Minggu, 03 November 2013

Ini 5 Rencana TNI bikin Jakarta aman dari serbuan asing


Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Budiman dan Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin beberapa waktu lalu bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Mereka menyampaikan rencana TNI tentang strategi pertahanan yang tepat untuk Jakarta. 
Dalam pandangan TNI, sistem pertahanan nasional bukan hanya di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah hutan tetapi daerah pada penduduk seperti DKI Jakarta juga harus dijaga ketat. Alasannya, Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian nasional.
TNI AD telah melakukan kerja sama dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terkait tata ruang wilayah pertahanan di Jakarta. Selain itu, TNI AD juga akan menempatkan alat pertahanan di kota-kota besar sesuai dengan demografis wilayahnya. Berikut 5 rencana TNI untuk menjadikan Jakarta aman dari sisi pertahanan seperti dirangkum merdeka.com, Sabtu (2/11).

1. Penangkis serangan udara di gedung tinggi

TNI AD berencana memasang sejumlah alat utama sistem persenjataan (Alutsista) atau senjata penangkis serangan udara di atas gedung-gedung tinggi di Jakarta.

"Pada gedung tinggi bisa digunakan. Gedung yang ditentukan tempatnya bisa buat rata, sehingga bisa ditempatkan senjata penangkis udara," ujar KSAD Jenderal Budiman dalam acara operasi katarak dan bibir sumbing gratis memperingati hari Juang Kartika di Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (01/11).


2. Gedung tinggi zona pendaratan helikopter

TNI berharap di gedung-gedung tertentu di Jakarta dapat juga digunakan sebagai zona pendaratan helikopter logistik yang membawa alat berat seperti radar dan sebagainya.

"Sehingga gedung tinggi ini harus dibuat kokoh, bisa dilandasi helikopter radar dan penembakan penangkis serangan udara," kata KSAD Jenderal Budiman.

Menurut dia, perang masa depan tidak seperti dulu, di hutan atau ditentukan di suatu daerah. Oleh sebab itu, Jakarta sebagai pusat pemerintahan perlu dijaga.

3. Pangkalan tank di bawah Monas

TNI berencana membangun pangkalan tank di bawah Monas. Diperkirakan luas pangkalan militer plus parkir bawah tanah dan pusat souvenir di bawah Monas sekitar 160 hektar. Namun detail bangunan seperti apa belum bisa disampaikan. 
"Pembangunan dimulai 2014 nanti. Di bawah monas nanti ada underpass strategi pertahanan saat kondisi darurat, yang saling berhubungan," ujar Jokowi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertahanan (Kemhan) Sjafrie Sjamsoeddin menemui Jokowi. Keduanya membicarakan singkronisasi antara strategi penataan ibu kota dengan strategi pertahanan negara. 
Apalagi, September dan Oktober lalu, militer Indonesia bakal menerima ratusan tank berat. Tank itu bakal masuk Jakarta, lalu disebarkan di satuan operasional. Selain itu, militer juga bakal menerima roket jarak jauh untuk mengamankan ibu kota, serta sejumlah pesawat tempur dan puluhan tank amfibi.

4. Kemayoran untuk pendaratan pesawat tempur

Gubernur Jokowi akan menindaklanjuti koordinasi dengan Kementerian Pertahanan sehubungan penyediaan ruang bagi masuknya peralatan militer. Salah satu perubahan yang akan dilakukan adalah jalan di kawasan Kemayoran bisa dimanfaatkan untuk pendaratan pesawat tempur dengan sedikit mengubah tata ruangnya.
"Di Kemayoran bisa untuk pendaratan pesawat. Karena ada fly over nya itu nanti dipindah menjadi underpass sehingga nanti untuk pendaratan bisa dipakai darurat," kata Jokowi.

5. Marunda untuk jalur peralatan tempur TNI AL

Kawasan Marunda juga dibidik untuk membantu pertahanan melalui laut. Menurut Jokowi, ada lahan seluas 200 hektar di kawasan Marunda yang bisa digunakan untuk peluncuran amfibi. "Di Marunda itu luasnya lebih dari 200 hektar, sebagian wilayah pantainya itu juga nanti bisa digunakan untuk meluncurnya amfibi ke laut. Memang, hal-hal tersebut harusnya sudah kita rancang," kata Jokowi.

Pesan Untuk Musang Natuna

Deru dan gelegar 8 jet tempur canggih Sukhoi dan 6 jet tempur F16 di langit Batam tentu “terdengar nyaring” di jiran sebelah dan sebelahnya lagi.  Bahkan ribuan buruh yang lagi demo di Batam akhir Oktober lalu menghentikan teriakannya sejenak untuk mendongak keatas menyaksikan dan mengagumi. Selama 5 hari di penghujung Oktober dan awal Nopember 2013, Hang Nadim Batam menjadi home base latihan tempur khusus tentara langit Nusantara  bersama Tanjung Pinang, Pontianak dan Ranai Natuna.
Batam menjadi pangkalan aju Sukhoi, F16, Hawk skuadron Pekanbaru.  Pontianak menjadi pangkapan aju Super Tucano dan Hawk tuan rumah. Sementara 7 Hercules diterbangkan langsung dari Halim membawa ratusan tentara untuk diterjunkan ke Natuna.  Materi latihan tentu bermacam menu dan biarlah itu menjadi urusan rumah tangga AU mau mendapat ponten berapa. Tapi kita sebagai penonton secara visual bisa melihat betapa lumatnya sasaran yang dijadikan target penghancuran oleh jet-jet tempur tadi.
Jet tempur Sukhoi dan rudalnya di langit Natuna
Sudah tentu kurikulum latihan matra udara paling bergengsi itu diintip dan dipantau oleh jiran sebelah dan sebelahnya lagi. Singapura dan Cina sangat diyakini ikut memantau gerakan tentara dan jet-jet tempur RI itu dengan mata telinga elektronikanya.  Tak apa-apa, ini akan semakin memberikan kesan dan pesan pada “musang-musang” itu bahwa TNI mampu memperlihatkan dan menjalankan pertempuran modern dengan alutsista setara. 
Show of Force untuk tetangga sebelah Batam diperlukan karena ini menyangkut kewibawaan. Termasuk untuk warga Batam Riau bahwa payung dan persenjataan dirgantara di atas mereka siap melindungi ummatnya setiap saat. Penting juga untuk dipesankan bahwa mereka adalah merah putih. Soalnya warna keseharian warga perbatasan adalah lintas batas dalam interaksi eknonomi. Sekedar mengingatkan.
Pesan untuk musang Natuna jelas, jangan bermain api dengan teritori NKRI.  Musang yang dimaksud adalah singkatan dari musuh anggapan, sebuah nama sandi militer untuk sebuah negara yang menjadi musuh simulasi.  Beberapa waktu lalu musuh simulasi itu bernama Sonora tanpa ada kepanjangannya, sehingga dipersepsikan macam-macam. Musang yang ini pun bisa dimaknai dengan “musuh sang naga” atau “musuh sangar” atau tetangga yang berwatak musang.  Yang jelas untuk wilayah Natuna dan sekitarnya kita berhadapan dengan kekuatan multi kelas.  Ada kelas Naga, ada kelas Singa dan ada kelas Jaguh. Tidak usah dijelaskan lagi karena diskusi forum militer sudah memahami terutama pada kelas yang terakhir itu.
Hasilnya, melumat musang Natuna
Banyak hal yang bisa dicatat dalam latihan ini. Inilah untuk pertama kalinya diperlihatkan kepada khalayak bahwa persenjataan Sukhoi tidak lagi sekedar kanon dan bom P100. Tetapi juga sudah memiliki tentengan rudal-rudal mautnya.  Ada rudal R73, R77, Kh31A, Kh31P dan S8 yang made in Rusia itu, sehingga memberi kesan gentar dan getar.  Catatan lain adalah adanya sorti pertempuran udara yang tentu bernuansa mencekam karena kemampuan first look, first shot dan first kill menjadi kejaran prestasi untuk pilot kita bersama keunggulan teknologi radar dan rudalnya.  Pertempuran udara modern saat ini dan seterusnya sesungguhnya adalah uji keunggulan teknologi radar, jarak tembak dan kecepatan rudal serta militasi pilot jet tempur.
Sebagai evaluasi untuk kondisi kepemilikan dan jenis alutsista TNI AU saat ini dibandingkan dengan luas wilayah dan spektrum ancaman maka harus diakui kekuatan pukul alutsista udara kita masih belum memadai.  Satu skuadron Sukhoi yang dimiliki saat ini belum mencukupi nilai gizi kegaharan pengawal dirgantara.  Meski tahun depan akan ada penambahan 24 jet tempur F16 dan melengkapi kekuatan penuh satu skuadron Golden Eagle dan Super Tucano, tetap belum disebut gahar. Oleh sebab itu masih diperlukan minimal 1-2 skuadron Sukhoi Family lagi untuk memastikan kewibawaan itu.  Apalagi jika dikaitkan dengan kehadiran F35 yang mulai tahun depan di kawasan ini. Dan kita meyakini bahwa dalam program MEF tahap 2 nanti kekuatan pengawal dirgantara bersama dua matra angkatan lainnya akan semakin bagus dan berotot.
Intensitas latihan militer yang dilakukan Indonesia selama dua tahun terakhir ini adalah memastikan tingkat kesiapsiagaan yang tinggi untuk menjaga kepemilikan medan teritori.  Lebih dari itu adalah untuk mengingatkan negara manapun untuk tidak mengusik teritori Indonesia.  Kampanye militer dengan mengerahkan berbagai alutsista untuk diperdengarkan dan diperlihatkan bunyi musik amunisi dan dentumannya. Menenggelamkan kapal perang dengan rudal Yakhont dari jarak 200 km yang membuat para musang terperangah. Membumihanguskan dan mendemonstrasikan teknologi persenjataan yang dimiliki adalah pesan militer yang jelas dan tegas.  Pesan yang hendak disampaikan kepada para musang lewat dentuman, deru, gelegar dan manuver di wilayah perbatasan sesungguhnya adalah rangkaian kalimat yang kira-kira berbunyi seperti ini: anda sopan kami sapa, anda maju  kami sapu.

Starstreak HVM: Rudal Tercepat Arhanud TNI AD

1-high-velocity-missile

Pasca pensiunnya rudal Rapier, boleh jadi belum ada rudal arhanud yang benar-benar mumpuni dan mampu bikin pede pertahanan udara di wilayah Ibu Kota Jakarta. Pengganti Rapier memang ada, seperti rudal Grom buatan Polandia, soal kinerja dan performa rudal ini memang menjadi kontroversi. Nyatanya, sekalipun telah ada Grom dalam peluncur Poprad dan kanon 23 mm ZUR komposit Grom, Arhanud TNI AD masih memesan rudal lain dalam segmen MANPADS (Man Portable Air Defence Systems), yakni rudal Mistral dalam platform Atlas, dan kini juga tengah melirik rudal QW-3 buatan Cina.
Tapi lepas dari itu semua, sesungguhnya perhatian utama dalam modernisasi di segmen rudal arhanud merujuk ke Starstreak. Bagi yang mengindamkan RI punya rudal hanud jarak menengah/jauh sekelas S-300 buatan Rusia, maka Starstreak sama sekali tidak mirip, bahkan berbeda kelas. Starstreak tidak lain adalah rudal di kelas MANPADS SHORAD (Short Range Air Defence), sosok dan desainnya sebangun dengan rudal Mistral dan QW-3.
Mengutip sumber dari TheJakartaPost.com (17/1/2013), pengadaan alutsista ini sudah mulai dibicarakan sejak kedatangan PM Inggris, Tony Blair saat berkunjung ke Jakarta pada tahun 2006 silam. Alhasil kemudian berlangsunglah kontrak pembelian rudal Starstreak pada tahun 2012. “Indonesia membeli 1 baterai rudal Starstreak, yang terdiri dari sembilan peluncur,” ujar Kolonel. Jonni Mahroza, Atase Militer RI di Inggris. Tidak ada informasi lebih lanjut, dalam platform apakah Starstreak ini dibeli oleh Indonesia. Tapi besar kemungkinan, mengacu pada unit peluncur ground based dengan 3 peluncur pada dudukan tripod.

_60029247_hi014658287-1
7197357120_3d9c47cc85article-2139736-12EE619E000005DC-606_634x390

Jumlah satu baterai jelas tak mencukupi untuk upaya pertahanan yang efektif, idealnya dalam satu batalyon terdapat tiga baterai. Baterai bisa diibaratkan satuan setingkat kompi dalam kesatuan infanteri atau kavaleri. Starstreak disiapkan untuk menjadi perisai angkasa untuk wilayah DKI Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan penunjukkan kesatuan Yon Arhanudse (Artileri Pertahanan Udara Sedang) 10 Kodam Jaya selaku operator rudal ini.
Starstreak
Urusan kecepatan menjadi nilai jual dari rudal ini, bahkan identitas rudal ini ditambahkan label HVM (High Velocity Missile). Dirunut dari sejarahnya, desain Starstreak dimulai pada awal tahun 1980, rudal ini lahir dari kompetisi ketat antara Thunderbolt MANPADS buatan BAe Systemss dengan Starstreak yang diusung oleh Short tahun 1984.
Keunggulan Starstreak bukan hanya terletak pada soal kecepatan, metode penyergapan rudal ini pun terbilang unik. Starstreak dikemas dalam tabung tersegel yang bebas perawatan sepanjang umur pakainya (maintenance free). Artinya, rudal tidak perlu diinspeksi secara berkala, cukup disimpan sesuai petunjuk pabrikan hingga tanggal kadaluwasa, dalam hal ini masa pakai Starstreak hingga 15 tahun. Tabung peluncur terisi rudal yang terintegrasi dengan unit pembidik yang dilengkapi stabilizer otomatis. Sementara juru tembak membidik target, aiming unit secara simultan mangalkulasi trayaktori target agar diperoleh jalur lintasan yang paling tepat untuk mengarahkan rudal menuju sasaran.

3 buah dart menjadi ciri khas dari Starstreak
3 buah dart menjadi ciri khas dari Starstreak
DSC_8263e
starstreak

Setelah proses persiapan rampung, juru tembak tinggal memencet trigger yang memicu penyalaan booster. Sejarak sekitar 10 hingga 15 meteran dari operator (tergantung kondisi atmosfir dan ketinggian saat penembakan), motor utama akan menyala melesatkan rudal hingga kecepatan 3,5 Mach. Berkat akselerasi yang tinggi, kecepatan supersonic tersebut dapat dicapai hanya dalam jarak 400-an meter dari posisi juru tembak.
Segera setelah motor roket utama membakar habis semua propelannya, maka tiga anak panah (dart) akan melesat dari bagian depan rudal. Ketiganya melesat menuju target dalam formasi melingkar dengan diameter sekitar 1,5 meter. Setiap dart (oleh pabriknya disebut hittiles) punya panjang 396 mm, diameter 22 mm, dan beratnya 900 gram. Masing-masing hittiles terdiri dari dua bagian. Bagian depan terdapat dua canard yang berotasi saat melesat. Bagian ini tersambung dengan bagian belakang yang tak berputar yang memiliki empat sirip. Di bagian belakang inilah terdapat perangkat elektronik yang berperan memandu rudal.
Ujung hittles terbuat dari tungsten yang membungkus 450 gram hulu ledak yang diaktifkan dengan sumbu perkenaan langsung dengan jeda (delayed impact fuze). Tujuannya agar setelah menabrak targetnya, hittles berkesempatan menembus body target sebelum meledak di dalamnya, sehingga bisa dipastkan daya hancurnya sangat besar. Selain dengan sumbu jeda, peningkatan efek destruktif juga diperoleh dari tungsten, sejenis metal yang cenderung rapuh (brittle), namun tingkat kekerasannya lebih tinggi ketimbang baja. Bahan peledak yang yang dibungkus tungsten pada kepala hittles jika meledak akan menyemburkan pecahan tungsten dengan daya hantam yang diyakini dapat menjebol lapisan baja terkuat pada pesawat atau heli tempur sekalipun.


Dengan sistem pemandu laser (laser guided) atau laser beam riding guidance, Starstreak dapat melaju menghantam sasaran tanpa risiko terkena jamming (anti jamming), dan tingkat akurasi rudal ini pun jauh lebih tinggi ketimbang rudal panggul (MANPADS) yang berpemandu infra red. Dari spesifikasi sistem pemandu, rudal RBS-70 dan rudal QW-3 juga menganut pemandu laser.
Untuk membutikan daya hancurnya, Starstreak dilakukan uji tembak pada 1999, setelah operasional perdana tahun 1997. Target pengujian bukanlah drone, melainkan ranpur lapis baja FV432 APC. Karena dilepaskan ke sasaran permukaan sehingga trayektori rudal cenderung datar, kecepatan lesatnya pun melebihi spesifikasi standar, yakni 1.200 meter/detik dan terbukti mampu menjebol lapisan baja ranpur tersebut. Karena kecepatannya, Starstreak diklaim mampu menguber target yang bermanuver lincah hingga 9g sekalipun.
Multi Platform
Dengan mengambil basis MANPADS, Starstreak memang disiapkan untuk bisa ditempatkan dalam beberapa platform. Diantaranya rudal buatan Inggris ini dapat di setting dalam High Mobility Multi Weapon Air Defence System, dimana 6 rudal Starstreak dipasang terpadu dengan kanon kaliber 40 mm. Kombinasi dua sista ini dipasang dalam satu kubah pada kendaraan tempur sekelas panser. Kemudian dapat pula dipasang pada platform Avenger Air Defence System dan THOR. Masih ada lagi platform luncur Starstreak, seperti ground based anti air missile dengan tiga peluncur, self propelled Starstreak system, dan shoulder launched, alias dengan cara dipanggul oleh seorang prajurit. Bahkan, rudal buatan Thales Air Defence ini dapat dilepaskan dari heli serbu, yakni AH-64 Apache.

Dapat dilepaskan dari heli AH-64 Apache
Dapat dilepaskan dari heli AH-64 Apache
Versi shoulder launcher
Versi shoulder launched
starstreak_hvm_b
Versi Self Propelled yang diluncurkan dari Tank Stormer APC

Bukan Tanpa Kelemahan
Meski super canggih, bukan berarti Starsrtreak tanpa kelemahan. Musuh dari rudal ini adalah cuaca, dalam kondisi berkabut atau berasap, pancaran laser dapat menjadi bias dan tidak efektif. Selain itu, Starstreak dianggap kurang fleksibel dalam menggasak sasaran, lantaran mutlak mensyaratkan perkenaan langsung (impact), alias rudal ini tidak mampu menghancurkan sasaran dengan meledak dekat posisi sasaran (proximity detonation). Indonesia menjadi negara keempat pengguna Starstreak, setelah Inggris, Afika Selatan, dan Thailand. Dikutip dari Wikipedia.com, populasi Starstreak kini mencapai 7.000 unit di seluruh dunia.
Urusan harga juga menjadi halangan tersendiri dalam pemasaran Starstreak. Beberapa sumber menyebut harga rudal ini jauh lebih tinggi dari Mistral, boleh jadi itulah alasan mengapa Indonesia hanya membeli 1 baterai Starstreak, alias hanya 9 peluncur saja.

Spesifikasi Starstreak
  • Manufaktur : Thales Air Defence UK
  • Jarak Tembak Efektif Max : 7.000 meter
  • Jarak Tembak Min : 1.500 meter
  • Jarak Ketinggian Luncur : 5.000 meter
  • Durasi Luncur : 8 detik
  • Kecepatan : 3,5 Mach (860 meter/detik)
  • Bobot Luncur : 14 kg
  • Sistem Pemandu : Laser guided
  • Pendorong : Roket berbahan bakar padat
  • Maintenance Free : 15 tahun
IndoMil.

Alvis Stormer AVLB: Sarana Darurat Satuan Kavaleri TNI AD

BVkqMSjCAAEQA1k.jpg large

Meski didaulat mampu menembus halang rintang dan medan berat, tapi pada kenyataan tidak semua rintangan bisa dilalui oleh ranpur lapis baja beroda rantai, alias tank. Betapa pun perkasanya tank,toh akhirnya akan bertekuk lutut bila menghadapi rintangan seperti kontur jurang/cerukan dan sungai dengan kedalaman diatas kewajaran. Untuk tank/panser berkualifikasi amfibi mungkin masih bisa untuk berenang, tapi bagaimana dengan tank/panser yang tak punya kemampuan amfibi?
Dari semenjak era Perang Dunia Kedua, hambatan alam untuk laju tank seperti diatas sudah ditemukan solusinya. Wujudnya seperti aksi gelar jembatan ponton dan jembatan bailey yang menjadi suguhan korps zeni. Baik jembatan ponton dan jembatan bailey punya keunggulan dari sisi kapasitas, lebar, kekuatan, dan panjang jembatan. Tapi dari sisi kecepatan gelar, kedua jembatan tadi butuh waktu dalam penggelarannya. Belum lagi ada risiko jatuh korban selama instalasi, maklum satuan zeni beroperasi di medan terbuka.
Menghadapi situasi diatas, satuan kavaleri juga dapat mengatasi tantangan tersebut secara mandiri. Tanpa harus mendapat dukungan dari satuan zeni, satuan tank dan panser dapat melintasi medan cerukan yang dalam. Jika sudah begini, yang jadi ujung tombak adalah ranpur jenis AVLB (armored vehicle launched bridge), dalam bahasa lain sering disebut tank bridgelayer, atau tank penggelar jembatan. Keberadaan tank AVLB sudah lumrah menjadi bagian organik di batalyon kavaleri.

avlb_001
avlb_002

Sifat dari AVLB sangat mobile dan dapat dipindahkan dengan cepat. Dengan AVLB, lintas penyeberangan medan juga lebih aman dari gempuran senjata kelas ringan, lantaran memiliki lapisan pelindung. Meski demikian, AVLB punya keterbatasan pada jarak bentangan (span). Tapi disisi lain, model ini lebih cocok dan efektif untuk menyeberangi rintangan alam yang tidak terlalu lebar, seperti anak sungai. Umumnya untuk menghemat dana pengembangan, AVLB mengambil basis tank yang sudah ada. Dengan mengambil basis tank yang sama, urusan suku cadang dan logistik menjadi lebih mudah.
Stormer AVLB
TNI AD pun sudah akrab dengan keberadaan AVLB, tepatnya kavaleri TNI AD saat ini mengadopsi jenis Stormer AVLB, karena basisnya berasal dari tank Stormer APC (armored personnel carrier) yang juga menjadi arsenal batalyon kavaleri. Pengadaan Stormer AVLB bersamaan dengan pemesanan tank Scorpion dan tank Stormer pada periode tahun 1995 – 1997. Indonesia tercatat memiliki 2 unit tank Stormer AVLB, kemungkinan tiap AVLB ditempatkan di dua batalyon kavaleri yang mengusung sista tank Scorpion/Stormer, yaitu YonKav 1 Tank/Kostrad dan YonKav 8/Kostrad.

1
3

Dengan model jembatan tipe class 30 scissors, panjang bentang jembatan mencapai 15 meter. Dengan mekanisme hidrolik, jembatan dapat diluncurkan dalam tempo kurang dari 5 menit. Menurut spesifikasinya, Stormer AVLB diawaki oleh 3 orang personel. Stormer AVLB ditenagai mesin Perkins Phaser 250 HP Military Turbo Charged Diesel. Tenaga yang dihasilkan mencapai 250 HP/2600 RPM dengan transmisi semi otomatis. Dengan kapasitas BBM 330 liter dapat dicapai jarak jelajah hingga 600 Km. Tanpa dibekali persenjataan, Stormer AVLB dapat dipacu hingga kecepatan 80 Km per jam.
TNI AD terbilang jarang menampilkan sosok Stormer AVLB ke publik. Baru pada ajang Pameran Alutisista TNI 2013 di lapangan Monas, sosok tank ini nongol. Selain punya body yang unik, lipatan jembatannya yang cukup besar banyak diminati oleh para pengunjung untuk meneduh dari teriknya sinar matahari.

Stormer AVLB di pameran Alutsista TNI 2013 - Lapangan Monas
Stormer AVLB di pameran Alutsista TNI 2013 – Lapangan Monas

Leopard 2A4 AVLB
Bicara tentang armada MBT Leopard 2A4 yang mulai berdatangan memperkuat kavaleri TNI AD. Kabarnya nanti juga akan didatangkan Leopard 2 versi bridgelayer. Ada dua varian, yakni Leopard 2L dan Panzerschnellbrucke 2 (PSB2) Modular Bridge System. Keduanya dibangun dari sasis Leopard 2, bahkan mesin penggeraknya juga sama persis. Pembeda utamanya adalah ketiadaan kubah yang digantikan lembaran jembatan lipat.
Baik Leopard 2L dan PSB2 mampu memikul beban maksimum setara klasifikasi MLC70 (70 ton). Karena ukurannya pun jauh lebih jumbo dari Stormer, bentang jembatan pun lebih panjang, yakni hingga 22 meter dengan lebar 4 meter. Tentunya, keberadaan AVLB sangat dibutuhkan bagi operasi satuan kavaleri, pasalnya medan tempur di Tanah Air memang sarat dengan cerukan dan sungai kecil yang berpotensi membuat pergerakan satuan tank mati kutu sebelum bertemu musuh. 

Leopard AVLB
Leopard 2L AVLB

Spesifikasi Stormer AVLB:
  • Manufaktur : Alvis
  • Dimensi : 5,72 meter
  • Lebar : 2,76 meter
  • Tinggi : 2,66 meter
  • Berat Tempur : 12,8 ton
  • Bebas Dasar : 406 mm
  • Tekanan Jarak : 0,4 kg/Cm2
  • Kecepatan di Jalan Raya : 80 km/jam
  • Kecepatan di Air : 5 km/jam
  • Rintangan Tegak : 60 Cm
  • Rintangan Miring : 30%
  • Rintangan Parit : 1,7 meter
  • Tanjakan : 60%
  • Jarak Jelajah : 600 Km
  • Mesin : Perkins Phaser 250 HP Military Turbo Charged Diesel
  • Kapasitas BBM : 330 liter
  • Transmisi : Semi otomatis
 Indomil.

Kopassus kembali unjuk gigi dalam lomba tembak AARM

Kopassus kembali unjuk gigi dalam lomba tembak AARM - Berhasil peroleh medali 14 emas, 4 perak dan 2 perunggu - Danyon Ban Sat 81 Kopassus Mayor Inf Akhirudin meminta kepada masyarakat Indonesia untuk mohon doanya agar kontingen Indonesia dapat merebut Juara Umum.

Kontingen lomba tembak AARM (Asean Army Rifle Match)-23 TNI AD Indonesia yang dipimpin Mayor Inf Akhirudin selaku Danyon Ban Sat 81 Kopassus sampai hari kedua berhasil meninggalkan jauh peserta lain dengan perolehan medali 14 emas, 4 perak dan 2 perunggu. Lomba tembak yang berlangsung di Myanmar di ikuti 10 negara antara lain Indonesia, Thailand, Philipina, Brunei .Vietnam ,Singapura, Myanmar, Malaysia, Kamboja dan Laos.
Danyon Ban Sat 81 Kopassus Mayor Inf Akhirudin meminta kepada masyarakat Indonesia untuk mohon doanya agar kontingen Indonesia dapat merebut Juara Umum.
“AARM-23 TNI AD Indonesia bisa meraih juara umum lagi seperti, tahun lalu menjuarai AARM-22/2012 di Bunei Darussalam yang dipimpin Mayor Inf Dedy Suryadi Danyon 22 Grup 2 Kopassus,”kata Danyon Ban Sat 81 Kopassusdi Myanmar, Jum’at (1/11/13)
Adapun perolehan Medali dan Tropy untuk sementara H+2 (3118.00 Okt 2013) lomba tembak AARM-23/2013 Myanmar diantaranya:
A. Perolehan Medali sbb :
1. Ina : emas 14, Perak 4, perunggu 2
2. Tha : emas 2, Perak 8, perunggu 4
3. Phi : emas 1, Perak 2,Perunggu 6
4. Bru : emas 1, Perunggu 1
5. Vie : Perak 3, Perunggu 2
6. Sin : perak 1, Perunggu 3
7. Myn, Mal, Cam, Lao
B. Perolehan Tropy sbb :
1. Ina : 2
2. Tha, Phi, Bru, Vie, Sin, Myn, Mal, Cam, Laos. 

Sabtu, 02 November 2013

Jejak Soeharto : Peristiwa Malari “The Shadow of an Unseen Hand”

 
Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.
Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini hanya dapat dialami dan dirasakan (akibatnya). Tetapi tidak untuk diungkap secara tuntas. Berita di koran hanya menyingkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang.
Peristiwa Malari itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam.
Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.
Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. “Sedangkan kerusuhan terjadi satu jam kemudian,” katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha membelokkan gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. “Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke Kebayoran!” teriaknya. “Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas….”
Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku sudah menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah bersedia, tetapi DM-UI menjawab bahwa “dialog diganti dengan dialog jalanan….”
Tetapi Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta ratusan bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari sejumlah toko perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Setelah empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung.
“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman ketika ditemui, Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.
Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, setelah itu Soeharto melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.
Total aparat menggaruk 750 orang-50 di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan, seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid. “Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap,” Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud meredam aksi mahasiswa.
Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari mereka dibebaskan setahun setelah meringkuk di penjara, karena terbukti tak terlibat. Pengadilan berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini–meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)–dapat kiranya disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).
Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Malari sebagai Wacana
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.
Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka pada Januari 1974 yang disertai bukan demonstrasi tetapi juga kerusuhan.
Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru. Bahkan mungkin bisa berjalan sampai hari ini.
Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu–antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola–dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992:166).
Sebaliknya dalam “dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya “ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.
Keterangan yang diberikan Soemitro dan Ali Moertopo berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar: Soemitro atau Ali Moertopo? Kita melihat kerusuhan, pelaku di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa sebetulnya aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan beberapa waktu kemudian meninggal secara misterius dalam status tahanan.
Pintu tertutup untuk PSI
Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik “pluralis modern”. Kelompok ini-seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)-meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.
Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.
Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.
Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.
Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.
Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan “bersih” oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. “PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.”
Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. “Banyak juga anak muda yang tertarik.”
Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.
Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.
Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.
Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.
Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. “Karena kesempatan kami terbuka,” ujar Rahman Tolleng.
Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.
Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.
Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? “Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,” ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.
Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.
Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.
Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, “Independent group sudah mati sebelum lahir.”
Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.
Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. “Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,” kata Soeharto ketika itu.
Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah “markas” independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.
Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini “mati” setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.
Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.
Rahman Tolleng-di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969-berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.
Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.
Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.
Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. “Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,” kata Rahman Tolleng.

Cyber Army TNI Sebagai Matra ke-4

http://www.frontroll.com/foto_berita/46Indonesia-National-Cyber-Security.jpg

Ketika media massa dikuasai oleh pengusaha dan elit parpol, maka kebebasan pers sebagai bagian dari kehidupan demokratis, menjadi tercoreng. Sesungguhnya yang mengalami kebebasan bukan rakyat, tapi segelintir pengusaha dan elit parpol yang memiliki kepentingan, baik ekonomi, politik maupun ideologi.

Media massa, dengan segala kekuatan yang dimilikinya, mampu memengaruhi para pengambil kebijakan di negeri ini. Bahkan, media massa mampu mengubah pola hidup masyarakat. Kelompok-kelompok sipil masuk ke industri-industri media raksasa, dan menghirup udara kebebasan. Udara kebebasan yang dimaksud adalah mereka leluasa menulis, memproduksi dan menyiarkan konten-konten media sekehendak hati. Tidak ada lagi sensor terhadap media, karena itu lah hakikat dari kehadiran kebebasan pers yang dilindungi undang-undang.

TNI, sebagai salah satu institusi negara di bidang pertahanan, juga harus menikmati arus kebebasan informasi dan komunikasi. Era teknologi informasi membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia. Kehadiran sosial media pun semakin menyemarakkan kehidupan demokratis di negara ini.

Di balik kebebasan itu, menyimpan potensi ancaman yang besar. Internet menjadi kekuatan yang tidak terbendung, karena setiap orang bisa melakukan apa pun di dalamnya. Tidak adanya kontrol yang secara signifikan atas kebebasan ber-internet, cukup menjadi alasan hadirnya Cyber Army TNI. Banyak bidang yang menjadi cakupan Cyber Army. Tidak hanya berkaitan dengan media massa. Ancaman penyadapan negara-negara asing terhadap Indonesia, juga bisa ditangkal dengan kehadiran Cyber Army TNI sebagai matra ke-4.

Belum lagi jika ancaman datang dari luar negeri. Ancaman tersebut berupa intervensi negara-negara asing terhadap kedaulatan NKRI. Indikasinya sudah kuat, yakni adanya penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap beberapa negara, termasuk Indonesia.

Informasi penyadapan di Kedutaan Besar Amerika Serikat menjadi alasan, TNI harus memperkuat diri di bidang teknologi informasi. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Penyadapan itu menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara.

Syarat utama yang harus dikuasai Cyber Army TNI adalah penguasaan terhadap sistem komunikasi yang tangguh dan penempatan radar-radar canggih di wilayah pertahanan perbatasan. Setelah menguasai sistem teknologi informasi yang memadai, Cyber Army TNI juga perlu dukungan penempatan persenjataan jarang menengah dan jauh.

Perpaduan antara teknologi informasi dan sistem persenjataan ini bisa mengacu pada angkatan bersenjata Cina. Negara Tirai Bambau itu memiliki strategi pertahanan kewilayahan daratan yang luas, dan lautan/pantai yang relatif kecil tapi terpadu.