"Think as a soldier, talk as a soldier, walk as a soldier."
Jenderal (Purn) Abdullah Makhmud Hendropriyono meluncurkan buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini menceritakan pengalaman tempur Hendro sebagai perwira pertama Pusat Pasukan Khusus (kini Kopassus) TNI AD di Kalimantan Utara. Banyak hal menarik yang ditulis Hendro dalam buku ini.
Hendro melukiskan kondisi politik setelah Orde Lama runtuh dan digantikan Orde Baru. Banyak kebijakan yang langsung berubah 180 derajat. Termasuk soal konfrontasi dengan Malaysia. Di era Soekarno, Indonesia jor-joran mendukung perlawanan rakyat Serawak dan Kalimantan Utara memerangi Malaysia dan Inggris.
Pemerintah bahkan melatih komandan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) Bong Kee Chok dan adiknya, Bong Hon. Mereka dilatih oleh Badan Pusat Intelijen, RPKAD, Marinir, Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara dan Mobile Brigade Polri. Seluruh perhatian pemerintah Indonesia tahun 1964-1965 tercurah pada konfrontasi dengan Malaysia.
Pemerintah juga menyuplai senjata untuk Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Bahkan sejumlah pasukan elite Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dikirim sebagai sukarelawan dan bergabung dengan TNKU. Mereka bertempur dengan pasukan komando Inggris di belantara Kalimantan.
Tapi saat Presiden Soekarno lengser dan digantikan Presiden Soeharto, kebijakan berubah drastis. Orde Baru yang menuding konfrontasi dengan Malaysia disusupi komunis. Pemerintah Indonesia pun kemudian menghentikan dukungan pada PGRS dan TNKU. Mereka meminta gerilyawan PGRS meletakkan senjata dan menghentikan perlawanan.
"Dari 838 anggota TNKU hanya 99 orang yang taat meletakkan senjatanya dan menyerahkannya pada pos polisi atau pos tentara terdekat. Selebihnya 739 orang membangkang. Jumlah senjata yang tidak dikembalikan sekurang-kurangnya 538 pucuk, terdiri atas bren, stengun, senapan dan pistol. Selain itu ada juga granat-granat tangan buatan Pindad," kata Hendropriyono (hal 64).
Maka ABRI dan Polri dikirim kembali ke Kalimantan Utara, tapi kali ini untuk memerangi para muridnya sendiri yang dulu dilatih untuk berjuang melawan neokolonialisme. Gerilyawan PGRS dan Paraku yang berada di hutan-hutan belum mengetahui hal ini.
Setelah tahu mereka kini harus saling berhadapan, para anggota PGRS, TNKU, ABRI dan Polri itu banyak yang menangis tersedu-sedu dan saling berangkulan sebelum mereka menyatakan perpisahan. Tapi sebagai alat negara, tugas berat itu tetap harus dikerjakan ABRI dan Polri.
"Kenyataan bahwa politik kerap kali membuat alat negara melaksanakan tugas dengan beban mental yang sangat berat. Perubahan haluan politik ini sangat menyakitkan, sehingga rasa kemanusiaan mereka hanyut dalam arus kekecewaan yang sangat dalam," beber Hendro.
PGRS adalah murid para prajurit ABRI. Berjuang bersama melawan Inggris di Kalimantan Utara dan Serawak. Kini guru harus membunuh anak-anak murid sendiri. PGRS harus melawan gurunya sendiri yang sangat dihormati dan dicintai. Itu semua karena perubahan haluan politik Indonesia yang berdamai dengan Malaysia.
Maka walau pahit, guru dan murid saling berhadapan di rimba Kalimantan. Tak mudah memerangi PGRS yang sangat mengenal baik medan gerilya dan mendapat dukungan masyarakat. ABRI melatih mereka dengan baik sehingga pasukan PGRS paham intelijen, konsep gerilya, hingga menyerang dengan senyap dan terkoordinasi.
Tahun 1967 PGRS pimpinan Lim Fo Kui alias Lin Yen Hoa dan Bong Khe Chok mengadakan pertemuan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan S.A Sofyan dam Tan Bu Hiap di Bukit Bara, sebelah Timur Sambas, Kalimantan Barat. Mereka membentuk suatu koalisi perjuangan yang dinamakan BaRA atau Barisan Rakyat. Salah satu poin kesepakatan, PGRS akan mendirikan negara komunis Serawak yang merdeka. Suatu pasukan baru bernama Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) didirikan.
Ketangguhan PGRS/Paraku terbukti saat mereka menyerang Pangkalan Singkawang II Angkatan Udara RI di Sangau Ledo. Operasi ini berjalan sangat baik. Mereka berhasil merampas 153 pucuk senjata AURI dari berbagai jenis. Serangan direncanakan dengan baik, terkoordinasi dan rapi. Mereka mempraktikkan apa yang diajarkan ABRI pada mereka.
"Ini merupakan suatu hal yang hanya lazim dapat dilakukan oleh pasukan komando regular yang terlatih sangat baik. Tidak seperti oleh pasukan gerilya yang tidak teratur," puji Hendro.
Pemerintah Indonesia pun terkejut atas keberhasilan tersebut. Sebagai balasan, Mabes ABRI menggelar Operasi Bersih II. Pasukan Kodam XII Tanjungpura kini diperkuat satuan Puspassus TNI AD.
Peperangan guru melawan murid pun berkobar. Pedih, tapi harus dilakukan.
Jenderal (Purn) Abdullah Makhmud Hendropriyono meluncurkan buku berjudul Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini menceritakan pengalaman tempur Hendro sebagai perwira pertama Pusat Pasukan Khusus (kini Kopassus) TNI AD di Kalimantan Utara. Banyak hal menarik yang ditulis Hendro dalam buku ini.
Hendro melukiskan kondisi politik setelah Orde Lama runtuh dan digantikan Orde Baru. Banyak kebijakan yang langsung berubah 180 derajat. Termasuk soal konfrontasi dengan Malaysia. Di era Soekarno, Indonesia jor-joran mendukung perlawanan rakyat Serawak dan Kalimantan Utara memerangi Malaysia dan Inggris.
Pemerintah bahkan melatih komandan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) Bong Kee Chok dan adiknya, Bong Hon. Mereka dilatih oleh Badan Pusat Intelijen, RPKAD, Marinir, Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara dan Mobile Brigade Polri. Seluruh perhatian pemerintah Indonesia tahun 1964-1965 tercurah pada konfrontasi dengan Malaysia.
Pemerintah juga menyuplai senjata untuk Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Bahkan sejumlah pasukan elite Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dikirim sebagai sukarelawan dan bergabung dengan TNKU. Mereka bertempur dengan pasukan komando Inggris di belantara Kalimantan.
Tapi saat Presiden Soekarno lengser dan digantikan Presiden Soeharto, kebijakan berubah drastis. Orde Baru yang menuding konfrontasi dengan Malaysia disusupi komunis. Pemerintah Indonesia pun kemudian menghentikan dukungan pada PGRS dan TNKU. Mereka meminta gerilyawan PGRS meletakkan senjata dan menghentikan perlawanan.
"Dari 838 anggota TNKU hanya 99 orang yang taat meletakkan senjatanya dan menyerahkannya pada pos polisi atau pos tentara terdekat. Selebihnya 739 orang membangkang. Jumlah senjata yang tidak dikembalikan sekurang-kurangnya 538 pucuk, terdiri atas bren, stengun, senapan dan pistol. Selain itu ada juga granat-granat tangan buatan Pindad," kata Hendropriyono (hal 64).
Maka ABRI dan Polri dikirim kembali ke Kalimantan Utara, tapi kali ini untuk memerangi para muridnya sendiri yang dulu dilatih untuk berjuang melawan neokolonialisme. Gerilyawan PGRS dan Paraku yang berada di hutan-hutan belum mengetahui hal ini.
Setelah tahu mereka kini harus saling berhadapan, para anggota PGRS, TNKU, ABRI dan Polri itu banyak yang menangis tersedu-sedu dan saling berangkulan sebelum mereka menyatakan perpisahan. Tapi sebagai alat negara, tugas berat itu tetap harus dikerjakan ABRI dan Polri.
"Kenyataan bahwa politik kerap kali membuat alat negara melaksanakan tugas dengan beban mental yang sangat berat. Perubahan haluan politik ini sangat menyakitkan, sehingga rasa kemanusiaan mereka hanyut dalam arus kekecewaan yang sangat dalam," beber Hendro.
PGRS adalah murid para prajurit ABRI. Berjuang bersama melawan Inggris di Kalimantan Utara dan Serawak. Kini guru harus membunuh anak-anak murid sendiri. PGRS harus melawan gurunya sendiri yang sangat dihormati dan dicintai. Itu semua karena perubahan haluan politik Indonesia yang berdamai dengan Malaysia.
Maka walau pahit, guru dan murid saling berhadapan di rimba Kalimantan. Tak mudah memerangi PGRS yang sangat mengenal baik medan gerilya dan mendapat dukungan masyarakat. ABRI melatih mereka dengan baik sehingga pasukan PGRS paham intelijen, konsep gerilya, hingga menyerang dengan senyap dan terkoordinasi.
Tahun 1967 PGRS pimpinan Lim Fo Kui alias Lin Yen Hoa dan Bong Khe Chok mengadakan pertemuan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan S.A Sofyan dam Tan Bu Hiap di Bukit Bara, sebelah Timur Sambas, Kalimantan Barat. Mereka membentuk suatu koalisi perjuangan yang dinamakan BaRA atau Barisan Rakyat. Salah satu poin kesepakatan, PGRS akan mendirikan negara komunis Serawak yang merdeka. Suatu pasukan baru bernama Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) didirikan.
Ketangguhan PGRS/Paraku terbukti saat mereka menyerang Pangkalan Singkawang II Angkatan Udara RI di Sangau Ledo. Operasi ini berjalan sangat baik. Mereka berhasil merampas 153 pucuk senjata AURI dari berbagai jenis. Serangan direncanakan dengan baik, terkoordinasi dan rapi. Mereka mempraktikkan apa yang diajarkan ABRI pada mereka.
"Ini merupakan suatu hal yang hanya lazim dapat dilakukan oleh pasukan komando regular yang terlatih sangat baik. Tidak seperti oleh pasukan gerilya yang tidak teratur," puji Hendro.
Pemerintah Indonesia pun terkejut atas keberhasilan tersebut. Sebagai balasan, Mabes ABRI menggelar Operasi Bersih II. Pasukan Kodam XII Tanjungpura kini diperkuat satuan Puspassus TNI AD.
Peperangan guru melawan murid pun berkobar. Pedih, tapi harus dilakukan.