Marshall Green menyerahkan
surat kepercayaan sebagai Duta Besar Amerika Serikat kepada Presiden
Sukarno, 26 Juli 1965, di Istana Merdeka, Jakarta. Hanya 5 hari sejak
kedatangannya di Indonesia. Para duta besar lain harus menunggu beberapa
minggu untuk tiba di momen tersebut.
Hubungan AS dan Indonesia buruk sejak akhir 1950-an.
Pemicunya beberapa: konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, ancaman
nasionalisasi perusahaan AS di Indonesia, serangan ke kantor perwakilan
AS di Indonesia, juga dugaan keterlibatan AS dalam pemberontakan
PRRI/Permesta.
Dalam suasana politik semacam itu, Green
menyampaikan pidato. Datar dan normatif. Lalu, giliran Sukarno diberi
kesempatan bicara.
Setelah memberikan jawaban atas surat
kepercayaan itu, Sukarno menyerang kebijakan luar negeri AS. Green pun
'terbakar' tapi bisa menahan diri.
"Meski kebiasaan diplomatik
akan membenarkan jika saya meninggalkan ruangan, saya tidak punya
pilihan kecuali tetap di sana. Meninggalkan ruangan barangkali akan
menyebabkan Sukarno menyatakan saya persona non grata..." tulis Green dalam memoarnya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Dari Sukarno ke Soeharto: G30S/PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar.
Kemudian,
Sukarno memperkenalkan Green kepada para pejabat Indonesia yang hadir.
Salah satunya, Supeni, petinggi di Departemen Luar Negeri.
Green
berkata ke Supeni, "Nyonya Supeni senang sekali saya berkenalan dengan
Anda. Tahukah Anda, dengan kebaya hijau dan selendang keemasan, saya
menjadi terpaku saat Presiden berpidato tadi. Saya tak menangkap semua
kata-kata yang diucapkannya. Bisakah Anda menceritakan kepada saya apa
yang diucapkannya?"
Sukarno bersama John F Kennedy di Amerika Serikat.
Suasana menjadi tegang. Semua menutup mulut. Tiba-tiba, Sukarno menepuk paha dan tawanya meledak. Suasana mencair. Hadirin lega.
Pada
31 Agustus 1965, Green mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Sukarno.
Berdua saja. Percakapan berlangsung hangat kentai Sukarno tetap
menunjukkan ketidaksenangannya kepada politik luar negeri AS. 10 hari
sebelumnya, ribuan demonstran menyerbu dan menduduki Konsulat AS di
Surabaya.
Sebelum berpisah, Sukarno berbisik. Ia minta dibawakan majalah Playboy
dengan alasan menyukai ulasan tentang film dan teaternya. Selain
foto-foto telanjang, majalah itu sejatinya memang sarat dengan esai
berkualitas dan reportase keren.
Istri Green, yang sedang berada di Washington DC, mengirim majalah itu dalam kantung diplomatik.
Sebelum
mengirim ke Sukarno. Green berpikir, "Segera saya sadar bahwa ini
mungkin sebuah jebakan. Pasti Sukarno punya cara yang lebih mudah untuk
mendapatkannya..."
Boleh jadi, dalam imajinasi Green, dalam sebuah
pertemuan, Sukarno bakal berujar,"Jawablah Duta Besar Green, ya atau
tidak. Benarkah Tuan telah mengirimi saya, Bung Karno yang murni dan
polos, majalah-majalah Playboy yang kotor?"
Green tak pernah mengirim majalah tersebut ke Sukarno.
Marshall Green bersama Sukarno.
Pada
28 September 1965, Green bertemu lagi dengan Sukarno. Green tak
sendiri, ia bersama Duta Besar Meksiko Albaran. Mereka bertemu dalam
acara peletakan batu pertama pembangunan kampus Universitas Indonesia.
Green
yakin ia dijebak. Sukarno tahu dirinya sangat tak suka durian. Bau buah
itu, kata Green, seperti keju busuk. Tapi, di hadapan ribuan orang,
Sukarno mendesak Green untuk mencicipinya.
"...saya terpaksa
menelan makanan yang menjijikkan itu demi kehormatan negara saya," tulis
Green. Itulah pertemuan terakhirnya dengan Sukarno.
2 hari
kemudian, peristiwa G30S meletus. Pada 30 September malam itu, Green
menonton wayang di pinggiran Jakarta, atas undangan diplomat Selandia
Baru. "Ketika saya pulang naik becak dini hari, jalan-jalan di ibukota
terasa sunyi," katanya.
Keesokan harinya, pada pukul 08.00, baru
Green tahu telah terjadi pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Di
RRI, ia mendengar, Gerakan 30 September telah menyelamatkan Sukarno dari
kudeta CIA yang melibatkan Dewan Jenderal.
Keterlibatan CIA
hanya satu versi cerita dari G30S. Versi resmi menyatakan PKI adalah
dalang semua kekacauan ini. Yang pasti, peristiwa itu merupakan prolog
dari kejatuhan Sukarno.