Minggu, 20 Oktober 2013

Konspirasi: Van der Plas connection (CIA- MI 6) di Indonesia

Ada satu artikel menarik yang bersumber dari apakabar@clark.net berkaitan dengan berbagai konspirasi menjelang meletusnya Gerakan 30 September 1965. Artikel ini memberi sudut pandang baru mengenai siapa yang bermain sekaligus yang punya hajat di balik gerakan yang bermuara pada kejatuhan Presiden Sukarno pada 1966 tersebut.
Sudut pandang baru yang dimaksud adalah keterlibatan jaringan intelijen binaan Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur di era penjajahan Belanda, dalam merajut persekutuan badan intelijen Amerika CIA dan badan intelijen Inggris MI-6. Sejauhmana validitas dan akurasi tulisan ini, kami serahkan sepenuhnya pada penilaian sidang pembaca. Ikuti kisah selengkapnya di bawah ini.
Semasa penjajahan Belanda di Indonesia, ada seorang pejabat pemerintahan kolonia Belanda yang namanya cukup sohor di kawasan Jawa Timur Dial ah Chr Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur.
Van der Plas, Gubernur Jawa Timur yang menguasai beberapa bahasa daerah, bahasa Arab, Cina selain bahasa-bahasa Barat, dengan licik, berhasil membina keluarga-keluarga BB Ambtenar dan guru-guru agama, pesantren-pesantren dan organisasi keagamaan hingga secara lihai mereka dapat dikendalikan untuk kepentingan kolonialis.
Dalam masa pendudukan Jepang, Van der Plas, mengendalikan jaringan intel Sekutu di Indonesia dari Australia, termasuk dalam jaringanya adalah orang-orang dari jalur Dr. Van Mook seperti, Mr.Amir Syarifudin (pernah menjadi P.M.- memberontak sebagai PKI di Madiun) DR.Soemitro (beberapa kali jadi menteri, master agent Sekutu, koordinator penyalur senjata dan dana dari Singapura untuk PRRI-Permesta) dari jalur Van der Plas seperti Dr.Soebandrio, beberapa Kyai baik di Jawa, Sumatra maupun di Kalimantan, a.l. H. Hasan Basri, Kyai I.R. dari Jatim beberapa Perwira Udara a.l. Soedj, Roes, juga anak seorang ambtenaar Belanda, Soemarsono (ketua Pesindo, proklamator negara Sovyet di Madiun th.1948 – salah satu pemberontakan terhadap Republik Indonesia bikinan Van der Plas) dsb, sekarang tinggal di Australia dan menjadi warga negaranya.
Termasuk dalam – Van der Plas Connection – juga tokoh seperti Walikota Solo, Utomo Ramelan yang secara nyata dan vokal mendukung Dewan Revolusi G 30 S, hal ini bukan peristiwa yang tanpa rencana. Sedangkan dari CDB PKI saja waktu itu tidak ada yang mengeluarkan statement dukungannya.
Dari sini terlihat benang merah, yang menghubungkan Dr.Bandrio dengan Utomo Ramelan, dengan jelas. Ramelan, bapaknya Utomo adalah Ambtenaar PID (polisi rahasia Belanda) yang kerjanya mengkhianati bangsanya saja, Utomo mempunyai saudara perempuan Utami Ramelan Suryadarma, sekualitas dengan kakak dan bapaknya.
Subandrio yang licik dan licin dengan melalui istrinya, yang anggauta PSI berhasil menempel pada Sutan Syahrir, hingga berhasil diangkat jadi Duta Besar, kemudian Kepala BPI yang terus dirangkap selama jadi Menteri Luar Negri maupun jadi Waperdam I, sesudah Menteri Pertama Djuanda meninggal dunia dalam tahun 1963. Perangkapan sebagai kepala BPI ini adalah saran dari -Van der Plas Connection ( CIA – MI 6 – Sekutu).
Tatkala Roeslan Abdulgani menjadi Menteri Luar Negeri, Bandrio yang duta besar di Moskow, ditarik, dijadikan Sekretaris Jendral (dari jabatan politik ke administrasi, karena antara keduanya ada rivalitas). Justru dari jabatan ini Bandrio ada kesempatan mengkonsolidasi bagian intel dari beberapa instansi yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri (Kepolisian menjadi BPI, Badan Pusat Intelijen, dan dia mengepalainya, tentunya atas nasihat dan arahan Van der Plas) .
Dengan kedudukanya sebagai Kepala Badan Pusat Intelejen, Waperdam dengan otoritas yang ada ditangannya bersamaan dengan dukungan jaringan intel luar negeri (Sekutu) jalan terbuka baginya guna meraih kedudukan nomer satu di Indonesia. Dengan adanya amanah Bung Karno kepada Yani, Bandrio harus bekerja lebih keras. Dia mulai membuat manuver manuver politik yang menyenangkan PKI dan bekerja sama dengan harapan mendapatkan dukungan politik PKI.
Tim Dokter RRC
Dalam bulan Agustus 1965, datang sebuah Tim Dokter RRC, setelah mengadakan pemeriksaan kesehatan Bung Karno, berkesimpulan penyakit Bung Karno adalah serius tak boleh diabaikan. Bagi Bandrio dan PKI berita ini adalah sangat menyentakkan. Sejak saat itu, mulai terjadi kegiatan dan manuver-manuver politik yang luar biasa. Bandrio melancarkan move-move politik dan PKI yang merasa belum siap sangat khawatir akan diterkam oleh AD (dokumen Gilchrist dsb). Lebih baik melakukan ofensif revolusioner daripada diam dan defensif.
Mereka bergegas untuk membuat persiapan-persiapan, guna menyingkirkan Jend. A.Yani dan para perwira pimpinan Angkatan Darat. Karena mereka sesudah penumpasan pemberontakan lebih terkonsolidasi, perhitungan Bandrio jika hanya Yani yang disingkirkan, kemungkinan Nasution akan dapat dimunculkan, maka Nasution segera dimasukkan juga dalam daftar untuk dihabisi. Dengan persiapan yang tergesa-gesa dan kurang cermat dan tidak rapi tersebut menjadikan para pelaksana penculikan tidak mampu membedakan antara Nasution dan Letnan Tendean, yang membuat lolosnya Nasution dari penculikan dan pembunuhan.
PKI segera meluncurkan kampanye politiknya, dengan melontarkan tudingan bahwa para perwira Pimpinan AD adalah fasis yang merencanakan kup ternadap Bung Karno dengan membentuk Dewan Jendral. Pengertian Fasis adalah militer (yang ganas dan rakus) yang bekerja sama dengan kaum kapitalis (disini dikenal sebagai cukong, konglomerat). Sepanjang pengetahuan orang banyak, para jenderal Pimpinan AD tsb., tidak ada yang dikenal sebagai tukang dagang apalagi mempunyai cukong, maka tudingan fasis dari PKI tersebut jauh meleset dan kurang mendapat sambutan dari masyarakat bahkan oleh masyarakat mereka dinilai tertib, jujur dan disiplin.
PKI (Partai Komunis Indonesia)
Partai yang memberikan dukungan utama kepada Bung Karno dalam meluncurkan politik penggalangan negara Nefos (New Emerging Forces). Strategi politik ini, mengancam strategi politik Amerika Serikat, yang dalam rangka perang dingin menginginkan hanya ada dua kubu saja, kubu Kapitalis dan kubu Komunis. Bung Karno ingin menggalang kekuatan negara-negara berkembang, menjadi kubu ketiga karena PKI dalam hal ini merupakan pendukung utama, maka PKI selalu mendapat perlindungan dan dukungan Bung Karno, jika ada yang mengganggu atau menentangnya.
Sejak akhir tahun 1962, setelah Irian Jaya kembali ke pangkuan RI, PKI mengadakan evaluasi diri, mengapa sejak aktif kembali sudah hampir 15 tahun mulai 1949, belum juga dapat meraih kekuasaan, sedang dalam Pemilu 1955 sudah menjadi salah satu dari empat besar. Diluar negeri partai komunis dengan massa 10% saja sudah dapat meraih kekuasaan dengan mudah.
Mereka menemukan kesalahan tsb.yaitu PKI telah menerapkan strategi politik yang keliru, yaitu strategi ‘konformisme’ menyesuaikan diri dengan garis politik Pemerintahan Nasional -Bung Karno. Maka PKI segera mengambil keputusan untuk beralih ke strategi ‘konfrontasi’ sesuai dengan garis perjoangan kominis yaitu ‘Klassen Strijd’, pertentangan kelas.
Aidit dan Nyoto ke Moskow untuk menyampaikan keputusan tsb., tetapi justru mendapat marah dari bos Partai Komunis Sovyet, yang tidak dapat menyetujuinya, karena kerjasama dengan pimpinan borjuis nasional seperti Bung Karno masih diperlukan dalam menghadapi kapitalis Amerika Serikat. Dengan adanya tokoh seperti Bung Karno, dapat digunakan menarik negara-negara berkembang disisi komunis.
Agenda Van der Plas Connection
Aidit merupakan tokoh yang misterius, dia dengan alasan untuk melaksanakan alih strategi politik yaitu “-konfrontasi-” dalam rangka mengemban misi dari induk jaringanya lewat Sam, Van der Plas connection, guna menyesuaikan agenda waktu yang sudah ditentukan oleh jaringan tersebut dalam upaya hendak menggoncang Indonesia.
Maka baginya tidak ada jalan lain selain beralih kiblat ke Beijing, yang masih berwawasan nasional / lokal yang menerapkan doktrin, -kekuasaan ada di ujung bedil- desa mengepung kota – berkonfrontasi dengan penguasa nasional, hal yang tidak dapat dielakkan. Dengan menerapkan strategi politik konfrontasi tersebut, akan sesuai dengan agenda waktu yang sudah ditentukan Van der Plas connection – (Sekutu) untuk menggoncang Indonesia dalam rangka menyingkirkan Presiden Soekarno.
Gerakan Aksi Sefihak
Sebagai realisasi strategi -konfrontasi- tsb, dilancarkan Gerakan Aksi Sefihak, yang menimbulkan antagonisme dan konflik konflik dengan partai dan golongan lain, seperti a.l. Masyumi, PSI, PNI, NU dan AD serta lain-lain kelompok. Menciptakan setan-setan kota dan setan desa, kabir (kapitalis birokrat), dsb. yang membikin suasana politik semakin panas, seperti, Peristiwa Bandar Betsi, Jonggol, Boyolali, Klaten dll.
Angkatan Ke V
Kekuatan yang menentang aksi-aksi PKI tsb. dituding oleh Bung Karno sebagai kaum kontrev (kontra revolusioner), komunisto fobi dan reaksioner, karena tidak berani melakukan kompetisi revolusioner. Terhadap AD, oleh PKI diluncurkan tuduhan bahwa pimpinannya membentuk Dewan Jendral yang mau mengekup Bung Karno .
Bung Karno secara sistematis dihasut bahwa para jendral tersebut. tidak dapat dipercaya maka adalah mendesak untuk dibentuk Angkatan ke V, dengan mempersenjatai buruh dan tani. Hasil Hasutan tersebut membuat sikap Bung Karno mendua. RRC politis mendukung usul PKI tersebut dan bersedia untuk membantu persenjataanya. Sikap mendua Bung Karno, dimanfaatkan dengan pengiriman senjata secara diam-diam dari Beijing ke Jakarta, baik dengan pesawat-pesawat Hercules maupun dengan kapal laut,
yang dibaurkan dengan pengiriman barang-barang untuk Asian Games.
Semua usaha ekstra PKI tersebut dilakukan karena partainya belum siap dan merasa dirinya berada dalam keadaan kritis, sejak diketahui sakitnya Bung Karno yang serius. Menyangkut rencana PKI terhadap Yani, Bandrio terus mendukungnya sepanjang paralel dengan rencana dan keuntungannya sendiri, bahkan mengipas dan mendorongnya, agar PKI segera bertindak.
Pidato Jendral A Yani
Di depan sidang para menteri bersama para panglima daerah dan para gubernur, (waktu itu unsur PKI sudah ada yang duduk dalam kabinet menjadi menteri) Jendral A Yani secara terus terang atas nama para panglima daerah menyatakan, menolak dibentuknya angkatan ke lima usulan PKI dengan mempersenjatai buruh dan tani. Dengan menarik pelajaran dari pengalaman tahun 45-an, adanya Biro Perjuangan – TNI-Masyarakat, hanya menimbulkan konflik dan perpecahan yang memperlemah bahkan merusak kekuatan nasional. A Yani juga menyatakan ketidak senangannya PKI diberi posisi didalam kabinet.
Aidit Tokoh Misterius
Aidit tokoh muda PKI yang misterius. Sejak 1948 (affair Madiun) tertawan di Solo, dapat lolos dari tahanan di Solo, terus meloloskan diri ke luar negri, lewat Surabaya meskipun Surabaya dan sekitarnya diduduki oleh Inggris – Belanda. Aidit adalah sekelompok dengan Soemarsono (Ketua Pesindo yang melakukan proklamasi negara Sovyet dari Madiun atas suruhan Van der Plas, maka dapat lolos sewaktu tahun 1948 terus ke Australia dan selanjutnya menjadi warga negaranya). Demikian pula Sam Kamaruszaman adalah sekelompok dengan mereka itu. Dari peristiwa ini sudah jelas, siapa-siapa mereka itu ialah agen-agen Sekutu-Belanda maupun komunis.
Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Aksi Militer ke II dengan penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia tiga bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 18 September 1948,Van der Plas menyuruh PKI berontak di Madiun (dengan proklamasi negara sovyet tersebut), guna memperlemah Republik Indonesia. Namun TNI berhasil menumpas pemberontakan PKI, bahkan Mr.Amir Syarifudin anggauta jalur Van Mook (pernah jadi Perdana Mentri RI) tertawan didesa Klambu, Purwodadi Jawa Tengah, bersama-sama tokoh-tokoh PKI lainya. Kecurangan Belanda dengan siasat adu domba dapat kita patahkan sebelum Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948 tersebut.
Setelah beberapa tahun di luar negri, Aidit kemudian dapat diselundupkan kembali ke dalam negri, berkat reka-daya Sam Kamaruszaman. Sejak datang kembali, karier politiknya dengan lancar dan cepat terus menanjak seperti diroketkan, hingga menjadi bos partai Sekjen PKI, Ketua Politbiro CC PKI (sebagaimana biasanya seseorang yang diorbitkan, selalu diatur kariernya).
.
Hubungan khusus antara Aidit dengan Sam ini kemudian dibakukan dengan dibentuknya Biro Khusus yang diketuai oleh Sam yang hanya bertanggung jawab kepada ketua Politbiro/Sekjen PKI seorang yaitu Aidit (dengan alasan mengingat kerahasiaan yang harus dijaga, membina anggauta Angkatan Bersenjata tidak boleh diketahui oleh orang banyak, cukup dua orang saja). Keputusan dari PKI mengenai G30S hanya diketahui oleh dua orang tersebut, yang oleh Sudisman dikritik sebagai keputusan avonturisme. .
Pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam, Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat yang sudah tersedia untuk terbang ke Yogya hanya bersama pendampingnya Kusno, dan diberi tahu, bahwa nantinya di Yogya akan dijemput oleh Ketua CDB PKI Yogya. Kenyataanya setiba di Yogya tidak ada seorangpun yang datang menjemputnya Hanya diantarkan oleh pendamping dan seorang sopir dari AURI, bertiga kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI.Yogya.
Kenyataanya setiba di Yogya tidak ada seorangpun yang datang menjemputnya  Hanya diantarkan oleh pendamping dan seorang sopir dari AURI, bertiga kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI.Yogya. Setibanya ditempat yang dikira rumah Ketua CDB, pada waktu  diketuk pintunya, ternyata adalah rumah tokoh NU. Keberadaan Aidit di Yogya dengan demikian telah diketahui fihak lain, maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo dengan mendapatkan jemputan kendaraan yang dikendarai oleh seorang Cina jago kunthau dari Solo. Tetapi akhirnya tertangkap hidup-hidup setelah beberapa waktu berada di Solo.
Sri Harto Penghubung  Aidit – Bandrio.
Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan secara terus berpindah-pindah. Semula disinyalir di Lojigandrung kediaman resmi Walikota Utomo Ramelan, kemudian dipindahkan ke kampung Keparen (sebelah Selatan Pasar Singosaren) dirumah Jupri Prio Wiguno, anggauta PKI malam (jaringan Van der Plas). Beberapa hari Aidit berada di Keparen, kemudian dijemput oleh Sri Harto, penghubung Aidit – Bandrio. Dengan menyerahkan tanda bukti berupa sesobek kertas krep yang bertanda tangan, sedangkan sobekan yang lainya berada ditangan tuan rumah ialah Jupri tersebut. Setelah sobekan tersebut dicocokan dan memang cocok, maka Aidit diserah terimakan oleh Jupri kepada Sri Harto.
Setelah serah terima tersebut, Aidit dengan diboncengkan scooter, dibawa ke rumah KRT. Sutarwo Hardjomiguno di desa Palur sebuah desa disebelah timur kota Solo. Beberapa hari berada di Palur dia sempat berkeliling kota Solo, bahkan sempat menengok markas CC PKI Solo. Kemudian dipindahkan kerumah Sri Harto penghubung tersebut di kampung Kleco yang terletak dibelakang Markas Resimen, dirumah tersebut Aidit tinggal beberapa hari lamanya. Setelah mengambil Aidit dari Keparen Sri Harto melaporkan tentang keberadaan Aidit, kepada para senior  Pemuda-Pelajar (Suhari alm. Dan seorang lagi). Menurut keteranganya karena dia merasa ngeri, melihat perkembangan keadaan, batalion TNI-AD, K, L dan M di Solo telah banyak disusupi PKI. Demikian pula dengan CPM, sehingga banyak tahanan-tahanan penting dapat lolos, antara lain seperti tokoh PKI anggauta Politbiro Ir.Sakirman, sopir Cina penjemput Aidit dari Salatiga dll. Sri Harto percaya kepada para Pemuda-Pelajar dan merasa aman, karena melihat sepak terjang dan perjoangannya sewaktu bergerilya melawan Belanda, perang menumpas pemberontakan PKI 1948 dan waktu itu dalam menghadapi G 30 S di Solo.
Setelah  Sri Harto memberi laporan tentang keberadaan Aidit tersebut, siasat segera disusun. Untuk menambah kepercayaan Aidit, Sri Harto diberi pengawalan oleh dua orang dari para Pemuda-Pelajar, sekaligus untuk mengawasinya, apakah Sri Harto jujur atau tidak dan kepadanja diberi sepucuk pistol untuk peganganya . Oleh para senior hal tersebut segera dilaporkan kepada Kol.Yasir yang rupa-rupanya kurang percaya bahkan minta apa jaminanya jika bohong. Jawaban Suhari dia bersedia ditembak mati apabila laporanya tidak benar, karena mereka itu berjoang didorong oleh keyakinanya tiada pamrih pribadi demi untuk menegakkan Republik Indonesia yang mereka ikut mendirikanya.. Keberadaan Aidit di Solo, sudah beberapa hari dibuntuti, sesuai kesepakatan dengan Sri Harto. Laporan kepada Kol.Yasir tersebut rupa-rupanya bocor. Rumah dimana Aidit ditempatkan, ternyata digerebeg oleh sepasukan polisi yang selama itu tidak berperan aktif, dan penyerbuan tersebut sama sekali tidak ada koordinasi, dimaksud hanya untuk menciptakan kekalutan belaka.
Kemudian ketahuan, bahwa Sekretaris Pekuper dari Kol. Yasir, yaitu Letkol Muklis Ari Sudewo, adalah seorang komunis yang mempengaruhi polisi untuk melakukan penyergapan, padahal selama kampanye melawan G30S tidak berperan. Sergapan tersebut karena tanpa koordinasi, hampir menimbulkan bentrokan dengan Pemuda Pelajar yang bertugas untuk mengamat-amati Aidit. Beruntung bahwa sebelumnya Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng. Letnan Sembiring (terakhir jendral) yang mengejarnya di Pati tetapi tidak berhasil menangkap, teryata memergoki Muklis Ari Sudewo di Solo, ia menjadi orang kedua Pekuper. Dalam tubuh AD di Solo masih banyak unsur-unsur komunis (bagian operasi, Kapt. Hardijo, CPM a.l Lettu Abu) dll.
Kericuhan dalam operasi sering terjadi karena Pemuda Pelajar sering dijerumuskan kalau melakukan patroli terutama di malam hari, rupa-rupanya unsur-unsur PKI sudah terlebih dahulu diberitahu. Tetapi berkat pengalaman, dapat mencium gelagat yang tidak baik dan tipuan-tipuan tersebut dapat dihindari. Maka setelah itu mereka membuat gerak tipu sendiri sehingga dapat menangkap dan merampas banyak unsur-unsur PKI dan persenjataanya. Kekalutan di Solo ditambah dengan sering bentroknya golongan Islam dengan golongan Nasionalis yang juga banyak dari mereka itu yang diadu domba dan menjadi korban dibantai oleh komunis, menjadikan keadaan bertambah rawan. Sri Harto adalah Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri Metal) di pabrik panci Blima. Bapaknya Sri Harto adalah seorang dari kalangan atas Mangkunegaran, KRT. Sutarwo Hardjomiguno, lincah luwes hingga mampu kekanan-kekiri (kemungkinan besar berada dalam jaringan Van der Plas, karena dapat ketempatan Aidit tanpa bocor). Kakak Sri Harto menjadi Asisten Wedana (PKI) di Klego daerah Boyolali, yang dinilai banyak merugikan dan menteror rakyat, maka dihabisi oleh rakyat sendiri..
Sri Harto mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penghubung Bandrio – Aidit, tetapi karena dia kurang teguh dan ngeri akhirnya membuka kedoknya sendiri, mencari selamat dengan melaporkan tentang keberadaan Aidit di Solo tersebut kepada para senior Pemuda Pelajar.
Aidit Tertangkap
Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh sepasukan polisi, Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng. Sore harinya Kol.Yasir melakukan operasi penggerebegan baik ke rumah dimana Aidit ditempatkan  pada waktu siangnya maupun ke seluruh kampung.Tetapi hingga sekitar pukul  22.00 malam, Aidit belum juga dapat diketemukan. Kemudian operasi dihentikan dan pasukan tentara ditarik dari kampung Sambeng, beberapa ditinggalkan untuk mengamat-amati. Para senior  Pemuda-Pelajar yang memberikan laporan kepada Kol.Yasir merasa sangat terpukul dan kecewa, karena selain kena tuduhan pembohong juga telah memberikan jaminan, jika bohong, bersedia untuk ditembak mati. Mereka berkeyakinan bahwa Aidit pasti masih berada dirumah dimana siangnya ditempatkan atau paling tidak masih dikampung Sambeng tersebut. Para senior Pemuda-Pelajar, kemudian mengambil inisiatif untuk menggeledah dan memagar betis kampung dan rumah tersebut dengan mengerahkan teman-temannya, meskipun mereka menanggung risiko karena berlakunya jam malam. Terutama rumah yang sudah digeledah tersebut digeledah lebih intensif lagi, tetapi tetap tidak diketemukan Aidit.
Hanya didalam sebuah almari yang kosong dan menempel rapat dengan dinding penyekat rumah ditemukan sebuah celana dalam, berinitial DA, yang diduga adalah milik Aidit. Rumah tersebut dihuni oleh seorang yang sudah tua, seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai bersama cucunya yang gadis remaja. Sudah susah payah dari pagi sampai tengah malam belum juga mendapat hasil, salah seorang senior  Pemuda-Pelajar menemukan akal, dengan menggertak orang tua penghuni tersebut, jika tetap tidak mau mengaku dimana Aidit berada, cucunya akan dipermalukan didepannya. Dengan gertakan demikian orang tua tersebut akhirnya mengaku bahwa Aidit berada dibelakang almari kosong tersebut. Sewaktu  dibantah mana mungkin, karena almari tersebut rapat dengan dinding. Mendapat jawaban, bahwa dinding belakang almari tersebut merupakan pintu dan dinding sekat rumah tersebut yang rangkap dengan rongga sekitar 50-60 cm. Ternyata waktu dinding belakang almari tersebut dibuka, Aidit masih berada didalam rongga dinding sekat rumah tersebut Aidit disilahkan keluar dan kemudian diserahkan kepada Kol.Yasir langsung diLojigandrung. Operasi penggeledahan tahap kedua yang dilakukan oleh para Pemuda Pelajar ini, didampingi oleh Letnan Ning, hingga merupakan tindakan yang berada dibawah petugas resmi .
Aidit Dihabisi
Tertangkapnya Aidit tersebut segera dilaporkan ke Jakarta oleh Kolonel Yasir, kemudian diperintahkan langsung oleh Jendral Soeharto agar pada kesempatan pertama Aidit dibawa ke Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta tersebut ditengah jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya. Hal ini menimbulkan tanda tanya, mengapa seorang tokoh yang demikian penting, selain Sekjen PKI, juga menyandang jabatan resmi sebagai Menko dihabisi begitu saja? Mengapa tidak dikorek keteranganya hingga tuntas dan diajukan ke Pengadilan hingga masyarakat umum mengetahui secara terbuka. Dalam hal ini sangat terasa adanya sesuatu yang disembunyikan dan merupakan misteri besar.
Apakah ada hubunganya dengan kemisteriusan tokoh Aidit? Tertangkapnya Aidit di Solo ini membuka tabir adanya hubungan Aidit dengan Bandrio dan dengan jaringan Van der Plas ( a.l. Jendral Soeharto, yang memerintahkan menghabisi). Suatu konspirasi yang sangat kejam dan telah memakan korban besar dikalangan rakyat.banyak, baik yang komunis maupun yang non komunis.
Sekutu -CIA – MI 6 – (Van der Plas Connection)
Apabila ditelusuri lebih mendalam, dalam rangka untuk lebih menjamin kepentingan Sekutu (politik, ekonomi dan keamanan di Indonesia) Amerika dan sekutunya merasa perlu untuk menggulingkan Presiden Soekarno dan memecah-belah Indonesia menjadi beberapa negara, menyingkirkan para perwira yang berdedikasi dan menghapus PKI. Kegagalan yang dialami Amerika dan sekutunya dalam meluncurkan projek pemberontakan PRRI-Permesta membuatnya sadar setelah mendapat advis dari Belanda, bahwa pendekatan dari daerah untuk menyingkirkan Presiden Soekarno adalah kesalahan yang fatal dan sulit untuk dapat berhasil.
Peranan Van der Plas Connection
Sekutu mulai melakukan pendekatan ke Pusat. Kepada Jakarta mulai ditawarkan untuk membeli pesawat angkut raksasa Hercules, Indonesia diberi bantuan stasiun komunikasi beserta perlengkapanya yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia (dengan demikian Sekutu dapat menyadap semua perintah-perintah dari pusat maupun daerah), kepada para perwira Indonesia diberi kesempatan untuk belajar ke Amerika, diadakan program Civic Mission dan perwira pelaksananya dilatih di Amerika beberapa bulan, juga dikirim ke Indonesia Peace Corps.
Para sarjana sipil dan mahasiswa diberi bea siswa untuk belajar ke Amerika. Para kader Dr. Soemitro Djojohadikusumo berbondong-bondong berangkat belajar ke Amerika dan kembali menggondol gelar-gelar akademis yang diperlukan untuk mengajar di Universitas. Hubungan yang semula tegang menjadi cair, tidak ada pesta atau resepsi di Kedutaan Amerikayang tidak mengundang para sarjana yang kira-kira berpotensi. .
Van der Plas Connection Menemukan Jagonya
Bersamaan dengan dilaksanakanya program-program tersebut diatas,dengan diam-diam dilakukan talent scouting (mencari calon jago berbakat) oleh perwira tinggi dari bagian sandi yang ternyata berada dalam jaringan Van der Plas. Calon jago adalah perwira-perwira dengan kriteria, avonturir berani malu, berani mati, doyan duit, berpengalaman dan berhasil dalam berpetualang serta telah menikmatinya.
Ditemukan seorang perwira yang memenuhi kriteria tersebut,ialah seorang kolonel asal Jawa Tengah dan pernah menduduki posisi tertinggi ditempatnya sebagai Panglima Divisi,yaitu Kolonel Soeharto. Malahan padanya ditemukan faktor lain yang sangat penting,yaitu menaruh dendam kesumat kepada para perwira atasannya, terutama anggauta Tim Pengusut MBAD dan rival berat A yani juga kepada Presiden Soekarno yang menanda tangani Surat Keputusan pemecatanya sebagai Panglima Divisi Diponegoro. Maka terpilihlah Kolonel Soeharto untuk dijadikan jago utamanya.
Kepada Kol. Soeharto setelah selasai pendidikan di SSKAD,diciptakan jabatan yang sebelumnya tidak ada, yaitu suatu Kesatuan baru ialah TJADUAD (Cadangan Umum Angkatan Darat) Kol.Soeharto dijadikan Panglimanya. Beberapa waktu kemudian diadakan KOGA (Komando Siaga) dan dia menjadi salah satu anggauta pimpinannya.  Beberapa waktu kemudian diadakan kampanye untuk menyerbu Irian Barat, Soeharto menjadi Panglimanya. Setelah selesai kampanye Irian Barat, Soeharto dengan pangkat Mayor Jendral dijadikan Panglima, KOSTRAD.
Sang Jago Melaksanakan Tugas
Setelah Majen Soeharto menduduki pimpinan Kostrad, terjadilah G30S sesuai agenda waktu dari dari Van der Plas connection (atas pesanan Amerika dan sekutunya). Dari peristiwa G30S tersebut, terlihat dengan jelas adanya jalur-jalur konspirasi kaum ex kolonialis, yang sampai kini, masih  merajut dengan jalur-jalurnya pada sistem kekuasaan negara kita.
Dengan melalui Van der Plas connection, pertama terlihat jalur lewat DR..Bandrio. Dia yang sangat berambisi untuk menggantikan kedudukan Presiden Soekarno (didukung oleh induk jaringanya), tetapi terhalang oleh Yani dan Nasution. (Dewan Revolusi yang dia sponsori mendapat dukungan hanya dari Utomo Ramelan-yang sejaringan dengan Bandrio dalam Van der plas connection )
Kedua adalah jalur PKI, atas rintisan Sam Kamaruszaman bersama DN Aidit dengan menciptakan kondisi-kondisi politik dengan strategi baru sehingga PKI yang belum siap terjebak didalamnya.
Ketiga adalah lewat Jendral Soeharto yang melancarkan operasi intel (menghapus jejak dengan cara menyingkirkan atau menghabisi orang/organisasi yang telah berhasil mencapai tujuan atau sasarannya, seperti.G30S yang seminggu setelah terjadi, dibelakangnya diberi label PKI,  meskipun Letkol Untung termasuk jalur PKI, tetapi juga juga termasuk jalur  Jendral Soeharto). Letkol Untung yang telah berhasil menghabisi para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD kemudian juga dihabisi. Dan Perwira Tinggi yang telah melakukan mencuci het vuile was (melaksanakan pekerjaan kotor) masih beruntung hanya disingkirkan keluar negeri, mengingat dia adalah orang penting di Kostrad.
Lobang Buaya
Dalam bulan Maret 1965 Deputi operasi Angkatan Udara, Laksda Ud Sri Mulyono sesuai instruksi, memerintahkan untuk dilaksanakan latihan militer bagi para sukarelawan Ganyang Malaysia. Perwira pelaksana latihan tersebut adalah May.Ud.Soejono, latihan dimulai tanggal 5 Mei 1965. Masih dalam bulan Mei 1965 terjadi serah terima tugas tersebut dari Laksda Ud.Sri Mulyono kepada Komodor Ud. Dewanto. Dewanto mengadakan inspeksi ternyata ditemukan, bahwa yang dilatih tersebut hanya dari unsur komunis yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani. Oleh Dewanto diperintahkan agar latihan pada awal bulan Juni dihentikan dan digantikan dari unsur-unsur Nasionalis  dan Agama kepada May.Ud. Soejono.Ternyata perintah atasan tersebut oleh May.Ud Soejono diabaikan dan kedua organisasi yaitu Pemuda Rakyat dan Gerwani masih berlanjut sampai terjadinya G30S pada awal Oktober.Lokasi latihan adalah dikebon karet berdekatan dengan bahkan mungkin termasuk wilayah Pangkalan Udara Halim yang ada sumur tuanya.
Tiga hari kemudian setelah diketemukanya mayat para jendral yang dimasukkan ke dalam sumur tua tersebut, masyarakat menjadi geger. Dengan tayangan dengan narasi yang lancar dibarengi dengan statement tentang G30S oleh Jendral Soeharto dilokasi mayat-mayat korban diangkat satu persatu. Ini merupakan skenario yang sempurna dan dramatis ,berhasil menggoncangkan psikologi rakyat. Dari tayangan ini ditimbulkan kesan yang menggores hati rakyat banyak, karena tertayangkan siapa-siapa yang menjadi bandit dan siapa pahlawannya. Suatu rekayasa yang sempurna, maka timbul pertanyaan, bagaimana seorang bawahan (May.Ud.Soejono) berani mengabaikan perintah atasannya, dalam hal ini Komodor Dewanto, jika tidak ada backing yang lebih tinggi dan kuat. Dengan demikian maka berlanjutlah keberadaan Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lobang buaya. Siapa yang berada dibelakang peristiwa-peristiwa itu semua?
Kesimpulan
Dari gambaran terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut diatas, sangat jelas kelihatan bagaimana kekuatan asing mengaduk-aduk kita dan sampai kini kita belum menyadarinya.Sistem kekuasaan politik, ekonomi, sosial yang simpang siur dan dilandasi mental lemah dan keropos, sangat rawan dan mudah menjadi mangsa dari para GANGSTER, yang diketahui Soeharto.
Van der Plas connection adalah jaringan riil yang canggih, hanya anggota-anggota inti tertentu yang sadar akan keberadaannya sebagai anggota jaringan, lainnya adalah oknum-oknum oportunis tanpa sadar, sekedar sebagai alat saja. Jelaslah yang “punya gawe” G30S adalah: PKI, Soeharto, Soebandrio dan CIA.

Pengakuan Dedengkot CIA

CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontraintelejen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Tiga huruf itu kemudian bergetar di seluruh dunia sebagai tangan-tangan hitam Amerika.  Artikel ini adalah kutipan dari buku Portrait of a Cold Warrior: G.P. Putnam’s Sons karya Joseph Burkholder Smith, bekas agen Central Intelligence Agency, terbitan 1976. Majalah Tempo pada 1988 menulis, Joseph tak ragu-ragu menguliti keanehan, kelucuan, kecerobohan, bahkan ketololan organisasi rahasia CIA, termasuk usaha mendongkel pemerintahan Soekarno dengan membantu gerakan separatis PRRI dan Permesta.
Butuh waktu buat saya untuk membiasakan diri memakai papan nama yang dikalungkan ke leher. Untuk membiasakan diri menyadari bahwa kerja saya selanjutnya akan didominasi oleh lemari dengan tiga kombinasi. Setiap malam, segala sesuatu, sampai pita mesin ketik pun, mesti diamankan di dalam lemari itu. Sementara itu, tiga petugas berganti-ganti memeriksa, untuk meyakinkan segala sesuatu normal-normal saja. Siapa pun melanggar aturan-aturan tersebut akan dihukum: harus menempuh ulang pendidikan sekuriti selama satu minggu. Kabar burung mengatakan, tiga pelanggaran akan membawa pemecatan.
Pikir-pikir, segala macam peraturan pengamanan yang mengatur hidup saya dengan edannya itu hanya aneh-anehan saja, bahkan sering lucu. Coba pikir, sudah ada pagar jangkung, ada pengawal gerbang yang melindungi dan memelihara keamanan gedung, ada seabrek aturan sekuriti, masih ada lagi akal: tak memasang papan nama. Tampaknya, tak ada yang ingat bahwa jajaran gedung CIA yang tak diberi tanda pengenal itu justru akan mengundang kecurigaan. Karena itulah satu-satunya bangunan tanpa tanda pengenal.
Aturan sekuriti pribadi tak kalah lucunya, karena bertentangan dengan aturan fisik di kantor. Para karyawan mendapat instruksi: tidak boleh mengatakan bahwa mereka bekerja buat CIA. Terutama para pejabat di Bagian Klandestin, tempat saya bekerja. Tapi anehnya, tak ada seorang pun yang berpikir untuk memperlengkapi kami dengan semacam topeng samaran. Dalam hal itu, kami jadi mengandalkan pada kelihaian masing-masing. Sementara itu, untuk hal-hal yang penting seperti referensi kredit atau referensi dalam menyewa rumah, dan membuka rekening di bank, kami hanya diberi referensi yang sama — Viola Pitts, 2430 “E” Street, N.W.
Selalu diingatkan agar kami tidak membiarkan siapa pun melihat pas kami. Dengan pas tersebut kami diperbolehkan masuk ke dalam kompleks setiap pagi. Tapi tampaknya tak ada seorang pun yang berpikir tentang masalah sekuriti di pelataran parkir. Setiap pagi serentetan orang, bagaikan parade, dengan santainya berjalan dari lapangan parkir dan masuk ke dalam gedung-gedung. Barisan kami demikian jelasnya, sehingga tak diperlukan tanda pengenal lain untuk masuk. Matac mata Soviet pasti akan tahu siapa “barisan manusia yang masuk ke dalam gedung tak dikenal” itu.
Jam kerja di Gedung “L” dan “K” dimulai pukul 0.30, tapi persoalan mendapatkan tempat parkir menyebabkan hampir semua orang mesti datang lebih pagi. Mereka yang datang pagi biasanya berkumpul di kafetaria buat minum kopi.
Setiap pagi saya mendapat kesempatan mengamat-amati rekan-rekan sekerja. Dari kebiasaan itu, dapat saya simpulkan bahwa perubahan masa jelas sekali tergambar pada kami. Umumnya “karyawan” tipe baru sangat muda usia. Yang lebih senior selalu memasuki kafetaria dengan topi. Mereka benamkan kepalanya dalam-dalam ke topi sampai hampir kehilangan alis. Atribut itu sudah lama lenyap dari busana mereka yang lebih muda. Entah kenapa orang-orang yang lebih tua itu masih saja mempertahankannya.
Saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mengomentari pemakaian topi itu. “Kau pasti akan melihat sendiri nanti pada waktu menjalani latihan untuk Bagian Klandestin,” kata John, seorang rekan baru saya. “Memang masih agak lama. Tapi baiklah, supaya tidak penasaran, aku ceritakan sekarang saja. Orang-orang itu adalah bekas agen FBI atau perwira dalam Bagian Kontraintelijen Tentara. Mereka biasanya diajar, betapa pentingnya seorang agen rahasia selalu memakai topi.”
“Mengapa?” tanya saya penasaran. “Kita mesti pakai topi. Itu upaya terbaik supaya sukar dikenal,” jawab John.
Menurut buku pintar latihan FBI, kata John, sebuah topi akan menyulitkan orang memandang kita, bila berpapasan. Khususnya agen rahasia musuh. Walhasil, pakailah topi, dan, simsalabim, tak akan mudah dikenal.
Lantaran kemahiran Direktur FBI J. Edward Hoover dalam bidang PR, FBI memiliki reputasi tinggi sebagai organ yang paling profesional dalam bidang rahasia-rahasiaan. Cara-cara yang digunakannya diikuti oleh Korps Intelijen Angkatan Darat. CIA pun, terutama Direktorat Klandestin, kemudian menguntitnya. Mitos topi yang aneh itu demikian hebatnya, sehingga perlu waktu sepuluh tahun bagi Direktorat Klandestin untuk menyadari kenyataan: bahwa orang yang duduk di pojok tanpa banyak omong dan memakai topi adalah manusia yang paling dlperhatikan di dalam ruangan atau jalanan.
Ada juga beberapa meja yang para penghuninya langsung bisa dilacak dengan mudah. Mereka mengenakan celana kedodoran dengan jas tak pernah sampai ke bagian belakang celananya. Pakaian mereka seperti kantung yang dibuat untuk mengepak peti, bukan melindungi tubuh manusia. Pada mulanya mereka itu agak menakutkan saya. Tapi lama-lama saya teringat pada foto-foto di koran tentang tokoh-tokoh yang sedang mengamati parade 1 Mei dari atas kuburan Lenin. Tahulah saya bahwa orang-orang itu tak lain dari para spesialis masalah-masalah Eropa Timur.
Membedakan para petugas, di bagian mana mereka bekerja dalam CIA, bukan hanya lewat cara berpakaian dan ciri-ciri ras. Juga gamblang dari pengelompokannya waktu minum kopi. Ada kelompok yang bekerja pada Biro Operasi Khusus (OSO Office of Special Operations), ada yang bekerja pada Biro Koordinasi Kebijaksanaan (Office of Policy Coordination) lebih dikenal dengan nama OPC. Mereka mengadakan pembagian kerja di antara mereka, tapi bekerja sama sesedikit mungkin. Di Divisi Timur Jauh, ketika saya mulai bekerja pada 1951, misalnya, walaupun para personel OPC dan OSO bekerja di kantor yang berdekatan, mereka tak campur.
OSO dibentuk tak lama setelah CIA didirikan pada 1947. Tugasnya yang utama adalah kontraintelijen, untuk melindungi Amerika dari gangguan subversi komunis atau apa pun yang memusuhinya. Ia juga bertugas menjalankan operasi yang berarti mengumpulkan informasi tentang aktivitas kaum komunis atau kegiatan lain yang diperintahkan pemerintah.
OPC lahir di kala keadaan dunia sedang memburuk. Rekrutan pertamanya mulai membentuk badan itu pada awal 1949. Tugas OPC demikian rahasianya, sehingga itu dengan sengaja disembunyikan di balik nama Biro Koordinasi Kebijaksanaan, yang begitu menyesatkan. Pada musim gugur 1951, digosipkan bahwa OPC dan OSO akan dilebur menjadi satu. Cerita yang beredar mengatakan bahwa semua personel OSO akan dipecat, tapi ada juga yang mengatakan justru orang-orang OPC-lah yang akan mengalami nasib seperti itu. Dua kelompok yang dinamakan “Adso” dan “Adpic” sedang mengadakan tur keliling dunia untuk mencari hkta bagaimana caranya melebur kedua biro tersebut.
Kay mengatakan kepada saya agar tak terlalu memperhatikan segala gosip itu dan menyuruh saya agar lebih memperhatikan keadaan dalam negeri enam negara Asia Tenggara. Demi kemudahan geopolitis, CIA ternyata telah mengelompokkan keenam negara itu. Padahal, kompleksiras di negara-negara itu tak semudah seperti yang dibayangkan.
Di Indocina, pemimpin komunis terkemuka yang telah aktif berjuang melawan Jepang sedang sibuk-sibuknya melakukan perlawanan terhadap kedatangan kembali Prancis. Itulah Ho Chi Minh, dulu seorang anak dari Annam yang pernah menjadi jongos pada sebuah kapal dagang Prancis. Orang itu demikian hebatnya, sehingga Legiun Asing yang begitu terkenal dalam kemiliteran Prancis dibikin tak berdaya oleh tentara Viet Minh yang dipimpin Ho.
Di Muangthai, dengan rakyat yang begitu setia kepada Jepang pada 1942, keadaan tampaknya lebih baik. Pepatah “kalau kau tak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka” sebenarnya bukanlah peribahasa kuno orang Thai. Tapi pada 1951 mereka dengan sepenuh hati bersedia bekerja sama dengan kami untuk membendung ekspansi komunis di Asia Tenggara. Divisi Timur Jauh Biro Koordinasi Kebijaksanaan (FE-OPC) telah membentuk suatu unit besar di bawah selimut (cover) organisasi sipil yang bergerak di bidang pembangunan dengan nama SEA Supply Company. Dari laporan-laporannya, ternyata organisasi itu terlibat dalam usaha merencanakan suatu penyerbuan ke Cina Daratan. Untuk maksud tersebut, telah digalang kerja sama antara biro CIA di Taiwan dan sisa-sisa laskar Kuomintang di perbatasan Burma-Cina.
Di Malaya orang-orang. Inggris sedang berperang melawan pasukan gerilya komunis. Para pemimpin mereka telah memperoleh keahlian dalam perang berkat pengalaman mereka menentang pendudukan militer Jepang. Keadaan di sana banyak sekali persamaannya dengan apa yang sedang berkembang di kawasan Indocina. Sementara itu, Burma, yang baru saja berhasil memerdekakan diri, dipimpin oleh seorang sarjana yang penuh mistik, yakni U Nu. Ia menyatakan dirinya sedang memgembangkan suatu sistem demokrasi yang sosialistis. Sayangnya, para pemimpin Burma, termasuk U Nu sendiri, seperti tak dapat menerangkan apa sosialisme Burma itu.
Di seberang sana Soekarno dan Mohammad Hatta, kedua pemuka nasionalis Indonesia, telah memproklamasikan kemerdekaan negara kepulauan itu pada 17 Agustus 1945. Itu terjadi hanya tiga hari setelah Jepang bertekuk lutut. Empat tahun berikutnya terjadi perundingan-perindingan yang diselingi oleh pertempuran dengan Belanda. Yang paling menarik dari perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka itu adalah peranan Amerika. Dalam segala perundingan, Amerika selalu berpihak kepada Indonesia dan selalu berusaha agar hasil perundingan tersebut menguntungkan Indonesia. Menjelang 1951, kelihatannya Indonesia telah lupa sama sekali akan jasa Amerika itu.
Di republik lain kawasan ini, Filipina, Amerika juga memainkan peranan sebagai kekuatan antikolonial. Kami telah menghadiahkan kemerdekaan kepada mereka jauh-jauh hari sebelum Perang Dunia II berakhir. Tapi negara baru ini juga sedang dirundung kemalangan. Yang utama tentu saja kenyataan bahwa pertempuran-pertempuran di negeri ini menjelang akhir Perang Dunia II sedemikian hebatnya. Jepang sepertinya tak ingin menyisakan sedikit pun wilayah itu ketika meninggalkannya. Dengan demikian, kerusakan-kerusakan akibat pertempuran diperhebat dengan kesengajaan Jepang untuk meludaskan apa saja.
Kota Manila hampir rata dengan tanah. Ditambah lagi ketidakbecusan para pemimpin yang mengalami kesukaran dalam menangani urusan-urusan administratif. Secara umum, keadaan di keenam negara wilayah itu mengalami kekacauan administratif, lantaran para pemimpin baru tak berpengalaman.
Problem utama yang dihadapi oleh pemerintah-pemerintah baru itu sama: mereka menghadapi ancaman kaum komunis yang tengah melancarkan perang gerilya. Dan itu semua membuat kami juga prihatin. Demikianlah yang saya baca dalam file-file tentang negeri-negeri tersebut.
Pada Februari 1948, Uni Soviet mensponsori pertemuan partai-partai komunis seluruh Asia di Kalkuta. Partai Komunis Australia juga turut hadir. Konperensi tersebut dipublikasikan dalam media massa kaum komunis. Pertemuan itu menyerukan agar “semua kekuatan antiimperialis bersatu untuk menentang penindasan imperialis dan kaum reaksioner di setiap negeri”. Menurut laporan itu, semua kekacauan dan kesukaran yang terjadi di Burma, Malaya, Filipina, dan Indonesia bersumber pada konperensi tersebut. Secara singkat, keadaan di dalam keenam negeri yang harus saya perhatikan itu tak begitu baik. Mereka bisa diumpamakan sebagai anak-anak di negeri miskin yang terancam oleh angka kematian tinggi. Dan, sebagaimana halnya dengan anak-anak semacam itu, mereka tak mendapat perawatan dan perhatian.
Tak lama kemudian, baru saya sadar bahwa saya ditinggalkan saja dengan anak-anak tiri itu. FE/3 Cabang Asia Tenggara tak mendapat perhatian cukup dari kepala divisi kami. Ia lebih banyak memperhatikan Cabang 1 (Jepang dan Korea) dan Cabang 2 (Cina). Baik tenaga maupun waktu sangat dikonsentrasikan pada kedua wilayah itu. Ke sanalah operasi-operasi terbesar dipelototkan. Memang benar, di kedua wilayah itulah drama perang dan revolusi sedang terjadi. Para pemimpin divisi itu sangat menginginkan agar peranan mereka punya dampak yang besar terhadap kedua wilayah itu.

Jejak Soeharto : Petrus Terapi Kejut Sang Presiden

 
Dalam sejarah Indonesia dimasa Orde Baru, Militer secara “tersembunyi” pernah menyatakan perang terhadap kejahatan, yang semestinya merupakan urusan polisi dan lembaga-lembaga peradilan. Pernyataan itu muncul dalam bentuk pembinasaan para pelaku atau yang disangka sebagai palaku, tindakan kejahatan pembinasaan “Tersembunyi” yang berlangsung dari awal 1983 hingga awal 1985, yang konon menelan lebih dari 10.000 jiwa, ini lazim disebut Penembak(an) misterius” (“Petrus”).
Jip Misterius di Jembatan …….
Suatu malam pertengahan Juni 1983, sebuah jip berwarna gelap berhenti di tengah jembatan Sungai Cimedang, sekitar 70 km sebelah timur Tasikmalaya, yang membatasi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa penduduk yang sedang meronda melihat kendaraan tersebut berhenti sebentar di tengah jembatan, berputar, lalu ngebut kembali ke timur, arah semula jip itu datang.
Peristiwa itu nyaris tak menarik perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah. Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi. Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya sekitar 18 km dari jembatan Cimedang.
“Setelah kejadian malam itu, hampir tiap dua malam sekali jip warna gelap itu melewati desa kami dan berhenti di jembatan,” cerita Icang, seorang penduduk Desa Tawang yang lain. Dan bisa dipastikan, setelah kunjungan jip itu, esoknya sesosok mayat penuh luka ditemukan tersangkut di pinggir sungai. Tak seorang penduduk pun berniat mengetahui dari dekat apa yang dikerjakan jip misterius itu. “Tugas penduduk desa adalah bertani. Sedang pembunuhan itu urusan yang berwajib,” kata Icang. Sampai sepekan menjelang Lebaran, penduduk sepanjang tepian sungai itu telah menemukan 18 mayat, seorang di antaranya perempuan. Semuanya tak mempunyai tanda pengenal, namun semuanya bertato. Mereka tewas dengan kepala remuk atau leher dijerat tali plastik. Semua penemuan itu tak dilaporkan pada kepolisian setempat.
Penduduk Desa Sindangsari dan Tawang tampaknya tak berniat menguburkan mayat-mayat yang mereka temukan. “Mayat itu kan mayat residivis yang selama ini merongrong rakyat,” kata Kasni (bukan nama sebenarnya), penduduk Desa Sindangsari. Jika mayat terdampar di tepi barat sungai, yang berarti wilayah Tasikmalaya, penduduk mendorongnya ke tengah, dan biasanya kemudian tersangkut di tepi timur sungai. Penduduk tepian ini kemudian ganti mendorong mayat itu ke tengah sungai lagi.
Akibat ditemukannya mayat misterius itu penduduk sepanjang tepian sungai itu selalu was-was bila mandi atau mencuci di kali. Mereka khawatir kalau tiba-tiba muncul mayat yang mengambang. Para pencari ikan juga mengeluh. Masyarakat menolak membeli ikan yang ditangkap dari Sungai Cimedang karena khawatir ikan tersebut telah memakan mayat. Penduduk kedua desa itu pun sepakat buat mengajukan keberatan agar mayat tak dibuang lagi di sungai. Tapi kepada siapa? Bukankah pelaku pembunuhan misterius itu tak diketahui. Lewat beberapa wartawan yang berkunjung ke wilayah itu, mereka mengimbau agar di waktu mendatang mayat digeletakkan di pinggir jalan. “Kami yang akan menguburkannya,” kata seorang tokoh masyarakat setempat. Untuk itu setelah Lebaran penduduk menggali tiga lubang kubur di sebuah kebun di Desa Sindangsari. Namun upaya itu ternyata sia-sia. Sebab setelah itu tak ada lagi mayat misterius yang kelihatan mengambang di Sungai Cimedang. Tiga lubang besar itu pun masih menganga sampai sekarang.
Para Penembak Dalam Gelap …
Suatu malam, 26 Juli 1983, nun di Lubuk Pakam, 40 kilometer dari Medan. Dari remang-remang, Suwito, pemilik dua warung di desa itu, melihat lima orang yang menghampirinya. Mereka meminta Suwito mengikuti mereka karena butuh keterangan.
Tanpa curiga, Suwito naik ke mobil Landrover putih penjemput. Di dalam mobil, mereka bertanya soal Usman Bais, pemimpin perampok terkenal dari Medan saat itu yang pernah makan di warungnya. Suwito membantah punya hubungan dengan sang perampok, apalagi ketika mereka menuduh Usman Bais sebagai orang yang memberi modal untuk warungnya.
Menurut cerita Suwito, ia dibawa berputar-putar di pinggiran Medan selama dua jam. Ia sempat difoto dua kali. Di Desa Hamparan Perak yang sepi, Suwito dipaksa turun. Seorang penjemputnya ikut turun. “Orangnya sedang-sedang, tegak, tapi agak pincang,” kata Suwito.
Begitu turun, lelaki pincang mencabut pistolnya. “Tiga kali dor, saya jatuh. Saya masih bisa mendengar salah seorang penjemput menyuruh supaya kepala saya ditembak. Tapi orang yang diperintah bilang saya sudah mati, setelah meraba perut saya,” kata Suwito. Ia memang menahan napas berpura-pura mati. Suwito lalu dilempar ke parit di pinggir jalan.
Pada 1983 – 85, adegan seperti itu terjadi di mana-mana di segenap penjuru Indonesia yang kelak dikenal sebagai peristiwa Petrus (Penembak Misterius). Kala itu, warga Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia menjadi terbiasa dengan mayat-mayat bertebaran. Namun, mereka sama sekali tak mengetahui siapa pembunuhnya.
Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983 operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya.
Persoalan Petrus yang semula dilakukan secara rahasia lambat laun tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan perhatian dari dunia luar. Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti Internasional, menyoal pembunuhan yang sadistis itu. Namun surat Amnesti Internasional dianggap sepi oleh pemerintah. Yoga Sugama menilai pembunuhan terhadap preman “Merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” katanya seperti dikutip dari Harian Gala, 25 Juli 1983.
Pemerintah pada awalnya enggan menjelaskan penemuan mayat-mayat itu. Aparat keamanan pun menepis keterlibatan mereka. Panglima ABRI saat itu, Jenderal L.B. Moerdani, misalnya, hanya menyatakan bahwa pembunuhan terjadi akibat perkelahian antargeng. Pembunuhan yang bertubi-tubi itu, menurut Benny, bukan keputusan pemerintah. Memang, katanya, “Ada yang mati ditembak petugas, tapi itu akibat mereka melawan petugas.”
 
Namun, dalam buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, Soeharto justru “mengesahkan” adanya petrus itu. Ia menyatakan, penembakan misterius itu sengaja dilakukan sebagai terapi kejut untuk meredam kejahatan.
Pada saat penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Meski begitu, menurut Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah yang sebenarnya.” Mungkin tidak terlalu keliru untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Seperti apakah itu?
Dalam satu paragraf yang terdiri atas 19 baris, Soeharto menguraikan argumen bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan. Istilah Soeharto: treatment. Ikuti caranya berbahasa dan caranya mengambil kesimpulan: “Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja. Bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak.” Paragraf ini segera disambung paragraf 5 baris: “Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu.” Lantas, Soeharto memaparkan lagi: “Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.”
Jadi, menurut pengakuannya, Soeharto sangat jijik terhadap kejahatan. Namun, apakah karena shock therapy yang dipelajarinya entah dari mana itu kejahatan memang mereda? Tanyakanlah kepada sindikat Kapak Merah. Tentang pendapat Soeharto atas kaum gali itu sendiri terdapat uraian menarik: “Mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi sudah melebihi batas perikemanusiaan.” Yang belakangan ini diperinci lagi: “Orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh.” Atau juga: “….ada perempuan yang diambil kekayaannya dan istri orang lain itu masih juga diperkosa orang jahat itu di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan!” Perhatikan opini Soeharto berikut: “Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh.”
Tak ada angka resmi jumlah korban petrus itu. Hingga Juli 1983, menurut Benny Moerdani, tercatat ada 300 korban di seluruh Indonesia. Jumlah sebenarnya bisa dipastikan lebih dari itu karena banyak bandit yang mayatnya tanpa bekas.
Mulyana W. Kusumah, pakar kriminologi yang melakukan riset soal Petrus, menyebutkan bahwa yang menjadi korban mencapai angka 2.000 orang. Menteri Luar Negeri Belanda kala itu, Hans van den Broek, pada 1984 meminta pemerintah Indonesia menghormati hak asasi manusia, bahkan menyebutkan korban Petrus mencapai 3.000 orang.
Bertahun-tahun kemudian, keterlibatan pemerintah dalam pembunuhan misterius itu mulai terkuak. Menurut penelitian Mulyana, Petrus merupakan lanjutan dari Operasi Pemberantasan Kejahatan di beberapa kota besar.
Mula-mula, operasi ini dicanangkan oleh Komandan Garnisun Yogyakarta Letnan Kolonel M. Hasbi pada Maret 1983. Lalu diikuti daerah-daerah lain, termasuk Jakarta. Ribuan gali-ini sebutan bagi preman-ditembak, sebagian di antaranya buru-buru menyerah, kabur ke hutan, atau segera berubah menjadi orang baik-baik.
Bagi pemerintah, keputusan untuk “menyelenggarakan” Petrus dianggap positif. Angka kejahatan disebutkan menurun waktu itu. Di Yogyakarta, jumlah kejahatan dengan kekerasan menurun dari 57 menjadi 20 sejak Januari hingga Juni 1983. Pada periode yang sama, angka kejahatan di Semarang turun dari 78 menjadi 50 kali.
Namun, cara mengatasi kejahatan dengan Petrus tentu saja menuai kecaman. Mulyana pada kesimpulan penelitiannya menyebut aksi penembakan misterius ini “ekstralegal” yang bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan. Lembaga Bantuan Hukum, yang kala itu dipimpin Adnan Buyung Nasution, menganggap aksi Petrus sebagai “pembunuhan terencana”.
Ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su­dah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan de­ngan hukum akan membawa negara ini pa­da kehancuran. ” —Mantan Wapres Adam Malik (Sinar Harapan, 25 Juli 1983) menetang “aksi petrus”. Sejarah.

Rahasia dunia intelijen indonesia

Allen Lawrence Pope adalah seorang tentara bayaran yang ditugasi CIA dalam berbagai misi. Beberapa misinya dilakukan di Asia Tenggara di antaranya saat pertempuran di Dien Bien Phu, Vietnam dan pada saat pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia. Dia tertangkap oleh tentara Indonesia ketika usahanya mengebom armada gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan pesawat pembom B-26 Invader AUREV gagal dan tertembak jatuh. Diduga dia tertembak jatuh oleh pesawat P-51 Mustang Angkatan Udara Republik Indonesia yang diterbangkan oleh Ignatius Dewanto namun kesaksian lain mengatakan dia tertembak jatuh oleh tembakan gencar yang dilakukan armada laut Angkatan Laut Republik Indonesia. Buku-buku yang menuliskan sepak terjang CIA di berbagai kancah konflik tidak lupa menyebut-nyebut nama Allen Pope.
Lawrence Allen Pope sendiri adalah seorang pemuda putus kuliah di Universitas Florida, kelahiran Miami, Oktober 1928. Setelah berhenti kuliah, dia belajar terbang di Texas kemudian bekerja sebagai ko-pilot pesawat angkut.

Pada tahun 1953, dia ikut nekad terjun menjadi sukarelawan dalam Perang Korea. Dalam peperangan itu, Pope mendapat pengalaman dalam melaksanakan misi terbang malam hari ke belakang garis pertahanan lawan. Lepas perang Korea, Pope kembali ke Amerika Serikat, bekerja pada perusahaan penerbangan kecil dan berumah tangga. Namun pekerjaan ini ternyata membuat dirinya merasa bosan.
Pada saat inilah agen CIA mendekati dirinya. Setelah menceraikan istrinya, Pope kemudian bergabung dengan Civil Air Transport (CAT) yang merupakan perusahaan kamuflase CIA dalam melaksanakan berbagai misinya di berbagai belahan dunia, seperti halnya perusahaan Intermountain, Southern Air Transport dan Air America.

Setelah bergabung ke CAT, Allen Pope kemudian berangkat ke Taiwan, pusat perusahaan itu namun kemudian diberangkatkan ke Vietnam. Di Vietnam, ia menjadi kapten untuk pesawat C-47 Dakota (DC-3 Dakota versi Militer). Setelah memilih bertempat tinggal di Saigon, dia menikah dengan wanita setempat. Kemudia dia melaksanakan misinya melakukan serangkaian penerbangan berbahaya di Vietnam dan Laos. Misinya antara lain adalah mengangkut senjata dan kebutuhan logistik atau bahkan melakukan penerjunan secara rahasia. Waktu luang dan cutinya digunakannya untuk berburu.
Allen Pope sendiri tampaknya adalah orang yang suka menyendiri namun menurut penuturan teman-temannya dia dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani untuk memasuki kawasan yang ditebari senjata penangkis serangan udara. Ia tidak ragu-ragu masuk kawasan Dien Bien Phu ketika benteng Perancis tersebut dikepung ketat pasukan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chi Minh dan Jenderal Vo Nguyen Giap dalam Perang Indochina I, di tengah hujan peluru untuk menerjunkan suplai makanan. Ini adalah ciri khas tentara bayaran. Penerbang-penerbang militer profesional, seperti misalnya penerbang Korps Marinir Amerika Serikat (USMC/United States Marine Corps) yang paling gila sekalipun masih berpikir sepuluh kali untuk melakukannya. Hal inilah yang kemudian dijadikannya alasan saat persidangan di Jakarta kepada para hakim dengan mengatakan bahwa dirinya telah bertempur melawan komunis sejak berusia 22 tahun dari perang Korea hingga Dien Bien Phu. Ketika di Vietnam, Allen Pope kemudian dibujuk CIA untuk membantu PERMESTA.
Dalam misinya untuk membantu PERMESTA, Pope kemudian ditugasi sebagai pilot AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) yang berpangkalan utama di Mapanget, Sulawesi Utara (sekarang Bandara Sam Ratulangi) di bawah pimpinan Mayor Petit Muharto. AUREV sendiri berkekuatan tidak kurang sekitar 10 pesawat pengebom-tempur di antaranya adalah pesawat pengebom sedang/ringan B-26 Invader dan P-51Mustang.
CIA sendiri sebenarnya sudah menyediakan 15 pesawat pengebom B-26 untuk PRRI/PERMESTA dari sisa-sisa Perang Korea, setelah dipergunakan di berbagai konflik di Kongo, Kuba dan Vietnam. Pesawat-pesawat itu disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina, tempat yang juga digunakan untuk melatih para awak sebelum dikirim ke wilayah PERMESTA. Sejumlah modifikasi dilakukan agar tidak terlalu kelihatan bahwa mereka disiapkan oleh Amerika Serikat yang memiliki teknologi maju. Di antara modifikasi yang dilakukan adalah mengubah jumlah senapan mesin yang semula memiliki enam laras pada hidung pesawat, menjadi delapan laras.
Sejak saat itu, kekuatan udara AUREV menjadi momok yang menakutkan di wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur. Berbagai misi dilakukan AUREV, di antaranya serangan udara pada tanggal 13 April 1958 terhadap lapangan terbang Mandai (sekarang Bandara Hassanuddin), Makassar. Yang lainnya adalah pelabuhan Donggala, Ambon, Balikpapan, Ternate dan tempat lainnya menjadi target serangan yang cukup mematikan. Kapal perang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), RI Hangtuah (satu dari empat kapal perang korvet yang dihibahkan Belanda atas perjanjian Konferensi Meja Bundar) yang sedang membuang jangkar di pelabuhan Balikpapan dibom hingga tenggelam. Kondisi inilah yang membuat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia segera menuntaskan operasi PRRI dan langsung juga menuntaskan operasi PERMESTA dengan pemusatan perebutan keunggulan di udara yang saat itu masih dikuasai AUREV.
Di Mapanget sendiri banyak penerbang asing selain penerbang kulit putih. Ada pula penerbang lain yang berkebangsaan Filipina dan juga Taiwan. Taiwan sendiri sudah banyak membantu dan sudah siap-siap akan mengikuti Amerika Serikat untuk mengakui negara baru yang akan disebut-sebut akan didirikan PERMESTA bila mereka berhasil.

Pada tanggal 18 Mei 1958, Gugus Tugas amfibi (Amphibius task force) ATF-21 Angkatan Laut Republik Indonesia yang berkekuatan dua kapal angkut dan lima kapal pelindung type penyapu ranjau cepat, dipimpin oleh Letnan Kolonel (KKO/sekarang Korps Marinir) Hunholz dengan Kepala Staf Mayor Soedomo berlayar dengan posisi dekat Pulau Tiga lepas Ambon guna melaksanakan Operasi Mena II dalam rangka menuntaskan konflik PERMESTA dengan sasaran Morotai guna merebut lapangan terbang, operasi itu didukung oleh P-51 Mustang dan B-26 Angkatan Udara Republik Indonesia serta Pasukan Gerak Tjepat (PGT, sekarang Kopaskhas TNI AU). Pasukan yang turun antara lain gabungan Marinir, Pasukan Angkatan Darat KODAM BRAWIJAYA dan Brigade Mobil (BRIMOB). Di atas kapal disiagakan senjata penangkis udara berbagai type.
Harry Rantung saat itu bersama Allen Pope, menyamar sebagai seorang berkebangsaan Filipina bernama Pedro. Setelah ia bersama Allen Pope menyerang Ambon dari Mapanget, ia melihat konvoi kapal perang Republik Indonesia. Setelah melapor ke Manado untuk mendapatkan instruksi lebih lanjut dan perintah untuk menyerang, Allen Pope mengarahkan pesawat B-26 Invader menukik dan menyerang konvoi kapal perang dengan menjatuhkan bom dengan sasaran KRI Sawega, namun meleset hanya beberapa meter dari buritan kapal.
Awak kapal yang siaga setelah melihat dan mendapatkan tanda bahaya udara itu, langsung menembak balas atas perintah Soedomo. Tidak hanya senjata penangkis udara dan anti serangan udara yang dimiliki kelima kapal itu, tetapi juga semua pasukan yang ada di atas kapal mengarahkan senjatanya ke udara mulai dari senapan serbu, senapan otomatis, senapan infantri hingga pistol mereka.
Peristiwa itu terjadi sekitar enam sampai tujuh mil lepas pantai Tanjung Alang, tak jauh dari kota Ambon, tempat yang sebelumnya diserang Pope dengan pesawat B-26-nya itu. Kabar serangan itu disampaikan kepada Kapten Penerbang AURI Ignatius Dewanto yang sudah siap di kokpit P-51 Mustangnya di apron Liang, karena pagi itu ditugaskan untuk menyerang Sulawesi Utara. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas. Dia tidak menemukan B-26 AUREV buruannya tetapi melihat Ambon dengan tanda-tanda terkena serangan udara. Sesuai petunjuk P-51 Mustang dia arahkan ke barat. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas, di laut terlihat konvoi kawan yang diserang B-26 AUREV buruannya. Dengan cepat dikejar Dewanto dengan mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan berkali-kali tetapi lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7 yang tersedia pada pesawat dengan rentetan penuh, karena jaraknya lebih dekat kemungkinannya kenanya lebih besar. Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran 
Sementara itu, pasukan yang menembak balas dari seluruh armada laut juga melihat pesawat B-26 AUREV terbakar terkena tembakan. Masih tidak jelas tembakan siapa yang mengena namun berkat prestasi itu, Kapten Penerbang Dewanto mendapat gelar ace angkatan udara. Mereka juga melihat pesawat P-51 Mustang yang dianggap tidak jelas kawan atau lawan karena setelah pesawat B-26 AUREV terbakar dan jatuh, P-51 Mustang itu lepas dari perhatian dan terbang menjauh.
Dua awak B-26 AUREV kemudian berhasil menyelamatkan diri dengan parasut. Allen Pope tersangkut pohon dan jatuh luka-luka terhempas karang. Sementara seorang lagi, operator radio Harry Rantung yang menyamar sebagai seorang warga Filipina bernama Pedro kelahiran Davao namun identitas sebenarnya mudah diketahui karena diatas kapal KRI Sawega terdapat seorang sersan AURI yang mengenalinya karena pernah satu angkatan dalam pendidikan tentara. Sebenarnya Allen Pope berusaha membunuh dirinya dengan menyerahkan pistol kepada Rantung untuk menembaknya. Namun permintaan ini ditolak Rantung.
Tertangkapnya Allen Pope kemudian dilaporkan ke Jakarta. Namun hal ini tetap dirahasiakan karena Operasi Morotai sendiri harus dijaga kerahasiaannya sampai semuanya tuntas. Sejak tertangkapnya Allen Pope, bisa dikatakan AUREV lumpuh dan keunggulan di udara di wilayah Indonesia Timur berangsur-angsur dikuasai oleh AURI. Operasi-operasi pendaratan-pendaratan yang dilakukan ABRI berhasil dilakukan di berbagai tempat yang sebelumnya dikuasai PERMESTA.

Tiga minggu sebelum Allen Pope ditembak jatuh, sebagai upaya cuci tangan Amerika Serikat (AS), maka Menteri Luar Negeri AS , John Foster Dulles lantang menyatakan bahwa apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Mengenai senjata-senjata yang terbilang mutakhir di tangan PRRI dan di Pekanbaru, Presiden AS, Dwight David Eisenhower mengadakan jumpa pers dengan memberi keterangan bahwa AS akan tetap netral dan tidak akan berpihak selama tidak ada urusannya dengan AS. Dikatakannya bahwa senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI adalah senjata-senjata yang mudah ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran. Apa yang dikatakan Eisenhower kemudian jadi arahan. Ketika kemudian terdengar ada penerbang AS tertangkap di Ambon dan bagaimana ia tertangkap, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta cepat-cepat menimpali bahwa orang itu tentara bayaran.
AS yakin karena Allen Pope pasti tertangkap dalam keadaan bersih. Walaupun bukti-bukti pesawat sudah jelas, AS masih berdalih bahwa itu serdadu bayaran. Namun ketika ABRI mencari dan berusaha mendapatkan barang bukti yang lebih banyak, hasilnya bukan sekedar nama-nama sejumlah pedagang yang ikut mengail di air keruh dan peranan Korea Selatan, namun membuat pemerintah AS terperangah dan mengutuk Pope mengapa dia tidak sekalian ikut mati saja di dasar laut dengan pesawatnya. Washington kehilangan muka. Bukti-bukti mengarahkan tuduhan ke lembaga yang dipimpin saudara kandung Menteri Luar Negeri AS yang merupakan pimpinan CIA, Allen Dulles meski CIA sendiri tidak disebut-sebut sementara Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF/United States Air Force) dinilai terlibat.

Prosedur CIA sendiri sebenarnya mengharuskan tiap awak pesawat yang akan melaksanakan misinya harus dipastikan bersih dan diperiksa dengan teliti dan disediakan pakaian khusus yang akan digunakan dalam penerbangan misinya itu yang bersifat rahasia sehingga mereka tidak memiliki identitas apapun. Namun Allen Pope cukup cerdik. Mungkin karena dianggap sudah berpengalaman sehingga dia tidak diperiksa, padahal pada saat sebelum diberangkatkan ke Mapanget, dia menyelipkan beberapa keterangan mengenai dirinya di pesawat. Ia tahu kalau sampai dia ditangkap dalam keadaan bersih, maka negaranya bisa saja mengatakan bahwa dia bukan warga negaranya atau serdadu bayaran atau apa saja dengan demikian dia bisa mati konyol. Barangkali Pope merasa semua itu hanya menguntungkan satu pihak sementara CIA merasa hal tersebut adalah bagian dari kontrak. Kenyataannya semua identitas Pope ditemukan di badannya. Di antaranya adalah surat keterangan yang mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer di Clark Field (Pangkalan udara AS, Clark di Filipina]]. Juga ada kartu klub perwira di pangkalan itu. Pope berharap agar identitas itu mengangkat dirinya dari semacam petualang murahan menjadi pion politik yang punya harga. Kenyataannya, ini mengangkat namanya ke permukaan dunia khususnya yang berhubungan dengan spionase. Banyak buku yang menceritakan ulah CIA tidak lupa mengisahkan Lawrence Allen Pope, dan Amerika Serikat terpojok dibuatnya.

Peristiwa ini memaksa pemerintah Amerika Serikat merubah sikapnya terhadap Presiden Sukarno. Washington menjadi ramah dengan harapan Presiden Indonesia itu akan diam. Soekarno sendiri sudah menyebutkan adanya kemungkinan bantuan dari seukarelawan-sukarelawan penerbang China dan sudah menyebut-nyebutkan Perang Dunia III. Dalam waktu lima hari disetujui permintaan Indonesia agar dapat mengimpor beras dengan pembayaran rupiah. Bola politik benar-benar dimainkan oleh Presiden Soekarno. Penahanan Pope diulur untuk mendapatkan manfaat keramahtamahan diplomasi Amerika Serikat. Embargo senjata terhadap Republik Indonesia dicabut. Pemerintah Amerika Serikat segera menyetujui pembelian senjata juga berbagai suku cadang yang dibutuhkan ABRI termasuk suku cadang persawat terbang AURI. Dukungan terhadap pemberontak dihapuskan. 
Forum Viva.

Kivlan Zen Sang kontroversial “Konflik dan Integrasi TNI-AD”


Demi independensi dalam menyuarakan kebenaran, Kivlan Zen bertahan untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Kivlan memilih untuk bergabung dengan organisasi sosial kemasyarakatan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU 42 Tahun 2008, terkait syarat pencalonan presiden, secara langsung memang telah mengandaskan peluang para calon presiden independen.    
Dengan keputusan itu, calon presiden RI harus melalui mekanisme partai. Hanya partai/gabungan partai yang memperoleh suara 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional saja yang bisa mencalonkan pasangan presiden/wakil presiden.
Di antara calon presiden alternatif yang telah menyatakan diri sebagai calon presiden, Mantan Kepala Staf Kostrad, Kivlan Zen, termasuk yang legowo dengan keputusan MK tersebut.
Sejak awal, pensiunan mayor jenderal ini berjanji akan menyejahterakan Indonesia dalam waktu satu bulan jika terpilih menjadi Presiden RI periode 2009-2014. Kivlan mentargetkan pertumbuhan ekonomi akan naik menjadi 15 persen.
Kendati harapan menjadi presiden terhambat, hal itu tidak mengubur ambisi Kivlan untuk mendharmabaktikan diri demi kemajuan bangsa.
Pensiunan jenderal kelahiran Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 1946 ini memang terkenal teguh memegang prinsip, apalagi jika terkait kedaulatan NKRI. Bahkan, Kivlan berani berseberangan dengan koleganya di dunia militer.
Kivlan dengan lantang sempat mengungkapkan bahwa Jenderal (Purn) LB Moerdani dan Jenderal (Purn) Wiranto bersekongkol merencanakan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Tak hanya itu, Kivlan juga menuding Wiranto telah “main mata” dengan Wapres Habibie untuk menggulingkan Soeharto.
Keberanian Kivlan menentang arus diakui kawan ataupun lawan. Atas keberaniannya, ayah dari lima orang anak ini, mendapat nama baru, “Sutiyogo”.
“Suti” dalam bahasa sansekerta berarti kebenaran, dan “yogo” berarti putra atau anak. Lengkapnya, Kivlan Zen sang “Putra Kebenaran”
Sejalan dengan itu, demi independensi dalam menyuarakan kebenaran, Kivlan bertahan untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Kivlan memilih untuk bergabung dengan organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satunya, Yayasan Kesejahteraan Bangsa Indonesia, di mana Kivlan sebagai ketua umum.
Bidang sosial dan keagamaan memang lekat dengan penyandang gelar Magister Social Development dari Universitas Indonesia ini. Semua itu tidak lepas dari pengalaman hidup anak pedagang sederhana ini. Sejak kecil Kivlan digembleng kerasnya kehidupan. Bahkan untuk biaya sekolah Kivlan pernah menarik becak.
Sebelum masuk Akademi ABRI, Kivlan sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara. Fakultas kedokteran dipilih semata-mata karena Kivlan ingin menyumbangkan ilmunya untuk kehidupan sosial.
Saat menjadi pelajar, Kivlan bergabung di Pelajar Islam Indonesia (1962). Pada 1965, Kivlan menjabat sebagai sekretaris Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Medan. Pada tahun yang sama Kivlan dipercaya menjadi Ketua Depertemen Penerangan KAMI Medan. Tak hanya itu Kivlan juga tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI).
Berbekal pengalaman hidup, Kivlan tampil sebagai sosok yang disegani. Di dunia militer, “Akmil 71” ini termasuk perwira yang cemerlang. Dimulai dari Komandan Peleton Akbri pada 1971 hingga akhirnya Kepala Staf Kostrad, hampir semua jabatan Kivlan di posisi komando tempur.
Berbagai penghargaan dan kenaikan pangkat luar biasa mengiringi karir Kivlan. Pada 1974, pasukan Kivlan berhasil meringkus gerombolan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Demikian juga waktu bertugas di Timor Timur, Kivlan mendapat kenaikan pangkat luar biasa.
Bahkan, jenjang kepangkatan Kivlan dari kolonel hingga meraih jenderal bintang satu hanya butuh waktu 18 bulan.
Di dunia internasional, kiprah lulusan Sekoad 1990 tidak bisa dipandang sebelah mata. Secara khusus, Presiden Filipina Fidel Ramos menganugerahi medali kehormatan untuk Kivlan Zen. Kivlan dinilai berhasil membujuk pimpinan MNLF, Nur Misuari, agar mengakhiri konflik Moro di Filipina Selatan.
Ketika itu Kivlan memimpin Kontingen Garuda XVII, Pasukan Konga 17, yang bertugas di Filipina. Kivlan dan pasukannya juga menjadi pengawas genjatan senjata setelah adanya perundingan antara MNLF dengan pemerintah Filipina.
Suara Sumbang
Di balik cemerlangnya karir, suara sumbang mengiringi langkah Kivlan. Penulis buku kontroversial “Konflik dan Integrasi TNI-AD” ini dituding masuk dalam pusaran isu persaingan “ABRI Hijau” versus “ABRI Merah Putih”
Bersama Prabowo Subianto, Kivlan berada dalam barisan “ABRI Hijau” yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Kelompok ini sukses melengserkan Jenderal Benny Moerdani dari kursi Panglima ABRI. Benny yang diplot menjadi wakil presiden, kabarnya didukung kelompok “ABRI Merah Putih”.
Atas inisiatif Kivlan, kelompok perwira muda eks-PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merapatkan barisan membentuk “Group 7” untuk melawan Benny Moerdani.
Skenario “Group 7” adalah mengganjal kelompok Benny dengan menaikkan Wiranto. Atas usulan Prabowo, Wiranto berhasil menjadi ajudan Presiden Soeharto. Hanya saja, dalam perjalannya Wiranto justru dipandang mendukung Benny. Sehingga perlu dicari penggantinya. Pilihan jatuh pada Feisal Tanjung, yang sebelumnya telah dimasukkan kotak oleh kelompok Benny Moerdani.
Konflik elit TNI AD semakin menguat setelah Jenderal Wiranto menggantikan Jenderal Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI pada Mei 1993, sementara Prabowo Subianto diangkat sebagai Panglima Konstrad.
Kudeta
“Tragedi Mei 1998” menjadi ujian bagi ketegaran Kivlan Zen menyuarakan kebenaran. Ketika korban berjatuhan dalam kerusuhan 12-21 Mei 1998, meskipun memegang kendali pasukan Kostrad, Kivlan tidak dapat berbuat banyak. Kendali keamanan tetap ada di tangan Panglima ABRI Jenderal Wiranto.  
Di mata Kivlan, Wiranto sebagai Panglima ABRI, telah gagal mengatasi kerusuhan Mei 1998. Wiranto melarang pengerahan pasukan pada 14 Mei 1998. Menurut Kivlan, ia  telah dihubungi Kasum ABRI, Letjen Fachrurazi agar tidak mengerahkan pasukan atas permintaan Wiranto. Wiranto sendiri justru berada di Malang, Jawa Timur, meresmikan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) ABRI.
Tak salah jika Kivlan ngotot bahwa kerusuhan Mei 1998 Jakarta bisa terungkap jika ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Pada 16 Mei 1998, Kivlan dalam kapasitas sebagai Kepala Staf Kostrad, mengancam akan menangkap Amien Rais, yang merencanakan people power  mengepung Istana Negara. Banjir darah ala “Tiananmen 1989” pun berhasil dicegah.
Nama Kivlan kembali mencuat ketika pasukan Kostrad berada di sekitar Monumen Nasional (Monas), Istana Presiden dan kediaman BJ Habibie di kawasan Patra Kuningan, Mei 1998, pada detik-detik pengangkatan Habibie sebagai presiden. Pengerahan pasukan ini belakangan, dituding sebagai upaya Prabowo cs melakukan kudeta.
Pagi, 22 Mei 1998, Kivlan ditugasi Prabowo menghadap Habibie untuk membawa surat dari Jenderal Besar AH Nasution yang berisi usulan pemisahan Menhankam dan Pangab. Kivlan juga membawa surat dukungan 320 ulama Jawa Timur yang mendukung Habibie.
Hanya saja, dengan tudingan akan melakukan kudeta, 22 Mei malam, Probowo justru dicopot dari jabatan Pangkostrad, dan digantikan oleh Mayjen Johny Lumintang.
Menyusul kemudian, pada 20 Juni 1998, Kivlan Zen juga harus meletakkan jabatan Kepala Staf Kostrad. Kivlan dituduh ikut membahas keabsahan jabatan Habibie dan perubahan UUD 1945 di Hotel Regent.
Dalang Kerusuhan
Untuk menjaga proses pergantian kepemimpinan nasional secara demokratis, diperlukan aturan yang jelas, untuk itu digelar Sidang Istimewa (SI) MPR pada 10-13 Nopember 1998.
Ironisnya, upaya menggagalkan SI MPR cukup kuat karena tidak ada kekuatan massa yang mendukung SI secara terang-terangan. Pilihan jatuh pada pengerahan pasukan pendukung SI (belakangan disebut Pam Swakarsa).
Kivlan Zen kembali disebut. Kivlan mengambil inisiatif merekrut massa dari kalangan ormas Islam. Sekitar 30 ribu massa pendukung SI yang tergabung dalam Komite Islam Bersatu Penyelamat Konstitusi (KIBLAT) mengadakan apel akbar di Parkir Timur Senayan empat hari menjelang digelarnya SI.
Muncul sinyalemen lain, Kivlan bersama Burzah Zarnubi, juga telah menyusupkan empat mahasiswa dalam moment SI di gedung DPR-MPR. “Perwakilan” itu untuk memperkuat klaim ada perwakilan mahasiswa ikut mendengarkan pidato pertangung jawaban Habibie.
Menurut Kivlan, keberadaan Pam Swakarsa atas perintah Wiranto dan diketahui Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol. Nugroho Jayusman, Pangdam Jaya Mayjen Djaya Suparman.
Disebut-sebut, pengusaha Setiawan Djodi memberikan bantuan dana Pam Swakarsa. Selain itu, kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (Truba), di mana Kivlan menjabat komisaris, juga menggelontorkan dana. Diketahui, Yayasan Kartika Eka Paksi memiliki hampir semua saham PT Truba.
Dalam buku bertajuk “Bersaksi di Tengah Badai”, Wiranto menyangkal keras terkait keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Wiranto juga sempat mengancam akan menuntut Kivlan.
Bentrokan demi bentrokan berdarah telah menewaskan pendukung SI ataupun anti-SI. Bahkan enam mahasiswa tewas dalam bentrokan dengan aparat. Peristiwa ini dikenal sebagai “Peristiwa Semanggi I”.
Terbunuhnya kelompok dari suku tertentu dalam bentrok pendukung SI-anti SI pada 13 November 1998 berbuntut dendam. Massa yang terlibat, bentrok kembali di Ketapang Jakarta Pusat, pada 22-23 November 1998.
Kerusuhan berlanjut di Kupang pada 30 November 1998, hingga akhirnya meletus kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999.
Kembali Kivlan menjadi tertuduh. Kali ini tuduhan dilontarkan oleh KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur menyebut “Mayjen K” sebagai provokator kerusuhan Ambon. Atas tuduhan itu Kivlan sempat mendatangi Gus Dur di rumahnya di Ciganjur untuk meminta klarifikasi. Pada kesempatan itu Gus Dur membantah bahwa “Mayjen K” yang dimaksud adalah Kivlan Zen.
Menurut Kivlan, klarifikasi perlu dilakukan karena putra Kivlan yang sekolah di sebuah SMA di Malang diteror dengan cemooh sebagai “anak provokator”. Bagi Kivlan, peristiwa sejarah harus diluruskan. Sejak 1945 sejarah Indonesia carut marut karena karena pembelokan sejarah. Semua tidak diluruskan sejak dahulu. Masa depan itu terjadi karena masa sekarang. Masa sekarang terjadi karena masa lampau. Berikut cuplikan wawancaranya dengan INTELIJEN pada April 2009 di Jakarta:
TNI Kurang Ofensif
Seringkali fakta yang Anda ungkap berbuntut kontroversi dan perseteruan. Apa motivasi Anda sebenarnya?
Setiap informasi harus saya berikan kepada bangsa. Karena banyak terjadi pengaburan  atau penyimpangan sejarah. Akibatnya, bangsa ini tidak tahu harus berbuat apa ke depan.
Sejarah harus diungkap, misalnya terkait kudeta tahun 1950, 1962, 1965, 1974, 1983, 2006 dan sampai sekarang.
Dari memoar para pelaku sejarah bisa ditarik keterkaitannya. Memang, ada yang saling menutupi agar nama baik yang bersangkutan tetap terjaga.
Fakta yang saya ungkap saya pertanggungjawabkan secara ilmiah. Saya mengalami peristiwa itu, dan saya berani diuji. Buku “Konflik dan Integrasi TNI-AD” itu tesis saya untuk mendapatkan gelar Master Social Development di Universitas Indonesia.
Fakta tentang Pam Swakarsa sampai saat ini menjadi polemik. Anda melihat itu sebagai pengaburan sejarah?
Habibie dan Wiranto sangat tidak fair terkait masalah Pam Swakarsa. Pam Swakarsa adalah fakta sejarah, pasti ada pihak di belakangnya. Banyak pihak mengganggap Pam Swakarsa salah. Padahal, Pam dibentuk untuk konstitusi. Jika Sidang Istimewa (SI) diserang massa anti SI, berarti  SI tidak legitimit. Menggagalkan sidang istimewa itu tidak konstitusional.
Saya dan teman-teman terlibat di dalamnya. Habibie yang merancang. Habibie memerintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swakarsa. Ironisnya Habibie tidak mau  mengakui.
Semua itu ada rencana operasinya. Habibie dan Wiranto cuci tangan. Wiranto tidak gentlemen. Pam Swakarsa dibiarkan digebuk oleh massa dan media massa.  
Untuk mengungkap semua itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR 2006) telah dibentuk, namun dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi di bawah Jimly Asidiqi?
Itu tidak benar, menipu sejarah dan tidak gentlemen. Sudah ada niat untuk rekonsiliasi, mengapa lembaganya dibubarkan. Artinya, ada pihak yang takut oleh perbuatannya sendiri.
Perbedaan pengungkapan sejarah Indonesia, sehingga banyak versi,  terpengaruh adanya faksi-faksi di tubuh militer?
Bangsa ini sejak dahulu memang memiliki faksi-faksi. Sejarah TNI pun dibentuk oleh faksi-faksi. Pasca reformasi, memang masih ada “pertemanan” karena backgroup persamaan daerah. Nepotisme kedaerahan memang kadang digunakan untuk tarik menarik demi kesuksesan bersama.
Untuk mendapatkan jabatan atau karir, faksi-faksi itu masih ada. Saat ini, jabatan pada level tertentu di TNI didominasi salah satu kelompok kedaerahan. Mereka menarik kelompoknya masing-masing.
Nepotisme menjadi tidak biasa ketika masuk dalam wilayah perebutan kekuasaan?
Memang akan berbahaya jika dilakukan dengan cara yang tidak demokratis. Buntutnya memang akan terjadi kekacauan. Ada satu kelompok kedaerahan yang saat ini berusaha menguasai TNI. Tetapi semua itu tidak ada gunanya untuk merebut kekuasaan. Kecuali jika mereka melakukan kudeta. Berdasarkan sejarah kudeta dari tentara di Indonesia tidak pernah berhasil.
Kelompok-kelompok itu terlibat dalam persaingan Pemilu 2009?
Kelompok TNI tidak ada, karena sudah masuk kandang. Justru saat ini polisi yang muncul ke panggung persaingan politik. Misalnya, kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jawa Timur juga melibatkan polisi. Tangan kanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini adalah polisi.
Di sejumlah partai politik banyak pensiunan jenderal TNI. Artinya, mereka masih berorientasi pada kekuasaan?
Sifat militer di Indonesia sebenarnya bukan orientasi kekuasaan. Kami memiliki misi bagaimana NKRI bisa tetap tegak. Agar NKRI tidak terpisah. Yang pasti TNI tidak pernah mendukung gerakan separatisme.
Apa kelemahan dan kekurangan TNI saat ini?
TNI dalam posisi yang defensif. Belum melakukan langkah ofensif terkait citra. Misalnya banyaknya kasus-kasus yang dihubungkan dengan kiprah TNI. Jika mendapat serangan dari pihak luar Puspen harus berbicara dengan fakta.
Seharusnya Mabes TNI atau Pepabri menghadirkan para pelaku sejarah untuk mengungkap suatu kasus. Selama ini keduanya diam tidak bereaksi. Padahal, para pelaku sejarah bisa dimintai keterangan atau klarifikasi. Jangan berbicara secara liar, karena ini menyangkut harkat dan martabab TNI. 
Intelijen.

Hidup Polisi Mewah, Prajurit TNI 'Marah'


Anggota Komisi I DPR A Effendy Choirie mengatakan pola kehidupan mewah yang sering dipertontonkan oleh jajaran kepolisian ikut memberikan kontribusi terhadap kecemburuan sosial yang semakin diperlihatkan oleh prajurit TNI.

“Pola hidup mewah yang dipertontonkan oleh jajaran petinggi kepolisian dari pusat hingga daearah-daerah, menurut saya punya andil yang cukup besar terhadap kecemburuan prajurit TNI,” kata Effendy Choirie, di gedung DPR, Senayan Jakarta Jumat (8/3).

Di tengah-tengah pola hidup bermewah-mewah dari petinggi kepolisian tersebut menurut politisi PKB itu, banyak diantara prajurit TNI yang "nganggur". Itu indikasi bahwa reformasi struktur dan kultur serta postur organisasi TNI belum selesai. "Sementara polisi yang dilepas dari TNI pada tahun 1999 sibuk "bermain" dimana-mana," tegas pria yang akrab disapa Gus Choi itu.

Lebih lanjut dia menyontohkan prilaku Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo yang kini jadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Meski tidak kelihatan di permukaan, saya yakin prajurit TNI marah," tegas Gus Choi.

Tapi di sisi lain Gus Choi tidak membenarkan perilaku prajurit TNI di OKU yang menyerang Mapolres setempat. Dia menambahkan dalam waktu dekat Komisi I DPR akan berangkat ke Polres OKU untuk meninjau dan mengetahui kondisi di lapangan yang sesungguhnya.
JPNN.

Panglima TNI Minta Bais Tinggalkan Paradigma Lama

Panglima TNI Jenderal Moeldoko saat melantik Mayjen TNI Mohammad Erwin Syafitri sebagai kepala BAIS menggantikan Laksda TNI Soleman B Ponto di Jakarta, Senin (30/9). FOTO: Zulfasli/JPNN




Panglima TNI Jenderal Moeldoko meminta segenap insan intelijen, khususnya perwira intelijen Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI meninggalkan paradigma lama intelijen, yang masih melekat di dalam benak dan pikiran para perwira.
"Buang cara berpikir flat, yang hanya berpikir rutinitas dalam pelaksanaan tugas. Insan intelijen harus merubah cara berpikir dan harus berani berpikir radikal, sebagaimana radikalnya ancaman yang berkembang saat ini," kata Jenderal TNI Moeldoko, dalam acara Serah Terima Jabatan (Sertijab) Kepala Bais TNI dari Laksda TNI Soleman B. Ponto, kepada Mayjen TNI Mohammad Erwin Syafitri, di Mako Bais TNI Jalan Kalibata Raya 24 Jakarta, Senin (30/9).
Menurut Moeldoko, intel saat ini harus menggunakan dan mengembangkan pendekatan smart power dengan mengedepankan soft power dalam tugas-tugas intelijen, melalui optimalisasi dialog dan komunukasi dua arah, karena sejatinya pada saat ini intelijen bukanlah sosok yang menyeramkan dan misterius.
"Sesuai dengan makna dasar intelligent adalah kecerdasan, yang pada dasarnya dituntut bekerja sesuai dengan norma-norma ilmiah dan etika, sehingga diperoleh data yang reliable, dengan demikian seseorang intelijen seharusnya adalah sosok yang cerdas dalam menjalankan tugasnya," ujar Moeldoko.
Intelijen lanjutnya, tidak bisa menahan keterbukaan informasi, dan tidak bisa mengendalikan komunikasi. Dalam kaitan tersebut, Bais TNI harus mengembangkan pendekatan dialog dan komunikasi pada setiap pelaksanaan tugas. Komunikasi memainkan peran signifikan dalam mencapai resolusi konflik, ketidakpercayaan, kecurigaan, serta permusuhan yang terjadi di masyarakat.
"Keberhasilan menyelesaikan perselisihan, kemampuan menyatukan beragam pemikiran ke dalam keterikatan pemahaman yang sama, itu adalah keberhasilan komunikasi dari sebuah operasi intelijen penggalangan," kata Moeldoko.
Terakhir, Panglima TNI juga mengingatkan agar intelijen nasional membangun kerjasama dengan komunitas media massa, karena kerjasama intelijen dan media massa merupakan cara terbaik dalam rangka membangun dialog dan komunikasi, untuk menerapkan fungsi penggalangan terhadap rakyat dan objek lainnya dengan menggunakan pendekatan cerdas.