Presiden Susilo Yudhoyono (kanan) tersenyum lebar saat menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia, Tony
Abbott (kiri), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/9). Jakarta tempat
pertama yang Abbott datangi setelah dia dilantik pada September lalu.
Kini hubungan Jakarta-Canberra menegang lagi karena Canberra menyadap
komunikasi petinggi Indonesia. (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)
... dalam kacamata politik internasional Indonesia telah diperlakukan secara keji oleh Australia dalam persoalan Timor Timur... "
Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National
Policy Studies, Guspiabri Sumowigeno, menilai, latar belakang Australia
menyadap komunikasi sejumlah petinggi Indonesia karena kekhawatiran
mereka bahwa Indonesia akan "berpaling" kepada China.
Padahal,
Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia) memiliki
skenario alias strategi besar membendung pengaruh China di mana-mana,
yang dinamakan China Containment.
Dalam konteks China Containment inilah maka perebutan pengaruh Barat dan China itu terjadi secara sengit.
"Inilah yang sekarang sedang membuat panik kekuatan-kekuatan politik Australia," kata Sumowigeno, Kamis.
China Containment
merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya membendung peningkatan
pengaruh China sebagai negara adidaya baru dalam ekonomi, militer,
politik, dan budaya.
Menurut Sumowigeno, pengungkapan skandal penyadapan Australia dari
kantor kedutaan besarnya di Jakarta ini, "Pasti merusak strategi yang
ditujukan untuk membendung kebangkitan pengaruh China yang sedang muncul
menjadi kekuatan adidaya ekonomi, politik dan militer."
Ia mengatakan, komitemen Indonesia terhadap China Containment itu cukup terlihat.
Indikasinya,
Indonesia seolah tidak menganggap intervensi politik dan militer
Australia dalam kampanye pelepasan Timor Timur dari Indonesia sebagai
tamparan yang seharusnya membekas dalam pada 1999.
Adalah Australia yang berdiri paling depan dalam memberi tekanan politik dan kekuatan militer berupa International Force for East Timor (Interfet) ke Indonesia soal (saat itu) Provinsi Timor-Timur, pada awal 1999.
Australia
sukses melepaskan Timor Timur dari Indonesia pada Agustus 1999, juga
"membentengi" jajak pendapat PBB yang diketahui juga tidak berlangsung
secara jujur dan adil sepenuhnya. Keberhasilan memereteli wilayah
Indonesia oleh Australia pada Timor Timur inipun tidak dianggap hambatan
psikologis berarti oleh Indonesia.
Indonesia kemudian cepat
membalikkan keadaan, dari krisis menjadi persahabatan dengan Timor
Timur, sejalan keberhasilan tim perumus Komisi Kebenaran Persahabatan
yang dibentuk bersama.
Dengan Australia,
hubungan itu juga diubah segera, terutama setelah dijalin kerja sama
pada 2001; padahal kebanyakan kerja sama itu lebih menguntungkan
Australia, di antaranya Indonesia menjadi "benteng" pemberantasan
gelombang imigrasi gelap ke Australia.
Indonesia,
kata dia, tetap menjalin hubungan mesra nyaris seperti sekutu dengan
Australia, meskipun dalam kacamata politik internasional telah
diperlakukan secara keji oleh Australia dalam persoalan Timor Timur.
"Indonesia
tidak mendapatkan imbalan sepadan untuk jasanya mencegah kejatuhan
Timor Portugis ketangan kelompok kiri atau komunis yang meresahkan
Australia sebelum tembok Berlin runtuh," kata dia.
Dalam perspektif Beijing, lanjut dia, sikap ini konfirmasi bahwa Indonesia memang ikut menjadi pilar dari China Containment. China dianggap lebih sebagai ancaman yang nyata ketimbang Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Barat-nya, termasuk Australia.
Ia mengatakan kepanikan Australia saat ini juga karena negara Timor
Timur kemudian ternyata juga bukan anak manis bagi Negara Kanguru itu
dan berkali-kali menggunakan "kartu China" untuk kepentingan
nasionalnya.
Paling jelas adalah menekan
Australia agar mau lebih jujur, adil, dan terbuka soal pengelolaan
minyak dan gas Bumi di celah Timor. Minyak Bumi di celah Timor yang
digembar-gemborkan Australia ada dalam jumlah sangat besar itu diangkut
dan dikilang di Australia.
Negara Timor Timur
hanya mendapat semacam "bagi hasil" dengan perhitungan deposit pasti
minyak Bumi dan gas, eksploitasi mereka, dan keuntungan yang hanya
diketahui segelintir pihak saja.
"Wacana pembukaan pangkalan militer China di negara Timor Timur amat menggetarkan Australia," katanya.
Salah
satu faktor yang menghalangi hal itu tidak terwujud adalah karena tiada
restu dari Jakarta, dan China masih menimbang perasaaan Indonesia, bila
mereka jadi membuka pangkalan militer di dalam wilayah gugusan
kepulauan Nusantara.
"Tingkat kepercayaan Indonesia yang menipis pada Austraia bisa
membuat Jakarta mengambil sikap berbeda terhadap wacana itu untuk
membuat perhitungan," ujarnya.