"Saya justru kecewa dan heran atas temuan TGPF tersebut. Saya telah
memberi keterangan panjang lebar kepada TGPF dan saya yakin fakta-fakta
jelas menunjukkan bahwa saya justru berjuang sekeras mungkin untuk
menenteramkan keadaan,"kata Prabowo dalam suratnya. Pertemuan Prabowo
dengan TGPF itu sendiri berlangsung pada 7 September 1998 di rumah
kediaman Prabowo Jl.Cendana No.7, Jakarta Pusat. Dari TGPF hadir Bambang
W.Suharto, Bambang Widjoyanto dan Rosita S.Noer. Berkaitan dengan surat
Prabowo dari Amann tersebut, menjadi sangat menarik mengungkap apa
pengakuan rinci Prabowo di depan tiga anggota TGPF itu. Dan inilah
pengakuan lengkap Prabowo di depan TGPF:
Pertama saya ingin
jelaskan di awal, bahwa seluruh pengamanan memang sudah merupakan sistem
ABRI bahwa seluruh operasi pengamanan di bawah kendali komando
otoritasnya adalah Pangdam Jaya sebagai Komando Operasi Jaya, sekaligus
sebagai Komandan Garnisun. Jadi yang punya otoritas atau semua gerakan
pasukan di Jakarta Raya adalah Pangdam Jaya. Hal itu sudah merupakan
sistem ABRI integral. Dan hal itu sudah terjadi sejak saya menjadi
tentara. Jadi sejak itu yang saya tahu demikian sistemnya.
Pada
12 Mei 1998 antara pukul 19.00-20.00 WIB saya mendapat telepon dari
Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Syamsuddin. Kebetulan saat itu saya sedang
berada di Bogor. Dari Pak Syafrie itulah untuk pertama kalinya saya
mendengar peristiwa Trisakti. Melalui telepon itu Pak Syafrie
menceritakan bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat.
Pak Syafrie
juga menceritakan bahwa yang meninggal mungkin 6 orang, namun itu masih
belum pasti. Dari situ kita sudah memperkirakan bahwa situasi di Jakarta
akan meledak. Tengah malam itu juga kemudian saya
berangkat ke
Markas Kostrad di Gambir. Di markas ketika saya datang, sudah dipenuhi
oleh beberapa perwira staf dan saya memberi perintah bahwa markas Gambir
supaya disiapkan untuk menerima pasukan karena saya sudah memperkirakan
situasi Jakarta akan meledak dan pasti bantuan akan diminta.
Untuk
itu markas Gambir harus disiapkan untuk menerima kompi-kompi yang
datang. Malam itu pada pukul 24.00 WIB penanganan sudah dilakukan, dan
markas Gambir dalam posisi siap. Dan waktu itu saya sudah memperkirakan
apa perlu menggeser pasukan ke Gambir. Jadi pada 12 Mei 1998 tengah
malam saya sudah melakukan langkah antisipasi. Kemudian pada 13 Mei 1998
kita sudah mengikuti atau memonitor perkembangan. Kalau tidak salah ada
satu atau dua kompi yang kita kumpulkan di Kostrad.
Dan untuk
diketahui juga, saat itu ada sedikit persoalan. Yakni kita sudah
memiliki rencana lama yang sudah dipersiapkan sejak sebulan sebelumnya,
yakni akan mengadakan upacara di Malang, Jawa Timur, pada 14 Mei 1998.
Tiga minggu sebelum tanggal 14 Mei 1998 itu saya sudah menghadap Pangab
untuk meminta kesediaan Pangab menjadi Inspektur Upacara (Irup) dan
Pangab bersedia.
Melihat perkembangan situasi di Jakarta, saya
kembali mengecek ke Mabes ABRI dan menyarankan supaya acara di Malang
ditunda saja. Namun Mabes ABRI tetap memutuskan acara di Malang jalan
terus dan Pangab tetap akan hadir. Lantas saya juga menanyakan apakah
saya selaku Pangkostrad apa tetap harus hadir di Malang atau sebaiknya
tetap berada di Jakarta saja. Keputusan saya tetap harus berangkat juga
ke Malang.
Nah, jadi itulah yang kemudian pada 14 Mei 1998 pukul
06.00 WIB saya sudah berada di Halim bersama rombongan. Rombongan ini
banyak juga. Ada Kasad, Danjen Kopassus, Danjen Marinir, dll. Kami semua
akhirnya berangkat juga ke Malang. Jadi pada saat peristiwa 14 Mei
1998, kami semua sedang berada di Malang sejak pagi. Begitu upacara
selesai, kami semua terbang kembali ke Jakarta dan mendarat sekitar
pukul 12.30 WIB.
Jadwal kembali ke Jakarta itu memang dipercepat
karena sewaktu di Malang, kami mendengar ada telepon ke Pangab di ruang
VIP. Saya dengar telepon dari Menko Polkam. Isi pembicaraan pada
pokoknya soal keadaan Jakarta yang memburuk. Dengan informasi itu acara
di Malang dipercepat satu jam, sehingga kami bisa tiba di Jakarta pada
pukul12.30 WIB.
Dari Halim saya langsung menuju ke Markas Kostrad
di Gambir. Di markas saya melihat ada helikopter. Rupanya Pak Syafrie
sudah ada di situ. Kemudian saya menanyakan bagaimana situasinya. Pak
Syafrie kemudian menyatakan, sudahlah kamu ikut saya saja. Saya pun
kemudian ikut Pak Syafrie keliling Jakarta dengan menggunakan
helikopter.
Dari atas saya melihat sudah banyak sekali
gedung-gedung yang dibakar massa dan sebagainya. Setelah melihat situasi
dari atas, kami kemudian kembali ke Gambir. Kebetulan sekali, sore itu
saya punya janji bertemu dengan Pak Ahmad Tirtosudiro (sekarang ketua
umum ICMI) di kantor CIDES. Kantornya kalau nggak salah di Departemen
Agama, Jl.Thamrin di seberangnya Bank Indonesia.
Karena rencana
itu sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya, maka meskipun situasi
kacau dan memburuk, saya berusaha untuk tetap menepati janji tersebut
untuk bertemu dengan Pak Ahmad Tirto. Kan bagaimana pun Pak Ahmad Tirto
itu ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat itu saya juga
berharap beliau bisa kasih statement untuk menenangkan massa. Saya
datang ke kantor CIDES dan di situ rupanya sudah banyak orang. Begitu
banyak kerumuman orang di situ. Mungkin orang-orang CIDES atau
orang-orang ICMI, saya tidak tahu. Saya masuk sekitar pukul 15.55WIB.
Atau kurang 10 menit dari waktu sebagaimana perjanjian bertemu yakni
pukul 16.00 WIB. Saya datang ke CIDES dengan menggunakan mobil.
Saya
masuk dan kemudian menanyakan apakah Pak Ahmad Tirto ada? Ternyata Pak
Ahmad tidak ada dan yang ada Pak Adi Sasono. Tapi karena saya janjinya
bertemu dengan Pak Ahmad, maka saya putuskan untuk segera kembali ke
Gambir. Dari selentingan kemudian saya dengar Jl.Sudirman dan Thamrin
massa sudah berkumpul dalam jumlah yang besar, dan sepertinya kurang
adanya pasukan.
Sarinah bahkan diisukan akan dibakar. Dari
Gambir saya langsung menuju Garnisun menemui Pak Syafrie. Kepada Pak
Syafrie saya mengatakan, "Frie di Thamrin pasukan tidak ada." Saya juga
menyampaikan selentingan bahwa Sarinah akan dibakar massa yang datang
dari Tanah Abang. Saya juga bilang bahwa saya baru saja datang dari
Thamrin dan melihat di sana hampir tidak ada pasukan. Kebetulan sekali
di situ ada Kasdam dan Kasgar. Nah saat itu sedikit ngotot-ngototan.
Mereka bilang sudah ada pasukan, dan saya bilang, tidak ada itu pasukan.
"Frie, tidak ada pasukan di Thamrin. Saya baru dari situ sepuluh menit
yang lalu. Coba kamu ke situ sekarang." Saya juga menyampaikan kalau
saya melihat 16 panser parkir di depan Dephankam.
Saya kemudian menyarankan agar 16
panser itu jangan nongkrong saja di situ. Sebaiknya panser itu melakukan
patroli sepanjang Sudirman Thamrin untuk mencegah terjadi pembakaran.
Akhirnya Pak Syafrie oke. "Saya akan lihat dan kamu ikut saya,"kata Pak
Syafrie. Jadi saya bersama Pak Syafrie, kalau tidak salah Komandan
Kopassus, Pak Muhdi juga ikutan. Dengan menggunakan panser kami menuju
ke Dephankam. Dan memang benar di situ ada 16 panser. Lantas oleh Pak
Syafrie, sebagian diperintahkan untuk mengikuti dan Pak Syafrie sendiri
yang memimpin rombongan ini, kira-kira ada delapan atau sepuluh
kendaraan truk dan panser yang beriringan.
Kami lantas menuju
Thamrin dan di Thamrin ada massa yang sebagian adalah karyawan-karyawan
yang mungkin turun dari kantor-kantor tapi tidak ada bus sehingga mereka
tidak bisa pulang. Lantas rombongan kami masuk ke Jl.Sabang. Nah, pas
kami masuk Sabang di situ memang ada satu regu pasukan. Satu regu
jumlahnya 10 orang. Mereka hanya berdiri saja.
Sementara itu
massa juga terlihat massa yang jumlahnya 20 orang atay 15 orang sudah
mulai membongkar toko. Kami lantas berhenti dan beberapa anggota turun
untuk mengamankan penjarah. Di situ bisa diatas, kemudian kami pergi
lagi dan melewati Sarinah masuk kembali ke Jl.Thamrin. Di situ dengan
menggunakan megaphone kami mengimbau agar massa pulang. Massa itu saya
kira bukan penjarah. Mereka hanya datang tapi tidak pulang karena tidak
ada bus, tidak ada taksi.
Kami kemudian berhenti di depan Hotel Indonesia (HI). Di situlah Pak
Syafrie kemudian memutuskan agar truk-truk tersebut mengangkut massa.
Dengan bantuan truk-truk itu massa diangkut, dan situasi pun kemudian
terlihat reda. Setelah itu kamu kemudian bergerak lagi menuju
Jl.Sudirman dan Semanggi. Itu yang saya tahu tentang kejadian 14 Mei
1998 dan saya kembali ke Markas Komando. Nah di situlah saya kira banyak
terjadi pergeseran pasukan, pasukan datang dari mana, pasukan kita
cari, oasukan di mana, pasukan Kostrad ditempatkan di mana dan
sebagaimananya. Saya ingin tegaskan di sini, walaupun saya bintang 3,
pada saat itu saya tidak mempunyai hak untuk memerintahkan Pak Syafrie.
Jadi saya sering bertindak sebagai penasihat beliau, sama dengan Danjen
Kopassus dan yang lainnya. Ya semacam protap (prosedur tetap) atau
semacam kebiasaan konvensi. Jadi setiap ada krisis, Panglima-panglima
kumpul. Biasanya juga ada dari Angkatan Laut, angkata udara dan
sebagainya. Apa yang kita lakukan adalah untuk membantu Kodam Jaya
karena Kodam Jaya-lah komandan operasi. Istilahnya yang punya gawelah.
Kemudian
pada 14 Mei 1998 malam kami semua mengadakan rapat di Gambir. Kalau
tidak salah Pangab juga hadir. Pak Sutiyoso juga hadir di situ ada di
Gambir Garnisun, kendali itu ada di Garnisun. Kami semua menyampaikan
laporan-laporan dalam rapat itu. Pak Sutiyoso melaporkan kebakaran sudah
ada 210 titik api. Mobil-mobil kebakaran harus dikawal panser.
Dalam
rapat itu juga terungkap, bahwa saat sudah terjadi kebakaran, pasukan
sedikit sekali. Saya tanyakan ke Pak Syafrie, mana pasukan? Menurut Pak
Syafrie, jika pasukan tidak bertindak lantaran mereka trauma
dengan
kejadian 12 Mei (Tragedi Trisakti). Sebab yang menjarah adalah
orang-orang miskin. Prajurit-prajurit kita juga datang dari golongan
miskin. Mereka tidak tega menembak ibu-ibu dan anak-anak yang menjarah.
Saya kira itu psikologisnya. Tentang massa memang saya mendengar ada
yang menggerakan.
Baru kemudian diaturlah secara teknis penempatan-penempatan pasukan,
dsb. Dalam rapat itu juga diperintahkan agar semua panser harus
dikeluarkan. Kemudian, saya, waktu itu selaku wakil Pangab, sempat
menanyakan,
apakah ini termasuk Scorpion. Soalnya, Scorpion ini kan baru dibeli
dari Ingrris. Mungkin ada masalah politik, apakah Scorpion itu boleh
kita pakai di Jakarta atau tidak. Nanti seolah-olah Scorpion itu kita
pakai untuk melawan rakyat sendiri. Rupanya keputusannya, termasuk
Scorpion itu harus dikeluarkan.
Semua panser, semua tank yang
bisa digerakan harus digerakan. Nah itulah yang saya ketahui hingga
malam hari tanggal 14 Mei 1998. Kemudian tanggal 15 Mei 1998 situasi
sudah mulai agak reda dan agak terkendali. Saat itu saya menyarankan
supaya brigade-brigade ini memiliki pos sendiri-sendiri karena brigade
itu kan memiliki markas brigade sendiri-sendiri. Nah saya sarankan
Jakarta dibagi sektor-sektor.
Brigade 17 diberi satu sektor,
Brigade Marinir satu sektor, Grup I Kopassus diberi satu sektor, dan
akhirnya memang dibagi-bagi demikian. Kalau tidak salah Komandan Grup I
Kopassus dapat sektor sekitar Tanjung Periok dan Cempaka Putih. Marinir
dikasih Jakarta Selatan. Jadi Semanggi ke selatan itu Marinir. Jadi
begitulah yang saya ketahui mengenai peristiwa 13, 14 dan 15 Mei 1998.
Setelah Prabowo memberi penjelasan, kemudian dilakukan tanya jawab dengan anggota TGPF. Dan berikut
petikan
tanya jawab itu atas pertanyaan yang dilontarkan Rosita S.Noer: Berapa
besar pasukan yang di BKO-kan? Secara rinci saya kira data-datanya ada
di Kostrad. Seingat saya, mungkin pada hari pertama sampai 12 SSK. 10-12
SSK begitu.
Meningkat terus pada 14 Mei 1998, sampai puncaknya
20 Mei 1998, kalau tidak salah hampir 70, 60 kompi. Hampir 60 kompi
Kostrad dari Jakarta. Dan hampir seluruhnya Jawa Tengah, Jawa Timur.
Jawa Tengah masih harus membantu Yogya, karena Yogya juga ramai. Jadi
kami tidak bisa mengambil batalyon yang di Purwokerto sama Kartosuro dan
yang di Solo juga tidak bisa diambil. Tapi dari Jawa Barat semua kita
ambil, kemudian dari Jawa Timur sebagian kita terbangkan, bahkan juga
dari Ujung Pandang. Itu kalau tidak salah pada 19 Mei 1998 kita
mendatangkan satu atau dua kompi dari Ujung Pandang. Cukup banyak, tapi
tidak sekaligus datang. Ya pulang ya datang. Kita cari-cari lagi tapi
hampir seluruh Kostrad itu sudah hampir terlibat.
Massa yang menjarah di Sabang Anda lihat spontan apa tidak?
Jadi
begini, saya kalau bicara harus ada data, harus ada bukti, tapi saya
kira juga ya. Jadi massa memang ada rasa ketidakpuasan, tapi ada juga
saya lihat kelompok-kelompok yang menggerakan. Kita harus jujur ya di
sini, karena waktu di Jl.Sabang, saya melihat ada kira-kira 20 orang
yang menjarah. Satu orang di belakang mereka kurang lebih 30 meter
teriak-teriak memberi order. Orang ini penampilannya agak bersih pakai
rompi kayak wartawan. Rompinya warna coklat, coklat muda, orangnya agaka
bersih klimis, klimis ada kumis. Jadi itu yang saya lihat langsung di
situ. Belum lagi yang saya dengar-dengar, banyak laporan katanya ada
ini, ada itu.
Anda sendiri sebelumnya pengikuti perkembangan Ibukota?
Ya,
saya agak sulit karena terus terang saja, waktu saya pindah dari
Kopassus ke Kostrad pada 28 Maret, selama dua bulan, April, Mei, saya
baru satu bulan di Kostrad. Pada saat itu saya keliling-keliling ke
semua bagian di Kostrad. Jadi saya tidak terlalu mengikuti perkembangan
Ibukota. Dan saya pikir waktu itu kan ada Pangdam jaya, ada Danjen
Kopassus, dan sebagainya.
Dan Danjen Kopassus yang baru satu bulan menjabat itu memungkin juga
masih belajar. Sementara muncul kasus-kasus. Kasus orang hilang misalkan
juga belum tuntas. Sudahlah, saya jadi tidak punya kekuatan untuk
mengatakan siapa. Rumor-rumor, katanya ada yang mengatakan saya
dalangnya, ada yang mengatakan Pak Benny Moerdani, ada yang bilang ICMI
yang buat.
Kalau saya jelas bukan dalangnya, karena saya justru
berusaha untuk mencegah. Dalam setiap kesempatan, sejak Desember, saat
saya bertemu dengan kalangan LSM, tokoh ulama, pertemuan dengan aktivis,
dan pertemuan segala macam, saya selalu minta untuk menghindari adanya
aksi massa, menghindari turun ke jalan. Saya kemudian malah disebut pro
status quo. Padahal jika itu saya katakan, karena untuk setiap kasus
kerusuhan yang terjadi di Indonesia, selalu ditunggangi pihak ketiga.
Bahkan keamanan di sini dituduh mengamankan rejim. Sejarah dunia
membuktikan, apabila ada aksi massa ditembak oleh aparat keamanan dan
ada yang mati, biasanya rejim itu tidak bisa bertahan lama. Mungkin
kasus Tienanmen di Cina lain, karena rejimnya kuat dan otoriter.
Bagaimana dengan isu keterlibatan perguruan silat?
Saya
kira tidak ada. Itu mungkin suatu kampanye untuk menghancurkan saya.
Perguruan Silat SMI selalu mengambil falsaha pendidikannya adalah akhlah
budi pekerti, membela negara dan membela kebenaran dan keadilan. Bahkan
Dandim sering dibantu mereka dalam mengamankan wilayahnya.