Sabtu, 19 Oktober 2013

Sejarah, Belanda Membentuk Pasukan Khusus Di Papua tahun 1961

Untuk memperkuat posisi dan strategi tempurnya di Irian Barat (Papua), militer Belanda membentuk pasukan tempur yang berasal dari penduduk lokal pada 1961. Pasukan yang disebut Papuan Volunteers Corps (PVC) ini sebenarnya pernah dibentuk Belanda pada masa Perang Dunia II, tapi dibubarkan selepas perang usai.

Pembentukannya kembali dimotori oleh pemimpin kabinet Belanda, Jan de Quay, yang sangat mengutamakan keamanan demi menunjang pertumbuhan ekonomi pasca-perang. Bagi Jan de Quay, Belanda perlu menguasai Papua mengingat sumber daya alamnya yang melimpah.

Jadi, PVC dibentuk lebih karena alasan politik ketimbang militer. Ketika dibentuk, PVC awalnya berkekuatan 200 personel, tapi akhirnya meningkat jadi 660 personel.

Namun, Gubernur Belanda untuk Papua, Plateel, lebih menghendaki jika PVC berkekuatan 300 - 450 personel. Pemerintah Belanda akhirnya mengucurkan dana 8,5 juta Gulden untuk membiayai pembentukan PVC dan memerintahkan komando tertinggi AL Belanda di Papua untuk merahasiakan pembentukannya.

Melalui seleksi terhadap ribuan pendaftar, hanya 200 orang yang lulus dan kemudian mendapat pendidikan militer di Arfai Training Camp, 15 kilometer selatan Manokwari. Untuk mengomandani PVC, dipercayakan pada Letkol WA van Heuvel dari AL Belanda. Dengan persenjataan Mauser, Karaben, dan senapan mesin Uzi.

Di bawah komandonya, PCV dibagi menjadi lima peleton berkekuatan 37 pasukan. Setiap peleton, komandan dan wakilnya adalah personel Belanda.

Namun dalam pertempuran hutan, personel PVC-lah yang membuktikan kemampuannya. Personel PVC bahkan tidak suka dengan ransel besar yang disandangnya karena menimbulkan kesulitan saat bertempur di hutan.

Mereka memilih membawa bekal seadanya dan lebih mencari bahan makanan sendiri di hutan. Karena memiliki pengetahuan hutan ini dan akrab dengan penduduk lokal, PVS kemudian jadi ujung tombak marinir Belanda.

Jumlah total pasukan PVC di Papua hingga tahun 1963 mencapai 450 personel. Tapi sayangnya pasukan ini diharuskan bubar seiring tercapainya perundingan damai Indonesia dan Belanda. Sebagian bergabung dengan TNI, sebagian lainnya memilh jadi warga sipil. Ironisnya, veteran perang Belanda yang pernah bertugas di Papua tidak mau mengakui keberadaan PVC itu.
 
 
 

nationalgeographic.

Kalahkan Amerika, Tentara Vietkong Belajar Dari Buku Nasution

Ada hal yang menarik dari sejarah mengenai peperangan Vietnam. Perang yang terjadi selama kurang lebih 8 tahun ini tercatat sebagai kegagalan terbesar Amerika Serikat dalam menaklukkan sebuah negara.
Bayangkan saja, dengan persenjataan yang lengkap dan suplai materi yang berkesinambungan tidak serta merta membuat negara adidaya ini berhasil menghancurkan tentara Vietkong dan North Vietnam Army (NVA). Sebaliknya , justru AS yang harus kembali pulang ke kampungnya dengan kekalahan.

Menurut catatan, setidaknya ada sekitar 58 ribu tentara AS yang dinyatakan tewas dalam peperangan tersebut. 1.000 tentara dinyatakan hilang dan 150 ribu lainnya terluka.

Dalam peperangan yang berlangsung selama tahun 1965 hingga 1973 ini, tentara AS dibuat kerepotan. Tenaga mereka dikuras, mental mereka diperas, dan dana miliaran dolar pun dibuat amblas.

Yang menarik, salah satu kunci keberhasilan tentara Vietkong dan NVA mempecundangi tentara AS adalah dengan meniru praktik gerilya yang dilakukan oleh TNI semasa perang kemerdekaan Indonesia. Bahkan para komandan Vietkong disebut mempelajari taktik gerilya ini lewat buku yang dikarang oleh mendiang pahlawan revolusi, Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution.

Buku yang berjudul 'Pokok-pokok Perang Gerilya' ini dibuat oleh Jenderal AH Nasution setelah berhasil mengatasi Agresi Militer Belanda II tahun 1949. Saat itu, AH Nasution dan Jenderal Sudirman melakukan siasat berperang non frontal. Mereka bertahan di hutan dan pegunungan, mengepung wilayah perkotaan yang dikuasai tentara Belanda.

Siasat inilah yang kemudian dijalankan tentara Vietnam selama bertahun-tahun. Mereka berperang dengan kesabaran. Menyerang patroli-patroli tentara AS, menyerang pos-pos militer, hingga menanam ranjau di hutan. Mental tentara AS benar-benar diuji harus berperang bertahun-tahun dalam hutan. Vietkong sukses mengubah hutan Vietnam menjadi neraka hijau.
 Dalam buku tersebut, AH Nasution menjelaskan secara lengkap mengenai strategi perang gerilya, lengkap dengan berbagai tantangannya. Bahkan konon buku ini pada akhirnya ikut dipelajari oleh Amerika Serikat.
Hal itu diamini oleh Mayjen Purnawirawan Tb Hasanuddin yang ditemui media. "Buku itu mengajarkan inti perang gerilya. Intinya bagaimana yang tidak punya kekuatan, senjata dan lemah menghancurkan kekuatan yang kuat dan memiliki persenjataan lengkap," katanya seperti yang dikutip Merdeka.com.

Pada akhirnya AS menyerah. Dari yang awalnya superior menjadi sangat inferior. Puncaknya terjadi pada tanggal 29 Maret 1973, pasukan terakhir Amerika Serikat meninggalkan Vietnam Selatan. Tak lama kemudian Saigon jatuh ke tangan Tentara Utara. 

Forum Viva.

Mengapa Bung Karno Tersingkirkan oleh Konspirasi?

Pada 1961-an, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak oleh asing di Indonesia yang sekitar 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing menjadi jatah pemerintah. Kebanyakan pemodal asing gerah dengan peraturan itu.
Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin SDA Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri dan hasil difungsikan untuk rakyat Indonesia sendiri seperti amanat undang - undang. Asvi menuturkan sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.

Soeharto yang pro-pemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu. “Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.


Sebelum tahun 1965, seorang taipan(berarti seorang yang berpengaruh dan kaya) dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus. “Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.

Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.

Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Namun, banyak usaha pihak luar ingin mendongkel kekuasaan Soekarno tidak kalah kuat.

Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport dterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis pada awal November 1965, Langbourne Williams, ketua dewan direktur Freeport, menghubungi direktur Freeport, Forbes Wilson.

Williams menanyakan apakah Freeport sudah siap melakukan eksploitasi di Papua. Wilson hampir tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa.

Setahun sebelumnya, seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di Eropa. Dalam surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan dalam waktu dekat Indonesia akan beralih ke Barat.

Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis. Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia, setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan. Padahal sudah kita ketahui bahwa Soekarno bukan seorang komunis melainkan seorang berideologi "Nasionalis Komunis" yang lebih mengarah ke kesejahteraan rakyat dan bukan ke arah atheisme.

Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke PBB pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua.

Sedangkan dalam telegram berkode Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, menyatakan ada pertemuan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat bila Presiden Soekarno meninggal.

Kelompok dipimpin Jenderal Soeharto bergerak lebih jauh dari rencana itu. Soeharto mendesak Angkatan Darat segera mengambil alih kekuasaan tanpa perlu menunggu Presiden Soekarno berhalangan. Hal ini merupakan salah satu konspirasi mengenai keotentikan Supersemar yang menjadi landasan tindakan yang dilakukan Soeharto saat itu.

Setelah peristiwa 30 September 1965, keadaan negara berubah total. Usaha Freeport masuk ke Indonesia semakin mudah. Sebagai bukti adalah pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Semenjak saat itu, terlepas dari hal - hal baik yang diperbuat Presiden Soeharto terhadap bangsa Indonesia, Indonesia terkesan melembek terhadap tekanan oleh Blok Barat yang sangat mengecam saat itu dan bagai sebuah reaksi berantai yang menghacurkan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 disebabkan oleh pihak yang sama pula dan makin terpuruk oleh bantuan IMF yang kita tahu merupakan kaki tangan Blok Barat pula.

Sungguh disayangkan hal baik yang sudah dicanangkan dan direncanakan oleh Bapak Bangsa kita dihalang - halang oleh asing melalui sodara kita sendiri.

Kisah Nyata Nasib Tragis Jenderal Ahmad Yani, Anak Emas Presiden Soekarno

Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Letnan Jenderal Budiman menjadi Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Moeldoko yang naik pangkat menjadi Panglima TNI.

Ada cerita menarik seputar pelantikan KASAD. Khususnya saat pemerintahan Presiden Soekarno yang mengangkat Letnan Jenderal Achmad Yani sebagai Kasad pada 28 Juni 1962. Ujung dari peristiwa ini adalah sejarah paling kelam dalam perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika itu, Bung Karno mengangkat Kasad Jendera Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab). Secara jabatan, Nasution mendapat promosi. Tetapi secara kewenangan, Nasution sebenarnya dilucuti. Kasab hanya mengurus administrasi, tidak lagi memegang komando pasukan. Hubungan Bung Karno dan Nasution memang tidak bisa dibilang sejalan, bahan cenderung berseberangan.

Bung Karno meminta Nasution merekomendasikan sejumlah nama perwira tinggi TNI AD untuk dilantik menjadi Kasadyang kemudian semua nama-nama tersebut ditolak oleh Bung Karno yang malah meminta diberikan nama-nama lain. Nasution menurutinya dengan mengajukan calon-calon lain. Dari daftar rekomendasi terbaru ini, nama Mayor Jenderal Ahmad Yani berada di posisi paling akhir.

Pada masa tersebut, Yani memang masih termasuk Jenderal junior. Itulah alasannya mengapa Nasution tidak memasukkannya ke dalam nama-nama pertama yang ia rekomendasikan pertama kali. Tapi justru Bung Karno malah akhirnya memilih Yani sebagai Panglima Angkatan Darat.

Jabatan Ahmad Yani saat itu adalah Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat dan sekaligus juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari bertemu dalam rapat-rapat dengan Presiden Soekarno di Istana. Itulah yang menyebabkan hubungan mereka dekat. Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Bung Karno menjadi semakin akrab.

Amelia Yani, Putri Ahmad Yani mengatakan bahwa "Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno,".

Hal berlawanan justru terjadi dalam hubungan antara Yani dan Nasution, dimana Nasution dan Yani malah sering berdebat. Keduanya kerap berbeda pendapat soal pembangunan Angkatan Darat. Yani dikenal tegas, blak-blakan dan jarang basa-basi.

Di masa kepemimpinan Yani, Angkatan Darat disibukkan Operasi Trikora merebut Irian Barat dari Belanda. Setelah itu Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia.

Amelia mengingat Bung Karno ikut peduli masalah dengan renovasi rumah Yani di Jalan Lembang, Menteng. Bung Karno juga sering mengajak Yani ikut dalam kunjungan ke daerah, dan bahkan menyempatkan hadir saat acara syukuran rumah Yani.

"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.

Namun saat itu pun suasana politik Indonesia makin memanas. Partai Komunis Indonesia (PKI) makin kuat karena merasa mendapat angin dukungan dari Bung Karno. Cuma masalahnya, Angkatan Darat, khususnya Ahmad Yani terang-terangan menolak segala kebijakan negara yang dipengaruhi PKI.

Yani bahkan menolak mentah-mentah permintaan Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) yang meminta buruh dan kaum tani dipersenjatai. Jadilah, beredar isu Dewan Jenderal dan dokumen asing yang menyebut kolaborasi sejumlah jenderal AD dengan Barat. Karena berlawanan dengan Soekarno dan PKI yang cenderung ke negara Blok Timur seperti China dan Uni Soviet, maka Yani dan kawan-kawannya disebut-sebut akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno.

Isu yang dihembuskan oleh PKI tersebut berhasil membuat hubungan Presiden Soekarno dan Yani retak perlahan-lahan. Puncaknya, Soekarno (berencana) memanggil Yani ke istana pada 1 Oktober 1965. Dia berniat mengganti Yani dengan Jenderal Moersjid. Yani tak pernah tahu mengenai hal ini.

Namun apa daya, Yani tak pernah bisa datang ke Istana menemui Bung Karno, karena pagi itu, 1 Oktober 1965 Pukul 04.30 WIB, sepasukan tentara datang menjemput Yani. Mereka mengatakan bahwa Yani diminta menghadap Soekarno segera saat itu juga. Yani sendiri tak curiga karena ia memang sudah ada rencana hendak ke Istana menghadap Bung Karno. Maka dia meminta waktu kepada tentara yang menjemputnya untuk berganti pakaian dengan seragam dinas.

Namun niatnya itu dibantah oleh Tjakrabirawa yang menjemputnya. "Tak usah ganti baju, jenderal!" bentak seorang bintara Tjakrabirawa itu membentak. Hal itu membuat Yani marah (mana boleh seorang bintara berani kurang ajar pada jenderal). Lalu Yani, membalikkan badan dan menempeleng prajurit kurang ajar itu.

Jenderal Ahmad Yani tewas ditembak di sini setelah menempeleng prajurit kurang ajar di pintu ini. Ia ditembak dari jarak dekat, peluru menembus pintu kaca memberondong tubuhnya yang berada dibalik pintu
 
Melihat peristiwa tersebut, seorang prajurit lainnya segera memberondong tubuh Yani dengan tembakan senapan otomatis secara membabi buta dari jarak dekat. Yani tersungkur dan gugur dengan berlumuran darah. Kejadian ini disaksikan oleh Untung dan Eddy, kedua putranya yang masih kecil.

Prasasti ini menunjukkan lokasi tersungkur dan gugurnya Jenderal Ahmad Yani, di balik pintu kaca dan pas di sebelah meja makan
 
Foto ini menunjukkan jejak-jejak darah saat jenazah Pak Yani diseret dengan keji di sepanjang lorong

Lalu para gerombolan prajurit itu menyeret jenazah Yani di sepanjang lorong dan melemparnya ke atas truk. Mereka membawanya pergi, tapi bukan ke Istana melainkan ke sebuah tempat di Lubang Buaya Jakarta Timur. Itulah akhir tragis dari seorang Jenderal yang memiliki rekam jejak cemerlang dalam peristiwa nahas G30S/PKI.
(foto dokumentasi pribadi, Ahmad Yani Tumbal Revolusi/Galang Press, Museum Sasmitaloka Ahmad Yani dan berbagai sumber-sumber lain)

F-15SG RSAF: Lawan Tanding Terberat Sukhoi Su-27/30 TNI AU

Sukhoi Su-27/Su-30 TNI AU bersama F/A-18 Super Hornet Australia dalam Pitch Black 2012

Sepanjang ada kesamaan kepentingan, hubungan antar negara bertetangga dipastikan bakal harmonis. Tapi lain halnya bila antar dua negara punya kepentingan yang jauh berbeda, bahkan satu sama lain saling berseberangan atas suatu isu. Bisa jadi yang muncul adalah konflik, seperti yang kita lihat di sengketa kepulauan laut Cina Selatan. 
Dalam konteks kekinian, Indonesia pun punya sisi rawan pada hubungan bertetangga, khususnya dengan Australia, Malaysia, dan Singapura. Berlandaskan kepentingan nasional, hubungan Indonesia dengan ketiga negara tersebut kerap melalui phase pasang surut. Nah, bicara lebih detail pada potensi konflik, banyak pengamat memberikan analisis, bawah sampai 10 tahun kedepan Indonesia tidak akan menghadapi perang terbuka. Mungkin bisa kita amini hasil analisa tersebut, tapi pada kenyataan potensi konflik berskala kecil mudah meletup seketika.
Dengan Malaysia, masih terbuka terjadinya ‘keributan’ di seputaran blok Ambalat, belum lagi pada masalah patok di perbatasan Kalimantan, dan isu penyiksaan tenaga kerja. Dengan Singapura, masalah sentimen bisa mencuat seputar reklamasi, batas wilayah, dan perijinan terbang. Dengan Australia, isu manusia perahu bisa menjadi bom waktu, belum lagi ada ‘kenangan’ pahit saat lepasnya Timor Timur dari NKRI. Bicara tentang konflik ringan yang sifatnya lokal, skenario yang paling mudah jadi kenyataan adalah gesekan di laut dan terjadinya duel di udara. Gesekan di laut sudah ada buktinya, yakni pada kasus saling serempet pada tahun 2005, antara kapal perang TNI AL dan TLDM (AL Malaysia) di blok Ambalat. Duel di udara juga nyaris terjadi antara Hawk 200 TNI AU dengan F/A-18 Hornet RAAF (Australia) pada 16 September 1999.
Mengingat setiap konflik lokal bisa berubah menjadi konflik militer terbuka, di skenario kan yang nantinya mengambil peran strategis adalah alutsista papan atas yang memegang peranan penting. Bila di laut yang akan beraksi adalah frigat, korvet, dan kapal selam. Maka pada matra udara yang jadi andalan adalah jet tempur lapis pertama. Keberadaan jet tempur lapis pertama inilah yang diyakini akan membuka serangan awal dan menentukan jalannya pertempuran. Jagoan TNI AU saat ini adalah Sukhoi Su-27SKM dan Su-30MK2. Sementara jagoan AU Malaysia adalah Sukhoi Su-30MKM, sementara jet tempur andalan Negeri Kangguru adalah F/A-18 Super Hornet, dan jawara jet tempur Singapura adalah F-15SG Eagle.

F-15SG RSAF (Singapura)
F/A-18 Super Hornet RAAF (Australia)
 
Harus diakui, kerjasama militer antar matra di ketiga negara lumayan erat saat ini, terutama dengan Australia dan Singapura. Tapi kembali lagi, bukan tak mungkin antar jawara angkasa keempat negara bertetangga ini akan bertemu, bukan dalam sesi latihan tempur, melainkan dalam aksi nyata dog fight di udara. Tanpa berharap terjadinya perang, Indomiliter.com sejak 3 sampai 13 Oktober 2013 telah menggelar polling dengan tema “Siapakah Lawan Tanding Terberat Su-27/30 Flanker TNI AU?” Lewat pola one IP one vote, terjaring 342 responden.
Dari hasil polling, menjadi lawan terberat Sukhoi TNI AU ternyata adalah F-15SG RSAF (Republic of Singapore Air Force). F-15SG dipilih oleh 142 responden (41,52%). Dipilihnya F-15SG sebagai lawan tanding terberat Sukhoi Su-27/30 tak lain karena keduanya punya misi utama pada air superiority, sehingga dalam benak banyak orang kedua jet tempur merupakan lawan tanding yang benar-benar sepadan. Jet tempur buatan Boeing ini sudah battle proven, Singapura memiliki 24 unit F-15SG yang ditempatkan di lanud Paya Lebar.
satu
 dua

Kemudian, peringkat kedua lawan tanding Sukhoi TNI AU adalah F/A-18 Super Hornet RAAF (Royal Australian Air Force). Jet tempur ini dipilih oleh 107 responden (31,29%). Kedua jet tempur ini pun sudah pernah berlatih olah tempur bersama dalam Pitch Black 2012 di lanud Tindal dan Darwin. Jet tempur multirole yang ideal dilepaskan dari kapal induk ini sudah tergolong battle proven, dan RAAF total memiliki 24 unit F/A-18 Super Hornet.
Lawan tanding ketiga Sukhoi TNI AU tak lain tipe jet tempur yang sama, meski hanya beda versi. Yakni Sukhoi Su-30MKM TUDM (Tentara Udara Diraja Malaysia) yang dipilih 93 responden (27,19%). Malaysia total memiliki 18 unit Su-30MKM, antara Sukhoi Indonesia dan Malaysia punya kecanggihan yang setara, meski dalam hal kelengkapan senjata, Malaysia sudah jauh lebih dulu dipersenjatai, sementara Sukhoi TNI AU masih terbilang baru dalam kelengkapan senjata, termasuk hadirnya rudal Vympel R-27 dan Kh-31P. Perlu juga dicermati, Malaysia terbilang padat jet tempur di lapisan pertama, Negeri Jiran ini juga punya F/A-18 Hornet dan MiG-29 Fulcrum.

Sukhoi Su-30MKM TUDM (Malaysia)
F-35 Lightning II, jet tempur siluman yang jadi masa depan AU Singapura dan AU Australia

Sebagai catatan, keempat jawara jet tempur milik Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia sama-sama menggunakan dua mesin jet, punya kemampuan isi bahan bakar di udara, dan predikat duel di udara yang relatif setara, begitu pula dengan dukungan persenjataan yang menyertai. Australia dan Singapura bahkan punya rencana strategis yang sama dalam pengadaan jet tempur. Kedua negara sekutu AS ini telah mencanangkan untuk mengadopsi jet tempur F-35 Lightning II buatan Lockheed Martin. Bahkan, Australia sudah memesan 100 unit stealth fighter F-35 yang rencananya mulai akan diterima pada tahun 2020.

Panglima TNI akan kembalikan kedigjayaan intelijen TNI

Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko (kanan), sesaat setelah dikukuhkan menjadi warga kehormatan Korps Pasukan Khas TNI AU, di Bumi Margahayu, Jawa Barat, Rabu. Turut dikukuhkan adalah Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Marsetio, dan Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Budiman. (Pusat Penerangan Markas Besar TNI)
 
Jakarta  - Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, menggariskan kebijakan jangka pendeknya pada empat aspek utama, di antaranya perkuatan Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI) menuju penguatan keperluan intelijen trimatra terpadu. 

"Perkuatan itu termasuk intelijen dalam pembinaan sosial kemasyarakatan untuk mendukung keperluan operasional jajaran TNI," kata Moeldoko dalam pengarahan tertulisnya, di Markas Komando Korps Pasukan Khas TNI AU, Bumi Margahayu, Jawa Barat, Rabu. 

Sebelumnya, Komandan Korps Pasukan Khas TNI AU, Marsekal Muda TNI Amarullah, memimpin upacara pengangkatan Moeldoko menjadi warga kehormatan Korps Pasukan Khas TNI AU bersama Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Marsetio, dan Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Budiman, yang disaksikan Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI IB Putu Dunia

Dalam pengarahannya, Moeldoko menyatakan, "Kita ingin kembalikan kedigjayaan intelijen TNI di tengah paradigma yang berkembang saat ini."

"Mulai sepertiga tahun anggaran 2013 hingga dua pertiga tahun anggaran 2014, sebagai sasaran jangka pendek, kita semua akan menyempurnakan dan menguatkan empat sektor pokok untuk mendongkrak kinerja TNI dalam bertugas," kata Moeldoko. 

Dia tampil dalam seragam loreng lapangan Korps Pasukan Khas TNI AU, sebagaimana tiga perwira tinggi lain yang menjadi warga kehormatan Korps Baret Jingga itu. 

Perkuatan intelijen militer itu menjadi butir ketiga pengarahannya kepada jajaran TNI dan matra-matra di dalamnya. 

Yang pertama dia tegaskan eliminasi segala kebijakan, perilaku, sikap, dan tindakan yang cenderung ego sektoral di dalam tubuh TNI. Di sini dia menggarisbawahi komunikasi cerdas dan membangun antara perwira dan prajurit, sehingga bisa dihindarkan perilaku primitif berujung perusakan kredibilitas TNI.

Dia melanjutkan, perlunya peningkatan kapasitas berbasis interoperabilitas (kapabilitas dari suatu produk atau sistem) yang diterjemahkan secara makro dalam konteks TNI sebagai sistem keamanan negara; baik pada sisi administrasi ataupun operasional. 

Terkait itu, dia menegaskan amanat keempatnya, yaitu memperkuat Komando Pendidikan dan Latihan TNI sebagai institusi peletak dasar-dasar pendidikan dan latihan, indoktrinasi kultur TNI bagi personelnya, yang sejalan dengan reformasi internal TNI. 
 

Jumat, 18 Oktober 2013

Duel maut satu lawan satu Kopassus vs gerilyawan Kalimantan


Jenderal Purn AM Hendropriyono meluncurkan buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2013. Buku ini mengisahkan operasi militer pasukan khusus Angkatan Darat melawan gerombolan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) sekitar tahun 1968-1974. Banyak kisah menarik di dalamnya.

Salah satu hal yang menarik adalah upaya penangkapan petinggi PGRS/Paraku dengan jabatan Sekretaris Wilayah III Mempawah Siauw Ah San. Tim Halilintar pimpinan Kapten Hendropriyono bisa mendapatkan info soal Ah San dari Tee Siat Moy, istrinya yang berkhianat. Siat Moy mau membantu TNI dengan syarat Ah San tak dibunuh.

Maka Hendro memimpin 11 prajurit Halilintar Prayudha Kopasandha (kini Kopassus) untuk meringkus Ah San hidup-hidup. Mereka tidak membawa senjata api, hanya pisau komando sebagai senjata. Hanya Hendro yang membawa pistol untuk berjaga-jaga. Setiap personel dilengkapi dengan handy talky (HT).

3 Desember 1973 pukul 16.00, tim mulai merayap ke sasaran yang jauhnya sekitar 4,5 km melewati hutan rimba yang lebat. Kecepatan merayap pun ditentukan. Kode hijau artinya merayap 10 meter per menit, kode kuning berarti lima meter per menit. Sedangkan kode merah artinya berhenti merayap.

Ditargetkan mereka bisa sampai di titik terakhir pukul 22.00. Lalu melakukan operasi penyerbuan di gubuk Ah San pukul 04.00, keesokan harinya. Baru setengah jam merayap, tim sudah dihadang ular kobra. Ada juga yang ternyata melintasi sarang kobra. Untung saat latihan komando mereka sudah praktik menjinakkan ular kobra sehingga tak ada yang kena patuk.

Di tengah kegelapan malam, anak buah Hendro juga berhasil melumpuhkan beberapa penjaga secara senyap.

Pukul 22.25 WIB, tim sudah sampai di lokasi yang ditentukan. Masih cukup lama menunggu waktu operasi. Namun rupanya kemudian lewat HT, Intelijen melaporkan Ah San tak ada di pondok tersebut. Seluruh tim sangat kecewa.

Baru pukul 14.00 Siat Moy dan perwira intelijen Kodim Mempawah memastikan Ah San ada di pondok. Maka kembali kegembiraan melingkupi seluruh anggota tim.

Dengan kecepatan kuning mereka terus merayap mendekati sasaran hingga akhirnya dari jarak 200 meter terlihatlah pondok kayu. Itulah rumah persembunyian Ah San.

Tiba-tiba anjing-anjing penjaga pondok tersebut berloncatan ke arah tim Halilintar sambil mengonggong keras. Hendro segera meneriakkan komando "Serbuuuuu," katanya sambil lari sekencang-kencangnya ke arah pondok.

"Abdullah alias Pelda Kongsenlani mendahului saya lima detik untuk tiba di sasaran. Dia mendobrak pintu dengan tendangan mae-geri dan langsung masuk. Saya mendobrak jendela dan meloncat masuk," beber Hendro.

Hendro berteriak pada Ah San. "Menyerahlah Siauw Ah San, kami bukan mau membunuhmu."

Tapi Ah San enggan menyerah. Dia menyabet perut Kongsenlani dengan bayonet hingga usus prajurit itu terburai. Hendro menyuruh anak buahnya keluar pondok. Dia sendiri bertarung satu lawan satu dengan Ah San.

"Dengan sigap saya lemparkan pisau komando ke tubuh Ah San. Tapi tidak menancap telak, hanya mengena ringan di dada kanannya," Hendro menggambarkan peristiwa menegangkan itu.

Kini Hendro tanpa senjata harus menghadapi Ah San yang bersenjatakan bayonet. Memang ada senjata yang ditaruh di belakang tubuh Hendro, tapi mengambil senjata dalam keadaan duel seperti ini butuh beberapa detik. Hendro takut Ah San keburu menusuknya.

Hendro lalu melompat dan menendang dada Ah San. Berhasil, tetapi sebelum jatuh Ah San sempat menusuk paha kiri Hendro hingga sampai tulang. Darah langsung mengucur, rasanya ngilu sekali.

Ah San kemudian berusaha menusuk dada kiri Hendro. Hendro berusaha menangkis dengan tangan. Akibatnya lengannya terluka parah dan jari-jari kanannya nyaris putus.

Celakanya pistol di pinggang belakang Hendro melorot masuk ke dalam celananya. Butuh perjuangan baginya untuk meraih pistol itu dengan jari-jari yang nyaris putus. Akhirnya Hendro berhasil meraihnya. Perwira baret merah ini menembak dua kali. Tapi hanya sekali pistol meletus, satunya lagi macet. Pistol segera jatuh karena Hendro tak mampu lagi memegangnya.

Peluru itu mengenai perut Ah San. Membuatnya limbung, Hendro yang juga kehabisan tenaga membantingnya dengan teknik o-goshi. Kemudian Hendro menjatuhkan tubuhnya keras-keras di atas tubuh Ah San.

Duel maut itu selesai. Ah San tewas, tetapi Hendro pun terluka parah. Beruntung anak buahnya segera datang menyelamatkan Hendro. Rupanya saat diserang tadi Ah San sudah membakar gubuknya sendiri. Tujuannya agar pasukan penyerang sama-sama mati terbakar.

Hendro sempat meminta maaf pada Siat Moy tak bisa menangkap Ah San hidup-hidup. Sambil menangis Siat Moy mengaku bisa memaklumi hal ini.

"Saya lihat sendiri, Atew (panggilan untuk Hendro) telah berusaha dan memang Siauw Ah San yang keras kepala. Saya sangat sedih melihat Atew seperti ini," kata Siat Moy.

Hendro menderita sebelas luka di tubuhnya. Kondisinya cukup parah, namun Hendro masih meminta anak buahnya untuk memakamkan Ah San secara layak.

"Mau dimakamkan pakai ritual apa, dia tidak punya agama," kata Phang Lee Chong, mantan tokoh PGRS/Paraku yang kini berpihak pada TNI.

Hendro menukas, "Namanya Siauw Ah San alias Hasan, makamkan saja secara Islam."

Luka-luka Hendro dan Kongsenlani berhasil disembuhkan. Hendro mendapat Satya Lencana Bhakti, tanda jasa khusus bagi tentara yang terluka dalam pertempuran.