Dalam
ekonomi dikenal asimetri informasi yang terjadi jika salah satu pihak
dalam transaksi memiliki informasi lebih baik atau banyak dibandingkan
pihak lain. Dibanding pembeli, penjual lazim memiliki informasi lebih
banyak atas produk meski kondisi sebaliknya mungkin terjadi. Kondisi ini
pertama kali dijelaskan oleh Kenneth J. Arrow dalam artikel 1963
berjudul "Uncertainty and the Welfare Economics of Medical Care"
di jurnal American Economic Review. George Akerlof kemudian menggunakan
istilah informasi asimetris dalam The Market for Lemons - Pasar Barang
Kacangan (1970). Yang menyebutkan nilai rata-rata komoditi dalam pasar
asimetris cenderung turun, bahkan untuk barang berkualitas bagus.
Penjual yang tidak berniat baik bisa menipu pembeli dengan mengesankan
seolah barang yang dijualnya bagus. Sehingga banyak pembeli yang
menghindari penipuan, lalu menolak bertransaksi atau enggan mengeluarkan
uang besar. Akibatnya, penjual yang benar-benar menjual barang bagus
tidak laku karena hanya dinilai murah oleh pembeli, Alhasil pasar akan
dipenuhi barang bermutu buruk
Konsep asimetri informasi ini kemudian berkembang dan dimanfaatkan di ranah militer. Sehingga strategi perang kemudian berevolusi dari yang semula konvensional menjadi non-konvensional (asimetris). Seperti perang Psy War dengan menebar isu yang bersifat mengganggu stabilitas negara sasaran. Strategi ini murah meriah karena perang Asimetris tidak menggunakan banyak alutsista. Cukup melempar isu provokatif maka stabilitas negara sasaran akan goyah. Tapi ini bukan berarti kekuatan perang konvensional berupa Alutsista canggih tidak akan dipergunakan lagi. Justru untuk mengantisipasi kegagalan strategi Asimetris, kekuatan konvensional mesin perang modern tetap disiagakan guna alat eksekusi berikut. Inilah yang dimaksud dengan Hard Power dimana sebuah Negara yang memiliki militer kuat cenderung menggunakan kekuatan militer sebagai penekan untuk mendukung diplomasinya agar sasaran tunduk dan patuh
Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja yang berbiaya murah dan sederhana AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya…
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babak baru, perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya.
Wamenhan mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa. Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya pemerintah Australia melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan menggoyah stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi.
Apa sih yang susah dilakukan di era teknologi dan informasi sekarang ini yang segala sesuatunya dapat dengan mudah dan murah di akses lewat media jaringan seperti Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik. Tapi yang membuat saya heran, ternyata bangsa lain tidak perlu dengan susah payah untuk melemahkan Indonesia, cukup lewat tangan rakyatnya sendiri yang sudah berhasil di otak-atik mereka sudah berhasil mengacak-acak stabilitas Negara Indonesia dengan sendirinya…