setelah Sukarno kehilangan Menteri Pertahanannya, Jenderal Yani,
beliau mengangkat Anda, yang pada saat itu masih berpangkat mayor
jenderal, sebagai Menteri Pertahanan, sekaligus pemimpin tertinggi
Angkatan Bersenjata. Itu terjadi pada tanggal 14 Oktober 1965. Pada
kesempatan itu Sukarno berkata, “Tidak bisa dihindarkan ketertiban dan
keamanan harus dikembalikan untuk menciptakan suasana damai, agar emosi
baik dari pihak kiri maupun dari pihak kanan bisa mereda… dan untuk
menemukan jalur keluar politik dari peristiwa 30 September ini sangat
perlu untuk mengetahui dan mengenali fakta-fakta umum dan fakta-fakta
yang menyangkut berbagai hal mengenai peristiwa itu. Fakta-fakta itu
tidak akan meresahkan saya, dengan warna politik mana pun mereka
menampakkan diri, merah hijau ataupun kuning”.
Menurut instruksinya, Presiden Sukarno memerintahkan agar Anda
mengumpulkan “fakta-fakta” dan menyerahkannya kepadanya secara pribadi.
Jadi, seharusnya Anda segera mulai mengadakan penyelidikan. Akan tetapi
perintah Sukarno itu Anda interpretasikan sendiri dan Anda malah
mengatakan, “Sekarang saya telah mendapatkan kepercayaan presiden.
Sekarang saya akan melanjutkan mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang masih
tersisa dari insiden itu”. Ini semua mempunyai arti. Presiden Sukarno
menghendaki dan mengharapkan dari Anda bahwa Anda akan setia dan akan
loyal menaati perintahnya. Presiden telah bertekad untuk menemukan
hukuman yang adil bagi pelaku-pelaku makar, siapa pun pelakunya, PKI
atau militer.
Anda tidak menyampaikan fakta-fakta kepada presiden dan Anda juga
tidak mendapatkan persetujuannya untuk menggerakkan Angkatan Bersenjata,
dengan jenderal-jenderal seperti Sarwo Edhie. Dan segera setelah itu
mulailah pembunuhan terhadap orang-orang yang tak bersalah, yakni yang
disebut para komunis. Sudah menjadi fakta bahwa yang diketahui secara
umum bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah khusus
dari Anda mulai dengan menyiksa, membakar, merampok, dan memperkosa di
seluruh negeri. Angkatan Bersenjata melakukan teror yang Anda lindungi.
Dengan publikasi besar-besaran mengenai pembunuhan terhadap para
jenderal, rakyat yang cinta damai terpicu sampai titik kemarahan yang
memuncak. Rakyat mulai membenci PKI karena melakukan kekejian-kekejian
tersebut dan sering Cina dianggap sebagai biang-keladi peristiwa ini.
Sebagian besar rakyat Indonesia tidak percaya bahwa pernah ada
“Dewan Jenderal”. Selanjutnya Sukarno dipaksa menempatkan PKI di luar
hukum dan menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung-jawab atas peristiwa
30 September. Selama satu tahun penuh para mahasiswa dan
kelompok-kelompok lain yang tidak puas berdemonstrasi dengan cara
melakukan kekerasan-kekerasan terhadap Sukarno, justru karena ia menolak
untuk menyatakan PKI sebagai partai yang ilegal tanpa adanya bukti
bahwa PKI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung-jawab atas insiden
itu.
Para pemimpin demonstrasi itu yang disebut para “mahasiswa”, yang
usianya jauh di atas 30 tahun, yang menghadiahkan pada para pengikutnya
perlengkapan-perlengkapan parasut yang bagus yang entah dari mana
asalnya. Dan dari mana datangnya dana yang sungguh tidak sedikit untuk
menyelenggarakan aksi-aksi para mahasiswa yang berdemonstrasi itu yang
jelas-jelas dibiayai.
Dan mengapa para “pemimpin”, para pembuat kerusuhan itu sekarang
menduduki jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahan Anda?
Kerusuhan yang dengan sengaja dikobarkan ini berlangsung selama
kira-kira setahun. Sementara itu dilakukan serangan propaganda terhadap
PKI, yang digambarkan sebagai biang keladi semua kerusuhan yang terjadi.
Saya ingin bertanya kepada Anda, berapa banyak kejahatan yang
kecurangan yang telah dilakukan atas nama PKI? Dan ini masih tetap
berlangsung, sampai sekarang, empat tahun setelah gerakan 30 September.
Bisa dimengerti dan merupakan realitas politik, bahwa warga negara
yang ramah, yang selalu hidup dalam ketakutan dan ketidak-amanan, harus
bersahabat dengan mereka yang memegang kekuasaan. Tetapi, 2 Januari
1966, pada suatu rapat kabinet di Bogor, Sukarno telah memperingatkan
Anda, “Situasi yang tidak menentu ini harus diakhiri tanpa
saudara-saudara sebangsa saling membunuh. Bila pembunuhan massal
terhadap sesama warga negara tetap berlangsung, akan timbul
kekuatan-kekuatan balik yang buruk”.
Tetapi dengan cara yang “menakjubkan” Anda memecahkan persoalan
situasi yang tidak aman ini dengan cara Anda sendiri. Saya sama sekali
tidak membenarkan aksi 30 September 1965 itu. Saya tidak menyalahkan
siapa pun, dan saya tidak mengadili. Apalagi bila saya seorang komunis.
Saya sama sekali tidak berharap seolah-olah saya seorang “simpatisan
komunis”, yang secara pribadi menarik perhatian saya adalah apa yang
sebenarnya terjadi.
Bila memang terbukti bahwa penyulut gerakan 30 September adalah
mereka yang termasuk PKI, kita hanya bisa bertanya-tanya mengapa partai
berkuasa yang terorganisasikan dengan ketat ini melakukan
langkah-langkah yang tak berguna dan kurang terarah seperti itu dan
untuk tujuan apa? Mengapa tentara mengabaikan kebakaran besar yang
terjadi di markas besar PKI, yang disulut oleh pembuat onar itu.
Bukankah yang bisa terjadi adalah bahwa di markas besar tersebut Anda
bisa menemukan bukti-bukti campur tangan tentara yang bila ditemukan
tidak akan menyenangkan pihak tentara?
Bila biang keladi pencetus gerakan 30 September benar-benar
anggota PKI, sudah sepantasnya bila pelaku-pelakunya diadili secara
terbuka di depan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi mengapa tentara
menghilangkan nyawa Ketua PKI, DN Aidit, secara rahasia? (Baru
berbulan-bulan kemudian pembunuhan itu Anda laporkan kepada Sukarno).
Dan mengapa wakil ketua pertama dan kedua PKI, Njoto dan Lukman, juga
dibunuh dengan cara yang sama?
Orang mengatakan bahwa Partai Nahdlatul Ulama beranggotakan
6.000.000 orang. Tetapi mengapa di lingkungan ini orang begitu takut
terhadap PKI, yang hanya beranggotakan 3.000.000 orang. Terlalu banyak
hal yang tetap tidak dapat dijelaskan. Komunisme, yang sangat Anda
takuti itu, akan hilang dengan sendirinya, bila kemiskinan teratasi.
Ideologi PKI di bawah pimpinan Aidit (Ketua Kongres Partai) didasarkan
atas Pancasila (Sukarnoisme). PKI memegang peranan penting saat bangsa
ini dilahirkan dan mereka memperjuangkan sosialisme Indonesia.
Nasution, Ketua MPR-Sementara, menuduh PKI melakukan aksi-aksi
yang telah merugikan negara, terutama di bidang ekonomi. Penyebab utama
inflasi saat ini adalah hutang kepada luar negeri sebesar 2,5 miliar
dolar AS. Di antaranya adalah utang kepada Uni Sovyet untuk impor
senjata seharga satu miliar dolar. Orang yang menandatangani
kontrak-kontrak itu adalah Jenderal Nasution sendiri, yang untuk tujuan
itu dua kali pergi ke Moskow. Dan sekarang dia mengatakan bahwa dia
tidak bertanggung jawab?
Bapak Soeharto, saya ingin melihat sejumlah fakta yang Anda
sendiri laksanakan sebagai barang bukti untuk menuduh PKI. Mengapa Anda
tidak membuka kembali penyelidikan tentang kejadian-kejadian pada 30
September 1965 dengan mengumpulkan fakta-fakta yang sebenarnya dan bukan
kesaksian-kesaksian dan barang-barang bukti sepihak. Seluruh negeri
mempunyai hak untuk mengetahui. Juga pemberitahuan mengenai
pengalaman-pengalaman Anda sendiri.
Cerita yang beredar malah mengatakan bahwa PKI tidak bekerja
sendiri, tetapi bahwa Sukarno sendiri telah dicurigai bersekongkol
dengan Dewan Revolusioner. Ada pula dikatakan bahwa beberapa ribu
anggota PKI menjelang gerakan 30 September mendapatkan pendidikan
militer di suatu daerah sekitar Halim, di mana Sukarno pada pagi
insiden itu terjadi, diselamatkan. Orang hanya bisa bertanya-tanya,
bagaimana mungkin ribuan orang mendapatkan latihan militer secara
rahasia tanpa diketahui orang. Dan mengapa Sukarno mencari perlindungan
di tempat yang akan melibatkan dirinya?
Berita-berita yang kami terima pada hari itu di Halim, bisa
disimpulkan sebagai berikut, “Telah timbul konflik dalam tubuh tentara.
Pribadi presiden tidak boleh dibahayakan oleh suatu kecelakaan
mendadak”. Saya sendiri secara rahasia pergi ke Halim untuk berada di
samping suamiku pada saat-saat keresahan dan ketakutan yang mencekam
itu. Kami tidak menyadari bahwa Jenderal Yani telah dibunuh. Kami tidak
yakin apakah Bapak termasuk kawan atau lawan kita. Tetapi saya masih
tetap berpendapat bahwa bila Jenderal Yani tidak meninggal dalam insiden
ini, keadaan di Indonesia akan lain sama sekali saat itu. Sukarno
sangat mengkhawatirkan keberadaan Yani.
Bapak Soeharto, untuk pertanyaan yang berikut ini saya mohon
perhatian khusus Anda. Keberadaan “Dewan Jenderal” yang Anda sangkal
dengan sengit, diketahui Jenderal Yani (lepas dari fakta bahwa orang
megatakan Dewan ini dibentuk oleh jenderal-jenderal yang terbunuh).
Hanya dua minggu sebelum insiden ini presiden menanyakan padanya
berita-berita yang lebih lanjut mengenai hal itu. Yani menjawab,
“Biarkanlah saya bertanggung jawab mengenai bawahan saya. Janganlah Anda
memikirkan hal ini lagi”.
Bagi saya belum dapat dipercaya bahwa Jenderal Yani pada hari naas
itu terbunuh juga. Apabila Anda, yang mendapat tugas untuk menyelidiki
gerakan 30 September, tidak mengadakan penyelidikan sepihak, maka Anda
juga akan mengetahui bahwa sebenarnya Sukarno tidak terlibat perkara
itu.
Bapak Soeharto, bolehkah saya mengajukan pertanyaan berikut:
Jawaban apa yang akan Anda berikan kepada rakyat Indonesia yang menduga
bahwa Anda sendiri yang melaksanakan rencana-rencana busuk “Dewan
Jenderal” setelah melihat betapa lihainya Anda mengembalikan ketertiban
dari suatu situasi yang amat membingungkan (segera setelah insiden itu
terjadi). Kekacauan yang amat sempurna yang terjadi di Indonesia saat
itu, dimanfaatkan oleh Angkatan Bersenjata yang berorientasi kanan,
bersama para mahasiswa yang pada gilirannya juga didorong
pemimpin-pemimpin Islam dan politisi beraliran kanan, untuk menindas
PKI.
Untuk tujuan itu dibuat suatu skema yang jelas tentang pembunuhan
dan pertumpahan darah. Mungkinkah wajah Angkatan Bersenjata yang
berpaling ke Pentagon, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang jadi
pusat militer dari persekongkolan militer di dunia. Bukankah mereka
menginginkan agar di sudut (dunia) ini PKI ditumpas dan hubungan dengan
Cina diputuskan?
Berulang kali Sukarno memperingatkan bahwa menuduh PKI
bertentangan dengan kebenaran. Sukarno mengatakan, “Jangan meletakkan
seluruh tanggung jawab itu pada PKI. Kebenarannya ada di tempat lain”.
Saya akan selalu menghormati dan respek pada Sukarno, yang menjalani
nasibnya. Yang menolak tunduk pada tekanan Angkatan Bersenjata, yang
melakukan segala upaya untuk menyatakan PKI tidak layak hukum.
Dia tidak goyah dalam kepercayaan dan cita-citanya di bawah
tekanan seberat apa pun. Bila saat itu ia menyerah dan mengadakan
kompromi, maka posisi Sukarno saat ini akan lain sama sekali. Tetapi
Sukarno melambangkan keadilan.
Menteri Luar Negeri Adam Malik, pada tahun 1966 memberikan pidato
penjelasan yang amat bodoh pada para mahasiswa Indonesia di Tokyo. Dia
menjelaskan bahwa Sukarno yang bertanggung jawab atas pembunuhan
“massal” terhadap anggota-anggota “komunis”, yang menurutnya tidak akan
terjadi bila saja Sukarno segera mengadili PKI. Kita hanya bisa bergidik
bila membayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia, bila Sukarno juga
muncul di depan umum untuk menghujat PKI. Itu akan berarti bahwa
presiden melegalisasi pengejaran terhadap para komunis yang memang sudah
dimulai dan akan berakibat pembantaian yang lebih hebat. Ungkapan Latin
berbunyi “cui bono” (siapa yang beruntung!).
Dalam penyelidikan mencari fakta-fakta yang sebenarnya, yang
penting tidak hanya apa yang sebenarnya teradi. Yang tidak kalah penting
adalah mencari fakta, siapa yang paling beruntung dalam kejadian ini.
Bukankah Amerika Serikat yang jelas memperoleh kemenangan dalam insiden
30 September ini? Jakarta yang sekarang dibanjiri oleh orang-orang
Amerika yang akan ber-“investasi”. Sebetulnya hal itu tidak akan
menyebabkan keberatan, bila ini berarti bahwa aktivitas ekonomi ini
terutama akan mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama hidupnya Sukarno selalu menolak bila ada yang ingin membuat
patung dirinya. Setelah 22 tahun memimpin revolusi Indonesia, dengan
amat segan ia menyetujui untuk mempublikasikan otobiografinya. Tetapi,
Anda, Bapak Soeharto, baru saja Anda memperoleh kekuasaan dan Anda telah
mengeluarkan buku yang berjudul “The Smiling General”. Setelah itu
telah terjadi rahasia umum bahwa Anda berkeinginan untuk mencetak potret
Anda pada uang kertas, yang berhasil dicegah oleh para penasihat Anda.
Pada umumnya, di kedutaan-kedutaan di luar negeri dipasang
potret-potret dari tokoh-tokoh sejarah negara yang bersangkutan. Sukarno
adalah Bapak Indonesia. Tetapi mengapa di kedutaan-kedutaan Indonesia
di luar negeri tidak ada sama sekali potret Sukarno sekecil apa pun?
Anda, yang mengkritik diktator Sukarno, dengan khidmat berjanji untuk
membimbing Indonesia ke arah demokrasi yang mewakili suara dan hati
nurani rakyat.
Sementara itu Anda telah merenggut hak-hak yang lebih besar
daripada Sukarno. Langkah pertama ke arah demokrasi, yakni pemilihan
presiden, selalu ditunda-tunda. Anda malah mengizinkan diadakannya
diskusi-diskusi menggelikan tentang apakah nama Sukarno layak ditulis di
dalam buku-buku sejarah negara ini. Sementara Anda menjelaskan secara
umum bahwa Anda melindungi Sukarno, Anda malah mengisolasinya dari dunia
luar. Pengasingan yang tidak adil ini dengan dalih bahwa dia sedang
sakit, jutru akan membuatnya sakit.
Bila ia membutuhkan perawatan medis, Anda malah menolak untuk
memberikannya. Alat-alat medis yang tak dapat digunakan menghiasi
kamar-kamarnya. Perawatan gigi yang dibutuhkannya, tidak diberikan.
Orang telah menganjurkan agar tidak memberikan lagi suntikan-suntikan,
karena tidak diketahui lagi, apakah ia menerima obat-obatan yang
benar-benar dibutuhkannya. Saya hanya bisa berharap agar makanan yang
disiapkan anak-anaknya, benar-benar sampai ke tangannya.
Sukarno sekarang menjalani hidup yang amat sulit. Hak-hak manusia
yang paling minim pun tidak diberikan kepadanya. Satu-satunya saat ia
bisa meninggalkan pengasingannya ialah untuk menghadiri upacara
perkawinan anak-anaknya. Mobilnya kemudian dikawal oleh kendaraan panser
dan siapa pun dicegah untuk mendekatinya. Ketika Sukarno pada upacara
seperti itu, berdiri untuk mencium mempelai, yakni putrinya, dengan
kasar ia ditarik kembali duduk di sofa oleh polisi militer yang
mengawalnya, sementara matanya ditutup agar orang tidak bisa membuat
foto.
Bila saya mengalami perlakuan seperti itu, saya sudah lama musnah.
Tetapi justru, oleh karena Sukarno memiliki kekuatan rohani yang amat
dalam dan kemauan yang amat kuat, siksaan semacam ini masih bisa
ditanggulanginya. Saya hanya sangat khawatir: bila di depan umum saja ia
telah diperlakukan seperti itu, bagaimana dia diperlakukan bila dia
sendiri? Secara fisik ia bisa dihancurkan, tetapi mereka tidak akan bisa
memusnahkan jiwanya. Dalam hal ini, ia tetap hidup.
Sukarno telah membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda selama
350 tahun. Dia adalah Bapak bangsa. Setelah menderita selama tiga belas
tahun dalam tahanan dan penjara oleh orang Belanda, dia berhasil
membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan setelah perang
kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949. Tanpa pimpinan dan bimbingan
Sukarno, pada saat ini Anda tidak akan berada pada posisi Anda sekarang.
Sukarno menciptakan Undang-undang Dasar yang demokratis dan
mendirikan suatu lingua franka bagi Indonesia. Orang yang mengorbankan
jiwa raganya untuk bangsanya, tidak layak diperlakukan seperti itu. Dia
pantas dihormati sesuai dengan jasa-jasanya.
Sukarno tidak akan pernah mengizinkan dilakukan pengkhianatan,
atau direncanakannya pembunuhan sesama saudara secara besar-besaran.
Saya tidak bisa bungkam dan membisu, sementara suami saya menjadi
pelampiasan kekerasan. Bagi saya nilai yang tertinggi adalah: kesucian.
Saya sangat yakin bahwa tindakan yang paling rendah yang dilakukan
seseorang terhadap sesamanya adalah membiarkan korbannya itu mati
tersiksa. Kami ingat kepada pepatah Jepang yang bunyinya, “Mencekik
seseorang dengan kain sutera”. Dan, Anda, Tuan Soeharto membiarkan
Sukarno disiksa secara rohani dan jasmani.
Tidak pernah saya memperdengarkan suara saya, baik langsung maupun
tidak langsung, karena saya sadar betul betapa banyak dan beratnya
problema yang harus Anda tangani. Tetapi sekarang saya berbicara secara
umum dan terbuka, pertama-tama demi keselamatan jiwa Sukarno. Ketika
Sukarno mengalih-tugaskan jabatannya dan mengangkat Anda sebagai
penggantinya 7 Maret 1967, dia melakukannya dengan tiga syarat. Salah
satunya adalah agar Anda melindunginya dan keluarganya. Anda tidak
menepati syarat itu dan mengingkari janji Anda.
Dalam suatu wawancara dengan pers Jepang mengenai korupsi di
Indonesia, Anda antara lain mengatakan, “Mengenai pertanyaan tentang
korupsi, orang mengatakan bahwa itu masih tetap terjadi. Tetapi itu
adalah akibat dari sisa-sisa rezim Sukarno. Dan untuk sementara masih
tetap akan berlangsung, karena hal itu sejak dulu sudah terjadi”.
Apabila kata-kata yang Anda ucapkan itu benar-benar datang dari
lubuk hati Anda, maka itu merupakan suatu pembelaan. Hanya seorang
pengecut dan seorang yang berjiwa rendah yang berlindung di belakang
Sukarno saat menjelaskan korupsi yang terjadi sekarang. Ketika Anda
melakukan itu, hilanglah sudah rasa hormat saya yang terakhir kepada
Anda.
Selama ada manusia, wajar bahwa mereka yang menang otomatis berada
di pihak yang benar dan mereka yang kalah bisa dituduh melakukan apa
saja. Apabila Anda secara jujur benar-benar mau menyelidiki korupsi,
sebagai warga negara Indonesia, saya bersedia dengan sungguh-sungguh
untuk membantu Anda dalam tugas itu. Saya bersedia menghadiri pengadilan
terbuka, apalagi saya bisa bertindak sebagai penuntut. Tetapi proses
seperti ini harus disalurkan lewat undang-undang dan norma-norma yang
berlaku dan tidak diatur secara tertutup dalam suasana ketakutan,
kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Itu akan menjadi syarat mutlak
bagiku.
Sukarno adalah pahhlawan Revolusi Indonesia. Tetapi menurut
pendapatku yang sederhana, hal ini tidak perlu berarti bahwa orang ini
juga akan menjadi pemimpin nasional yang baik dalam waktu damai. Saya
kira, bila Sukarno melewatkan masa remaja dan masa mahasiswanya di luar
negeri, dia pasti akan lebih berhasil mendapatkan perasaan dan kesadaran
ekonomi dan menambahkannya pada kapasitas kepemimpinannya yang istimewa
itu. Menurutku, rupanya suatu kesalahan bahwa dia menyuruh
menasionalisasikan sarana produksi.
Tambahan pula, Sukarno tidak pernah merasakan mempunyai “rumah”
dalam arti yang sebenarnya. Andaikata dia pernah mengalami kehidupan
berkeluarga dalam arti moral dan etis yang sebenarnya, seperti yang
lazimnya dianggap masyarakat, maka ia barangkali akan menjadi seorang
presiden yang lebih baik dari sebuah negara yang dipimpin secara
sosialis. Tetapi keadaanlah yang mengubahnya menjadi seorang figur
kaisar. Dan dengan demikian dia akan menjadi korban dari kekuasaannya
sendiri yang mahadahsyat itu.
Sukarno selalu saya kagumi dan hormati sebagai seorang tokoh yang
besar, tetapi seperti juga Anda ketahui benar, Bapak Soeharto, saya
tidak selalu setuju dengan pendapatnya. Misalnya saja pendapat saya
bahwa Pancasila, ciptaan Sukarno (agama, kemanusiaan, demokrasi,
nasionalisme dan keadilan sosial) adalah suatu bentuk idealisme murni.
Walaupun idealism barangkali sangat diharapkan, namun belum tentu dapat
dipraktekkan dalam abad ke-20 ini. Indonesia jelas belum matang untuk
bentuk demokrasi Barat. Dengan alasan itulah Sukarno menganjurkan
“demokrasi terpimpin”, terutama juga karena sebagian besar penduduk
belum mencapai tingkat pendidikan dan tingkat sosial yang sama.
Dalam hal ini saya setuju dengan pendapatnya. Tetapi di pihak
lain, Sukarno mengarahkan politiknya ke cita-cita yang lebih tinggi.
Maka tak dapat dihindarkan bahwa dia kemudian mendapatkan kritik tajam,
terutama mengenai pandangannya dalam memperbaiki nasib masyarakat secara
keseluruhan. Sukarno seharusnya berpikir lebih realistis. Di dalam
suatu kurun waktu, di mana dia bisa menjadi penguasa tunggal dia tentu
bisa memaksa orang untuk menuruti cita-citanya. Tetapi sebagian besar
rakyat lebih peduli untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari daripada
mengikuti idealismenya. Orang harus akan kenikmatan-kenikmatan
materialistis, dan orang makin tidak tertarik untuk mendengarkan
pidato-pidato, yang tidak mengisi perut.
Sukarno berpendapat bahwa dunia dikuasai oleh dua blok kekuasaan
besar. Dia mencoba menghidupkan kekuatan ketiga yang akan memperbaiki
keseimbangan. Di dalam pertikaian ini Indonesia mempengaruhi Dunia
Ketiga: Asia, Afrika, Amerika Latin. Sementara itu permainan diplomatik
ini berarti bahwa Indonesia lambat laun dikucilkan. Dan itu sama sekali
tidak dimaksudkannya.
Dia berpendapat bahwa perdamaian dunia baru bisa dicapai bila
kebebasan yang mutlak telah dicapai oleh tiap ras dan tiap bangsa.
Tetapi keadaan terisolasi dari negara ini menyebabkannya mundur dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia dan misalnya ketidakhadiran kita
di Olimpiade Tokyo. Indonesia meninggalkan PBB setelah terjadinya
konflik mengenai pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.
Sukarno berpendapat bahwa PBB tidak bertindak adil terhadap tiap-tiap
negara anggotanya. Karena Indonesia tidak akan pernah mendapatkan
pinjaman dari Bank Dunia tanpa tunduk terhadap syarat-syarat tertentu
dan tekanan politik, Indonesia kehilangan perhatian terhadap pemberian
bantuan.
Sebelum kegiatan Olimpiade di Tokyo saat berlangsungnya Asian
Games di Jakarta, Indonesia dituduh dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan politik di bidang olahraga. Karenanya
Indonesia tidak diperbolehkan mengikutinya. Terhadap perlakuan ini
Sukarno menandaskan bahwa Olimpiade sendiri tidak luput dari pengaruh
politik, karena buktinya negara-negara komunis tertentu tidak diizinkan
mengikutinya.
Bapak Soeharto, bila Anda pada hari-hari itu sungguh-sungguh
berpikir secara mendalam mengenai hari depan negara ini, Anda pasti
mempunyai pendapat lain daripada cita-cita Sukarno, yang akhirnya sering
mempunyai dampak seperti angin puyuh. Saya sendiri, setidaknya,
menyaksikan dengan hati berdebar bagaimana diplomasi Indonesia makin
mengarah ke kiri.
Tidak ada seorang pun yang sempurna. Tanpa kecuali Sukarno. Namun
saya berpendapat bahwa Sukarno tidak pernah melakukan sesuatu untuk
memperbaiki dirinya, tetapi selalu melakukan sesuatu dengan jujur dan
keyakinan penuh untuk kepentingan cinta tunggalnya, yakni Indonesia.
Selama hidupnya ia sedapat mungkin mencegah rekan-rekan senegaranya
saling membunuh. Dibandingkan dengan Sukarno, Anda dan sejumlah rekan
Anda memerintah negara dengan jalan membakar emosi dan pertumpahan
darah. Anda dan antek-antek Anda yang seharusnya dituntut atas tuduhan
membunuh orang-orang tak bersalah dalam jumlah yang tak terhitung
banyaknya atas nama perburuan PKI.
Siapa lagi yang masih percaya kepada Tuhan? Dalam hal ini
Indonesia seharusnya tidak layak memiliki seorang presiden yang
tangannya berlumuran darah.
Bapak Soeharto, Sukarno sungguh-sungguh mencintai negara dan
rakyatnya. Termasuk pula mereka yang berniat untuk membunuhnya, bisa dia
dekati dengan lembut bila mereka minta maaf. Dibandingkan dengan
beliau, Anda menyimpan hati yang kejam di balik senyum Anda. Anda telah
menyuruh membunuh ratusan ribu orang. Bolehkah saya bertanya sekali
lagi, “Apakah Anda tidak mampu mempertahankan posisi dan kekuasaan Anda
kecuali dengan kelicikan dan pertumpahan darah?”
Barangkali kesalahan Anda terbesar adalah tidak segera menuruh
membunuh Sukarno tahun 1965 itu. Dengan mudah Anda bisa menuduh para
komunis melakukan pembunuhan itu. Bila Anda mau, dengan cara itu Anda
bisa mencegah dilakukannya pembunuhan massal pada rakyat. Dan sementara
itu pula, Anda bisa mempertahankan kedamaian jiwa jutaan pengagum
Sukarno. Para pengagum yang sekarang hanya bisa memandang tanpa daya
nasib yang menimpa pemimpin mereka.
Selanjutnya akan sia-sia saja melampiaskan rasa rendah diri Anda
terhadap Sukarno. Itu akan merupakan kematian yang lebih terhormat bagi
Pemimpin Besar Revolusi, daripada seperti sekarang disiksa sampai
dijemput maut. Merupakan aib nasional untuk Indonesia bahwa Sukarno
tidak diperlakukan dengan lebih terhormat yang patut diterimanya setelah
mengabdikan seluruh hidupnya bagi nusa dan bansanya.
Izinkan saya mengakhiri surat ini dengan menyatakan sekali lagi kesetiaan saya yang mendalam untuk Bapak kita. Hidup Bung Karno!