Lepas dari hubungan erat dengan Israel dan AS, harus diakui Singapura
adalah negeri dengan sistem pertahanan udara (hanud) terkuat di Asia
Tenggara. Terkhusus bicara seputar hanud titik (point defence)
yang terdiri dari racikan kanon dan rudal SAM (surface to air missile),
Singapura nyaris tiada tanding, kekuatannya sekokoh Israel di Timur
Tengah. Ironisnya, bila Indonesia hingga empat dekade masih berkutat di
hanud berbasis SHORAD, maka hanud Singapura jadi yang terlengkap, baik
SHORAD hingga koleksi SAM jarak sedang – jauh semua ada, plus logistik
amunisi yang mencukupi untuk meladeni perang berhari-hari.
Memang masih jadi tanda tanya besar, mengapa sampai saat ini TNI
masih berkutat di SHORAD, padahal koleksi sista SHORAD, khususnya rudal
MANPADS (Man Portable Air Defence System) variannya cukup banyak.
Setelah era Rapier dan RBS-70, lini rudal MANPADS makin bertambah, sebut
saja rudal Grom sebagai pengganti Rapier.Tak puas dengan Grom, maka
hadir rudal Mistral dari MBDA. Mistral jadi yang paling besar dalam
kuantitas, mengingat diadopsi oleh Arhanud TNI AD dan pada peluncur
Tetral di korvet SIGMA (Diponegoro Class).
Mungkin karena pertimbangan ingin memiliki rudal pencegat super
cepat, kemudian ada lagi order rudal Starstreak untuk TNI AD yang mampu
melesat Mach 4. Meski belum resmi diakuisisi, rudal QW-3 juga sempat
ditawarkan ke TNI AD, setelah sebelumnya QW-3 digunakan Paskhas TNI AU.
Di lingkup Korps Marinir TNI AL, sejak lama ada rudal panggul Strela,
eks pembelian dari Jerman Timur. Dan kabar terbaru, Kementerian
Pertahanan sedang melirik pengadaan paket integrasi sistem pertahanan
AF902 FCS dari Cina, yang didalamnya terdapat komponen rudal SAM SHORAD
PL-9C.
Itu semua diatas baru bicara lini rudal, bicara SHORAD maka juga
harus menyinggung keberadaan kanon. Untuk kanon hanud, koleksi TNI
memang tak seberapa banyak, sebut saja mulai era Tripe Gun Paskhas TNI
AU, Rheinmetall Twin Gun 20 mm, Type 80 23 mm Giant Bow, kanon ZUR/23
komposit rudal Grom TNI AD, dan yang terbaru serta paling canggih
Oerlikon Sykshield milik Paskhas TNI AU. Rencananya varian Oerlikon
Millenium juga akan dipasang di korvet SIGMA 10514 (Martadinata Class).
Dan masih terkait dengan paket integrasi sistem pertahanan AF902 FCS,
didalamnya juga terdapat kanon Type 90/35 mm Twin Gun besutan Norinco,
Cina.
Meski terasa sudah ditinggalkan, tapi keberadaan sista SHORAD
berbasis meriam lawas macam S-60 dan Bofors 40 mm masih tetap
dipertahankan oleh Arhanud TNI AD. Salah satu upaya modernisasi
alutsista ‘buyut’ era Operasi Trikora ini adalah dengan meramunya dengan
teknologi fire control system.
Dari kesemuanya dapat disimpulkan, hanud titik di Indonesia sangat
lemah untuk merespon sasaran yang terbang di ketinggian diatas 6.000
meter. Tanpa andil dan kehadiran jet tempur TNI AU di lokasi, bisa
dipastikan pesawat udara lawan bsia melenggang bebas di angkasa tanpa
perlawanan berarti.
Netizen dan para pemerhati militer di Tanah Air sudah lama merespon
kondisi ini, seperti rajin ‘berteriak’ agar Kemhan dan TNI mulai
melanjutkan proses penjajakan untuk pengadaan rudal SAM S-300. Bahkan
dalam ‘kegemasan,’ tak sedikit yang kemudian mengusulkan agar Indonesia
bisa mempunyai sista SHORAD semacam Pantsir S-1 dan rudal Buk dari
Rusia. Insiden yang pernah terjadi diatas langit Lanud El Tari, Kupang,
NTT, mestinya bisa menjadi pembelajaran bagi pemangku kebjikan
pertahanan di Tanah Air.
Kesmpulannya, SHORAD masih sangat diperlukan, karena pada hakekatnya
setiap jenis ancaman dari aspek udara punya karakteristik dan respon
yang berbeda. Tentu sasaran yang terbang rendah dan sifatnya low priority
tidak pas dihadapi dengan rudal sejenis S-300, selain harga per unitnya
mahal, gelaran operasionalnya pun tidak setaktis SHORAD MANPADS. Namun,
jangan mengesampingkan juha SAM jarak sedang untuk target yang terbang
tinggi.
Kita masih ingat saat AURI dahulu mengoperasikan rudal SA-2, faktanya
tak satu pun rudal dilepaskan untuk menghamtam sasaran, namun efek
deteren yang didapat sangat maksimal, setidaknya dalam rentang waktu
tertentu, black flight otomatis berkurang. Sebuah pilihan yang layak
dicermati, mengingat keterbatasan biaya operasional dan kuantitas jet
tempur TNI AU. (Haryo Adjie)